Karakter Bangsa dalam Pantun
Pendahuluan
Bahasa adalah sistem arti dan bentuk yang direalisasikan oleh ekspresi (Saragih, 2010:1). Ekspresi dalam kaitan dengan bahasa itu merupakan pengungkapan atau proses menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dan sebagainya. Hal itulah yang menjadikan bahasa disebut sebagai alat ekspresi oleh seseorang atau segolongan orang sehingga sering kali muncul peribahasa bahasa menunjukkan bangsa. Artinya, salah satu parameter ketika sebuah komunitas atau seseorang dapat diketahui dengan memperhatikan bahasa yang digunakannya.
Bahasa, baik secara langsung maupun tidak langsung, memberikan kontribusi dalam pembangunan, khususnya yang berkenaan dengan pembangunan karakter bangsa. Karakter berhubungan dengan jati diri dalam hal keseluruhan kualitas atau personalitas yang dimiliki seseorang, suatu komunitas, atau suatu bangsa. Karakter merupakan realisasi jati diri secara operasional yang membedakan seseorang, suatu komunitas, atau suatu bangsa dengan orang, komunitas, atau bangsa yang lain. Oleh karena itu, karakter juga erat kaitannya dengan jati diri. Salah satu jati diri bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia.
Karakter Bangsa
Karakter bangsa menjadi topik yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan di berbagai forum. Urgensi soal itu tampak di dunia pendidikan yang lekat dengan terminologi pendidikan berkarakter. Dalam konteks itu, tentu saja karakter yang diinginkan adalah karakter bangsa yang positif.
Karakter bangsa yang positif dapat membantu percepatan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Karakter menurut Saragih (2010: 7) diinterpretasikan sebagai realisasi operasional jati diri dan identitas seseorang atau suatu bangsa jika seseorang atau bangsa itu dihadapkan pada persoalan yang harus diselesaikan atau diatasi untuk mencapai kesejahteraannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa jati diri bersifat konseptual, sedangkan karakter bersifat operasional; jati diri merupakan kapasitas, sedangkan karakter merupakan realitas; jati diri bersifat statis, sedangkan karakter bersifat dinamis. Pencarian karakter bangsa sangat berkaitan dengan pencarian jati diri bangsa. Apakah kita mencermati kondisi di Indonesia akhir-akhir ini yang tampak di media massa, seolah-olah karakter bangsa kita cenderung anarkistis. Padahal karakter selalu mengacu pada hal yang positif.
Pantun
Salah satu tradisi lisan berupa karya sastra yang hampir ada di setiap wilayah di Indonesia adalah pantun. Sebagian pendapat pakar menyatakan bahwa pantun berasal dari bahasa Melayu. Oleh karena itu, perkembangan pantun relatif lebih maju di wilayah dengan mayoritas penutur bahasa Melayu. Berdasarkan pengategorian jenis sastra, pantun termasuk dalam jenis puisi lama.
Pantun diikat oleh beberapa aturan yang harus dipenuhi. Aturan pembentukan pantun, misalnya, terdiri atas empat baris dalam setiap baitnya, baris 1 dan 2 merupakan sampiran dan baris 3 dan 4 merupakan isi. Selain itu, pantun dari sisi prosodi harus memiliki bunyi yang enak didengar dan teratur. Prosodi dalam pantun itu berkaitan dengan rima, irama, dan bait dalam pantun.
Dalam perkembangan selanjutnya, pantun telah merambah ke segala aspek kehidupan manusia apabila ditilik berdasarkan isi atau muatannya. Dari aspek pemilihan kata, pantun saat ini telah berkembang dengan menggunakan kata yang akrab di telinga masyarakat. Pantun saat ini tidak lagi bertumpu pada penggunaan kata yang arkais atau usang. Perkembangan seperti itu di satu sisi menggembirakan, tetapi di sisi lain seolah-olah pantun seperti kehilangan daya magisnya. Mungkin kita dapat merasakan perbedaan antara pantun yang memiliki daya hidup yang lebih lama dengan pantun yang dibuat secara spontan. Sebuah pantun yang telah lama dikenal dan diketahui oleh masyarakat akan tetap eksis di dalam penggunaannya.
Karakter Bangsa dalam Pantun
Hubungan bahasa dengan jati diri dan karakter suatu bangsa adalah hubungan realisasi. Bahasa suatu komunitas atau bangsa yang sudah bermuatan ideologi, budaya, dan situasi sosial membangun jati diri suatu bangsa. Ketika dihadapkan pada masalah aktual, jati diri didayagunakan dalam bentuk karakter. Karakter bangsa Indonesia dapat dibangun atau diketahui berdasarkan sifat hakiki bahasa atau pemakaian bahasa. Salah satu sisi pemakaian bahasa Indonesia dalam karya sastra yang menunjukkan akan adanya karakter bangsa ialah pantun.
Terlepas dari persoalan perkembangan pantun yang terus berjalan hingga hari ini, terdapat beberapa hal yang menarik dari pantun yang ada. Boleh dikatakan bahwa pantun lama lebih memiliki daya ungkap yang dapat dikaitkan dengan karakter bangsa. Berdasarkan pengamatan terhadap muatan beberapa pantun sebagai sampel, penulis dapat menarik sebuah garis besar tentang adanya keterkaitan antara sebuah pantun dan karakter sebuah bangsa. Simpulan yang pertama berkaitan dengan karakter logis. Berikut ini penulis tampilkan contoh pantun.
Kalau ada sumur di ladang
boleh kita menumpang mandi
Kalau ada umurku panjang
boleh kita berjumpa lagi
Kalau harimau sedang mengaum
Bunyinya sangat berirama
Kalau ada ulangan umum
Marilah kita belajar bersama
Dua pantun di atas memiliki kelogisan makna terutama pada aspek isi (baris 3—4). Akan tetapi, kelogisan itu di satu sisi juga memiliki unsur pasrah pada keadaan yang ada. Hal itu terutama tampak di baris 1 dan 3 (sampiran). Amatan terhadap pantun yang dikaitkan dengan sikap cenderung pasrah atau menerima saja tampak pada baris 1 dan baris 3 yang menggunakan pilihan kata kalau. Mengapa demikian? Apabila kita amati pantun pertama, ungkapan seperti kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi mengandung makna kita masih belum tahu pasti atau tidak yakin bahwa di ladang tersebut ada atau tidak ada sumur. Kalaupun ada sumur, tentulah kita mandi dan sudah pasti pula kalau umurnya panjang, pasti akan berjumpa lagi. Bagaimana seandainya di ladang tidak ada sumur? Sudah tentu kita tidak akan mandi. Gambaran itulah yang dapat kita telisik pada penggunaan pilihan kata kalau. Pada perspektif yang lain, jika di ladang tersebut tidak ada sumur, alangkah bijaknya apabila kita mencari sumur di tempat lain, bukan hanya pasrah dan berdiam diri. Begitulah yang disebut bahwa kita mau berusaha.
Contoh pantun kedua pun demikian. Pantun kedua pada sisi isinya menunjukkan bahwa belajar bersama-sama hanya dilakukan kalau ada ulangan umum. Bagaimana halnya kalau tidak ada ulangan umum? Masihkah dilakukan kegiatan belajar bersama? Atas pertanyaan tersebut, banyak alternatif jawaban. Pada sisi struktur pantun, tidak tampak jawaban yang mengarah pada alternatif bahwa belajar bersama tetap dilakukan dalam kondisi apa pun, bukan hanya karena ada ulangan.
Karakter bangsa dalam pantun seperti itu masih banyak kita temukan pada pantun yang lain. Namun, penulis menyinyalir masih ada karakter bangsa yang lain yang dapat digali untuk diketahui melalui medium pantun. Karakter tersebut, selain logis dan pasrah, adalah karakter semangat dalam belajar atau menuntut ilmu. Karakter tersebut tampaknya tidak hanya tampak di dalam pantun, tetapi juga sering kita temukan dalam peribahasa. Hal itu semakin menunjukkan bahwa karakter untuk terus menuntut ilmu sudah sejak lama diajarkan oleh para pendahulu kita. Berikut contoh pantun yang memuat semangat menuntut ilmu.
Ke hulu membuat pagar
Jangan terpotong batang durian
Cari guru tempat belajar
Supaya jangan sesal kemudian
Anak ayam turun sepuluh
Mati satu tinggal sembilan
Tuntutlah ilmu dengan sungguh-sungguh
Supaya engkau tidak ketinggalan
Contoh pantun di atas sangat tampak adanya karakter semangat dalam belajar atau menuntut ilmu. Hal itu dapat diperoleh pada ajaran agama mayoritas di Indonesia, yaitu Islam. Ajaran Islam mewajibkan kepada pemeluknya untuk menuntut ilmu dari sejak di kandung badan sampai dengan ke liang lahat. Betapa pentingnya menuntut ilmu menjadikan topik tersebut dapat ditemukan di sebagian besar pantun yang ada. Karakter bangsa yang bertemakan semangat belajar atau menuntut ilmu juga dapat ditemukan tidak hanya pada pantun, tetapi juga di dalam bentuk sastra lama lainnya.
Dikaitkan dengan delapan belas karakter bangsa yang pernah dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (saat itu Kementerian Pendidikan Nasional) yang meliputi religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, rasa kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab, pantun dapat mengakomodasi semua pemikiran tersebut. Karakter bangsa yang bernilai positif tersebut didokumentasikan ke dalam pantun dan operasionalnya berada pada kultur atau perilaku masyarakat kita.
Penutup
Pantun merupakan karya sastra yang hampir ada di setiap wilayah di Indonesia. Karakter bangsa di dalam pantun dapat dijadikan cerminan karakter yang ada dalam diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pantun dapat dijadikan sebagai rujukan dalam upaya pembangunan karakter bangsa. Nilai positif yang terkandung di dalamnya sangat relevan dengan kondisi saat ini dan bahkan kondisi yang akan datang.
Daftar Pustaka
Ghawa, John. 2006. Kebijakan dalam 1001 Pantun. Cetakan 2. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Keraf, Gorys. 1997. Komposisi. Ende, Flores: Nusa Indah
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grapindo Perkasa
Saragih, Amrin. 2011. “Peran Bahasa dalam Pembangunan Jati diri dan Karakter Bangsa”. Makalah Seminar Peran Kearifan Lokal dalam Pembentukan Karakter Bangsa, 30 November 2011, Wisma Pariwisata, Universitas Sumatera Utara, Medan
Tim Redaksi. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia dan Departemen Pendidikan Nasional.
Teguh Santoso
...