Memartabatkan Bahasa Indonesia Melalui Kurikulum 2013

1. Pendahuluan

Kurikulum sekolah berubah lagi. Tentu ada saja  pihak yang  pro dan yang kontra terhadap perubahan tersebut. Belum lama KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) berlaku. Kurikulum terakhir itu dibuat untuk menggantikan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) pada tahun 2004 sebagai perubahan atas Kurikukum 1994. Bagi pihak yang kontra, perubahan kurikulum sekolah itu sangat menjemukan dan menjengkelkan.

     Kurikulum 2013 akan tercatat sebagai perubahan kurikulum ketiga selama era politik Reformasi. Pada era Orde Baru, dengan stabilitas politik yang dijaga ketat, kurikulum sekolah tampak lebih mapan sehingga uang untuk jasa pendidikan tidak seboros sekarang. Dahulu, dengan Kurikulum 1975, satu buku dapat dipakai lintas generasi oleh adik dan kakak kelas. Dalam buku pelajaran sekolah pun, bahasa Indonesia sangat kuat kedudukannya dan bermartabat sekuat bahasa Indonesianya  Suharto ketika itu.

     Dalam KTSP, kedudukan bahasa Indonesia cenderung dilemahkan; dilecehkan pada setiap satuan pendidikan. Di tingkat sekolah dasar dan—bahkan—prasekolah, bahasa Indonesia sudah mulai digeser posisi pentingnya sebagai bahasa pendidikan dengan bahasa lain selain bahasa Indonesia, terutama bahasa Inggris. Bahasa Cina juga menggeser bahasa Indonesia di sekolah tertentu. Di sana, bahasa Indonesia tidak digunakan sebagai bahasa ”buku” (baca: literasi) yang bergengsi. Dengan mengurangi martabat bahasa Indonesia, para penyelenggara KTSP sudah meraup untung dari urusan pendidikannya.

2. Pengintegrasian

Sudah semestinya--antara lain karena terjadinya komersialisasi pendidikan--kurikulum KTSP diganti. Penggantian KTSP dengan Kurikulum 2013 juga dilandasi dengan niat baik untuk memartabatkan bahasa Indonesia. Melalui penyusunan Kurikulum 2013, mata pelajaran (mapel) yang jumlahnya terlalu banyak, terutama di tingkat sekolah dasar (SD), sudah dirampingkan, dan bahasa Indonesia dipilih untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial.

     Integrasi IPA dan IPS dalam mapel bahasa Indonesia tersebut membawa konsekuensi kewajiban menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana pencarian dan penemuan ilmu. Dengan kata lain, jadikanlah bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu. Martabat bahasa Indonesia rusak ketika tidak digunakan untuk kepentingan ilmu. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sekarang sudah bertekad untuk membenahi kembali karakter bangsa yang mulai rusak di sekolah.

     Semangat integrasi mapel tersebut diharapkan menjadi cambuk bagi semua lembaga pendidikan sekolah di bawah kendali Kemendikbud. Selain itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga sudah saatnya dicambuk agar lebih percaya diri untuk memartabatkan bahasa Indonesia. Di LIPI sudah terlihat kecenderungan pengembangan dan pembinaan ilmu pengetahuan Indonesia dengan bahasa asing. Misalnya, karya tulis ilmiah yang hanya berbahasa Indonesia masih dianggap cacat atau tidak sempurna kalau belum tertulis dalam bahasa asing, khususnya bahasa Inggris.

     Bahasa ilmu pengetahuan Indonesia haruslah tumbuh dan berkembang atas dasar  karakter bangsa Indonesia yang tercermin dalam perilaku berbahasa Indonesia. Penanaman nilai perilaku itu sulit berhasil tanpa pendidikan dasar yang berjati diri dan berkarakter kuat. Untuk itu, penguatan bahasa Indonesia  di SD dapat menjadi harapan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang kekal.

     Penguatan mapel bahasa Indonesia di SD tidak berarti paralel dengan pelemahan mapel IPA dan IPS. Dalam integrasi mapel itu, semua pelajaran akan sejajar dan saling menguatkan. Tidak akan ada lagi anggapan dari kalangan anak sekolah bahwa IPA lebih penting daripada IPS. Tidak akan ada juga yang beranggapan bahwa bahasa Indonesia bermutu rendah jika dibandingkan dengan bahasa asing. Inferioritas bahasa Indonesia di dunia pekerjaan sudah terlampau parah. Hal itu perlu segera dihilangkan. Kurikulum 2013 diharapkan mampu mengatasi kegagalan dunia pendidikan dalam pemartabatan bahasa Indonesia.

3. Kesinambungan

Tidaklah mudah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu. Jangankan sebagai bahasa ilmu, bahasa Indonesia belum tentu digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Pada diri anak dan orang dewasa sekali pun, keberadaan bahasa Indonesia masih merupakan sebuah proses konstruksi. Bahasa Indonesia bukanlah “barang jadi” yang selalu siap digunakan untuk mengomunikasikan ilmu kepada anak sekolah. Penggunaan bahasa Indonesia itu harus berlangsung di dunia pendidikan melalui penyelenggaraan kurikulum sekolah dengan prinsip kesinambungan.

     Kurikulum 2013 perlu memproses bahasa Indonesia--agar menjadi bahasa dalam IPA dan IPS--secara berkesinambungan dengan bahasa daerah. Konsep pengembangan kurikulum seperti itu agaknya sejalan dengan gagasan A. Chaedar Alwasilah  yang mengkhawatirkan hilangnya peran bahasa daerah dalam pencerdasan daya nalar anak bangsa. Dalam buku terbarunya, Pokoknya Rekayasa Literasi, Alwasilah (2012) mengajukan konsep etnopedagogi untuk merancang pendidikan berbasis kearifan lokal dengan memasukkan bahasa daerah yang ada dalam setiap suku bangsa.

     Kurikulum 2013, khususnya untuk anak SD, sudah tampak sangat padat dengan konsep etnopedagogi. Menurut konsep mapel bahasa Indonesia, integrasi IPA dan IPS yang disusun oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa),  Kemendikbud, anak pada tahap awal ditargetkan untuk memiliki kompetensi ”menerima  anugerah Tuhan Yang Maha Esa berupa bahasa Indonesia yang dikenal sebagai bahasa persatuan dan sarana belajar di tengah keberagaman bahasa daerah”. Dimensi spiritual kompetensi itu akan terlihat dari sikap sosial pada anak yang bangga atas keberadaan bahasa daerah (etnik) yang sangat beragam di Indonesia.

     Sekadar ilustrasi, untuk mencapai target pendidikan tersebut, wujud dan sifat benda, misalnya batu yang terdapat dalam materi kurikulum kelas I SD, dapat dikenalkan dengan kata watu kepada anak di daerah Suku Jawa. Kata batu, bagi anak yang berlatar bahasa (daerah) Jawa, akan merujuk pada benda (baterai) yang bersifat listrik. Bagi mereka, pengetahuan tentang benda padat nonlistrik itu akan mudah ditemukan dari kata watu. Mereka pun akan merasa bangga dengan adanya bahasa daerah.

     Bantuan bahasa daerah sangat diperlukan untuk memahami dan menyajikan setiap jenis teks, misalnya deskripsi wujud dan sifat benda, bagi anak sekolah yang sedang belajar mengenal bahasa Indonesia. Pengenalan bahasa Indonesia dengan beberapa bahasa daerah akan memperkuat jati diri dan karakter (perilaku verbal) anak untuk menuju tahapan lebih lanjut dalam pelembagaan bahasa Indonesia. Selain itu, teks pelajaran seperti itu akan mendidik anak untuk turut mendahulukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang bermartabat tanpa meniadakan bahasa daerah.

4. Penutup

Bahasa nasional dan bahasa daerah merupakan sebuah bentuk kesinambungan. Isi Kurikulum 2013 yang dikonsep oleh Badan Bahasa untuk anak SD  dengan teks (genre) sebagai dasar integrasi IPA dan IPS akan berimplikasi sangat jauh. Seberapa jauh Badan Bahasa beserta unit teknisnya di daerah (Balai/Kantor Bahasa) didayagunakan dalam membangun pendidikan sekolah akan menentukan keberhasilan konsep kurikulum baru itu. Hal itu merupakan  taruhan bagi pemartabatan bahasa Indonesia.

     Pada tahun baru 2013, publik diminta untuk menyambut kehadiran kurikulum baru. Kurikulum 2013--yang akan mulai diterapkan pada tahun ini--tidak boleh hanya bagus pada tataran konsep. Jika praktik penyelenggaraannya di sekolah buruk, semua pihak--baik yang sekarang mengaku kontra maupun pro—akan merasa kecewa dan menggerutu, “Ganti terus buang-buang uang saja, deh!”


Daftar Pustaka

Awasilah, Chaedar A. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung:  Kiblat Utama.
    
Nugroho, Yusro Edy. 2001. Serat Wedhatama: Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon
     Pembaca
. Semarang: Mimbar dan Yayasan Adikarya IKAPI serta The   Ford Foundation.

Maryanto

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa