Sastra Sufistik: Sarana Ekspresi Asmara Sufi Sastrawan

Sastra sufistik adalah ragam karya sastra yang mendapat pengaruh kuat dari sastra sufi atau sastra tasawuf, termasuk sistem pencitraan, penggunaan lambang, dan metafora (Hadi W.M., 1999). Sastra sufistik biasanya mengandung nilai-nilai tasawuf dan pengalaman tasawuf serta mengungkapkan kerinduan sastrawan terhadap Tuhan, hakikat hubungan makhluk dengan khalik, dan perilaku yang tergolong dalam pengalaman religius. Jadi, sastra sufistik mempunyai pertalian yang kuat dengan tasawuf dan sastra sufi. Keduanya itu merupakan sumber ilham sastrawan dalam menciptakan  karyanya.

            Hadi W.M. dalam bukunya, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik (1999), menyatakan bahwa sastra sufistik dapat juga disebut sastra transendental karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transendental, seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan yang transenden. Pengalaman itu berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis (transenden, sekaligus imanen). Sementara itu, Bani Sudardi dalam bukunya, Sastra Sufistik: Internalisasi Ajaran-Ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia (2003), menyatakan bahwa sastra sufistik adalah karya sastra yang mengandung ajaran sufi. Sudardi mencontohkan bahwa sastra sufistik dalam sastra Indonesia sudah ada sejak kepenyairan Amir Hamzah, Chairil Anwar, hingga ke Danarto pada 1970-an.

Hadi W.M. lebih lanjut menyatakan bahwa kecenderungan sastra sufistik di Indonesia mulai semarak pada dasawarsa 1970 hingga tahun 1980-an. Kecenderungan sastra sufistik itu mula-mula dipelopori oleh Danarto dengan gerakan “kembali ke akar, kembali ke sumber”. Kembali ke akar dan kembali ke sumber maksudnya adalah kembali ke hal yang bersifat azali, tiada lain hanya Tuhan sebagai kausa prima. Pengikut gerakan itu menjadikan para sufi, seperti Al Hallaj, Fariduddin Attar, Ibn Arabi, Jalaludin Rumi. Hafiz, Sa’di, Hamzah Fansuri, dan Muhammad Iqbal, bahkan Sunan Bonang dan Syeh Siti Jenar, sebagai sumber penulisan karya sastra di Indonesia. Selain itu, mereka juga menghubungkan diri dengan sumber agama beserta sistem kepercayaan, peribadatan, dan bentuk spiritualitasnya. Agama tidak mesti dipahami sebagai doktrin ketuhanan dan teologi, tetapi juga sebagai sistem yang mencakupi keseluruhan aspek kehidupan.

            Beberapa sastrawan Indonesia modern yang menulis sastra sufistik, antara lain, Danarto dengan kumpulan cerpennya, Godlob, Adam Makrifat, dan Berhala; Kuntowijoyo dengan novelnya, Khotbah di Atas Bukit, dan kumpulan sajaknya, Isyarat, dan Suluk Awang Uwung; M. Fudoli Zaini dengan novelnya, Arafah; Sutardji Calzoum Bachri dengan kumpulan puisinya, O Amuk Kapak; Motinggo Busye dengan novelnya, Sanu Infinita Kembar; serta Abdul Hadi W.M. dalam kumpulan sajaknya, Tergantung pada Angin dan Anak Laut Anak Angin, terutama sajaknya, “Tuhan, Kita Begitu Dekat”, memperlihatkan kecenderungan sufistik yang bersifat mistikal dan supralogis, sekaligus sebagai sarana ekspresi asmara sufi penyair atau sastrawannya. Berikut ini sajak “Tuhan, Kita Begitu Dekat” karya Abdul Hadi W.M.).

            Tuhan, Kita Begitu Dekat

            Tuhan

            Kita begitu dekat

            Sebagai api dengan panas

            Aku panas dalam apimu

            Tuhan

            Kita begitu dekat

            Seperti kain dengan kapas

            Aku kapas dalam kainmu

            Tuhan

            Kita begitu dekat

            Seperti angin dan arahnya

            Kita begitu dekat

            Dalam gelap

            Kini aku nyala

            Pada lampu padammu

 

            Judul “Tuhan, Kita Begitu Dekat”  sudah mengimplikasikan adanya hubungan kedekatan antara Tuhan dan manusia. Tuhan yang disapa oleh manusia dengan rasa kebersatuannya ditunjukkan dengan kata kita yang berarti aku dengan Engkau. Akunya adalah manusia, sedangkan Engkau adalah Tuhan. Selain menunjukkan adanya hubungan antara aku dan Engkau, kata Kita juga menunjukkan adanya persamaan atau kebersatuan antara aku dan Engkau. Dalam dunia kebatinan Jawa, hubungan, persamaan dan kebersatuan antara aku dan Engkau, ditunjukkan dengan pandangan filsafat manunggaling kawula lan Gusti (menyatunya hamba dengan Tuhan). Kesatuan itu harus dipandang sebagai wujud kesatuan spritual, bukan kesatuan harfiah antarunsur. Oleh karena itu, dalam dunia sufi atau kebatinan, hubungan kedekatan antara aku dan Engkau ditunjukkan dengan adanya paham wujudiyah, peleburan dua (atau lebih) bentuk atau sifat ke dalam satu kesatuan yang utuh (Hamzah Fansuri, Rumi, dan Syamsuddin Al-Sumatrani) atau disebut pula anna alhak (alhalaj).

            Kalimat yang menjadi judul sajak itu juga menunjukkan adanya pernyataan atau kesaksiaan manusia atas keberadaannya dengan Tuhan. Sebagai manusia yang sudah memiliki derajat insan kamil, sudah sampai pada tahap makrifat, aku dapat menyaksikan kehadiran Tuhan yang berada di dekatnya. Kesaksian atas kedekatan hubungan manusia dengan Tuhan merupakan pengalaman spritual seseorang dalam menghayati agamanya secara religius dan imanen, seperti ungkapan yang sering kita jumpai sehari-hari: "Tuhan beserta kita". Pernyataan kalimat bijak itu berarti ‘di mana dan kapan pun kita berada, di situ juga ada Tuhan’. Jadi, kalimat bijak itu secara jelas menyadarkan kita bahwa Tuhan selalu menyertai kita di mana dan kapan pun kita berada.

            Secara spritual, Tuhan dipahami oleh manusia sebagai Alif Lamm Miim (Hanya Tuhan yang mengetahui maksudnya, Surat Al Baqarah ayat 1). Namun, para sufi memahaminya dalam empat hal sebagai berikut:

  1. zat, yang bukan berawal dan berakhir, bukan rupa, bukan warna, bukan wujud, bukan materi, keadaan yang tenang, tenteram, kasih, damai, dan bahagia;
  2. sifat, sifat dinamis dari Tuhan yang mahabijakasana, maha berkehendak, maha berkuasa, mahaadil, maha pengasih, dan maha penyayang;
  3. asma, nama Tuhan yang baik, seperti Allah Taala, Yehuah, Deo, dan God;
  4. afngal, pakartining karsa, hadirnya nasib dan takdir baik dan buruk.

            Walaupun zat, sifat, asma, dan afngal dapat dibedakan menurut pengertiannya,  keempatnya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Utomo, 1997:39). Zat meliputi sifat, sifat menyertai asma, dan asma menandai afngal. Pemahaman tentang Tuhan yang demikian itu oleh oleh para sastrawan menjadi hidup yang dinamis sebagai sarana ekspresi asmara sufi.

            Pernyataan Tuhan, Kita Begitu Dekat pada sajak Abdul Hadi tersebut diulang kembali pada bait pertama, kedua, dan ketiga yang mengimplikasikan betapa pentingnya pewartaan. Ada hubungan kedekatan antara aku dan Engkau itu. Selain untuk menjelaskan betapa penting hubungan antara aku dan Engkau tersebut, juga dilanggengkan (diabadikan)  adanya  penegasan kembali bahwa kedekatan hubungan antara aku dan Engkau merupakan paham menyatunya kehidupan manusia dengan Tuhan. Dalam filsafat Jawa, hal itu diungkapkan: dengan Urip iku siji, asale saka Gusti Allah, baline marang Allah. Asale saka urip, baline marang urip (Hidup itu satu, asalnya dari Tuhan dan kembalinya kepada Tuhan. Asalnya dari hidup dan kembalinya kepada hidup). Tuhan dalam filsafat Jawa itu diartikan sebagai ‘hidup abadi’ (urip langgeng), tempat asal dan kembalinya hidup (sangkan paraning dumadi).

            Berdasarkan uraian tersebut, dapat kita pahami bahwa ciri yang melekat pada karya sastra sufistik, menurut Abdul Hadi W.M., antara lain,

(1)  memberikan suatu gambaran upaya manusia untuk dapat menyatu dengan Tuhan, yakni suatu jalan kerohanian menuju Tuhan yang berangkat dari ajaran tauhid Islam;

(2)  mencerminkan perenungan yang dalam dan keleluasan berpikir serta wawasan yang jauh tentang semesta raya seisinya;

          (3)  memadukan antara zikir dan pikir secara sungguh-sungguh dan maksimal;

(4) mempunyai pesan pembebasan dan pencerahan jiwa yang terbelenggu dalam kegelapan dunia yang membuat sastra sufistik semacam profektik (kenabian) dan apokaliptik (kewahyuan);

(5) memberi gambaran optimisme, jarang yang menunjukkan pesimisme atau rasa putus asa, dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan, bahkan sering menyuarakan kegembiraan spiritual dan kearifan dalam menghadapi pesona dunia;

(6) mencari hakikat yang tersembunyi dalam rahasia alam dan kehidupan karena sastra sufistik  tidak pernah puas dengan aspek lahiriah dan apa yang telah dicapai oleh akal pikiran manusia;

          (7)  memancarkan keindahan-dalam yang transendental dan sekaligus imanen.

Puncak pengalaman mistik selalu bersinggungan dengan pengalaman estetis asmara sufi sebagai seorang insan yang beriman

 

Daftar Pustaka

Hadi W.M., Abdul. 1977. "Tuhan, Kita Begitu Dekat". Dalam Tergantung Pada Angin. Jakarta: Budaya Jaya.

------- 1984. "Tuhan, Kita Begitu Dekat". Dalam Anak Laut Anak Angin. Jakarta.

------- 1995. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya. Bandung: Mizan.

------- 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Harun, Ramli et al. 1985. Kamus Istilah Tasawuf. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Kartanegara, Mulyadhi. 1986. Renungan Mistik Jalal Ad-din Rumi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Radhakrishnan, S. 1988. "Seni Para Nabi" .Terjemahan Iwan Nurdaya Djafar. Dalam  Berita Buana, Selasa, 24 Mei.
 
Santosa, Puji. 1993. "Nuansa Illahiah dalam Nukilan dari Lagu Syeh Siti Jenar Karya  Abdul Hadi W.M." Dalam Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastera. Bandung: Angkasa.
--------- 2009. “Estetika Kesufian ‘Tuhan, Kita Begitu Dekat’ Abdul Hadi W.M. Dalam Estetika: Sastra, Sastrawan, dan Negara. Yogyakarta: Pararaton.

Sudadi, Bani. 2003. Sastra Sufistik: Internalisasi Ajaran-Ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Surin, Bachtiar. 1991. Adz Dzikra. Terjemahan dan Tafsir Al Quran. Bandung: Angkasa.
 
Utomo, Imam Budi. 1997. "Penafsiran Simbol Konsepsi Mistik Serat Centini". Dalam Pangsura. Bilangan 4 Jilid 3, Januari--Juni 1997.

Puji Santosa

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa