Fiksi Mini sebagai Bentuk Pemertahanan Sastra Daerah di Tengah Deraan Era Globalisasi

1.    Pendahuluan


Dalam pandangan penulis, karena “deraan” globalisasi dengan serangkaian alasan atau fenomena yang terjadi di sekitar kita, kekhawatiran masyarakat awam terhadap hilangnya unsur tradisi dalam seni dapat diterima. Ada beberapa hal yang menjadi dasar seni tradisi mulai ditinggalkan oleh warga etnik yang bersangkutan, yaitu (1) anggapan sepele berlandaskan pada aspek ekonomi, (2) kreativitas dan inovasi yang minim, (3) hubungan antara pelakon seni dan konsumen (masyarakat pencinta seni tradisi itu) yang sesaat, dan (4) langkah penyelamatan yang kurang (Retno, 2013). Terkait anggapan sepele, masyarakat awam menganggap bahwa hal yang berbau tradisi dan tradisional sebagai hal yang rumit dan mahal. Kreativitas dan inovasi terkait dengan kesan monoton masyarakat terhadap seni tradisi. Hubungan pelakon dan konsumen seperti terputus hanya pada saat penampilan, tetapi setelah itu tidak ada keterikatan di antara keduanya.

    Ada empat hal yang dapat dilakukan untuk merevitalisasi seni tradisi, yaitu (1) regenerasi, (2) mengatasi kemonotonan, (3) menyelipkan aspek tradisional dalam wujud modern, dan (4) mengemasnya sesuai dengan perkembangan zaman dan keinginan konsumen (Yusuf, 2013). Regenerasi berkaitan dengan pewarisan seni tradisi antargenerasi. Jika tidak, salah satu seni tradisi akan punah seiring matinya sang pelakon yang kebanyakan sudah berusia lanjut. Mengatasi kemonotonan terkait dengan kreativitas dan inovasi. Poin ketiga, menyelipkan aspek tradisional dalam wujud modern, juga dapat dikaitkan dengan kreativitas dan inovasi. Sementara itu, poin keempat, kemasan yang disesuaikan dengan selera konsumen dapat dikaitkan dengan aspek inovasi.

    Di balik kekhawatiran masyarakat awam dan para pakar terhadap hilangnya unsur tradisi, penulis melihat geliat sekelompok masyarakat yang bergelut di bidang pengembangan unsur tradisi, khususnya dalam bahasa dan sastra daerah. Beberapa kelompok seniman yang didukung berbagai pihak terkait membakukan acara seni tradisi rutin, seperti Helaran, Seren Taun, Mapag Cai, Nyiar Lumar, serta lomba menulis puisi dan surat atau carpon dalam bahasa Sunda. Untuk menegaskan identitas kesundaan, beberapa instansi menetapkan pemakaian kostum tradisional, seperti pemakaian stelan baju beskap Sunda lengkap dengan pemakaian ikat kepala yang terbuat dari bahan batik. Untuk melecut semangat kesastraan dan kesundaan warga Sunda dan juga beberapa daerah lain, seperti Jawa dan Bali, Yayasan Rancagé yang didirikan oleh Ayip Rosidi dkk., secara rutin memberikan Anugerah Rancagé. Penghargaan tersebut tidak hanya diberikan kepada sastrawan yang mampu melahirkan karya yang dianggap mumpuni sebagai adiluhung (masterpiece) dalam khazanah sastra Sunda dan sastra pada umumnya, tetapi juga untuk memberikan penghormatan atas warga negeri yang berjasa dalam pengembangan sastra dan bahasa daerah. Kecintaan warga Jawa Barat pada budaya Sunda juga tampak pada pemertahanan beberapa penerbitan karya berbahasa Sunda, di antaranya majalah Manglé. Majalah Manglé mampu bertahan sejak tahun 1957 sampai sekarang.

    Di sisi lain, seiring perkembangan zaman, terkait budaya instan sebagai efek dari deraan globalisasi dan perkembangan media siber yang sangat pesat, beberapa penggiat sastra kini mulai menggali kelahiran karya sastra yang mampu menjadi media penyampai pesan dan makna, tetapi tidak berkesan konvensional. Pembaharuan yang dilakukan oleh beberapa penggiat sastra tersebut diwujudkan dalam bentuk pendokumentasian digital. Beberapa sastrawan mulai melakukan hal itu dan menampilkannya dalam bentuk blog atau situs pribadi lainnya, seperti bujanggamanikedu.wordpress.com, galuh-purba.com, sunda-blog.blog-spot.com, dan saungsunda.blogspot.com. Sementara itu,  beberapa pihak mendirikan mengembangkan beberapa situs, di antaranya mangléonline.com, teatersunda-kiwari.wordpress.com, www.kalangsunda.net, dan rumawat.wordpress.com. Selain mengembangkan situs tersebut, beberapa pihak penggiat bahasa dan sastra Sunda, terutama para sastrawan, baru-baru ini memunculkan tren baru di dunia sastra Sunda siber. Tren sastra terbaru tersebut berupa fiksi mini (fikmin).

2.    Fiksi Mini
Fiksi mini (fiknim) adalah fiksi yang terdiri atas secuil kalimat. Fikmin bukan merupakan tren yang baru, melainkan memiliki sejarah yang sangat panjang. Pada tahun 1920-an Ernest Hemingway (dalam Noor) menuliskan sebuah novel yang dikatakannya sebagai ‘novel terbaik dunia’ hanya dalam enam kata. Isi novel tersebut adalah For Sale: Baby Shoes, Never Worn. Bukan hanya Hemingway yang piawai menulis novel mini. Karya serupa sudah ada sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi, tepatnya pada karya Aeosop (620—560 SM) (Noor, 2013). Salah satu karya Aeosop (2010) diberi judul “The Two Pots” berikut ini.
 

Two Pots, one of brass and the other of clay, stood together on the hearthstone. One day the Brass Pot proposed to the Earthen Pot that they go out into the world together. But the Earthen Pot excused himself, saying that it would be wiser for him to stay in the corner by the fire.

"It would take so little to break me," he said. "You know how fragile I am. The least shock is sure to shatter me!"

"Don't let that keep you at home," urged the Brass Pot. "I shall take very good care of you. If we should happen to meet anything hard I will step between and save you."

So the Earthen Pot at last consented, and the two set out side by side, jolting along on three stubby legs first to this side, then to that, and bumping into each other at every step.

The Earthen Pot could not survive that sort of companionship very long. They had not gone ten paces before the Earthen Pot cracked, and at the next jolt he flew into a thousand pieces.

 

(Dua buah teko, satu terbuat dari tembaga, sedangkan yang lain dari tanah liat terletak berdampingan di atas tungku. Pada suatu  hari, Teko Tembaga mengajak Teko Tanah Liat untuk berjalan-jalan di luar. Namun, Teko Tanah Liat menolak ajakan itu sambil berkata bahwa lebih baik ia tinggal di sudut tungku saja.

“Wah, aku takut celaka,” katanya. “Kamu tahukan kalau aku sangat rapuh? Goncangan sedikit saja bisa menghancurkan aku.”

“Aku tidak akan meninggalkan kamu sendirian,” tukas Teko Tembaga. “Aku akan selalu menjagamu. Jika ada penghalang, aku akan menghindarinya dan menyelamatkan kamu.”

Teko Tanah Liat akhirnya menyerah. Kedua teko itu berjalan berdampingan sambil tidak  hentinya melompat dengan ketiga kaki cebol ke kiri dan kanan. Kedua teko itu selalu bertubrukan pada setiap lompatan. Belum mencapai lompatan kesepuluh, Teko Tanah Liat sudah retak. Pada hitungan selanjutnya, tubuhnya hancur berkeping-keping.)

 

Selain itu, kisah tentang Nasruddin Hoja (abad ke-13) juga dianggap sebagai fikmin.

Salah satu kisah humor sufi ala Nasrudin Hoja diberi judul “Api” berikut ini.

 

API

Hari  Jumat  itu,  Nasrudin  menjadi  imam  salat  Jumat.  Namun,  belum  la­ma  ia berkhotbah, dilihatnya para jemaah terkantuk-kantuk,  dan bahkan sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah Sang Mullah, "Api! ­Api! Api!"

Segera saja, seisi masjid terbangun, membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya,  "Di mana apinya,

Mullah ?"

Nasrudin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya, "Api yang dahsyat di neraka bagi mereka yang lalai dalam beribadah." (Hoja, 2012)

 

Fikmin lalu dikenal di lima benua dengan berbagai istilah yang berbeda, di antaranya nouvelles (Prancis),’cerita setelapak tangan’ (Jepang), post fiction, flash fiction, atau nanofiction (Amerika). Beberapa nama penulis fikmin dunia, antara lain, Kawabata Yasunari, Kafka, Chekov, O Henry, Ray Bradbury, Italio Calvino, dan Julio Cortazar (Noor, 2013). Salah satu karya Kawabata  (2011) adalah fikmin berjudul “Love Suicide” berikut ini.

 

LOVE SUICIDES

 

Written by Kawabata Yasunari

Translated by Gabriel Rasa

 

A letter came from the husband who had despised her and abandoned her. Two years late, and from a faraway place.

(Don’t let the child bounce that rubber ball. That sound reaches me even here. That sound strikes my heart.)

She took the ball away from her nine-year-old daughter. Another letter came from her husband. The address was different from the one before.

(Don’t let the child wear shoes to school. That sound reaches me even here. That sound crushes my heart underfoot.)

Instead of shoes, she dressed her daughter in soft felt sandals. The little girl cried, and didn’t go to school at all. Another letter came from her husband. It was only a month after the second one, but in those words he seemed suddenly aged.

(Don’t let the child eat out of earthenware bowls. That sound reaches me even here. That sound shatters my heart.)

She fed her daughter from her own chopsticks, as though the girl were a child of three. Then she thought back to happier days when her daughter truly was a child of three and her husband was at her side.

Impulsively, the little girl went and took her own bowl from the china cabinet. The mother snatched it away and hurled it violently against the stones in the garden. Sound of her husband’s heart shattering. All at once she twisted her face and flung her own bowl after it. This sound, is it not her husband’s heart shattering? She heaved the dining room table into the garden. And this sound? She threw her whole body against the walls and beat them with her fists. Flinging herself like a spear through the sliding door, she tumbled out into the garden beyond. And this?

“Mama, mama, mama!”

Her daughter followed after her, crying, but she slapped the girl sharply on her cheek. Oh, hear this sound!

Like an echo of that sound, another letter came from her husband. From a new address, even further away than the ones before.

(Don’t make a single sound, either of you. Stop the clocks in the house. Don’t open or close the doors. Don’t even breathe.)

“Either of you, either of  you, either of  you!”

Tears fell in large drops as she whispered that—and then all was silent. Not a sound, not the faintest noise, not ever again. The mother and her daughter were dead, after all.

And curiously, her husband was dead alongside them.

 

    Batasan sebuah fikmin tidak tetap, di antaranya ada yang menetapkan 50—100 kata. Meskipun mini dalam jumlah kata yang digunakan, fikmin harus dapat menanamkan makna dan pesan yang mendalam kepada pembacanya. Fikmin ibarat sebuah bom kecil yang apabila ditanamkan ke dalam otak akan meledakkan makna yang dahsyat. Perumpamaan lain adalah fikmin ibarat sebuah pertandingan tinju KO atau TKO hanya pada hitungan ronde awal dari sekian ronde yang ditawarkan (Noor, 2013).

    Fikmin merupakan sarana untuk melatih imajinasi, juga selain sebagai sarana penyampai pesan dalam ruang yang serba ekonomis. Dapat dikatakan bahwa fikmin menjadi sarana alternatif dan interaktif untuk mengasah kemampuan seseorang dalam menyampaikan aspirasi dan menggodok imajinasi dalam ruang yang hanya dibatasi sepanjang 150 kata atau antara 50—100 kata.


3.    Fiksi Mini di Indonesia
Fikmin di Indonesia dipelopori oleh Agus Noor, Eka Kurniawan, dan Clara Ng pada pertengahan tahun 2010 (Khoiri dan Arcana, 2010). Akun fikmin di twitter dibuka pada awal tahun yang sama. Tidak lama setelah akun tersebut dibuka, jumlah pengikut mencapai ribuan orang. Para penulis dan peminat tidak hanya datang dari kalangan sastrawan, tetapi dari berbagai latar profesi. Ledakan jumlah peminat pada akun tersebut mendorong ketiga penggagas fikmin untuk mendirikan situs tersendiri sebagai wadah pendokumentasian fikmin yang masuk, yaitu http://fiksimini.com. Melonjaknya jumlah peminat fikmin, antara lain, disebabkan tantangan yang ada di dalam aturan fikmin. Khoiri dan Arcana (2010) menyatakan bahwa dalam keterbatasan ruang, terbuka ruang untuk membuka alternatif kisah dalam tema yang disuguhkan pengelola serta mengundang banyaknya teka-teki pada bagian akhir fikmin. Salah satu contoh fikmin berikut ditulis oleh Salma Aristo, salah seorang penulis skenario sinetron dan film terkemuka di Indonesia.

    #RT @salmanaristo: Kirno bikin 2 surat. Buat kekasih & istrinya. Satu kangen, satunya putus hubungan. Surat tertukar amplop saat dikirimkan.

    Dari tiga kalimat singkat itu, ekspresi tokoh dan situasi yang muncul di sekitar tokoh itu sangat terasa. Namun, tanpa perlu diuraikan, akibat dari sebuah kesalahan fatal yang dilakukan oleh  Kirno seolah terbayang jelas di depan mata. Tentu saja itu tanggapan terhadap peristiwa pada bagian akhir fikmin itu akan berbeda-beda sesuai dengan persepsi setiap pembaca.

Contoh lain terdapat pada fikmin berikut ini.

RT @susterinne: SKAK MAT! Dedi tak jadi menang. Raja melesat kabur menunggangi kuda.

Di dalam fikmin itu, pembaca dikaburkan kekalahan Dedi dalam permainan catur dan larinya sang raja. Interpretasi terakhir dari kisah tersebut adalah kekalahan Dedi.

Fikmin lain bercerita sebagai berikut.

RT @mustikaaprilia: JUARA BERTAHAN - Dia belum beranjak dari garis start. Kakinya macet. Lupa diminyaki.

    Dalam fikmin tersebut, pembaca diajak untuk menelusuri dunia paradoks. Judul fikmin tersebut adalah “Juara Bertahan”. Hal itu tentu akan membawa logika pembaca pada seseorang yang tidak terkalahkan dalam ajang perlombaan atau pertarungan. Namun, kekonyolan yang muncul terakhir menyapu imaji sang juara bertahan itu.

4.    Fiksi Mini Sunda

Penggiat bahasa dan sastra Sunda juga tidak mau ketinggalan dalam berfikmin. Minat massa terhadap fikmin menunjukkan animo luar biasa. Minat penulis fiksimini mulai  terakomodasi sejak Nazarudin Azhar, sastrawan, mendirikan satu grup di situs jejaring facebook yang ditujukan kepada peminat sastra Sunda (Sutisna, 2013). Fikminsunda.com sebagai wahana pendokumentasian fikmin tersebut digawangi, selain Nazarudin Azhar, juga oleh beberapa sastrawan terkemuka di Jawa Barat, yaitu Dadan Sutisna, Godi Suwarna, Hadi AKS., dan Ki Hasan. Grup tersebut dinamakan Fiksimini Basa Sunda. Dalam tempo satu tahun terkumpul 27.000 buah fikmin dalam bahasa Sunda. Jumlah fikmin yang masuk terakhir mencapai 34.098 buah.  
Salah satu contoh fikmin dalam fikminsunda.com adalah fikmin karya Jun Juanda (2013) berjudul “Nu Sarakah vs Nu Hawek” berikut ini.

Kang Kabayan na teu seubeuh dibéré surabi hiji? Tingali mah batur. Loba nu can pernah dahar surabi. Ieu mah dibéré hiji hayang dua. Geus dua hayang tilu. Engké-engké mah hayang opat geura. Dasar Akang mah lalaki sarakah. “ Nyi Iteung gegelendeng . “Sok hayang meunang sorangan ari teun teh. Di dinya ogé dibéré dodol Garut sagelempeng dihékok wé geuning ku sorangan. Padahal tatéh bisa opataneun. Dasar di dinya mah awéwé hawek.” Kabayan malik gegelendeng. Jeung barina ogé ceuk saha Akang hayang nyurabi deui. Hiji gé pan teu beak-béak. Tapi nuhun ogé kétah, di dinya mah sok alus sangka” ceuk Kabayan bari sungar-sengir.

“Kang Kabayan, memang nggak kenyang makan serabi satu? Lihat yang lain, dong. Banyak tuh yang belum pernah makan kue serabi. Ini lagi, dikasih satu, pengen dua. Dikasih dua, pengen tiga. Salah-salah nanti pengen empat. Dasar serakah!” kata Nyi Iteung menggerutu. “Eh, mau menang sendiri. Kamu sendiri dikasih dodol garut dihabiskan sendiri. Padahal, ukuran dodol itu cukup buat empat orang. Dasar perempuan rakus!” Kabayan berbalik menggerutu, “Lagian… siapa yang pengen kue serabi lagi? Satu juga nggak abis-abis, tuh. Tapi, syukur juga sih, kamu sudah berbaik sangka sama Aku.” Kabayan menyeringai.

    Sosok legendaris dalam khazanah sastra Sunda, tokoh Kabayan dan Nyi Iteung, di tampilkan dalam fikmin itu dengan utuh. Artinya, kekonyolan yang melekat pada sosok Kabayan tidak hilang. Karakter Kabayan dan Iteung yang akrab dengan perseteruan yang lugu dan lucu ditampilkan dengan melesapkan reaksi Nyi Iteung yang diserahkan kepada pembaca.
    
    Pada fikmin lain terdapat penggunaan pantun Sunda yang kini jarang dipakai oleh penutur bahasa Sunda. Berikut ini contoh fikmin tersebut yang ditulis oleh Ambuna Kaka (2013) berjudul “Nu Dipapayung”.

“Samping hideung dina bilik, ieung. Kumaha nuhurkeunana. Abdi bingung ku nu balik, geuningan. Kumaha nuturkeunana.” Andiprek nyanghareupan irigasi nu caina keur sumedeng caah. Dipapayung kituna téh, nyumputkeun rupa tina héabna matapoé nu keur meumeujeuhna mentring. Tengetan papakéanana geura. Kabayana brukat, samping hideung sidomukti. Tah, ngahaleuang deui. Sirah déngdék, hideng ngadédéngékeun.
“Bi, nyalira baé?” Manéhna malik. Panonna neuteup seukeut. Parat nembus kana jajantung. Kuring undur-unduran ngajauhan éta patempatan. Haleuangna kareungeu deui, hawar-hawar dipeuntaskeun angin ka lebah kuring ngiuhan.


“Kain hitam di balik gedek, aduuhhh. Bagaimana menurunkannya. Saya bingung sama yang mudik, aduuhhh. Bagaimana mengikutinya.” Duduk di tanah sambil menghadap saluran irigasi yang airnya agak pasang. Sambil memegang payung, dia menyembunyikan wajahnya dari terik cahaya matahari yang sedang menyorot bumi dengan ganasnya. Perhatikan caranya berpakaian. Kebayanya terbuat dari bahan brokat, kainnya Sidomukti. Nah, dia bersenandung lagi. Kepala kumiringkan, sambil mendengarkan senandung itu dengan saksama.
“Bi, sendiri saja?” Ia berbalik. Matanya menatap tajam. Tajamnya menembus jantungku. Aku beringsut menjauh dari tempat itu. Senandungnya terdengar lagi. Samar-samar terbawa angin mendekati tempatku berteduh.
    
    Fikmin berjudul “Nu Dipapayung” seolah mengundang misteri. Siapa wanita berpayung yang setia duduk di tepian saluran irigasi itu? Apakah dia gila? Apa yang terjadi dengan perempuan itu sebelumnya sehingga jika ada orang yang mengusik kebiasaannya itu, ia berbalik marah. Orang yang menegur perempuan itu dengan panggilan “Bi” atau bibi kemungkinan masih memiliki pertalian darah. Fikmin tersebut diawali dengan pantun yang jarang terdengar lagi penggunaannya saat ini. Pantun itu berisi kebingungan pada seseorang dalam menentukan pilihan.

    Harian umum Tribunjabar dan Galamedia, sebagai surat kabar lokal, menjadi lahan aspirasi dan inspirasi pecinta fikmin Sunda. Unit Kesenian Universitas Padjadjaran Bandung bekerja sama dengan Bank Jabar Banten pada tahun 2012 mengagendakan Pasanggiri Fikmin Sunda sebagai salah satu dari serangkaian agenda Pidangan Seni Budaya Rumawat Padjadjaran. Jumlah peserta yang berpartisipasi dalam acara tersebut mencapai 200 orang.

    Fikmin dalam pemaknaan mampu berkata banyak meskipun terikat pada pakem jumlah kata yang ditentukan setiap pengelola situs. Dari fikmin, kita dapat belajar banyak tentang segala hal, termasuk berlatih menyimak dan menangkap pesan dalam kisah. Selain itu, fikmin dapat dijadikan sebagai sarana untuk berlatih menggunaan bahasa daerah, terutama bahasa Sunda. Jika kita terbiasa untuk menulis dalam bahasa daerah, tentu saja rasa memiliki terhadap bahasa tersebut semakin besar. Lebih jauh lagi, hal itu dapat meningkatkan kecintaan kita terhadap budaya daerah. Fikmin juga dapat dijadikan sebagai arena untuk mengasah kepekaan karena pada beberapa fikmin berlaku hukum tema. Koordinator melemparkan tema yang berbeda dan hal itu selalu mendatangkan reaksi positif dalam tempo cepat. Fikmin tanpa disadari dapat melunturkan rasa takut seseorang terhadap fobia pemakaian bahasa daerah dalam ragam tulis.

    Sebagai catatan akhir, kemudahan akses di dunia maya juga turut menjadikan sastra Sunda lebih mutakhir. Fikmin berbahasa Sunda merupakan salah satu produk budaya mutakhir. Fikminsunda.com serta berbagai media online lainnya menjadi salah satu bukti bahwa masih  banyak warga Sunda yang merasa dirinya sebagai orang Sunda dan bertanggung jawab sebagai pelestari kebudayaan Sunda.

5.    Simpulan

Globalisasi selalu ditengarai dengan lunturnya nilai tradisi karena didera oleh nilai asing yang dianggap tidak sesuai dengan tata krama di Nusantara. Kekhawatiran tersebut bukan saja datang dari masyarakat awam, melainkan juga dari para pakar berbagai bidang keilmuan.  
Sebagai salah satu upaya pemertahanan sastra Sunda, para penggiat budaya dituntut untuk memompa kreativitas dan inovasi sehebat mungkin. Para penggiat juga dituntut untuk melek teknologi dan memutakhirkan karya mereka kepada publik. Fikmin hadir sebagai salah satu produk mutakhir dalam khazanah sastra Sunda. Kehadiran fikmin mendapatkan respons luar biasa. Dari fenomena fikmin berbahasa Sunda tersebut, kreativitas dan inovasi bukan hanya milik bidang teknologi, melainkan milik semua bidang, termasuk sastra—khususnya sastra daerah.

    Fikmin menjadi sarana publik untuk menangkap isi di balik kisah serta menggali imajinasi sedalam mungkin dari sebuah batu loncatan yang sempit. Pada sisi lain, meskipun pemakaian unsur lokal dalam fikmin sangat jarang dilakukan karena kebanyakan bercerita tentang konflik kehidupan sehari-hari yang kontemporer,  fikmin berbahasa Sunda cukup jitu dalam mendongkrak intensitas pemakaian bahasa Sunda dan minat orang Sunda untuk lebih mencintai kekayaan budayanya sendiri melalui penggunaan bahasa Sunda, terutama dalam ragam tulis.

Daftar Pustaka

Aeosop. 2010. “The Two Pots”. [http://oldfables.blogspot.com/2010/12/two-pots.html],  diakses 25 April 2013, pukul 18:41 WIB.

Ambuna Kaka. 2013. “Nu Dipapayung”. [http://fikminsunda.com/], diakses 25 April 2013, pukul 21:33 WIB.

Anonim (1025/C004). 2013. “Bahasa Daerah Tetap/Ada dalam Kurikulum 2013”. [http://www.antaranews.com/berita/351373/bahasa-daerah-tetap-ada-dalam-kurikulum-2013], diakses 23 April 2013, pukul 10:41 WIB.

Hoja, Nasrudin. 2012. “Api”. [http://humorsufii.blogspot.com/2012/10/api.html#.UXkkMthc1Iw], diakses 25 April 2013, pukul 19:47 WIB.

Juanda, Jun. 2013. “Nu Sarakah vs Nu Hawek”. [http://fikminsunda.com/], diakses 25 April 2013, pukul 21:34 WIB.

Kawabata, Yasunari. 2011. “Love Suicide”. [http://translation.rassaku.net/kawabata_lovesuicides.html], diakses 25 April 2013, pukul 20:09 WIB.

Khoiri dan  Arcana. 2010. “Mengunyah Fikmin Sepanjang Hari”. [http://rubrikbahasa.wordpress.com/2010/04/11/mengunyah-fiksimini-sepanjang-hari/], diakses 23 April 2013, pukul 16:10 WIB.

Kurawa06. 2010. “Penutur Bahasa Sunda Turun 20 Persen”. [http://mjbandung.wordpress.com/2010/02/20/penutur-bahasa-sunda-turun-20-persen/], diakses 23 April 2013, pukul 10:45 WIB.

Noor, Agus. . “Fikmin: Menyuling Cerita, Menyuling Dunia”. [http://agusnoorfiles.wordpress.com/2009/11/21/fiksi-mini-menyuling-cerita-menyuling-dunia/], diakses 23 April 2013, pukul 13:29 WIB.

Septiningsih, Lustantini.   2013. “Pemertahanan Bahasa Daerah Melalui Penggunaan Bahasa Daerah dalam Karya Sastra”. [http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/],   lamanbahasa/artikel/1286], diakses 23 April 2013, pukul 10:02 WIB.

Sobarna, Cece. 2007. “Bahasa Sunda Sudah Diambang Pintu Kematiankah?”. Dalam Makara, Sosial Humaniora, Volume 11,  Nomor 1,  Juni 2007.  Bandung.

Sutisna, Dadan. 2013. “Fikminsunda.com: Dokumentasi Fiksimini Basa Sunda ”. Dalam  [http://fikminsunda.com/buka/baca/1359254884], diakses 23 April 2013, pukul 17:12 WIB.

Retno H.Y. 2013. “Beratnya Menjaga dan Melestarikan Nilai Budaya”. Dalam Pikiran Rakyat, 22 April 2013. Bandung.

Rudye R.Z. 2011. “Adat dan Budaya Kampung Naga”. [http://ud78-margapura.blogspot.com/2011/02/tentang-kampung-naga.html], diakses 23 April 2013, pukul 17:51 WIB.

                  Yusuf, Ahmad. 2013. “Terpuruk Meski Belum Ambruk”. Dalam Pikiran Rakyat, 22 April                    2013. Bandung.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa