Model Pembelajaran dan Pelestarian Bahasa Daerah

1. Pendahuluan

Menumbuhkan kembali rasa cinta generasi muda terhadap bahasa daerah, salah satunya dilakukan dengan mengajarkannya di lembaga pendidikan formal. Pada beberapa bahasa daerah, hal itu sudah lama dilakukan. Misalnya, sejak tahun ajar 2005/2006, bahasa Jawa wajib diajarkan di SLTA. Dengan demikian, jenjang pembelajarannya lengkap dari SD sampai dengan SLTA. Senada dengan itu ialah sikap masyarakat Sulawesi Selatan. Melalui Kongres Internasional II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan, mereka merekomendasikan (1) bahasa daerah Sulawesi Selatan wajib diajarkan sejak PAUD hingga pendidikan menengah dan (2) pengajaran itu harus dalam bentuk mata pelajaran tersendiri, bukan perwujudan muatan lokal. Terlepas dari dua contoh tersebut, penulis yakin bahwa di bahasa Sunda, Bali, Madura, dan bahasa daerah lain juga sedang diupayakan untuk diajarkan. Namun, seperti terjadi pada bahasa Jawa, model pembelajaran itu mungkin juga cenderung dalam bentuk ceramah sehingga membosankan siswa.

 

2. Model Pembelajaran Bahasa Daerah

Dalam kaitan dengan model pembelajaran dalam bentuk ceramah yang dianggap membosankan siswa, model pembelajaran yang sifatnya nonceramah tentu menjadi menarik. Sehubungan dengan itu, pada tahun 2010 Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta bekerja sama dengan Universitas Negeri Yogyakarta dan Balai Bahasa Yogyakarta menyusun Buku Pedoman Pengajaran Bahasa Jawa untuk Siswa SMA. Buku itu mengajarkan model pembelajaran bahasa Jawa yang didasarkan pada pendekatan komunikatif. Strategi pembelajarannya berciri (1) semipermainan untuk meningkatkan motivasi intrinsik siswa, (2) didominasi bentuk praktik untuk mengaktifkan siswa, dan (3) menempatkan siswa sebagai pusat (Zuchdi, 1994: 11 dan Tim Penyusun Buku Pedoman Pengajaran Bahasa Jawa untuk Siswa SMA, 2010: 24—25). Model pembelajaran itu diakronimkan dengan basjam, yaitu bahasa Jawa yang menyenangkan. Strategi basjam terangkum dalam empat model, yaitu (1) bermain kata, (2) bermain peran, (3) kuis bahasa, dan (4) olah (uthak-athik) aksara Jawa. Berikut gambaran ringkas setiap model.

     Model pertama ialah basjam model bermain kata. Model itu diterapkan untuk tujuan meningkatkan penguasaan kosakata siswa, baik ngoko maupun krama. Basjam model bermain kata terwujud dalam dua strategi, yaitu (1) teka-teki silang (TTS) dan (2) skrebel. Peranti yang diperlukan ialah lembar TTS atau lembar skrebel.

         Model kedua ialah basjam model bermain peran. Model itu diterapkan untuk meningkatkan penguasaan kosakata, penguasaan gramatika, kemampuan bicara, dan kemampuan mengapresiasi sastra. Basjam model bermain peran terwujud dalam dua strategi, yaitu (1) bermain sandiwara dan (2) berbicara monolog dalam forum resmi dan tidak resmi. Peranti yang diperlukan ialah (penggalan) naskah sandiwara atau teks monolog.

        Basjam model bermain peran sangat cocok untuk melatih kemampuan aksen berbahasa daerah sebagai salah satu kekhasan sebuah bahasa. Pelatihan aksen itu menjadi penting mengingat banyak generasi muda yang sudah kehilangan aksen bahasa ibu. Pada generasi muda Jawa misalnya, kerancuan aksen terlihat pada ketakpekaan untuk, setidaknya, membedakan lafal [?] dan [t], seperti pada kata sotho ‘pukul’ dan soto ‘soto’; [?] dan [d], seperti pada kata wedhi ‘pasir’ dan wedi ‘takut’; [a] dan [?], seperti pada kata piala ‘piala’ dan piala ’perbuatan buruk’.

        Model ketiga ialah basjam kuis bahasa. Model kuis bahasa diterapkan untuk meningkatkan kemampuan menyimak sumber tulis dan lisan dalam bahasa daerah. Basjam model kuis bahasa terwujud dalam tiga strategi, yaitu (1) kuis berita, (2) mengubah lagu, dan (3) cerdas tangkas (wastra basa). Peranti yang diperlukan berupa (a) fotokopi teks berita atau CD berita jika strategi yang dipilih ialah kuis berita; (b) lagu yang akan dijawakan jika yang dipilih ialah strategi mengubah lagu; dan (c) papan skor, pengatur waktu, lembar pertanyaan, dan kertas padalarang jika yang dipilih ialah strategi cerdas tangkas.

     Model keempat ialah basjam olah aksara. Basjam model olah aksara diterapkan untuk tujuan meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis dan membaca aksara Jawa. Basjam model olah aksara, secara mendasar, terwujud dalam tiga strategi secara berurutan, yaitu (1) kartu aksara, (2) sanding aksara, dan (3) aksara ubahan. Peranti yang diperlukan ialah kartu kertas padalarang ukuran sedang, misalnya 10 cm x 10 cm. Satu kartu berisi satu aksara. Kartu aksara berfungsi mengenalkan jenis aksara bahasa Jawa. Strategi kedua, sanding aksara, diwujudkan dengan menyandingkan aksara Latin dan Jawa dari sekelompok kata sederhana dengan ciri (a) bersuku terbuka dan (b) merupakan pasangan minimal. Penyandingan dilakukan secara lurus dari atas ke bawah. Penyandingan dimaksudkan untuk lebih mengenalkan kekontrasan bentuk aksara Latin dan Jawa. Strategi terakhir, yaitu aksara ubahan. Strategi aksara ubahan dilakukan untuk mengenalkan adanya perubahan bentuk aksara Jawa yang disebabkan oleh (a) kekhasan distribusi; (b) hadirnya fonem asing (aksara rekan), misal /f atau q/; dan (c) adanya huruf kapital (aksara murda).

      Model basjam tersebut tergolong mudah untuk diterapkan. Lebih dari itu, model tersebut menjadikan siswa terlibat aktif sejak persiapan sampai akhir pelaksanaan, yaitu evaluasi. Untuk sekadar contoh, berikut gambaran pelaksanaan model kuis bahasa dengan strategi cerdas tangkas atau cerdas cermat. Peranti yang diperlukan meliputi (1) fotokopi teks berita sebagai sumber soal dan (2) kertas padalarang sebagai media soal aksara Jawa. Secara lengkap, pelaksanaan itu menerapkan langkah sebagai berikut.

1) Guru mengumumkan rencana cerdas tangkas setidaknya seminggu sebelum
     pelaksanaan.
2) Guru membagi siswa dalam kelompok. Kelompok itu beranggotakan tiga
     sampai lima siswa. Jumlah seluruh kelompok harus dapat dibagi tiga.
3) Pembentukan gugus (cluster); setiap gugus beranggotakan tiga kelompok.
4) Guru menyerahkan fotokopi teks berita yang berbeda kepada setiap gugus.
5) Guru menjelaskan kewajiban setiap gugus.
     a) Setiap gugus menentukan teman yang akan bertugas sebagai
         (a) pembaca berita, (b) pencatat nilai, dan (c) pengatur waktu.
     b) Setiap gugus menyusun 35 soal beserta jawabannya dengan perincian
         a. 30 soal berkenaan dengan isi berita:
              - 18 soal berbentuk ngoko; 12 soal berbentuk krama;
              - 15 soal kategori wajib dengan perincian 5 soal untuk setiap kelompok,
                 9 soal untuk lemparan, 6 soal untuk rebutan;
         b. 5 soal berkenaan dengan penulisan huruf Jawa.
6) Guru menjelaskan aturan perlombaan.
     - Soal yang dibuat oleh salah satu gugus dikerjakan oleh gugus lain secara acak.
     - Perlombaan terjadi pada kelompok yang menjadi anggota sebuah gugus.
     - Setiap kelompok memperoleh lima soal wajib. Soal tidak dialihkan kepada kelompok
        lain meskipun tidak terjawab.
     - Setiap kelompok memperoleh tiga soal lemparan. Soal yang tidak terjawab dialihkan
        ke kelompok lain.
     - Soal rebutan diberikan kepada kelompok yang terlebih dahulu mengangkat tangan.
     - Soal dalam bentuk huruf Jawa masuk kategori soal rebutan. Nilai jawaban berjenjang
       dari 0—15 bergantung pada tingkat kebenaran jawaban. Jawaban ditulis di papan
       sekaligus dibacakan.
7) Guru menjelaskan dasar penilaian.
     - Jawaban benar untuk kategori soal wajib dan lemparan bernilai 10.
     - Jawaban benar untuk kategori soal rebutan bernilai 15.
       Jika jawaban salah, nilai didenda 5.
8) Guru menjelaskan tugas dan wewenang setiap petugas.
     - Guru bertugas sebagai juri.
     - Pembacaan teks berita, pembacaan soal, pencatatan nilai, dan pengaturan waktu
        dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh gugus.
9) Prapelaksanaan dan saat pelaksanaan cerdas cermat.
     - Dua hari sebelum pelaksanaan, guru mengumpulkan soal yang sudah dibuat setiap gugus.
     - Guru mencermati dan membuat catatan atas soal yang sudah dibuat jika dirasa perlu.
10) Guru memandu evaluasi setiap pelaksanaan cerdas cermat.

     Berdasarkan gambaran tersebut, diketahui bahwa strategi cerdas cermat mudah untuk dilaksanakan karena tidak memerlukan media dan peranti yang sulit. Selain itu, model cerdas cermat akan membiasakan siswa terlibat aktif sejak persiapan sampai dengan akhir pelaksanaan. Selebihnya, model cerdas cermat juga mengaktifkan potensi verbal siswa, terutama pada saat evaluasi. Evaluasi biasanya akan memunculkan diskusi, baik tentang (a) cara pembacaan teks yang mungkin terlalu cepat atau tidak jelas, (b) waktu yang terlalu singkat, (c) jawaban yang kurang tepat, maupun (d) penulisan aksara Jawa yang terlalu kecil. Pada tahap evaluasi, selain sebagai fasilitator, guru berfungsi sebagai mediator.

    Tidak kalah menarik dengan model basjam ialah model pembelajaran bahasa Bugis berbasis siri na pesse yang ditawarkan oleh Saleh (2012). Model itu bertujuan menanamkan empat pilar nilai luhur siri na pesse yang disandingkan dengan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual. Empat pilar siri na pesse itu meliputi lempu ‘jujur’, acca ‘cerdas’, warani ‘berani’, dan mappesona ri Dewata seuwa ’tawakal’. Adapun tujuh komponen pembelajaran kontekstual itu ialah constructivism, inqury, questioning, modelling, learning community, reflection, dan authentic assessment.

      Penyandingan nilai luhur siri na pesse dengan tujuh komponen pembelajaran kontekstual diwujudkan dalam bentuk permainan tradisional. Tujuannya agar pembelajaran menyenangkan dan siswa kembali akrab dengan permainan tradisional. Dalam pelaksanaannya, nilai siri na pesse yang akan ditanamkan dan komponen pembelajaran kontekstual yang akan diterapkan harus disesuaikan dengan jenis permainan yang dipilih,  misalnya tentang penanaman sikap warani ’berani’ dan acca ‘cerdas’. Untuk menyesuaikan karakter warani dan acca, pilar pendekatan kontekstual yang cocok digunakan ialah cooperative learning. Jenis permainannya dipilih tudang sipulung yang memang memeluangi terjadinya diskusi. Dengan strategi itu, nilai warani dan acca tecermin melalui keberanian dan kemampuan siswa untuk menanggapi topik yang sudah disepakatkan. Prinsip kooperatif terlatihkan melalui kebijakan siswa dalam memanfaatkan kartu sebagai jatah untuk berbicara.

     Seperti halnya model basjam, model pembelajaran berbasis siri na pesse juga mengaktifkan siswa di samping mengaktivasi otak kanan. Aktivasi terjadi sesuai dengan terciptanya suasana yang menyenangkan dan kesadaran untuk bersyukur. Bersyukur karena memiliki kartu hak bicara berarti juga sebagai pembatasan untuk berbicara.

       Dalam kaitan dengan pemelajaran aksara daerah, perlu disosialisasikan pula metode baru, metode yang telah dilakukan oleh Baso (2012) patut dijadikan contoh. Keberhasilan Baso membuat prototipe true type fonts lontara yang dinamai Lontara Yusring serta mengintegrasikannya ke program multimedia interaktif merupakan sebuah lompatan yang panjang. Keberhasilan itu jelas merupakan penyederhanaan atas kerumitan pembelajaran aksara lontara karena keasingan siswa akan bentuk hurufnya. Dengan aplikasi Lontara Yusring, pengguna tidak perlu lagi menghafal dan menggoreskan setiap aksara, tetapi cukup dengan menekan tuts keyboard. Oleh sebab itu, menulis dalam aksara lontara tidak lagi berbeda dengan menulis dalam aksara Latin. Selain itu, Lontara Yusring juga dapat diintegrasikan pada program interaktif apa pun sejauh berbasis http. Dengan demikian, masyarakat Bugis dapat berinteraksi melalui internet dengan aksara lontara, baik melalui facebook, twitter, maupun model interaktif yang lain. Media tersebut merupakan media yang sangat diakrabi generasi muda. “Kedekatan” yang seperti itu diharapkan akan mengakrabkan dan mengembalikan kebanggaan generasi muda akan aksara daerah, khususnya lontara.

 

3. Penutup

Ancaman akan kepunahan bahasa daerah bukanlah kekhawatiran yang tidak beralasan. Menyusutnya citra dan nilai ekonomi bahasa daerah merupakan sebagian dari sumber permasalahan. Sebagian yang lain berkenaan dengan kegagapan bahasa daerah yang harus mampu mengungkapkan masalah kekinian. Karena kekurangan itu, tanpa upaya pelestarian yang terencana, bahasa daerah tentu akan ditinggalkan penuturnya.

     Upaya untuk melestarikan bahasa daerah, mau tidak mau, tidak boleh meninggalkan generasi muda. Seperti ditegaskan Salminen (Sugiyono, 2013), punah takpunahnya sebuah bahasa daerah berhubungan dengan ada tidaknya generasi muda sebagai penerus tutur. Makin banyak generasi muda akrab dengan bahasa daerahnya, bahasa itu dapat terselamatkan.

     Membangun kesadaran generasi muda sebagai ahli waris sekaligus pewaris bahasa daerah identik dengan membangun kecintaan generasi muda pada bahasa daerahnya. Kecintaan itu berkorelasi dengan menyenangkan tidaknya suasana pembelajaran. Dalam hubungan itu, model pembelajaran hendaknya meminimalkan bentuk ceramah supaya tidak membosankan. Model yang dipilih hendaknya mengedepankan model yang dapat melibatkan siswa sebanyak dan seaktif mungkin. Pembelajaran model basjam dan model berbasis siri na pesse hanyalah sebuah kemungkinan. Penciptaan model lain yang disesuaikan dengan kekhasan setiap daerah masih sangat diperlukan. Apa pun bentuk modelnya, model itu harus dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.

       Selain bahasa, yang juga perlu dilestarikan ialah keberadaan aksara daerah. Pelestarian aksara itu hendaknya mempertimbangkan kemajuan teknologi, khususnya pemanfaatan multimedia. Dalam kaitan itu, keberhasilan penciptaan Lontara Yusring yang berbasis http perlu ditiru oleh daerah lain yang juga memiliki aksara daerah. Ketermungkinan generasi muda untuk berinteraksi melalui internet dengan aksara daerah sepertinya dapat dianggap pintu baru untuk kembali mencintakan generasi muda pada aksara daerah.

 

Daftar Pustaka


Alwi, Hasan dan Dendy Sugono. 2000. Politik Bahasa: Risalah Seminar Politik Bahasa.
      Jakarta:  Pusat Bahasa.

Basri dan Ruslan Ramli. 2012. “Media Massa Harus Berperan Mendaerahkan Kembali Bahasa
      Daerah”. Makalah Kongres Internasional II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan,
      Ujung Pandang, 1—4 Oktober 2012.

Baso, Yusring Sanusi. 2012. “Model Prototipe Program True Type Fonts Aksara Lontara
      dan Pengintegrasiannya dengan Program Multimedia Interaktif untuk Pembelajaran
      Bahasa Daerah di Sulawesi Selatan”. Makalah Kongres Internasional II Bahasa-Bahasa
      Daerah Sulawesi Selatan, Ujung Pandang, 1—4 Oktober 2012.

Iswary, Ery. 2012. “Profil Penggunaan dan Pemertahanan Bahasa Daerah di  Sulawesi Selatan:
      Antara Prestis dan Apresiasi”. Makalah Kongres Internasional II Bahasa-Bahasa Daerah
      Sulawesi Selatan, Ujung Pandang, 1—4 Oktober 2012.

Ronald, Wardaugh. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell.

Saleh, Muhammad. 2012. “Model pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah Berbasis Siri Na
      Pesse”. Makalah Kongres Internasional II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan, Ujung
      Pandang, 1—4 Oktober 2012.

Sugiyono. 2013. “Pelindungan Bahasa Daerah dalam Kerangka Kebijakan Nasional
        Kebahasaan”.[http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/],
        diakses tanggal 22 Mei 2013, pukul 20.00.

Tim Jaringan Penelitian Pendidikan Propinsi DIY. 2005. “Penerapan Model Basjam
        dalam Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa di Sekolah Menengah Atas”.
        Yogyakarta: Bapeda Propinsi DIY.

Tim Penyusun Buku Pedoman Pengajaran Bahasa Jawa untuk Siswa SMA. 2010.
        Buku Pedoman Pengajaran Bahasa Jawa untuk Siswa SMA. Yogyakarta: Biro
        Administrasi Pembangunan, Sekretariat Daerah Provinsi DIY.

Zuchdi. 1994. “Pendekatan Komunikatif dalam Pengajaran Bahasa: Pengertian dan
        Karakteristik”. Makalah Penataran dan Pelatihan Pengajaran Bahasa Indonesia
        yang Bersifat Komunikatif, FPBIS, IKIP Yogyakarta, 18—24 Juli 1994.

Edi Setiyanto

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa