Sastra Kreatif dan Kreativitas Sastra
Pengantar
Perjalanan dan perkembangan kehidupan karya sastra sangat diwarnai oleh dinamika perkembangan zaman. Gerak hidup yang setiap saat terjadi dalam kehidupan masyarakat di negeri tercinta ini tidak bisa tidak pasti berpengaruh terhadap perkembangan sastra Indonesia dan daerah. Kalau Karl Marx mengatakan bahwa materi begerak sesuai dengan zamannya, peristiwa yang sama juga berlaku bagi dunia sastra. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila terjadi geliat kehidupan sastra di Indonesia, baik sastra Indonesia maupun sastra tradisional yang terdapat di dalam khazanah sastra daerah.
Perkembangan atau perubahan yang dimaksud mencakup pergeseran nilai yang hidup dalam dunia sastra berkat pemahaman sang pengarang atau sastrawan terhadap kehidupan itu sendiri. Dalam kaitan itu, sang sastrawan diharuskan bagaimana bersikap dan menempatkan diri terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan spiritualitas di tengah-tengah masyarakat yang terus berbenah. Dalam konteks itulah, setiap karya yang dihasilkan oleh sastrawan akan menceminkan banyak hal yang mengitari kehidupannya.
Karya sastra bagaikan anak panah bagi pengarang yang dilesatkan dari busurnya untuk mencapai sasaran yang dituju. Sastra bagi pengarang adalah alat ampuh untuk menyuarakan kepedulian dan/atau pengalaman estetiknya dalam memberikan asupan-asupan segar kepada warga masyarakat.
Harus diakui pula bahwa pada masa sekarang ini arti sastra sudah dapat ditempatkan pada posisi yang lebih proporsional. Di kalangan umat beragama, misalnya, sastra sudah menjadi konsumsi sehari-hari untuk kehidupan dan keperluan dakwah. Keterlibatan ulama dalam dunia sastra bukan fenomena baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka gejala semacam itu sudah tampak, bahkan sejak zaman Wali Songo. Dalam alam dunia modern, sekadar contoh, Hamka adalah ulama pertama yang menjadi pelopor keterlibatan tokoh agama di dunia sastra. Lihat saja dalam dua novelnya yang bertajuk Di Bawah Lidungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijik. Hal yang sama juga dapat disaksikan dalam kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami buah tangan A.A. Navis. Begitu kentalnya nuansa islami dalam ketiga karya tersebut.
Setakat ini jenis sastra yang paling digemari di Indonesia ialah puisi (syair, pantun, puisi bebas), disusul cerpen. Melalui puisi modern, penyair menuangkan gagasannya dengan gaya yang berbeda dengan gaya bentuk prosa. Pilihan kata, permainan bunyi, dan majas-majas baru seperti tampak bercengkrama tidak seperti di dalam pantun, syair, atau puisi klasik lainnya. Perubahan tersebut terus-menerus memengaruhi berbagai perkembangan, seperti dalam bidang pendidikan, perfilman, hingga aspirasi masyarakat. Perihal puisi ini acap pula dibacakan oleh banyak pihak sebagai penyalur aspirasi anggota masyarakat dalam kegiatan orasi sosial-politik.
Sebagai karya kreatif, seni pergelaran, khususnya pergelaran tradisional, lahir dari kehidupan budaya daerah dan terbina oleh suatu tradisi yang khas daerah. Sebagai buah kesenian, teater tradisional yang berakar dan terpelihara di dalam masyarakat daerah memiliki ciri spesifik sesuai dengan warna kedaerahannya.
Kendati perkembangan teater tradisional terkesan lamban, dalam kenyataannya ada kalanya merambah dan saling bersentuhan dengan kebudayaan daerah lain. Wayang, misalnya, yang selama ratusan tahun silam hanya menampilkan cerita "Ramayana" atau "Mahabrata", kini juga berperan sebagai wadah penyampaian teknik bercocok tanam, pemeliharaan lingkungan, atau peningkatan taraf kehidupan masyarakat pedesaan. Fenomena itu tentu saja merupakan proses integrasi dan hasil sentuhan modernisasi. Teater produk ”kampung” ini, selain berfungsi sebagai hiburan, juga berperan sebagai sarana pendidikan, pemertebal rasa solidaritas kolektif, dan sarana kritik sosial.
Dalam kenyataan bahwa ada penilaian masyarakat dewasa ini mengenai segala sesuatu yang tidak modern, apalagi yang bersifat pribumi, termasuk teater tradisional, kurang mendapat sambutan sebagaimana diharapkan. Agaknya mereka kurang menyadari bahwa sastra tradisional itu mencerminkan alam pikiran, pandangan hidup, serta ekspresi rasa komunitas tertentu.
Kini muncul pertanyaan seberapa jauh eksistensi sastra Indonesia dan daerah memasuki alam globlasai dipandang dari segi peran, esetika, dan perwujudannya sebagai wahana budaya? Masihkah terasa—surut atau berkembang--keindahan yang melatarbelakangi sistem nilai budaya masyarakat pemiliknya? Tentu saja semua bidang kehidupan atau sektor kebudayaan memerlukan manusia kreatif yang mampu memajukan peradaban sesuai dengan bidangnya. Dalam hubungan itu, setiap temuan baru menuntut adanya peranan imajinasi. Hal itu berarti setiap orang dalam profesi apa pun seyogianya menjadi manusia kreatif untuk menciptakan alternatif baru bagi kemaslahatan kehidupan. Baru berarti inovatif, belum ada sebelumnya, menarik, uinik, atau mencuatkan kejutan. Berguna berarti lebih bagus, lebih praktis, lebih mudah, atau lebih cepat untuk mengatasi setiap persoalan kehidupan.
Seni Pertunjukan dan Industri Kreatif
Dalam dunia bisnis dikenal hukum bahwa suatu produk makin lama akan makin kurang peminatnya karena ada perubahan kebutuhan dan selera pasar serta munculnya produk pesaing yang lebih baik. Perlu dipahami bahwa suatu produk memiliki masa lahir, tumbuh, dewasa, tua, dan mati. Oleh karena itu, masyarakat pemilik kebudayaan itu, dalam hal ini sastra modern dan sastra tradisional, dituntut senantiasa melakukan inovasi. Seni tradisional itu sendiri dalam kenyataannya memang terus mengalami perubahan. Patut pula diketahui bahwa teristimewa karya seni tradisional yang dikenal pada saat ini adalah hasil inovasi atau perubahan dari karya seni tradisional sebelumnya. Sebagai kegiatan kreatif yang bersifat nonbendawi (intengible), seni pertunjukan berhubungan erat dengan usaha pengembangan konten dan produksi pertunjukan itu sendiri: tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik teater, termasuk tur musik etnik, desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan. Karena tuntutan ekonomi, komersialisasi seni tradisional telah menjadi suatu realitas di dalam kehidupan masyarakat. Penanganan komersialisasi seni tradisional dengan baik berpotensi membawa dampak positif, baik bagi seni tradisional yang menjadi komoditas itu sendiri maupun para pihak yang terkait, seperti halnya tari klasik, musik klasik, dan seni pergelaran yang dikelola dan dibisniskan secara baik di negara maju. Namun, sesuatu yang tidak terpungkiri adanya realitas bahwa komersialisasi seni tradisional juga berakibat pada pendangkalan dan pelecehan terhadap seni tradisional tersebut. Dalam hal ini, sastrawan dan para penggiat sastra atau seni pertunjukan ditantang untuk merekayasanya demikian rupa, lalu menampilkannya dalam rupa yang baru dengan tetap mengusung misinya yang semula sesuai dengan tuntutan kehidupan masyarakat modern.
Setelah konsep ekonomi kreatif dan industri kreatif bergulir satu dekade terakhir ini di Indonesia, Pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif dengan menunjuk organisasi kementerian/lembaga, baik sebagai koordinator maupun sebagai instansi pendukung. Para gubernur dan bupati/wali kota di seluruh wilayah Indonesia wajib mendukung kebijakan pemerintah tersebut. Dalam instruksi presiden itu ada empat belas subsektor industri kreatif yang akan dan perlu dikembangakan. Salah satu di antaranya adalah seni pertunjukan.
Sastra Siber
Perkembangan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi informasi, berkorelasi dengan meningkatnya berbagai logika dan pemikiran manusia. Kehidupan sastra turut pula makin berkembang, termasuk jumlah dan kalangan peminatnya. Semuanya itu memperlihatkan tingginya kesadaran, kemampuan, serta kemauan para peminat dan pihak penggiat sastra.
Kemunculan sastra siber seputar tahun 2001 seiring dengan merebaknya internet di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Sastra siber adalah aktivitas sastra yang memanfaatkan fasilitas komputer dan internet, yang dapat dikatakan suatu revolusi, sekaligus transformasi dalam dunia sastra. Sebelum dikenal sastra siber, publikasi karya sastra sebenarnya sudah memanfaatkan teknologi yang ada. Kita mengenalnya dengan sebutan sastra koran, sastra majalah, atau sastra buku, yang menggunakan koran, majalah, atau buku sebagai media penyebarannya.
Kehadiran jenis sastra siber ditengarai dengan terbitnya buku Graffiti Gratitude pada 2001. Kemunculan sastra elektronik—lazim juga disebut sastra digital--yang mewarnai perjalanan sastra di Indonesia banyak kalangan yang serta-merta menerimanya dengan tangan terbuka meskipun ada pula yang menyikapinya dengan sebelah mata. Disambut secara positif karena kehadiran sastra siber dapat dengan mudah dan cepat diakses oleh kalangan yang lebih luas, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Selain itu, kehadiran sastra siber melalui media internet memberi peluang bagi penulis yang bergiat di bidang sastra untuk memberikan sumbangsihnya, baik berupa karya maupun pemikiran atau tanggapan terhadap karya sastra. Disambut negatif karena sastra siber dianggap tidak lebih dari sekadar upaya main-main saja. Sastra siber itu juga dikatakan sebagai sastra yang kualitasnya sangat kurang dan tidak memberikan kemajuan yang berarti dalam khazanah sastra Indonesia. Bagaimanapun harus diakui, misalnya dalam mengapresisi puisi atau sajak, sastra siber menyajikan tambahan aksesori yang dalam sastra cetak tidak ditemukan. Dalam puisi digital yang berbasis teknologi internet, misalnya, para peserta didik atau penikmat lainnya bisa lebih akrab dan lebih intens menghayatinya karena ada rajikan baru berupa, antara lain tampilan latar panggung yang menarik, berkas cahaya warna-warni, kostum atau busana yang menawan, juga iringan musik semisal bunyi tetabuhan etnik tertentu.
Berdasarkan ulasan di atas, perkembangan teknologi moden sekarang ini pasti akan berpengaruh besar terhadap budaya suatu bangsa, tidak terkecuali sastra. Seperti disebut di atas, tentunya berkembangnya teknologi di satu sisi akan berdampak positif, tetapi di sisi lain bisa berdampak negatif. Begitu juga terhadap kehadiran sastra melalui media elektronik. Namun, kita tidak perlu merisaukan sastra siber yang bagi sebagian pemerhati sastra mengatakannya sesuatu yang tidak bermutu, yang kelak akan tersingkir dengan sendirinya. Hal yang jelas adalah bahwa perjalanan waktulah yang akan menentukan apakah karya sastra digital tersebut akan tetap eksis dan/atau berterima atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjabana, S. Takdir. Editor. “Kreativitas Dilihat dari Keperluan Sekarang dan Masa yang akan Datang”. Dalam S. Takdir Alisjabana. Editor. 1983. Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat.
Asmadi, T.D. 2008. “Merintis Bahasa Jurnalistik Baku untuk Mencerdaskan Bangsa”. Makalah dalam Kongres IX Bahasa Indonesia. 28 Oktober – 1 November 2008. Jakarta: Pusat Bahasa, Depdiknas.
Instruksi Presiden RI No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2008. “Pemberdayaan Masyarakat Seni Tradisi dalam Industri Pariwisata Budaya”. www.budpar.go.id. Diunduh 2 September 2012.
Rahman, Jamal D. 2002. Sastra, Majalah, Koran, Cyber. Catatan Kebudayaan Majalah Sastra Horison, Februari 2002.
Sambodja, Asep. 2003. ”Peta Politik Sastra Indonesia (1908-2008)”. Makalah dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII, Jakarta, 14—17 Oktober 2003. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kemdiknas.
Situmorang, Saut (Ed.). 2004. Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk. Bandung: Angkasa.
Syahrul, Ninawati. “Optimalisasi Peran Media Massa dalam Upaya Pemberdayaan Sastra Indonesia: Fenomena Sastra Siber dalam Menjelajah Sastra Dunia”. Makalah dalam Kongres Bahasa Indonesia, Jakarta, 28--31 Oktober 2013. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud.
Winanda, Enda Alfaro. “Makna dan Peranan Teater Tradisional”. kompasiana, 22 Oktober 2011.
www. blogdetik.com “Ekonomi Kreatif: Definisi Ekonomi Kreatif”, 4 Juni 2010
http//:katarsis2011.wordpress. “Cybersastra (Bukan) Sastra Era 2010”. Diunduh pada 5 Juli 2013.
www.kompas.com. “Era Ekonomi Kreatif”. 3 November 2011
www. rumpunnektar. “Dilema dan Fenomena Sastra Islam di Indonesia”. Diunduh pada 22 Agustus 2014.
Saut Raja H. Sitanggang
...