Nasionalisme dalam Puisi Indonesia Mutakhir

Pengantar Sekitar tahun 1945 hingga dasawarsa 1950 khazanah sastra Indonesia cukup banyak yang menampilkan tema nasionalisme, terutama terkait dengan perjuangan kemerdekaan. Cerpen Trisnojuwono yang terhimpun dalam Pagar Kawat Berduri dan Laki-Laki dan Mesiu , misalnya, mengungkapkan kisah heroik para gerilyawan dalam mempertahankan kemerdekaan, demikian pula, kumpulan cerpen Subagio Sastrowardojo Kejantanan di Sumbing, dan sajak “Karawang—Bekasi” Chairil Anwar, dan sajak “Pahlawan Tak Dikenal” Toto Sudarto Bachtiar. Patut dicatat bahwa jauh sebelum masa perjuangan kemerdekaan, yakni setelah dicetuskannya Sumpah Pemuda pada tahun 1928, Muhammad Yamin pun telah menulis sajak “Tanah Air” yang menyerukan persatuan dan kesatuan Indonesia yang terdiri atas beragam suku dan bahasa (sajak “Tanah Air” yang ditulis Muhammad Yamin setelah Sumpah Pemuda “direvisi” yang sebelum Sumpah Pemuda, masih membayangkan Sumatra sebagai “tanah air”). Ada anggapan bahwa nasionalisme kita saat ini tengah menyusut. Terkait dengan perkembangan zaman anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Jika pada masa perjuangan kemerdekaan kita berhadapan dengan musuh konkret yang hadir secara politik dan militeristik, yakni penjajah Belanda dan Jepang, sekarang ini kita berhadapan dengan musuh yang hadir dalam wujud bayang-bayang neokapitalisme/neoimperialisme yang menjadikan Indonesia sekadar pasar, korupsi, kemiskinan, kesenjangan sosial, dan sebagainya. Perubahan situasi tersebut berimplikasi pada corak nasionalisme kita: jika pada masa sekitar perang kemerdekaan nasionalisme hadir dengan mengangkat senjata untuk melawan penjajahan asing, nasionalisme masa kini adalah nasionalisme yang mampu “melawan” dominasi neokapitalisme/neoimperialisme, korupsi, kemiskinan, kesenjangan sosial, dan sebagainya. Dalam puisi mutakhir Indonesia, hampir semua penyair, seperti Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Wing Kardjo, Hamid Jabbar, Agus R. Sardjono, dan Hasan Aspahani, mengartikulasikan hal tersebut dalam sajak mereka. Pergeseran corak dan sentimen nasionalisme juga berimplikasi ke sosok hero yang muncul. Jika di masa silam sosok hero adalah “Pahlawan Tak Dikenal” (sajak Toto Sudarto Bachtiar), hero kontemporer adalah Marsinah dalam sajak “Dongeng Marsinah” Sapardi Djoko Damono. Nasionalisme Puisi Mutakhir Kita Dalam sejumlah puisi mutakhir kita kecemasan akan nasib dan corak nasionalisme yang kabur, yang seakan-akan tanpa identitas, terartikulasikan pada sajak Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono, Sitor Situmorang, dan Wiji Thukul. Kecemasan para penyair tersebut pada umumnya berkaitan dengan masalah keberpihakan pembangunan, kesenjangan dan ketimpangan sosial, perusakan lingkungan alam atas nama pembangunan, korupsi, dan sebagainya. Jadi, di pengujung abad ke-20 dan abad ke-21 ini musuh nasionalisme kita yang senantiasa membayangi adalah keserakahan (korupsi), “penggadaian” negara (melalui kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada kekuatan global/asing), penegakan hukum yang gagal (karena hukum diperjualbelikan), dan sebagainya. Rendra dengan “Sajak Sebotol Bir” mempersoalkan ketimpangan sosial yang fantastis (Hiburan kota besar dalam semalam,/sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa!/Peradaban apakah yang kita pertahankan?//Mengapa kita membangun kota metropolitan,/dan alpa terhadap peradaban di desa?/Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan,/dan tidak kepada pengedaran?). Larik sajak Rendra tersebut sesungguhnya merefleksikan realitas dan situasi Indonesia: Indonesia membentang dari Sabang sampai Merauke; tetapi, segala sesuatunya terkonsentrasi di Jakarta dan Pulau Jawa, termasuk?konon?uang yang beredar di republik ini 80%-nya menumpuk di Jakarta. “Sajak Sebotol Bir” juga menggugat keberpihakan pembangunan: pembangunan hanya berpihak pada modal asing dan oleh pemodal asing negeri ini hanya dijadikan sekadar pasar sehingga kita pun cenderung menjadi bangsa yang konsumtif (Kita hanyut di dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai./Di mana kita hanya mampu berak dan makan,/tanpa ada daya untuk menciptakan./Apakah kita akan berhenti sampai di sini?). Bait terakhir sajak Rendra ini (Kita telah dikuasai satu mimpi/untuk menjadi orang lain./Kita telah menjadi asing/di tanah leluhur sendiri./Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi,/dan menghamba ke Jakarta./Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi/dan menghamba kepada Jepang,/Eropa, atau Amerika.) paling tidak mengimplikasikan beberapa hal. Pertama, obsesi dan mimpi besar pembangunan ternyata tidak berpijak pada tradisi dan akar kultural kita sendiri, juga tidak berpijak pada kekuatan ekonomi kita sendiri karena ditopang utang dari luar negeri yang melampaui batas (sehingga saat krisis ekonomi tahun 1997 negeri ini termasuk yang paling parah menerima dampaknya). Karena tidak berpijak pada tradisi dan akar kultural, secara perlahan identitas nasional sebenarnya juga tergerus: kita telah menjadi asing/di tanah leluhur sendiri. Implikasi berikutnya adalah berkurangnya rasa memiliki atas apa yang ada di negeri ini: terdapat perasaan dan gap sebagai outsider?insider. Kesenjangan dan ketimpangan sosial sebagai akibat pembangunan, yang meskipun tidak pernah diakui, tetapi pada dasarnya berideologi kapitalistis dan imperialistis sehingga melahirkan perasaan dan gap antara outsider?insider itu dengan sangat bagus terbayang dalam larik sajak “Jembatan” Sutardji Calzoum Bachri: Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung/airmata bangsa. ..../Maka aku pun pergi menatap pada wajah/orang berjuta./Wajah orang jalanan yang berdiri satu kaki/dalam penuh sesak bis kota./Wajah orang tergusur./..../Wajah para muda yang matanya letih menyimak/daftar lowongan kerja./..../Wajah legam para pemulung yang memungut/remah-remah pembangunan./Wajah yang hanya mampu menjadi sekadar/penonton etalase indah di berbagai plaza./Wajah yang diam-diam menjerit melengking/melolong dan mengucap:/tanah air kita satu/bangsa kita satu/bahasa kita satu/bendera kita satu!/Tapi wahai saudara satu bendera, kenapa/kini ada sesuatu yang terasa jauh beda di antara kita?/Sementara jalan-jalan mekar di mana-mana/menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan/tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang/ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani/jurang di antara kita? Sajak “Jembatan” Sutardji Calzoum Bachri tersebut mengungkapkan kesenjangan sosial yang terjadi setelah laju pembangunan yang pesat berhasil menancapkan ikon modernitas di negeri ini: bermunculannya berbagai plaza dan pembangunan infrastruktur, seperti jalan dan jembatan. Namun sementara itu, jutaan orang hidup dalam pengangguran, harus berjejal dalam bus kota yang penuh sesak, hanya dapat sekadar menjadi penonton gemerlap berbagai plaza, dan hanya mampu memunguti remah-remah pembangunan. Pembangunan ternyata hanya berpihak kepada sekelompok kecil orang dan dinikmati oleh mereka saja, padahal tanah air kita satu/bangsa kita satu/bahasa kita satu/bendera kita satu!/Tapi wahai saudara satu bendera, kenapa/kini ada sesuatu yang terasa jauh beda di antara kita?/…./siapakah yang akan mampu menjembatani/jurang di antara kita? Situasi sebagaimana terbayang dalam larik sajak “Jembatan” Sutardji tersebut mengisyaratkan nasionalisme yang mulai terkoyak oleh jurang ketimpangan sosial, jurang antara outsider?insider yang pada akhirnya akan melahirkan persepsi bahwa negeri ini bukan untuk orang yang terpinggirkan dan termarjinalkan, tetapi untuk orang yang berduit dan berkuasa saja. Dengan kata lain, ketimpangan dan kesenjangan sosial sebenarnya merupakan ancaman serius untuk rasa nasionalisme kita. Pudarnya nasionalisme karena (kekuasaan) negara lalai dan tidak mampu menyejahterakan warganya digambarkan oleh Agus R. Sarjono dalam sajaknya “Bersama Para TKW”, sementara itu Hamid Jabbar menggugat situasi negara yang terjajah oleh utang dengan memparodikan teks proklamasi melalui sajaknya “Proklamasi, 2”. Penutup Dari sejumlah sajak yang dikemukakan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, gugatan terhadap ketimpangan dan kesenjangan sosial serta gugatan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat tidak dapat ditafsirkan sebagai suatu tindak subversif. Gugatan terhadap ketimpangan dan kesenjangan sosial serta pembangunan yang salah arah merupakan refleksi nasionalisme penyair dalam merespon situasi zaman. Jika di masa sekitar kemerdekaan 1945 rasa nasionalisme kita berhadapan dengan agresi penjajahan Belanda, pada saat ini rasa nasionalisme kita berhadapan dengan kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, keserakahan kekuasaan, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, hukum yang diperjualbelikan, dan sebagainya. Tanpa redefinisi terhadap nasionalisme kita, bangsa dan negara ini akan lemah berhadapan dengan imperialisme yang kini hadir dalam wujud intervensi ekonomi dan kultural. Daftar Pustaka Anderson, Benedict. 1991. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London and New York: Verso. Bachri, Sutardji Calzoum. 1998. “Jembatan”, Dalam Horison Th. XXXII/No. 6, Juni, h. 29. Jakarta: Yayasan Indonesia. Jabbar, Hamid. 1998. Super Hilang: Segerobak Sajak. Jakarta: Balai Pustaka. Rendra, W.S. 1996 [cetakan pertama 1993]. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Sarjono, Agus R. 2003. Suatu Cerita dari Negeri Angin. Yogyakarta: Penerbit Jendela. Smith, Anthony D. 2010. Nationalism. Cambridge: Polity Press. Thukul, Wiji. 2000. Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang: IndonesiaTera.

Suyono Suyatno

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa