Pilihan Bahasa Remaja dalam Perspektif Umur dan Lintas Generasi

Kelompok Umur dan Pilihan Bahasa Remaja

Umur adalah suatu fakta biologis yang karakteristiknya berimplikasi pada berbagai organisasi sosial dan beragam peraturan, seperti aturan umur sekolah, izin mengemudi, hak suara dalam pemilihan umum, wajib militer, pengadilan anak, atau perlakuan khusus pada manula. Tuturan juga merupakan salah satu dari karakteristik yang dapat mengungkapkan penilaian umur dan membedakan satu kelompok umur dengan kelompok umur lain.

Bahasa generasi muda (remaja) barangkali yang paling banyak diteliti dari semua variasi umur. Inti dari penelitian bahasa remaja itu adalah bagaimana fitur istimewa dari ujaran remaja itu dapat dideskripsikan. Beberapa peneliti mengatakan bahwa yang paling penting dalam penelitian semacam itu adalah sebuah register remaja dapat membedakan bahasa remaja dari bahasa anak-anak di satu sisi dan bahasa orang dewasa di sisi lain (Widdicombe dan Wooffitt, 1995).

Peneliti lain mengatakan bahwa remaja merupakan penutur yang kompeten dalam bahasanya dan tidak tertutup dalam pilihan bahasanya. Ketika menyerap bahasa dengan mengembangkan kosakata dan jarak stilistiknya, mereka mengontrolnya secara penuh. Mereka sering memilih kata yang berbeda dari orang dewasa. Misalnya, dalam berbicara bahasa Inggris, remaja menggunakan lebih banyak negatif ganda, seperti I don’t know nothing about computers, daripada pembicara dewasa dalam kelas sosial yang sama (Holmes, 1992:184; Coulmas, 2005:58).

Di dalam penelitian di sekolah anak-anak di Edinburg, Romaine (1984) menemukan bahwa penggunaan bentuk substandar selama umur remaja berada dalam tataran yang maksimum. Rampton (1995) menyelidiki bahwa dalam latar multikultural di Inggris terdapat fenomena yang disebut penyeberangan leksikal.  Rampton menemukan kalangan remaja  menggunakan kata berbeda dengan yang lebih tua, tetapi tidak selalu dihubungkan dengan kelompok etniknya.

Coulmas (2005) juga melihat bahwa, berdasarkan hasil penelitiannya, belakangan ini bahasa remaja Jepang mengacu pada kogyaru kotoba “high school girl linguage”. Dalam hal itu, remaja putri lebih baik daripada remaja putra dalam menciptakan dan menggunakan bahasa dengan fitur nonlinguistik, khususnya untuk pakaian, model rambut, make-up. Banyak ungkapan kogyaru kotaba yang tidak dikenal anggota remaja dan ketika mereka mendengarnya mereka tidak paham, seperti akronim dan singkatan. Ungkapan slang juga berkembang dengan cepat. Istilah kogyaru itu tersusun dari kodan gyaru ‘girls’. Fitur ujaran kogyaru yang mencolok adalah lafal yang membosankan tanpa tekanan, penggalan kata (kimoi < kimochi warudisgusting’), gabungan bahasa Inggris-Jepang (cho SBS < cho>‘ultra’ + super beatiful sexy), dan penolakan sebutan kehormatan, khususnya penggunaan nama terakhir, tanpa wajib menggunakan sufiks –san untuk netral, -kun untuk anak laki-laki, -chan untuk anak perempuan, dan –sencai untuk guru.

Sehubungan dengan hasil penelitiannya itu, tidak salah jika Coulmas (2005:58) berkesimpulan bahwa fungsi dan fitur yang menandai bahasa remaja adalah penggunaan bentuk substandar, dialek dan logat (vernacular), bahasa slang, serta inovatif.  Penggunaan bahasa remaja itu memiliki tiga fungsi utama, yaitu untuk (1) menyediakan bahasa untuk tujuan penutur, (2) memanifestasikan anggota kelompok dan membangun satu identitas yang berbeda, dan (3) menunjukkan keinginan untuk menolak tekanan norma sosial.

Pilihan Bahasa sebagai Cermin Sebuah Generasi

Bahasa dalam perspektif lintas generasi memperlihatkan bahwa setiap generasi memiliki “kreasi” bahasa yang berbeda dengan bahasa yang digunakan pendahulunya. Perbedaan linguistik antargenerasi itu bertalian erat dengan perbedaan pilihan bahasanya. Hal itu menyebabkan generasi muda “seolah-olah” berbeda “bahasa”-nya dengan generasi pendahulunya. Semua itu terjadi karena (1) kebutuhan komunikasi lambat laun berubah dan memaksa setiap generasi baru melakukan penyesuaian bahasa untuk disesuaikan dengan pengalaman mere­ka serta (2) pada waktu tertentu kebutuhan dan kemampuan komunikasi dari generasi terkini berbeda dengan pendahulunya.

Dua fakta itu menjelaskan bahwa umur dan perbedaan generasi merupakan  faktor yang menyebab­kan variasi khusus dalam pilihan bahasa. Sistem linguistik dari tiga generasi yang berurutan (Gn—Gn+2) menunjukkan bahwa ada perbedaan tuturan dari Gn dan Gn+1.

Dalam hal itu, ada perbedaan penggunaan bahasa pada generasi terdahulu (Gn) dengan generasi berikutnya (Gn+1 dan Gn+2). Namun, generasi terkini dapat saja menggunakan pilihan bahasa dari generasi sebelumnya dan dapat juga pilihan itu hanya meliputi generasi tertentu (Coulmas, 2005:52—53). 

Dalam konteks bahasa sebagai sebuah tradisi, bahasa harus diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan cara berkomunikasi. Kasus kematian bahasa dari suatu tradisi adalah bukti  adanya jarak komunikasi yang bersifat antargenerasi. Pada peristiwa itu, para penutur dari generasi Gn+1 gagal menggunakan suatu bahasa dengan cara yang sama seperti generasi Gn. Ketika hal itu terjadi, ada pengurangan keterampilan dan penggunaan bahasa yang berhubungan dengan penggantian generasi dari para penutur bahasa itu. Suatu bahasa akan segera mati sebagai bahasa lisan karena tidak seorang pun memilih dan berbicara dengan bahasa itu. Kasus itu adalah kasus yang ekstrem sebagai akibat jarak komunikasi intergenerasi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa umur membedakan cara berbicara.  Ada perbedaan kata yang digunakan. Seorang remaja tentu tidak akan berbicara seperti seorang yang berusia 80 tahun. Setiap bahasa meliputi ungkapan, pengucapan kata, dan konstruksi yang telah dipakai dalam jangka waktu yang lama. Ungkapan, pilihan kata, dan konstruksi itu dipilih oleh penutur  dari generasi yang berbeda dengan frekuensi yang berbeda pula. Lebih dari itu, ada bagian bahasa, lebih-lebih pada tataran leksikal dan sintaksis, yang dirasakan berbeda oleh para penutur yang “modern” dengan yang “kuno”. 

Apa pun alasannya, dikotomi “modern dan kuno” mengingatkan kita pada fakta bahasa sebagai suatu formasi yang tidak monolitis yang dengan jelas dapat dibedakan  begitu saja dari  yang sekarang dan yang akan datang. Namun, suatu sistem yang berubah terus-menerus atau yang permanen meliputi unsur-unsur dari ketahanan variabel bahasa. Ungkapan kuno tidaklah disediakan untuk penutur yang “berpandangan modern” atau “bahasa generasi tua” disediakan untuk penutur muda. Memang, akan ada kecen­derungan ke arah itu seandainya para penutur yang lebih tua hanya mengetahui ungkapan yang kuno dan ungkapan yang modern hanya identik dengan orang muda.

Dalam tataran ekspresi linguistik, kata dan ungkapan yang digunakan dalam rentang waktu merujuk pada variabel waktu. Dalam tataran itu perlu dipahami bahwa suatu generasi yang berbeda yang hidup pada masa yang sama dan menggunakan suatu bahasa yang umum dimungkinkan akan mengunakan bahasa dengan cara yang tidak sama.

Hubungan Pilihan Bahasa dengan Faktor Umur

Perbedaan kosakata antarkelompok umur adalah faktor yang paling mudah teramati dari hubungan pilihan bahasa dengan umur.  Dalam tataran bunyi bahasa, misalnya, sosiolinguis William Labov (1972) mendapati bahwa orang dewasa di New York lebih kecil kemungkinannya untuk mengucapkan bunyi /r/ dalam kata-kata seperti fourth dan floor daripada orang yang lebih muda umurnya.  Sementara itu, Chambers dan Trudgill (1980) menemukan bahwa di daerah Norwich, Inggris, pengucapan /e/ dalam kata seperti bell dan tell berbeda bergantung pada umur penuturnya.

Contoh lain, misalnya bahasa Comanche, salah satu bahasa Indian yang digunakan di kawasan selatan Amerika Serikat, memiliki versi dengan  kosakata khusus (dan pola pengucapan khusus) yang hanya digunakan oleh anak balita. Dalam bahasa Indonesia, dari pengalaman sehari-hari, kita mengetahui bahwa ada banyak kosakata yang digunakan remaja—dengan bahasa gaulnya—kadang-kadang tidak dipahami oleh para orang tuanya.  Kita juga dapat merasakan perbedaan diksi kelompok kanak-kanak dengan diksi remaja ketika mereka berbicara. 

Namun, ada perbedaan linguistis lain antarkelompok umur yang mungkin tidak tampak di permukaan.  Sebagai contoh, kita dapat mengamati penutur bahasa Jawa ketika berbicara dengan yang lebih tua. Mereka akan memilih ngoko-krama-krama madya-krama inggil sesuai dengan undha-usuk atau tingkatan bahasa yang terimplikasi dalam diksinya. Dalam hal menyampaikan kritik atau koreksi, misalnya, mereka yang lebih muda memiliki kecenderungan memilih pernyataan seperti "meniko klentu" (itu keliru) atau "ora ngono" (bukan seperti itu) daripada memilih ungkapan "wah, sajakipun meniko lepat" (wah, tampaknya itu salah) atau "meniko dereng temtu leres" (itu belum tentu betul) ataupun ungkapan taklangsung lain seperti "kula kinten meniko kirang tepat" (saya kira itu kurang tepat). Hal itu mengisyaratkan bahwa ada ragam kesantunan dalam bahasa Jawa antargenerasi dan semua contoh itu menegaskan bahwa struktur bahasa dapat mencerminkan cara sebuah budaya memandang dunia dan hubungan sosial yang dianggap penting oleh budaya itu. (Gunarwan, 2003:217—219).

Simpulan

Umur, sama seperti faktor gender, profesi, kelas sosial, dan asal muasal geografis atau etnis, telah banyak diteliti dan dibahas sebagai faktor yang memengaruhi posisi kita dalam masyarakat. Perbedaan posisi itu akan menimbulkan variasi pilihan bahasa.  Perbedaan umur sering kali menimbulkan perbedaan pilihan bahasa di banyak bahasa yang ada di dunia, bahkan perbedaannya bersifat lintas generasi. 

 

Daftar Pustaka

Chambers, J. dan Trudgill, P. 1980. Modern Dialectology.  Cambridge: Cambridge University Press.

Coulmas, Florian.  2005. Sociolinguistics: The Study of Speaker’s Choices.  Cambridge: Cambridge University Press.

Gunarwan, Asim.  2003.  ”Persepsi Nilai Budaya Jawa di Kalangan Orang Jawa: Implikasinya pada Penggunaan Bahasa” dalam PELBA 16.  Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman.

Labov, William.  1972. Sosilinguistic Patterns. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Rampton, Ben. 1995. Crossing: Language and Ethnicity among Adololescents. London: Longman.

Romaine, Suzanne. 1984. The Language of Children and Adolescents. Oxford: Basil Blackwell.

Widdicombe, Sue dan Robin Wooffitt. 1995. The Language of Youth Subculture.   Brighton: Harvester.

Ganjar Harimansyah

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa