Revitalisasi Sastra Lisan Cigawiran Garut

Revitalisasi Sastra Lisan Cigawiran Garut

Dalam upaya mencegah kepunahan bahasa dan sastra daerah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengadakan program revitalisasi guna menyelamatkan kembali bahasa dan sastra yang hampir punah. Program revitalisasi ini berada di bawah Subbidang Revitalisasi, Bidang Pelindungan, Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.

Sebelum pelaksanaan kegiatan revitalisasi Cigawiran tahun 2017 ini, tim dari Pusat Pengembangan dan Pelindungan terlebih dahulu melakukan kajian vitalitas (daya hidup) Cigawiran. Berdasarkan hasil penghitungan indeks yang didapatkan dari pengolahan kuesioner oleh Tim Vitalitas Sastra pada tahun 2015 didapatkan simpulan bahwa Cigawiran memiliki status stabil dan mantap, tetapi terancam punah (0,79). Status terancam punah ini disebabkan oleh penembang Cigawiran kini tersisa satu orang, yakni K.H. Raden Iyet Dimyati yang kini berusia hampir delapan puluh tahun.

Tembang Cigawiran merupakan salah satu seni vokal yang mempunyai kekhususan dan  perbedaan dengan lagam-lagam tembang lainnya.  Meskipun demikian, tembang Cigawiran ini  tetap dikategorikan sebagai salah satu jenis tembang Sunda yang merupakan lagam atau ala Cigawir. Pimpinan seni Cigawiran sekarang adalah K.H. Raden Iyet Dimyati.

Cigawiran berasal dari nama Desa Cigawir, tempat tembang ini dilahirkan. Tembang Sunda Cigawiran diperkirakan dikembangkan mulai sekitar tahun 1823 dengan tokohnya Rd. H. Jalari (1823—1002), kemudian dilanjutkan oleh Rd. H. Abdullah Usman (1902—1945), lalu Rd. Mohamad Isya (1945—1980), dan pada periode keempat tokohnya adalah Rd. Agus Gaos, Rd. Muhammad Amin, dan Rd. Iyet Dimyati. Namun,  kini hanya tinggal Rd. Iyet Dimyati.

Tembang Cigawiran pada awal perkembangannya bermula dari kebiasaan Raden. H. Jalari yang senang berguru ke berbagai pesantren hingga ke Jawa Timur. Beliau memiliki kebiasaan mengarang dalam bentuk geguritan dengan pola mengikuti aturan pupuh. Kemudian  geguritan tersebut ditembangkan dengan lagam mandiri yang kemudian disebut dengan tembang Cigawiran. Tema geguritan tersebut berupa fatwa-fatwa yang mengajak untuk melaksanakan syariat agama Islam secara sempurna dengan tidak memaksa.

Setelah belajar agama dari beberapa pesantren di Jawa Timur,  Raden H. Jalari   mendirikan pesantren di tempat kelahirannya di desa Cigawir, Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut.  Yang diajarkan selain Alquran dan kitab kuning, beliau juga mengajarkan  geguritan hasil karya sendiri. Geguritan tersebut dilagukan dengan lagam yang khas, yang kemudian disebut dengan tembang Cigawiran, bentuknya mirip dengan kidung atau tembang Cianjuran. Bedanya, tembang Cianjuran memakai alat musik seperti suling, kecapi, dan alat musik lainnya. Tembang Cigawiran tidak memakai alat musik, hanya murni menampilkan seni suara.

Pewarisan Cigawiran

            Kegiatan Revitalisasi ini berlangsung pada 3—9 Juli 2017. Pada tanggal 3—7 Juli diadakan pelatihan intensif dalam rangka proses pewarisan dan persiapan pentas. Pada tanggal 7 Juli 2017, pukul 20.00 dipentaskan kembali Cigawiran untuk mengingatkan warisan yang sangat bernilai bagi masyarakat Desa Cigawir.

            Pada tahun 2000-an banyak santri yang belajar di Pesantren Miftahul Huda yang melakukan gurah supaya kualitas suara menjadi bagus. Banyak juga dari mereka yang mengikuti pelatihan Cigawiran. Namun,  peminatnya semakin menurun. Para remaja lebih tertarik pada musik dan seni yang sedang tren,  seperti musik pop, marawis, dangdut, dan musik lainnya.

            Pimpinan Pondok Pesantren Mifathul Huda Al-Mubarrak, K. Ang. Hidayatus Sibyan,   mengatakan, “Selama masih banyak orang yang suka dan mencintai bahasa Sunda, insyaallah Cigawiran akan selalu diminati. Namun, yang menjadi kendala adalah para pewaris dan penembang Cigawiran itu hanya sedikit.”

            Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum. menyetujui program revitalisasi dilaksanakan di Desa Cigawir, Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut. Beliau pun sebagai orang Sunda merasa nyaah dan kasieunan Cigawiran ini akan punah. Kepala Balai Bahasa Jawa Barat Drs. Abdul Khak, M.Hum. mendukung program Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa ini. Beliau menugasi stafnya, Drs. Asep Supriadi, M.Hum., untuk mendampingi dan membantu tim revitalisasi dari pusat yang terdiri atas Abdul Rohim, M.Hum., Deni Setiawan, S,S,, dan Evi Fuji Fauziyah, S.Hum.

            Dalam kegiatan revitalisasi ini terdapat lebih dari dua puluh orang yang mengikuti pelatihan Cigawiran. Saat pentas jumlah orang yang menembangkan Cigawiran semakin bertambah. Malam semakin larut, Cigawiran didendangkan dengan sangat halus. Para penonton menitikkan air mata ketika tembang menceritakan sakitnya ketika nyawa dicabut dari raga,    jasad dikafani, dan ketika mendengarkan tembang tentang siksa kubur.

            Dalam perkembangannya kini, tembang Cigawiran sering digunakan  untuk menyampaikan nasihat-nasihat keagamaan. Selain itu, tembang Cigawiran oleh Raden Iyet Dimyati digunakan juga untuk menyampaikan lamaran atau nyerenkeun atau menerima pengantin pada upacara pernikahan. Terkadang tembang Cigawiran dipakai dalam upacara khitanan dan acara empat bulanan ketika ibu mengandung.

Selama kurun waktu hampir 176 tahun tembang Cigawiran masih bertahan. Dengan kiat-kiat pengembangan yang dilakukan oleh para tokoh yang terdiri atas para menak sekaligus tokoh agama Islam tembang Cigawiran diangkat dan mereka memberikan kesan kepada masyarakat bahwa tembang Cigawiran bukan seni pinggiran biasa yang hanya dibuat secara sembarangan dan oleh orang sembarangan pula. Di samping itu, dilihat dari sisi lain bahwa selama kurun waktu tersebut tembang Cigawiran berhasil mempertahankan pola pembawaan serta memiliki ornamen dan senggol-senggol khas yang relatif baku. Sejak  tahun 1823 tembang Cigawiran telah mengalami  empat generasi. Generasi terakhir yang masih berdomisili di Kampung Serang, Desa Cigawir antara lain Raden Iyet Dimyati bersama anak, menantu, dan cucu-cucunya. Anaknya yang bernama Raden Lulu,  menantunya Hidayatus Shiban yang suka dipanggil Aang, dan kedua cucunya pandai menembangkan tembang Cigawiran.

Tanggapan Pemangku Kepentingan

Hasil dari program revitalisasi mendapat tanggapan positif dari pemerintah daerah. Kepala Desa, Lili Indrawan, S.P., mengatakan, “Mudah-mudahan pada anggaran 2018 bisa dimusyawarahkan dan disisipkan dalam RAB untuk biaya pelatihan Cigawiran.” Tanggapan positif tersebut membuat masyarakat yang hadir antusias dan bertepuk tangan.

Sambutan hangat juga datang dari Camat Ridwan Effendi, M.Si. Beliau sangat berterima kasih karena pemerintah, khususnya Badan Bahasa, Kemendikbud telah menyediakan waktu dan tenaga untuk melestarikan Cigawiran.

“Di Kecamatan Selaawi yang menjadi ciri khas adalah tembang Cigawiran ini. Karena Cigawiran hanya ada di Desa Cigawir. Saya dan Kepala Desa Cigawir akan berupaya membuat rancangan anggaran supaya dapat memfasilitasi segala bentuk kegiatan Cigawiran. Dan saya juga berharap semoga Cigawiran dapat didaftarkan menjadi warisan budaya takbenda yang terdaftar di UNESCO”, lanjutnya.

Deni Setiawan, S.S., sebagai wakil Badan Bahasa, yang memberikan sambutan, berharap banyak masyarakat Desa Cigawir bisa terus ngamumule Cigawiran, “Kami jauh-jauh datang dari Jakarta tidak membawa apa-apa, selain harapan yang besar, cita-cita, dan semangat untuk sama-sama ngamumule Cigawiran.”

Kepala Bidang Pelindungan, Dr. Ganjar Harimansyah, turut mengapresiasi atas suksesnya acara “Revitalisasi Sastra Berbasis Komunitas: Cigawiran” di Garut, “Kami berterima kasih kepada masyarakat Kampung Serang, Desa Cigawir atas keramahan, kebaikan, dan kerja sama     masyarakat dalam merawat Cigawiran”.

***

Dr. Ganjar Harimansyah

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa