Rancu Pikir pada Bahasa Jawa: Kajian Penggunaan Kata Seperti Milai ‘Mulai’

Pendahuluan

Sebagai bagian dari kebinekaan, penutur bahasa Jawa tidak dapat lepas dari peran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Oleh sebab itu, kontak antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia menjadi tidak terhindarkan. Saat ini, kontak itu terjadi secara lebih intens sesuai dengan semakin mudah dan beragamnya cara untuk berkomunikasi secara tidak bersemuka. Diakui atau tidak keadaan itu memengaruhi penggunaan bahasa Jawa.

Kajian terhadap pengaruh kontak bahasa lazimnya berkenaan dengan interferensi dan alih kode. Dalam bahasa Jawa, sekadar contoh dapat disebut Interferensi Gramatikal Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa (Abdulhayi dkk., 1985); “Alih Kode dan Campur Kode dalam Majalah Djaka Lodang: Sebuah Studi Kasus” (Sutana, 2000); “Ketidakcermatan Penggunaan Bahasa Jawa dalam Yogya Warta TVRI Yogyakarta dan Siaran Mbangun Desa RRI Nusantara II Yogyakarta: Sebuah Studi Kasus” (Sukardi, 2006). Selain dua hal tersebut, dalam bahasa Jawa ditemukan satu bentuk penggunaan yang berbeda. Dalam pembahasan ini, gejala dimaksud disebut rancu pikir.

 

Rancu Pikir dalam Bahasa Jawa

   Sebagai sebuah kompetensi (sistem), bahasa selalu bersifat sempurna. Namun, sebagai sebuah performansi (tuturan, fakta penggunaan), bahasa tidak selalu sempurna. Sebagai tuturan bahasa selalu dipengaruhi berbagai variabel, setidaknya penutur (lih- Hymes, 1973). Secara formatif, variabel itu akan memengaruhi salah tidaknya bahasa (struktur), ada tidaknya interferensi, atau ada tidaknya alih atau campur kode. Dalam pembahasan ini, setiap istilah itu diberi pengertian seperti berikut.

   Salah bahasa adalah penggunaan bahasa yang sifatnya kurang cermat karena keterbatasan kompetensi penutur. Interferensi adalah masuknya unsur bahasa asing yang sifatnya tidak disadari. Sebaliknya, alih atau campur kode adalah penggunaan kode atau unsur asing secara sengaja karena tujuan tertentu atau karena kerumpangan sistem pada kode yang sedang digunakan. Dengan kata lain, jika salah bahasa dan interferensi bersifat negatif; alih atau campur kode tidak selalu negatif.

Sebagai sebuah bahasa, bahasa Jawa juga tidak terlepas dari tiga gejala dimaksud. Contoh untuk masing-masing dapat dilihat dalam tuturan berikut ini,

(1) Sing mangkat wong lima likur.

‘Yang berangkat dua puluh lima orang.’           

(2) Ing papan mau ana perangan candhi kang dihiasi patung dewa.

‘Di tempat itu ada bagian candi yang dihiasi patung dewa,’

(3) Pengunjung museum ora dikeparengake motret.

‘Pengunjung museum tidak diperbolehkan memotret.’

    Dalam kalimat (1) kesalahan bahasa terjadi pada penggunaan bentuk lima likur ‘dua puluh lima’. Kesalahan terjadi karena penutur tidak mengetahui bahwa penyebutan bilangan dua puluh lima bersifat idiomatis; tidak sistematis seperti empat angka di bawahnya yang berbentuk selikur ‘dua puluh satu’, rolikur ‘dua puluh dua’, telu likur ‘dua puluh tiga’, patlikur ‘dua puluh empat’. Khusus untuk dua puluh lima, bentuknya menjadi selawe ‘dua puluh lima’.

    Dalam kalimat (2) interferensi terjadi pada penggunaan bentuk dihiasi ‘dihiasi’. Interferensi terjadi karena penutur tidak menggunakan bentuk padanan dalam bahasa Jawa, misalnya rinengga ‘dihiasi’. Besar kemungkinan, penggunaan itu juga dilatari keterbatasan penguasaan penutur terhadap kompetensi (leksikon) bahasa Jawa.

   Dalam kalimat (3) alih kode terjadi pada penggunaan kata pengunjung ‘pengunjung’. Penggunaan itu disebut alih kode karena memperlihatkan peralihan kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Dalam kasus itu, alih kode digunakan untuk menutup ketiadaan padanan kata pengunjung dalam kode bahasa Jawa.

    Berbeda dengan tiga gejala tersebut, yaitu gejala yang disebut rancu pikir, secara mendasar perbedaan gejala itu terjadi pada tahap “praujar” (encoding) atau penataan secara mental yang mencakup tiga tahapan. Pertama, penataan semantik, yaitu penataan gagasan melalui leksikalisasi. Kedua, penataan gramatika, yaitu penataan proposisi melalui perelasian leksikal secara ketatabahasaan. Ketiga, penataan fonologi, yaitu penataan bunyi bahasa sebagai realisasi hasil penataan gramatika (band. Singer, 1990:24 dan Chaer, 2003:44-48). Pada salah bahasa, interferensi dan alih atau campur kode praujar hanya berkenaan dengan kompetensi satu bahasa tertentu. Kehadiran kompetensi bahasa lain hanya bersifat parsial, sebatas tata semantik, tata gramatika, atau tata fonologi. Pada rancu pikir, tahap praujar berkenaan dengan kompetensi dua bahasa. Satu kompetensi sebagai pangkal; yang lain sebagai dasar penerjemahan. Dalam kasus itu, kompetensi bahasa Indonesia menjadi pangkal; kompetensi bahasa Jawa sebagai dasar penerjemahan. Berikut ini tiga contoh rancu pikir dalam bahasa Jawa.

(4) Sumangga pepanggihan enggal kita milai.

‘Marilah pertemuan segera kita mulai.’

(5) Apamaneh, yen nandure kebeneran mangsa rendheng.

‘Apalagi, jika menanamnya kebetulan musim penghujan.’

(6) Sambetan badhe kaleksanakaken dening Bapak Lurah.

‘Sambutan akan dilaksanakan oleh Bapak Lurah.’

    Dalam kalimat (4)—(6) rancu pikir tecermin melalui penggunaan kata milai ‘mulai’, kebeneran ‘kebetulan’, dan sambetan ‘sambutan’. Penggunaan kata milai, kebeneran, dan sambetan dengan arti mulai, kebetulan, dan sambutan menyimpang dari sistem bahasa Jawa. Bentuk itu terjemahan (penjawaan) secara paksa atas kata mulai, kebetulan, dan sambutan yang berasal dari bahasa Indonesia. Meskipun secara fonetik sesuai dengan fonotaktik bahasa Jawa, tiga kata tersebut janggal secara kemaknaan.

  Dalam bahasa Jawa, kata milai, kebeneran, dan sambetan bersinonim dengan misah-misah(ake) ‘memisah-misah(kan)’, beja ‘syukurlah, beruntung’, dan jilihan, utangan ‘pinjaman, hutangan’. Karena bersinonim, kata itu seharusnya dapat dipertukarkan. Namun, kita akan merasa janggal jika mendengar orang membuat tuturan sebagai berikut.

(7) *Sumangga pepanggihan enggal kita misah-misah.

‘Marilah pertemuan segera kita memisah-misah.’

(8) *Apamaneh, yen nandure beja mangsa rendeng.

‘Apalagi, jika menanamnya syukurlah pada musim penghujan.’

(9) *Utangan badhe kaleksanakaken dening Bapak Lurah.

‘Pinjaman akan dilaksanakan oleh Bapak Lurah.’

Sebaliknya, kata milai, kebeneran, dan sambetan cocok untuk penggunaan sebagai berikut.

(10) Adhiku banjur mila(h)i buku sing isih kanggo lan sing ora.

‘Adik lalu memisah-misahkan buku yang masih terpakai dan yang tidak.’

(11) Kebeneran, kowe teka. Tulung, iki digawake!

‘Kebetulan, kamu datang. Tolong ini dibawakan!’

(12) Agengipun sambetan ngantos 10 yuta.

‘Besarnya pinjaman sampai 10 juta.’

    Berdasarkan uraian tersebut, diketahui bahwa kejanggalan tuturan (6)—(8) terjadi karena penyusunannya bersifat rancu pikir. Dalam pengertian itu, secara tidak sadar, penutur membuat tuturan bahasa Jawa, tetapi melalui penerjemahan secara per kata atas tuturan bahasa Indonesia. Bahwa tuturan (6)—(8) merupakan terjemahan atas tuturan bahasa Indonesia terbukti dengan janggalnya makna tuturan (7)—(9) sebagai bentuk parafrasenya. Tuturan (6)—(8) dapat diperbaiki dengan mengganti tiga kata itu dengan kata Jawa yang semakna. Kata dimaksud ialah wiwiti ‘mulai’, meneri ‘bertepatan’, dan cecala ‘sambutan’ seperti terlihat dalam kalimat (13)—(15) berikut ini.

(13) Sumangga pepanggihan enggal kita wiwiti.

‘Marilah pertemuan segera kita mulai.’

(14) Apamaneh, yen nandure meneri mangsa rendeng.

‘Apalagi, jika menanamnya kebetulan musim penghujan.’

(15) Cecala badhe kaleksanakaken dening Bapak Lurah.

‘Sambutan akan dilaksanakan oleh Bapak Lurah.’

   Berdasarkan amatan penulis, gejala rancu pikir tergolong produktif. Meskipun belum menindaklanjutinya dengan pembahasan, Abdulhayi dkk. (1985:14) sudah mengelompokkan gejala dimaksud bukan sebagai interferensi, melainkan kesalahan bahasa. Beberapa contoh lain, yaitu kalimat (16) dan (17) dikutip dari Abdulhayi (1985:14,17) dan kalimat (18)—(23) ditemukan oleh penulis. Pembetulan masing-masing dapat dilihat dalam kalimat (16c)—(23c).

(16) a. Prastawa mau wis dumadi sekitar 40 taun kepungkur.

b. ‘Peristiwa itu sudah terjadi sekitar 40 tahun yang lalu.’

c. Kedadean mau wis dumadi watara 40 taun kepungkur.

(17) a. ... sing urip sangisore garis kemiskinan sakupenge 30 persen ....

b. ‘ ... yang hidup di bawah garis kemiskinan seputar 30 persen ....’

c. ... sing urip sangisore garis kemiskinan watara 30 persen ....

(18) a. Kabeh sing dikampanyekake ora mlebu nalar, upamane sekolah gratis.

b. ‘Semua yang dikampanyekan tidak masuk akal, misalnya sekolah gratis.’

c. Kabeh sing dikampanyekake ora nalar, upamane sekolah gratis.

(19) a. Murih bisa kaya mangkono, diprelokake limang lakon.

b. ‘Supaya dapat seperti itu, diperlukan lima perlakuan.’

c. Murih bisa kaya mangkono, diprelokake limang patrap.

(20) a. Ugi puji sokur awit paringan-E dawa umur.

b. ‘Juga puji syukur karena anugerah-Nya yang berupa panjang umur.’

c. Ugi puji sokur awit paringan-E umur dawa.

(21) a. Ama-ama mau pancen banget njengkelake.

b. ‘Hama-hama tadi memang sangat menjengkelkan.

c. Ama-ama mau pancen njengkelake banget.

(22) a. Saben owah-owahan duwe ciri-ciri dhewe.

b. ‘Setiap perubahan memiliki ciri-ciri sendiri.’

c. Saben owah-owahan duwe titikan dhewe-dhewe.

(23) a. Wiwit kuwi dheweke katon owah ingatan.

b. ‘Sejak itu, dia terlihat berubah ingatan.’

c. Wiwit kuwi dheweke katon edan.

 

Simpulan

     Karena kontak bahasa, dalam bahasa Jawa ditemukan penggunaan kalimat yang sifatnya menyimpang yang disebut rancu pikir. Penyimpangan itu berbeda dengan penyimpangan yang disebabkan oleh kesalahan bahasa, interferensi, atau alih atau campur kode. Berdasarkan pengontrasan, diketahui bahwa penyimpangan terjadi karena sifat pembentukannya yang berupa penerjemahan kata per kata atas tuturan bahasa Indonesia. Penyimpangan lazimnya hanya terasakan pada unsur tertentu. Hal itu sesuai dengan miripnya kompetensi antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.

     Sebagai hasil penerjemahan, tuturan rancu pikir mengalami penambahan proses pada tahap praujar. Tambahan itu berupa pengodean ulang atas kode yang semula berupa bahasa Indonesia ke dalam kode bahasa Jawa. Pengulangan (penjawaan) kode terjadi pada tahap penataan semantik dan penataan gramatika.

   Jika dugaan itu benar, dapat dipertanyakan apakah bahasa Jawa masih menjadi bahasa ibu bagi orang Jawa. Sesuai dengan penyebabnya, yaitu semakin intensifnya kontak bahasa, besar kemungkinan gejala dimaksud juga terjadi pada bahasa daerah lain.

   Penulis mengakui bahwa kebenaran simpulan masih harus dipertanyakan. Untuk memastikan, diperlukan lebih banyak penelitian. Penelitian dilakukan dengan meminta responden untuk menjawakan tuturan Indonesia yang strukturnya berbeda dengan struktur bahasa Jawa. Untuk itu, respondennya ialah penutur bahasa Jawa dari berbagai kelompok usia. Bagaimana jawaban mereka, itulah jawaban dari permasalahan ini.

 

Daftar Pustaka

Abdulhayi dkk. 1985. Interferensi Gramatikal Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Chaer, Abdul. 2003 Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1989. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Hymes, Dell. 1973. Foundations in Sociolinguistic: An Etnographic Approach. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Singer, Murray. 1990. Psychology of Language: An Introduction to Sentence and Discourse Processes. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.

Sukardi Mp. 2006. “Ketidakcermatan Penggunaan Bahasa Jawa dalam Yogya Warta TVRI Yogyakarta dan Siaran Mbangun Desa RRI Nusantara II Yogyakarta: Sebuah Studi Kasus”. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.

Sutana, Dwi. 2000. Alih Kode dan Campur Kode dalam Majalah Djaka Lodang: Sebuah Studi Kasus. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.

                Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan. 1988. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Edi Setiyant

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa