Menatap Masa Depan Bahasa Daerah: Studi Kasus di Aceh
1. Pendahuluan
Bahasa menunjukkan bangsa. Ungkapan itu sarat muatan tentang salah satu parameter terhadap seseorang atau komunitas dilihat dari sisi baik-buruknya, salah satunya melalui bahasa. Bahasa menjadi salah satu penanda bagi sebuah bangsa. Bagaimana bahasa dalam kapasitas sebagai alat komunikasi dan juga medium berekspresi diolah oleh seseorang atau sekelompok orang sehingga muncul sebuah watak atau karakter dari orang atau kelompok yang mengolahnya tersebut. Bahasa seseorang yang tidak berpendidikan berbeda corak, ragam, dan isinya dengan mereka yang notabene memiliki tingkat pendidikan yang relatif bagus. Itulah yang membedakan antara golongan yang melek huruf dan yang tidak. Jargon melek huruf tidak hanya terbatas pada masalah baca, tetapi lebih luas, yakni upaya mengoptimalkan peran dan fungsi bahasa di dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa secara fungsional masih menimbulkan pro dan kontra berdasarkan tingkat kepentingannya. Sebagian orang mengatakan bahwa bahasa merupakan hal yang penting. Artinya, bahasa harus betul-betul diperhatikan dan diurusi. Sebagian pendapat mengatakan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang tidak penting sehingga tidak perlu diberi porsi yang banyak dalam pembinaan ataupun pengembangannya. Ada juga yang mengatakan bahwa bahasa tidak dapat menghasilkan apa-apa atau tidak berkorelasi langsung dengan persoalan materi. Oleh karena itu, bahasa tidaklah terlalu penting untuk diperhatikan. Benarkah demikian? Jawabannya dapat ya, dapat juga tidak, atau kedua-duanya benar. Hal itu sangat bergantung pada cara pandang kita.
Kita cermati salah satu hal yang setiap tahun terjadi, yakni ujian nasional (UN), terutama mata pelajaran Bahasa Indonesia. Apabila melihat realitas pasca-UN, baik tingkat dasar maupun tingkat menengah, rata-rata nilai Bahasa Indonesia tidak memenuhi standar kelulusan yang dipersyaratkan. Dalam konteks itu, ada apa sebenarnya dengan pendidikan bahasa Indonesia di Indonesia? Apakah karena anggapan sepele terhadap bahasa kita sendiri? Apakah tidak ada yang sinkron antara materi pelajaran Bahasa Indonesia di bangku sekolah dan soal UN? Sangat kompleks ketika kita akan mencari tahu jawaban atas semua pertanyaan itu. Tanpa bermaksud mengesampingkan persoalan bahasa Indonesia tersebut, biarlah hal itu menjadi wilayah mereka yang memiliki pemangku kebijakan yang relatif kuat dan menyeluruh sesuai dengan konteks bahasa Indonesia yang berskala nasional.
2. Kondisi Bahasa Daerah Saat Ini
Untuk skala lokal, apakah bahasa daerah telah pula mendapat “tempat” di hati masyarakat penuturnya? Kecenderungan yang terjadi, hampir di setiap daerah, adalah bahwa bahasa daerah semakin terabaikan atau kalau boleh kita katakan semakin terpinggirkan. Ibarat petinju yang dihajar di pojok ring, bahasa daerah “digempur” habis-habisan oleh dominasi bahasa nasional dan bahasa asing. Situasi seperti itu menjadi fenomena yang umum di setiap daerah di Indonesia meskipun beberapa daerah ada yang telah membuat peraturan daerah (perda) tentang bahasa daerahnya. Bahkan, badan dunia PBB UNESCO menyatakan bahwa bahasa yang memiliki jumlah penutur kurang dari seribu orang memiliki potensi kepunahan yang sangat tinggi. Bahasa dengan kondisi penutur seperti itu dikategorikan ke dalam bahasa yang terancam punah. Bagaimana halnya dengan bahasa daerah di Provinsi Aceh?
Sementara ini, hasil pemetaan bahasa di Provinsi Aceh yang dilakukan oleh tim pemetaan bahasa Balai Bahasa Banda Aceh menunjukkan adanya gejala kepunahan bahasa, terutama bahasa daerah yang berada di Kepulauan Banyak, yaitu bahasa Devayan. Secara administratif, wilayah Kepulauan Banyak berada di bawah pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. Hasil kajian yang dilakukan oleh Balai Bahasa Banda Aceh terhadap bahasa Devayan bukan tidak mungkin juga akan menjangkiti bahasa daerah lain yang ada di Provinsi Aceh. Tidak terkecuali bahasa Aceh yang memiliki wilayah pakai di hampir setiap wilayah di Provinsi Aceh. Penutur terbanyak bahasa daerah di Provinsi Aceh adalah bahasa Aceh, lalu disusul bahasa Gayo. Sebuah teori menyebutkan bahwa kelangsungan sebuah bahasa atau hidup matinya sebuah bahasa sangat bergantung pada penutur bahasa yang bersangkutan. Dengan demikian, bahasa daerah harus dikembangkan dan dibina dalam rangka kelangsungan hidupnya kelak apabila tidak menginginkan bahasa daerah tertentu hanya tinggal nama.
Fenomena yang menarik berkaitan dengan keberadaan bahasa daerah di Provinsi Aceh dapat dicermati dari sikap berbahasa para penuturnya. Sikap itu merupakan sesuatu yang tidak dapat diempiriskan, tetapi dapat diketahui melalui perilaku yang ditunjukkan oleh orang atau individu yang bersangkutan. Manakala seseorang menyatakan keloyalan kepada atasan, misalnya, hal itu akan terwujud di dalam perilakunya, bukan hanya manis di mulut, melainkan benar-benar antara sikap yang dia pilih berbanding lurus dengan perilaku atau perbuatannya. Dalam hal berbahasa kita juga harus demikian. Namun, sering kali seseorang berteriak-teriak akan pentingnya bahasa daerah, tetapi di sisi lain tidak berusaha melestarikan bahasa tersebut. Justru terkadang ia lebih sering menggunakan bahasa dan istilah asing. Padahal, kata atau istilah asing yang digunakan itu ada padanannya dalam bahasa Indonesia
Kondisi bahasa daerah yang semakin terpinggirkan biasanya menjangkiti mereka yang dikategorikan sebagai golongan remaja atau kaum muda. Masa krusial pada aspek daur hidup manusia adalah masa remaja. Usia remaja sangat rentan oleh pengaruh dari dunia luar karena pada usia itu terjadi proses pencarian jati diri. Pada sisi bahasa, remaja menjadi komunitas yang memiliki kecenderungan untuk berubah. Perubahan tersebut seperti tercerabut dari akar bahasanya sendiri. Tidak jarang di perkotaan terjadi fenomena bahwa kaum remaja tidak menguasai lagi bahasa daerahnya, apalagi dengan maraknya apa yang kita kenal dengan bahasa gaul. Kita tidak fobia atau takut atas setiap fenomena kebahasaan seperti itu. Akan tetapi, alangkah bijaknya apabila dasar fondasi bahasa daerah atau bahasa pertama diperkuat terlebih dahulu. Hal itu sangat berkaitan dengan domain bahasa.
Domain bahasa secara garis besar terbagi atas tiga, yakni bahasa daerah atau bahasa ibu, bahasa nasional (baca: bahasa Indonesia), dan bahasa asing. Bahasa asing yang dimaksudkan, yaitu bahasa yang secara geografis berasal dari luar wilayah Indonesia, dapat berupa bahasa Inggris, Arab, Jepang, dan lain-lain. Domain bahasa itu memiliki peran dan fungsi yang sama pentingnya apabila dikaitkan dengan persoalan jati diri. Sayangnya, apa yang terjadi saat ini seperti ada perlakuan diskriminatif atas domain bahasa tertentu. Perlakuan tersebut terutama terjadi pada domain bahasa daerah. Perlakuan itu tidak hanya yang bersifat kebijakan, tetapi lebih banyak disebabkan oleh sikap bahasa penuturnya. Sikap berbahasa yang diharapkan atas bahasa daerah sebaiknya atau idealnya adalah sikap positif.
Apabila kita berkaca pada kasus di Provinsi Aceh, di sisi kebijakan terasa ada perlakuan yang berbeda. Perlakuan itu salah satunya mengakibatkan tertundanya kegiatan Kongres Bahasa Aceh yang sebelumnya (akan) rutin diagendakan. Ketiadaan kemauan politik para pemegang kebijakan di daerah disebabkan oleh kurang sensitifnya para pemegang kebijakan atas persoalan bahasa daerah. Rumor yang selama ini penulis peroleh tentang tertundanya kongres adalah karena masalah pengajuan penganggaran yang selalu “mentah”, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Tampaknya ada semacam anggapan bahwa persoalan bahasa dirasakan belum begitu penting sehingga pembangunan di Aceh lebih difokuskan pada pembangunan yang bersifat materi. Sering kali dalam setiap kesempatan penulis menekankan pentingnya bahasa sebagai bagian humanisme dalam mengobati luka Aceh yang telah berlangsung bertahun-tahun akibat konflik. Akan tetapi, hal itu belum cukup untuk memunculkan satu kebijakan dari pemangku kepentingan di daerah akan penanganan bahasa daerah yang komprehensif dan berkelanjutan.
Sikap berbahasa penutur bahasa daerah sendiri pun terkadang cenderung negatif. Hal itu dapat diketahui dari keengganan mereka berbahasa daerah. Mereka akan memilih kata asing yang terlihat lebih intelek atau lebih modern yang terkadang secara konseptual tidak dimengerti oleh mereka secara pasti. Itulah kelatahan masyarakat kita yang memunculkan fenomena budaya nginggris, pokoknya asal berbahasa asing (Inggris), termasuk fenomena di Kota Banda Aceh. Penulis pernah mengadakan survei kecil-kecilan dengan mengambil ruas jalan utama di sekitar kawasan perdagangan sebagai objek survei. Hampir 70% penulisan papan nama tempat usaha di sepanjang jalan utama tersebut menggunakan kata asing, seperti fashion dan babyshop. Timbul pertanyaan dalam benak penulis: apakah orang yang berbelanja di toko tersebut orang asing? Jika bukan, apakah semua orang di Aceh akan diinggriskan? Penulis merasa kondisi seperti itu terjadi di setiap kota di Indonesia. Itulah yang menjadi tantangan kita guna memartabatkan bahasa daerah dan juga bahasa nasional.
Pada saat ini telah hadir Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Khusus tentang bahasa, di dalam undang-undang tersebut telah diatur bagaimana kedudukan dan fungsi bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Seiring era otonomi daerah, ada tanggung jawab moral pada pemerintah daerah untuk secara aktif melakukan pembinaan terhadap bahasa daerah di wilayahnya. Bagaimana dengan di Provinsi Aceh? Kita menunggu kiprah para pemegang kebijakan, khususnya soal kebudayaan, terutama soal bahasa, untuk “sekadar” melirik keberadaan bahasa daerah. Jangan sampai kita menyesal tanpa melakukan antisipasi sehingga tidak sampai terjadi ada bahasa daerah di Aceh kelak hanya tinggal nama. Aceh perlu untuk maju dan berkembang seperti halnya daerah lain. Akan tetapi, agar tidak semua telanjur, ada baiknya para pemangku kebijakan di daerah mencermati moto globalisasi, yakni berpikir secara lokal, bertindak secara global (think locally, act globaly), supaya pembinan terhadap bahasa daerah terealisasi. Kita boleh menjadi bagian pemain di dalam modernitas itu, tetapi tetap kukuh dengan nilai-nilai keacehan. Dengan demikian, identitas keacehan kita tetap dapat dipertahankan.
3. Penutup
Bahasa daerah, terlepas dari persoalan pro dan kontra, harus tetap diperhatikan. Dengan revitalisasi bahasa daerah otomatis akan meningkatkan daya hidup dan daya ungkap bahasa daerah dalam memperkaya kebudayaan Indonesia. Sering kali kita terjebak pada hitungan matematis tentang untung rugi melestarikan bahasa daerah. Bahasa daerah adalah aset yang berharga bagi Indonesia. Oleh karena itu, sudah saatnya para pemangku kepentingan di bidang kebahasaan ini secara ikhlas melakukan upaya pelestarian dengan kapasitas dan peran masing-masing.
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan (Ed). 2011. Politik Bahasa. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2011. Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan. Jakarta: Kemdikbud.
Muslich, Masnur dan I Gusti Ngurah Oka. 2010. Perencanaan Bahasa di Era Globalisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Santoso, Teguh. 2011. Dari Persoalan Bahasa hingga Persoalan Politik. Banda Aceh: Pena.
Teguh Santoso
...