Sastra dan Jati Diri Bangsa: Kontribusi Mitologi dan Multikultural dalam Sastra Indonesia
Khazanah kesusastraan Indonesia modern yang memasuki abad XXI ini mengenal suatu masalah kemajemukan budaya sebagai akibat dari keragaman etnik yang menurunkan nilai budaya dalam etnik tersebut. Ada nilai budaya yang dianggap adiluhung dan edipeni oleh suatu etnis tertentu, misalnya nilai gotong royong, kerja sama, saling asah, asih, dan asuh, toleransi, serta persaudaraan yang menganggap semua orang bersaudara. Di dalam kemajemukan budaya itu kontribusi mitologi dan multikultural yang dimiliki oleh suatu kelompok etnik tertentu menjadi perantara yang menghubungkan “Indonesia” dengan realitas budaya yang majemuk tersebut. Indonesia itu baru dianggap sebagai abstraksi dari keinginan untuk bersatu dari berbagai kelompok etnik dari seluruh wilayah Nusantara. Dalam pandangan Umar Kayam (1981) ada jadwal dari berbagai kelompok etnik di Indonesia yang berbeda-beda dalam proses untuk “mengindonesiakan” diri menjadi sebuah Indonesia, yang kini tentu dapat dilihat dan dirasakan sendiri oleh masyarakat kita. Untuk menjadi Indonesia itu, tampaknya orang etnik Melayu telah melakukannya pada jadwal yang masuk paling awal dibandingkan dengan orang Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Bugis, Toraja, Mandar, Banjar, Manado, Maluku, Sasak, dan Papua, misalnya. Hal itu tidak serta- merta harus ditafsirkan bahwa orang Melayu lebih Indonesia daripada orang Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Bugis, Manado, Toraja, Mandar, Banjar, Maluku, Nusa Tenggara, atau Papua. Lebih dahulu atau lebih kemudian dalam proses “meng-Indonesia” tidak menjadi jaminan mutlak karena perwujudan Indonesia merupakan sebuah proses panjang yang mengalami pasang surut, berubah berganti atas kesadaran rakyat dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Proses menjadi Indonesia yang harus dialami oleh berbagai kelompok etnik di Nusantara ini harus dilalui dengan penggalian nilai budaya lokal atau budaya setempat yang selanjutnya diaktualisasikan dalam napas Indonesia. Dalam penggalian sumber budaya lokal yang salah satu wujudnya adalah mitologi dan multikultural terjadi pengungkapan mitologi yang terkait dengan kelompok etnik. Dari proses tersebut ditemukan mitologi Indonesia sebagai bentuk penafsiran manusia Indonesia dengan latar etnik yang beragam terhadap mitologi yang digali dari sumber budaya etnik setelah “membaca” realitas Indonesia yang dihadapi dan dihidupinya. Oleh karena itu, kita seharusnya mengenal mitologi Minang, Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Banjar, Bugis, Mandar, Toraja, Sasak, Papua, dan Melayu Nusantara. Mitologi yang berakar dalam budaya kelompok etnik itu boleh disebut sebagai “dasar pijakan” bagi kehadiran mitologi Indonesia yang tengah menjadi. Atas dasar pikiran itu, fungsi mitologi etnik adalah penghubung ke dunia realitas budaya yang konkret dan mampu menjembatani jarak budaya antarkelompok etnik di Indonesia. Karena pentingnya mitologi sebagaimana terurai di atas, sesungguhnya sangat relevan dengan pernyataan Sapardi Djoko Damono (1999b) bahwa tidak dapat dibayangkan adanya sastra yang sama sekali lepas dari mitologi. Dengan kata lain, sastra Indonesia modern yang dihidupi oleh para pengarang dari berbagai kelompok etnik di Indonesia dan berakar pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu Nusantara itu tidak berarti steril dari pengaruh mitologi dalam berbagai wujud dan jenisnya, termasuk mitologi Melayu Nusantara. Hal itu berkaitan dengan anggapan bahwa bahasa, sastra, dan budaya Indonesia yang terbentuk wujudnya itu berakar pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu Nusantara. Orientasi pengarang kita dalam berkarya, termasuk menulis puisi, cerpen, dan novel, pada awalnya memperlihatkan kecendrungan utama untuk memadukan antara “mendaerah” dengan “mem-Barat”. Bahan yang ada, objek dan substansi puitik serta tradisi, memang berasal dari daerah atau etnik, tetapi cara pandang dan pendidikan mereka berasal dari dunia Barat. Dengan cara pandang mem-Barat dimaksudkan adanya semangat di kalangan pengarang untuk mengungkapkan nilai yang berakar pada dunia kedaerahan yang dipadukan dengan pemikiran Barat, terutama dunia perkotaan dan modernisasi sebagai dasar berpijak mereka. Perpaduan itu terwujud dalam bentuk puisi berjenis soneta atau balada, yang mencoba memadukan antara pantun atau syair dan tradisi puisi Barat. Tentu dapat dimaklumi bahwa kondisi dan situasi saat itu Indonesia berada di bawah kekuasaan kolonial Barat sehingga jalan masuk ke dunia internasional atau arus global harus melalui Barat. Goenawan Mohamad (1980) menyebut ihwal seperti itu sebagai pendurhakaan terhadap nenek moyang yang dicitrakan sebagai kampung halaman dengan merujuk legenda “Malin Kundang” sebagai sangkutan pikiran untuk gejala tersebut. Disebutkan pula oleh Goenawan bahwa Sitor Situmorang yang menulis sajak “Si Anak Hilang” merupakan Malin Kundang yang setelah mengembara jauh dari kampung halamannya, ia tidak mau kembali. Apa yang dinyatakan oleh Goenawan itu mengangkat permasalahan keterpencilan sastra Indonesia dari khalayak pembacanya yang disebabkan oleh ketercerabutan pengarang Indonesia dari akar budaya etnik asalnya sehingga pembaca sastra Indonesia kehilangan sangkutan pikirannya ke bumi Nusantara (Indonesia yang terwujud dalam budaya etnik). Tampaknya hal itu merupakan hasil kajian yang pumpunannya sastra dasawarsa 1950-an yang terbatas pada bacaan Goenawan sendiri. Tentu sekarang hal itu telah berubah, bahkan warna setempat atau warna lokal karya sastra Indonesia modern kini menjadi suatu kecenderungan umum meskipun sikap, pandangan, dan perhatian dunia Barat tetap memengaruhi ekspresi estetis penyair Indonesia. Perkembangan sastra Indonesia modern dengan “dipelopori” Amir Hamzah, penyair zaman Pujangga Baru, memulai kecenderungan baru dengan menulis di atas pijakan semangat budaya setempat atau lokal, yakni semangat kembali ke kampung halaman, yang disebut dengan nama Melayu. Sajak baladanya yang berjudul “Hang Tuah”, “Batu Belah”, “Bonda I”, dan “Kamadewi” yang ditulis pada tahun 1930-an menunjukkan akar yang kuat pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu. Amir Hamzah memang sosok Melayu yang kuat. Hal itu berarti ada kecenderungan baru dalam perkembangan dunia pemikiran di lingkungan para pengarang sastra Indonesia modern meskipun tetap juga ada yang berpijak ke Barat, seperti Sutan Takdir Alisyahbana dengan Layar Terkembang atau sonetanya dan Chairil Anwar dengan Ahasveros dan Eros dalam sajak kreatif inovatifnya. Langkah Amir Hamzah itu diikuti oleh Mansur Samin dalam beberapa sajaknya, antara lain “Jelmaan”, “Raja Singamangaraja XII”, “Harimau Pandan”, “Delitua”, “Sukadana”, “Buradaya”, dan “Sibaganding Sirajogoda”. Juga tidak ketinggalan penyair Sitor Situmorang dengan sajaknya “Kisah Harimau Sumatera”, dan Iwan Simatupang dengan sajaknya “Apa Kata Bintang di Laut”, ”Ada Tengkorak Terdampar ke Pulau Karang”, “Si Nanggar Tullo”, dan Inang Sarge”. Para penyair Melayu lainnya untuk tetap dapat berpijak pada bumi sendiri, bumi Nusantara, mengangkat sastra lisan atau sastra rakyat untuk diaktualisasikan dalam karya sastra Indonesia modern cukup banyak jumlahnya. Ada perbedaan dan juga ada kemajemukan dalam sastra Indonesia sebagai wujud multikulturalisme. Mitologi Nusantara pada hakikatnya merupakan salah satu akar budaya Nusantara. Di dalam mitologi Nusantara itu terkandung muatan lokal genius atau kearifan lokal setempat yang sering kali melandasi sikap dan perilaku hidup sehari-hari orang di Nusantara. Dengan kata lain, mitologi telah menjadi ideologi bagi orang yang hidup di wilayah Kepulauan Indonesia. Sebagai hasil penggalian budaya, mitologi Nusantara dalam puisi Indonesia modern menunjukkan sikap dan pandangan hidup orang di Nusantara dalam menghadapi problem dasar kehidupan, seperti maut, cinta, tragedi, loyalitas, kekuasaan, makna dan tujuan hidup, serta hal yang transendental dalam kehidupan manusia. Dunia batin orang di Nusantara yang dipenuhi dengan berbagai mitologi merupakan hasil kontak budaya dengan lingkungan alam dan dengan budaya yang lebih besar. Ketika orang di Nusantara berhadapan dengan kebudayaan yang terkait dengan agama Hindu dan Budha, mulai terjadi pemasukan nilai budaya kedua agama itu dalam tradisi berpikir, bersikap, dan bertingkah laku. Kreativitas manusia di Nusantara telah berhasil ”memelayukan” mite yang berakar pada ajaran kedua agama itu dalam tradisi sastra yang dihasilkannya. Berbagai bentuk sastra telah berhasil ditulis, misalnya hikayat, cerita yang mengandung kepercayaan (legenda, dongeng, dan febel), bahkan dalam bentuk pantun berkait atau syair keagamaan dalam bahasa Melayu. Ketika agama Islam datang dengan membawa mitologi yang berakar pada khazanah pemikiran agama tersebut, hikayat dan syair tasawuf (sastra kitab, sufi, dan mistik) menjadi wahana yang canggih untuk memaparkan budaya mereka. Dalam konteks tersebut para sufi dan ustad atau guru agama menyebarluaskan agama Islam di kalangan orang Melayu di Nusantara dengan memanfaatkan hikayat, dongeng, legenda, dan syair sufistik atau sastra keagamaan. Mereka memberinya ruh napas Islam ke dalam berbagai media itu sehingga dikenal hikayat nabi atau Kisasu L Anbiya atau Surat Al- Anbiya, cerita eskatologi dari Nurruddin Ar-Raniri, serta sastra keagamaan, dan kitab dengan tokohnya Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan Abdul Rauf Singkel. Mereka menokohkan para pahlawan besar Islam, seperti Amir Hamzah dan Iskandar Zulkarnain, sebagai teladan utama dalam berjihad. Bermula dari keyakinan, akhirnya terjadilah sebuah “dialog” dua dunia, yaitu antara dunia Islam dan dunia Melayu, yang memadu dalam mitologi. Dialog Islam dan Melayu itu, antara lain, terwujud dalam bentuk “pengislaman” hikayat dan syair sufistik dan tasawuf. Tokoh sahibul hikayat yang mengandung unsur Hindu, seperti cerita Bayan Budiman, Merong Mahawangsa, Malim Demam, Puspa Wiraja, Parang Punting, Langlang Buana, Marakarma, Inderapura, Indera Bangsawan, Jaya Lengkara, dan Hang Tuah sekalipun digantikan dengan tokoh yang diangkat dari dunia pahlawan Islam, seperti Amir Hamzah dan Iskandar Zulkarnain, menurunkan tradisi hikayat zaman Islam, seperti Tajus Salatin, Hikayat, Wasiat Lukman Hakim, dan Sejarah Melayu atau Salahlatus Salatin. Pada saat itu muncul pula syair tasawuf dan puisi pengaruh Arab-Persia, seperti rubai, gazal, nazam, masnawai, dan kithah, sehingga terbentuk puisi yang Islami berbentuk gurindam. Salah satu pelopor jenis sajak gurindam adalah Raja Ali Haji dari daratan Melayu Riau dengan karyanya “Gurindam 12”. Atas dasar pemahaman di atas, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa mitologi Melayu Nusantara pada hakikatnya adalah mitologi dunia hikayat dan syair tasawuf yang terukir kuat dalam dunia batin orang Melayu di Nusantara. Hikayat nabi atau Surat Al-Anbiya menjadi pegangan dan teladan hidup orang Melayu di Nusantara. Demikian pula syair tasawuf atau sufi yang merupakan pengaruh Arab-Persia menjadi pedoman hidup sehari-hari mereka. Kini mereka, orang Melayu di Nusantara, mengidentikkan dirinya dengan dunia muslimin, pemeluk agama Islam yang teguh, dan religius atau mistis Islam, biasa disebut dengan istilah sufistik. Sehubungan daerah Melayu Nusantara itu dikelilingi oleh dunia kelautan, seperti laut, selat, dan kuala, register yang tampak mencolok adalah tentang ombak, topan, nakhoda, kuala, lautan mahatinggi, perompak atau lanun, bajak laut, berlayar, sauh, dan bertata niaga maritim. Iskandar Zulkarnain adalah mitos raja dan pahlawan di lautan. Situasi dan kondisi yang demikian menyebabkan mitologi orang Melayu Nusantara pun berkisar tentang dunia kelautan, seperti tokoh Hang Tuah, Nakhoda Ragam, dan Malin Kundang. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan pengaruh Hindu dan daratan ikut memengaruhi pula mitologi mereka, seperti, kisah “Batu Belah” atau “Batu Bertangkup” yang ditulis oleh Amir Hamzah atau “Kisah Harimau Sumatera” yang ditulis Iwan Simatupang, atau “Harimau Pandan” yang ditulis Mansur Samin yang penuh gejolak dan heroik di daratan. Sebagai hasil penghayatan atas realitas kehidupan, sastra menampilkan diri dalam dan dengan beban pemikiran berupa aktualisasi, antara lain aktualisasi dan reinterpretasi terhadap mitologi. Dengan aktualisasi terhadap mitologi akan terungkap nilai mitologi dalam konteks zaman, pengukuhan nilai mitos, dan sebagai sarana jembatan penghubung antara dunia tradisi dan dunia modernitas. Dengan adanya reinterprestasi terhadap mitologi, akan terungkap penafsiran kembali yang berupa pengingkaran atau pembalikan atas nilai yang terungkap dalam mitologi itu diperhadapkan dengan persoalan zaman dan realitas. Salah satu contohnya drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer. Reinterpretasi dalam hal itu dapat menghasilkan efek alienasi karena ada pengasingan dan penyimpangan nilai dinamisnya untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sastra dan jati diri bangsa menunjukkan adanya pluralisme budaya atau multikulturalisme yang tumbuh dan berkembang dalam dunia sastra Indonesia modern. Hal itu juga dapat dicirikan oleh pluralisme mitologi di dalam sastra Indonesia modern, termasuk di dalamnya pluralisme penafsiran terhadap mitologi Melayu Nusantara. Hal itu berarti bahwa dalam sastra Indonesia modern akan dijumpai mitologi Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Banjar, Bugis, Mandar, Toraja, Sasak, dan Papua sebagai kekayaan budaya dalam sastra Indonesia modern. Namun, dari sekian banyak mitologi etnik atau setempat yang disebut Melayu Nusantara itu merupakan unsur mitologi yang menjadi akar dan pilar budaya dalam sastra Indonesia modern sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun 1920-an hingga kini abad XXI. Pendek kata, mitologi Melayu Nusantara dalam sastra Indonesia muktahir menjadi sesuatu yang niscaya, tidak hanya dalam sastra yang ditulis oleh penyair yang berasal dari etnis Melayu di seputar tanah Melaka, tetapi juga ditulis oleh orang Jawa, Sunda, Bali, Madura, Dayak, Bugis, Maluku, Sasak, Papua, dan lain sebagainya yang tersebar luas di seluruh Kepulauan Nusantara. Sastra Melayu Nusantara dan multikulturalisme menunjukkan jati diri bangsa yang berakar pada tradisi sosial budaya masyarakat Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Barthes, Roland. 1981. Mithologies. New York: Granada Publishing. Budiman, Kris. 1999. Semiotika. Yogyakarta: LKIS. Darmono, Sapardi Djoko. 1993. Pengembangan Sastra Melalui Penerjemahan. Makalah Kongres Bahasa Indonesia VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ----------- 1998. “Pengaruh Asing Dalam Sastra Indonesia”. Makalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan. ----------- 1999a. Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus. ----------- 1999b. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus. Dananjaya, James. 1984. Folklore Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-Lain. Jakarta: Grafiti Press Day, Martin S. 1984. The Many Meanings of Myth. Lanham, New York: University Press of America. Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga. Hasanuddin W.S. 2000. “Mitos Legitimasi Kekuasaan dalam Kesusastraan Klasik Minangkabau Kaba Cindua Mato: Tinjauan Semiotika Budaya dan ideologi” dalam Sudiro Satoto dan Zainiddin Fanani. Sastra: Ideologi, Politik dan Kekuasaan. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Junus, Umar. 1970. Perkembangan Puisi Melayu Modern. Kuala Lumpur, Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka. ----------- 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan. Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Levi-Strauss, Claude. 1967. Structural Antropology. New York: Anchor Books, Doubleday & Company, Inc. Mahayana, Maman S. 199. Kesusastraan Malaysia Modern. Jakarta: Pustaka Jaya. ----------- 2001. Akar Melayu. Magelang: Indonesia Tera. Mangunwijaya, Y.B. 1982. “Mitologi sebagai Legitimasi Para Dewa” dan “Mitologi, Epos, dan Roman” dalam Sastra dan Religiositas. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Muhamad, Gunawan. 1980. Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Peursen, C.A. Van. 1976. “Bab II Alam Pikiran Mistis” dalam Strategi Kebudayaan. Terjemahan Dick Hartoko. Yogyakarta: Kanisius. Rosidi, Ajip. 1985. Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Jakarta: Gunung Agung. Santosa, Puji. 1993. “Mitos Nabi Nuh di Mata Tiga Penyair Indonesia” dalam Bahasa dan Sastra Tahun X Nomor 1 1993. ----------- 1996. “Iptek Itu Bermula dari Mitos: Mengenal Sajak-Sajak Sapardi Djoko Damono”, Makalah Seminar HPBI, Bandung, 10-12 Desember 1996. Silitonga, Ny. Sukartini. 1977. Mitologi Yunani. Jakarta: Jambatan. Sudjiman, Panuti. 1995. Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya. Suwondo, Tirto. 2003. “Pemahaman Pola Berpikir Jawa Melalui Mitos Dewi Sri: Studi Struktural-Antropologis Menurut Levi-Strauss” dalam Studi Sastra Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita. Teeuw, A. 1980a. Sastra Baru Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah. ----------- 1980b. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya. ----------- 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. ----------- 1985. Sastra Modern Indonesia II. Jakarta: Pustaka Jaya. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Wellek Rene dan Austin Warren. 1989. “Citra, Metafora, Simbol dan Mitos” dalam Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta: Jakarta: Gramedia. Wibowo, Wahyu. 1995. “Warna Daerah atau Warna Setempat” dalam Konglomerasi Sastra. Jakarta: Paron Press. ----------- 1995. “Sapardi, Adam, dan Mitepoik” dalam Konglomerasi Sastra. Jakarta: Paron Press. Zaidan, Abdul Rozak, et al. 1997. Mitologi Jawa dalam Puisi Indonesia Modern: 1950-1970. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ----------- 2002. Mitologi Jawa dalam Puisi Indonesia Modern: 1970-1990. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Puji Santosa
...