Bahasa Perundang-Undangan

Pendahuluan

Suatu undang-undang atau suatu peraturan perundang-undangan--di negara yang mengaku berdasarkan hukum--selalu dijadikan dasar pengaturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu disebabkan dalam perundang-undangan itu selalu dimuat tiga ketentuan pokok, yaitu ketentuan yang berisi (1) pengaturan, (2) pelarangan, dan (3) sanksi. Seseorang yang telah melanggar salah satu ketentuan pengaturan dalam suatu undang-undang sering disebut telah melanggar hukum, terutama hukum tertulis. Dengan demikian, orang yang telah melanggar hukum  sama sajalah dia dengan telah melanggar undang-undang.

                Jika seseorang berbicara bahasa dalam perundang-undangan, berarti dia berbicara bahasa hukum, lebih tepatnya berbicara bahasa dalam hukum tertulis. Selama ini banyak ahli hukum yang beranggapan bahwa bahasa yang digunakan dalam hukum berbeda dengan bahasa Indonesia yang lain. Padahal, dalam Bab III Ragam Bahasa Peraturan Perundang-Undangan, UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No 12 Tahun 2011) Lampiran 2 disebutkan sebagai berikut.

Bahasa peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan maupun pengejaannya, namun bahasa peraturan perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisannya.

                Berdasarkan kutipan tersebut tampak jelas bahwa bahasa dalam perundang-undangan atau bahasa dalam hukum tertulis ternyata adalah bahasa Indonesia juga yang harus tunduk pada kaidah tata bahasa Indonesia, baik dalam (a) pembentukan kata, (b) penyusunan kalimat, (c) teknik penulisan, maupun (d) pengejaannya. Namun, pada pernyataan berikutnya--yaitu namun bahasa peraturan perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum--menjadi anomali dari pernyataan sebelumnya. Hal itu disebabkan pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa bahasa Indonesia di luar bahasa perundang-undangan tidak bercirikan (1) kejernihan atau kejernihan pengertian, (2) kelugasan, (3) kebakuan, serta (4) ketaatasasan dan hanya bahasa perundang-undangan saja yang memiliki keempat ciri tersebut.

                Di kalangan linguis dan guru bahasa pernyataan anomali tersebut sebenarnya termasuk ciri bahasa yang efektif, yaitu strukturnya harus jelas, bentuk dan pilihan katanya harus lugas, dan informasi yang disampaikan tidak ambigu sehingga tidak perlu dianomalikan dengan pernyataan sebelumnya. Dengan demikian, bahasa Indonesia yang digunakan dalam perundang-undangan tidak hanya menggunakan kaidah tata bahasa baku, tetapi juga harus memperhatikan atau mengikuti prinsip keefektifan kalimat.

 

 

Pembentukan Kata

Pembentukan kata dalam bahasa perundang-undangan dilakukan dengan berpedoman pada morfologi bahasa Indonesia dan pedoman umum pembentuka istilah. Pembentukan kata ini termasuk dalam bentuk dan pilihan kata (diksi). Berikut disajikan beberapa contoh pilihan kata dalam perundang-undangan.

 

Jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 serta pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemilihan kata dilaksanakan pada ayat tersebut bermakna ‘dijalankan’ sehingga sangat aneh jika jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak serta pendapatan daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dapat dilaksanakan adalah pekerjaan atau tugas, bukan jenis dan tarif serta pendapatan daerah seperti pada ketentuan di atas. Agar menjadi norma yang baku, ketentuan tersebut harus diubah menjadi sebagai berikut.

Jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 serta pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Penyusunan Kalimat

                Susunan kalimat dalam perundang-undangan juga harus mengikuti kaidah sintaksis bahasa Indonesia. Dengan demikian, unsur wajib dalam kalimat seperti subjek dan predikat harus selalu ada dalam setiap ketentuan yang dituangkan dalam pasal atau ayat. Tanpa kehadiran salah satu unsur tersebut, pasal atau ayat dalam perundang-undangan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai norma karena norma harus berupa proposisi. Berikut disajikan beberapa kasus.

Dalam hal pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berada di dalam kawasan hutan konservasi, hanya dapat digunakan untuk kegiatan wisata alam.

Contoh (3) tersebut terdiri atas dua bagian utama, yaitu (i) Dalam hal pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berada di dalam kawasan hutan konservasi dan (ii) hanya dapat digunakan untuk kegiatan wisata alam. Bagian (i) lazim disebut keterangan (adverbial) dan bagian (ii) lazim disebut predikat. Dengan demikian kalimat tersebut belum dapat dikatakan sebagai norma karena subjek kalimat belum ada. Untuk itu, agar menjadi norma, contoh (3) harus diperbaiki dengan memunculkan subjek kalimat pengusahaan panas bumi seperti tampak pada (3a) atau (3b) berikut.

a. Dalam hal pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang berada di dalam kawasan hutan konservasi, pengusahaan panas bumi hanya dapat digunakan untuk kegiatan wisata alam.

b. Pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang berada di dalam kawasan hutan konservasi hanya dapat digunakan untuk kegiatan wisata alam.

                Selain harus ada subjek, norma dalam ketentuan perundang-undangan juga harus memiliki predikat. Tanpa kehadiran predikat, pasal atau ayat dalam perundang-undangan pun tidak dapat dikatakan sebagai norma karena norma harus berupa proposisi dan syarat proposisi harus ada subjek dan ada predikat. Predikat dalam perundang-undangan haruslah berupa kata kerja (verba) yang berupa tindakan. Berikut disajikan beberapa kasus.

Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud ayat (2) untuk mengukur dan memperkirakan sampai seberapa jauh risiko berpotensi membahayakan, meluas, dan menyebar sehingga melumpuhkan perekonomian.

                Contoh (4) tersebut terdiri atas tiga bagian, yaitu (i) Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud ayat (2), (ii) untuk mengukur dan memperkirakan sampai seberapa jauh risiko berpotensi membahayakan, meluas, dan menyebar, dan (iii) sehingga melumpuhkan perekonomian. Bagian (i) lazim disebut subjek, bagian (ii) dan bagian (iii) lazim disebut keterangan. Dengan demikian contoh tersebut belum dapat dikatakan sebagai norma karena predikat kalimat belum ada. Untuk itu, agar menjadi norma, contoh (4) harus diperbaiki dengan memunculkan predikat kalimat, yaitu digunakan seperti tampak pada (4a) atau dimanfaatkan seperti tampak pada (4b) berikut.

a. Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud ayat (2) digunakan untuk mengukur dan memperkirakan sampai seberapa jauh risiko berpotensi membahayakan, meluas, dan menyebar sehingga melumpuhkan perekonomian.

b. Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud ayat (2) digunakan untuk mengukur dan memperkirakan sampai seberapa jauh risiko berpotensi membahayakan, meluas, dan menyebar sehingga melumpuhkan perekonomian.

 

Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang tepat mempermudah pemahaman terhadap suatu norma yang akan diungkapkan. Norma yang terdapat dalam ketentuan berikut sulit dipahami karena tidak disajikan secara baik. 

                               

Pasal 62               

Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dilarang memberikan obat selain obat bebas dan obat bebas terbatas, kecuali dalam melaksanakan tugas dalam kondisi keterbatasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.

 

Kalimat dalam norma di atas secara bahasa tidak salah, tetapi untuk memahami informasi apa yang akan diungkapkan diperlukan kecermatan tersendiri untuk memahami informasi apa yang akan disampaikan. Kesulitan pemahaman terhadap pasal tersebut terletak pada penggunaan kata depan (konjungsi) dalam secara berulang. Untuk memudahkan pemahaman, konjungsi dalam bisa berganti dengan kata pada atau sebaliknya dan sebaiknya dibuat tabulasi seperti prubahan pada (1) atau (2) berikut.

 

Pasal 62

Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dilarang memberikan obat selain obat bebas dan obat bebas terbatas, kecuali dalam melaksanakan tugas pada:

kondisi keterbatasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34; dan/atau

keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.

 

atau diubah menjadi berikut.

 

Pasal 62

Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dilarang memberikan obat selain obat bebas dan obat bebas terbatas, kecuali pada pelaksanaan tugas dalam:

kondisi keterbatasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34; dan/atau

keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.

 

DAFTAR PUSTAKA

Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2012. Gapura Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Elmatera Publising.

-----. “Bahasa Indonesia dalam Perundang-undangan” dalam Jurnal Kajian. Vol. VII hal 1—22, Jakarta 2011.

Vilies, I.C. van der. 2005. Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan (Dialihbahasakan oleh Linus Doludjawa). Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa