Ihwal Sastra Ihwal Kreativitas
Pendahuluan
Sastra dalam dirinya sudah mengandung kreativitas, maka istilah sastra kreatif menimbulkan pertanyaan adakah sastra yang tidak kreatif? Jawabannya jelas dengan menegaskan pumpunan karangan ini: ihwal sastra adalah ihwal kreativitas. Namun, harus diakui juga bahwa kreativitas itu mempunyai pengertian yang lebih luas bukan semata-mata berhubungan dengan persoalan cipta sastra. Kreativitas terkait dengan manusia itu sendiri yang dipandang sebagai makhluk kreatif. Utami Munandar (dalam Alisjahbana, 1983: 68) dengan mengutip pernyataan Arasteh (1976) menegaskan bahwa kreativitas itu sama tuanya dengan manusia. Hal ini membuka peluang lebih luas untuk mengaitkan kreativitas dengan segala hal yang dikerjakan oleh manusia untuk memuliakan hidup. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kreativitas itu kemampuan untuk menciptakan hal-hal baru sehingga dengan begitu manusia dibedakan dengan binatang. Rumah manusia terus berubah dari dahulu hingga sekarang, sedangkan rumah burung tetap sama sejak awalnya hingga kini. Tegasnya, kreativitas manusia memungkinkan penemuan di bidang ilmu, teknologi, dan dengan sendirinya, seni.
Kreativitas yang dimiliki manusia membawa manusia pada statusnya sebagai wakil Tuhan di dunia. Atau, dalam statusnya sebagai wakil Tuhan itu, manusia diperlengkapi dengan kreativitas itu oleh Sang Pencipta. Sutan Takdir Alisjahbana (1983: 36-37) menegaskan adanya keistimewaan manusia dalam wujud budi yang membedakannya dari makhluk lain yang dengannya manusia memperoleh kemungkinan untuk terus-menerus menciptakan. Melalui evolusi alam, manusia mendapat budi yang memungkinkannya berkreasi. Kreativitas manusia dalam kaitannya dengan status manusia sebagai wakil Tuhan di dunia amat jelas.
Kemampuan kreatif hakikatnya kemampuan yang hanya dimiliki manusia untuk “menyempurnakan” atau mengembangkan segala yang tersedia dalam kehidupan di bumi. Eksplorasi sumber energi bumi, pemanfaatan kekayaan alam untuk kehidupan yang lebih baik, pemeliharaan lingkungan hidup, dan kewaspadaan akan adanya dampak perkembangan teknologi, misalnya, memerlukan daya kreativitas. Penemuan energi dari alam dan tumbuhan, rekayasa genetika, penemuan hukum alam semuanya itu merupakan buah dari kreativitas manusia. Namun, dengan dan dalam porsi seperti itu, seniman Rendra, misalnya, menunjukkan kreativitasnya secara seni dalam bentuk, misalnya, menciptakan dan menampilkan lakon “Perjuangan Suku Naga” yang mengeritik dampak teknologi terhadap lingkungan hidup dengan sasaran utamanya penyelenggara kekuasaan yang tidak memperhatikan kepentingan orang banyak yang terpinggirkan. Temuan teknologi modern merupakan wujud kreativitas yang bermanfaat bagi kehidupan, tetapi menjadi bencana karena salah penerapan yang terlalu berorientasi pada keuntungan ekonomi dan politik semata-mata.
Kreativitas disebut sama tuanya dengan manusia. Apa yang dipikirkan dan diperbuat manusia untuk “menyejahterakan” hidup, membikin hidup lebih nyaman, tidak dapat dilepaskan dari apa yang kita sebut sebagai kreativitas. Kreativitas menjadi dasar reformasi dan juga deformasi, bukan hanya terkait dengan sastra yang hanya merupakan salah satu faset dari berbagai faset yang dihasilkan manusia. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kreativitas menjadi sesuatu yang menentukan. Tanpa kreativitas manusia kebudayaan dalam arti luas mustahil berkembang karena kebudayaan itu sendiri dalam arti luas menginti sebagai kreativitas.
Dalam bidang teori atau studi kesenian, misalnya, untuk menyambut bentuk kesenian yang semakin beragam dan rumit dituntut teori yang selaras dengan perkembangan karya seni itu, baik wujud bentuk ekspresi maupun kandungan isinya. Untuk menyambut perkembangan seni, dan sastra khususnya diperlukan model pendekatan yang lain daripada pendekatan sebelumnya karena mengikuti perkembangan model ekspresi seninya itu sendiri. Pertunjukan seni pada masa sekarang ini, misalnya menunjukkan pertautan antara berbagai cabang seni yang menghasilkan seni pertunjukan. Musikalisasi puisi atau pementasan teks sastra menuntut “bantuan” seni dan teknologi agar menghasilkan pertunjukan yang lebih memikat sehingga kajian atasnya menuntut pendekatan interdisiplin yang lintas ilmu. Ketika pertunjukan seni itu menjadi tontonan yang dapat dijual dan karena itu menghasilkan uang, kita memasuki wilayah ekonomi kreatif sehingga pengelolaannya akan melibatkan berbagai pihak dari berbagai bidang yang lebih luas.
2
Dengan dan dalam sastra, kreativitas manusia memberikan peluang bagi tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan. Artinya, manusia pencipta sastra memiliki kuasa dengan imajinasinya untuk mengembangkan dan mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai wujud atau realisasi pemaknaan terhadap kenyataan. Hal ini akan melengkapi manusia rekaan sang pengarang memola bagaimana Tuhan menciptakan dan mengatur hidup manusia nyata, termasuk memberikan sebagian kecil daya kreativitasNya untuk para pengarang. Memang, dalam konteks ini tanpa menjadi sastrawan pun manusia sudah memperoleh apa yang disebut sebagai kreativitas. Sastrawan dianugrahi kreativitas seni yang menurut Takdir membuat sang pengarang mencapai kegirangan, mencapai kepuasan dalam kelakuan kesenian itu sendiri dengan mencipta. Sering diungkapkan adanya kegairahan mencipta seni yang tak tergantikan oleh materi. Dalam kata-kata Takdir (1983: 43),
“…penciptaan seni itu mempunyai tenaga pendorongnya sendiri, mempunyai logikanya dan tujuannya sendiri yang bersifat intuisi. Dasar sekaliannya ialah dorongan yang keras untuk menciptakan bentuk yang di dalamnya si seniman itu menjelmakan dirinya sendiri, menyempurnakan dirinya sendiri. Demikianlah dalam penciptaannya itu manusia aestetik itu dengan penuh kegembiraan menyelesaikan dirinya dan mengalami perasaan kenikmatan dan kegirangan yang dalam.”
Sastrawan merupakan manusia yang dipilih yang dianugerahi kemampuan kreatif oleh Sang Maha Pencipta. Boleh dikatakan bahwa sastrawan itu dilahirkan seperti manusia pada umumnya. Namun, ia memperoleh “indra keenam” yang membuatnya dapat memasuki pikiran dan peri kehidupan kehidupan manusia lain. Manusia lain itu kelak akan menjadi tokoh rekaan yang dapat dikenal luas oleh pembaca yang pada gilirannya akan menjadi mitos yang memiliki kekuatan untuk dikenang untuk dijadikan contoh. Laku dan sikapnya dikenang oleh sang pembaca dan dalam batas tertentu menjadi “teman” sang pembaca. Selain itu, ia dikaruniai kepekaan untuk menangkap makna dari setiap peristiwa, tokoh, dan bumi yang dipijaknya. Kemampuan ini menjadi modal dasar baginya untuk menciptakan manusia rekaan yang mungkin dijumpainya dalam pengalaman hidup kesehariannya.
Dari sisi pembaca, kemampuan berimajinasi disertai kemampuan penghayatan yang mendalam terhadap manusia dan persoalan zamannya akan mempertemukan pembaca dengan pikiran dan perasaan sang pengarang. Kedua kemampuan itu pada gilirannya akan menjadi dasar bagi ditemukannya konsep pemahaman atas karya sastra dan seni pada umumnya. Dengan begitu, berkembang pula teori untuk menyambut kreativitas sang pengarang. Berbagai wujud teori itu hakikatnya adalah kreativitas dalam bentuk lain yang dapat menjadi lebih berkembang lagi di masa depan.
3
Kemampuan kreatif memerlukan keberanian kreatif, keberanian untuk menghadapi risiko yang timbul akibat laku kreatif yang mengungkapkan ihwal yang tidak biasa. Keberanian kreatif dibutuhkan untuk menampilkan sesuatu yang lain dari yang biasa di luar adat. Keberanian kreatif menjadi modal untuk melancarkan kritik kepada penguasa yang zalim. Ketika sebuah rezim menjadi amat kuasa, kritik yang dilancarkan sastrawan dapat saja menjadi jalan untuk masuk bui, juga pernyataan yang berlawanan dengan kebijakan politik baik dalam sastra maupun laporan investigasi jurnalistik, misalnya.
Mochtar Lubis dapat disebut sebagai pengarang yang memiliki keberanian kreatif untuk bersebarangan dengan politik pada masa Orde Lama dan Orde Baru sekaligus. Dia mendapat julukan wartawan jihad dan itu menjadi salah satu judul buku untuk mengenang keberaniannya. Pada Masa Orde Lama Mochtar Lubis baru dapat menerbitkan novel Senja di Jakarta di Malaysia. Novel itu mengungkapkan persoalan korupsi yang dilakukan penyelenggara Negara. Demikian juga pada masa Orde Baru korannya Indonesia Raya membongkar kasus korupsi di Pertamina. Kasus yang mirip dialami juga oleh WS Rendra pada masa Orde Baru berkaitan dengan pembacaan sajak dan pementasan drama yang mengeritik pemerintah sebagaimana disinggung di bagian awal karangan ini. Kumpulan sajaknya Potret Pembangunan dalam Puisi dan Orang-Orang Rangkasbitung mengungkapkan gagalnya pembangunan untuk menyejahterakan rakyat. Menjelang Reformasi, Wiji Thukul melakukan gerakan perlawanan melalui penciptaan dan pembacaan sajak. Sampai sekarang penyair Aku Ingin Jadi Peluru itu tidak jelas nasibnya, hilang sejak kerusuhan 21 Mei 1987. Selepas Reformasi pula Taufiq Ismail mengumpulkan sajak yang mengambil tema menyuburnya budaya korupsi di tanah air dengan judul Malu Aku Menjadi Orang Indonesia yang diakronimkan Majori. Penyair itu merasa tidak nyaman menjadi orang Indonesia karena laku korupsi yang merajalela.
4
Pada mulanya dalam teks sastra kita temukan apa yang disebut sebagai gejala penyebutan nama atau inti cerita dalam sebuah teks yang bersumber teks sebelumnya. Di sini ditegaskan istilah teks dalam arti luas berupa kata yang terkait dengan nama tokoh atau peristiwa yang berasal dari teks masa lampau terutama teks sastra. Teks dalam arti luas pun dapat menyangkut peristiwa sejarah seperti yang ditemukan dalam sajak Chairil Anwar dengan penyebutan dan penampilan Bung Karno yang kemudian ditampilkan dalam foster sebagai hasil kerja sama dengan Afandi berjudul “Bung yo Bung!” Peristiwa yang diungkap dari teks masa lampau yang memunculkan gejala aktualisasi mitologi menunjukkan adanya gejala intertekstualitas, seperti yang kita temukan dan beberapa sajak Goenawan Mohamad seperti “Tentang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum” dan “Cerita buat Yap” (1970) atau “Perempuan yang Dirajam Menjelang Malam” (1990) dan “Lacrimosa” (2013) .Nama peristiwa ataupun nama tokoh memunculkan apa yang dikenal sebagai intertekstualitas yang melibatkan teks lain baik yang berasal dari yang lama maupun yang baru. Sastrawan pada umumnya adalah pembaca yang tekun sehingga dalam karya yang diciptakannya mungkin dapat dibayangkan keluasan bacaannya sebagai hasil pergaulan dengan dunia teks baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas.
Intertekstualitas itu mewujud dalam berbagai bentuk mulai dari penyebutan nama tokoh mitologi Penyebutan laku tokoh yang dinarasikan dapat saja dilakukan dengan penekanan pada satu tema yang dipilih yang diselaraskan dengan yang dihadapi sekarang. Gejala ini sudah berlangsung lama, bahkan sejak sebelum kemerdekaan. Dapat disebut, antara lain, Rustam Effendi menciptakan drama bersajak dengan judul Bebasari, Sanusi Pane dengan “Syiwa Nataraja”, Amir Hamzah dengan Nyanyi Sunyi , Chairil Anwar yang menyebut tokoh mitologi Yunani. Pada masa berikutnya dapat disebut Soebagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono. Dua nama yang disebut terakhir sampai sekarang masih menulis dengan gejala intertektualitas yang kuat.
Pertemuan berbagai karya seni mengembangkan karya seni sehingga terjadi hubungan antarwahana ketika puisi, misalnya, dinyanyikan atau lebih jauh lagi dipanggungkan sehingga dikenal seni pentas. Seni pentas selanjutnya menuntut teks yang siap dipanggungkan dan kita menyebtnya sebagai drama atau sandiwara. Di dalam drama berbagai cabang seni bergabung menampilkan seni pertunjukan. Penanggap atau penonton juga semakin bervariasi. Maka, dalam seni pentas penikmatan seni menjadi relatif lebih praktis. Perkembangan lebih jauh adalah ketika seni pentas diperlengkapi dengan seni perfileman dan orang yang terlibat dalam penyelanggaraan seni tersebut semakin luas. Dibutuhkan penulis naskah, lalu penyusunan skenario, sutradara, aktor, serta sejumlah orang yang turut mengembangkan lebih kauh sehingga industry kreatif yang menuntut kompleksitas keahlian dan ketukangan sekaligus. Babad Diponegoro, misalnya, mula-mula ditulis Pangeran Diponegoro di tempat pembuangannya di di Sulawesi Utara. Naskah itu dijadikan bahan koleksi Radyapustaka Solo, kemudian penelaah naskah dari Amerika melakukan studi naskah disertai terjemahannya. Landung Simatupang terpesona oleh naskah Babad Diponegoro dan mementaskannya dalam bentuk monolog yang dilengkapi dengan peralatan panggung sebagai yang yang dikenal dalam seni pertunjukan. Naskah yang mengalami “metamorfose” itu hadir di depan kita di layar kaca dalam bentuk cakram yang siap putar kapan dan di mana saja kita suka.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjabana, S. Takdir. (ed.). 1983. Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat.
Damono, Sapardi Djoko. 2012. Alih Wahana. cetakan pertama. Jakarta: Editum.
Luhung, Mardi. 2012. Bawean. cetakan ke-2. Surabaya: Pustaka Pujangga.
Noor, Acep Zamzam. 1996. Di Luar Kata: Kumpulan Puisi. Jakarta: Pustaka Firdaus
Mohamad, Goenawan. 1971. Pariksit. Jakarta: Litera.
__________________. 1973. Interlude, sejumlah sajak. Jakarta: Yayasan Indonesia.
__________________. 1992. Asmarandana. Pilihan Sajak 1961—1991. Jakarta: Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia.
__________________. 2013. Gandari dan Sejumlah Sajak. Jakarta: Tempo.
Thukul, Wiji. 2000. Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang: Indonesia Tera.
Abdul Rozak Zaidan
...