Membangun Insan Cerdas dan Kompetitif Melalui Pendidikan Bahasa (dan Sastra)
Pendahuluan
“Bagaimana menjadikan pendidikan bahasa (dan sastra) sebagai sesuatu yang penting?” Pertanyaan semacam ini teramat sangat substansial ketika pendidikan bahasa (dan sastra) ingin dihargai. Bukankah pendidikan bahasa (dan sastra), baik langsung maupun tidak langsung, adalah sarana untuk memperkukuh jati diri bangsa Indonesia? Potensi kekayaan batiniah yang akan memberi peluang bagi masyarakat Indonesia untuk menjadi warga dunia yang terhormat?
Harapan “yang sangat besar” telah dibebankan kepada pendidikan bahasa (dan sastra) untuk berperan mencapai tujuan pendidikan yang lebih luas. Harapan itu tentunya dilatarbelakangi pemikiran bahwa teks sastra memuat banyak aspek kehidupan dengan seluruh fenomenanya. Termasuk cara mengidentifikasi diri dan pilihan sudut padang untuk menyikapi kenyataan-kenyataan spiritual dan sosial masyarakat Indonesia dewasa ini.
Walaupun telah sering dibicarakan dalam forum seminar, lokakarya, pertemuan ilmiah, saran-saran pada laporan penelitian, tulisan di media massa, dan lain-lain, pendidikan bahasa (dan sastra) tetap saja kurang diperhatikan karena dianggap kurang penting. Rupanya, kita harus mendudukkan kembali pendidikan bahasa (dan sastra) sebagai sesuatu yang relevan dalam konteks pendidikan nasional pada era kompetisi global saat ini, yaitu sebagai sarana membangun insan Indonesia yang cerdas dan komprehensif! Caranya? Temukan ide-ide terbaik dalam pendidikan bahasa (dan sastra) yang telah teruji dan kaitkan hal itu dengan kebutuhan nyata kita.
Pendidikan bahasa (dan sastra) memang tidak cukup hanya mengandalkan segi-segi taktis, seperti adanya perubahan pengajaran atau pengembangan kurikulum. Perbaikan itu harus disertai pengembangan sumber daya guru dan pemerkaayaan khasanah bacaan/buku bahasa (dan sastra). Namun, hal mendasar untuk mendayagunakan pendidikan yang sebenarnya dari segi strategis-pragmatis adalah masalah bagaimana mengajarkan keterampilan berbahasa dan mendayagunakan teks bahasa dan sastra bukan apa yang dilakukan dengan struktur bahasa dan teks sastra itu!!
Pendidikan bahasa (dan sastra) memang bukan sekadar mengajarkan struktur bahasa atau cerita, permainan bahasa, atau memberikan pengetahuan tentang pola kalimat atau jenis-jenis sastra, angka tahun, serta nama-nama untuk dihapalkan. Sebab, bahasa (dan sastra) bukan hanya tulisan dan lembaran-lembaran kertas. Bahasa dan teks sastra sebagai “sumber” pendidikan harus dilihat sebagai bentuk nyata penggunaan bahasa yang potensial. Sungguh sayang jika berbagai aspek kehidupan yang bisa digali dalam pemakaian bahasa dan karya sastra hanya dijadikan bahan hapalan!
Pendidikan Bahasa (dan Sastra) yang Komprehensif
Taufik Ismail pernah berpuisi: Bercakap sudah, mengukur sudah/Ayo kita menari sekarang/Menguap sudah, tidur sudah/ Ayo kita berlari sekarang// Dulu kita bertemu di abad dua puluh/Tak disangka-sangka, di abad 21 masih bertemu lagi/Memajukan sastra memang payah berpeluh-peluh/Jangan putus asa, kita satu barisan ….. Ya, benar! Untuk mencapai kemajuan di bidang pendidikan bahasa (dan sastra), kita membutuhkan langkah-langkah konkret, cepat, dan satu sama lain harus saling berkaitan.
Sembilan langkah berikut, insya Allah, dapat kita lakukan. Yang penting, pilih yang paling buat anak didik, pacu laju…….
- Definisikan ulang materi bahasa (dan sastra) yang harus diajarkan di sekolah. Banyak mazhab yang berbicara tentang kurikulum mengenai apa yang seharusnya diberikan pada peserta didik, namun yang terpenting kita dapat memadukan teori-teori terbaik dari sistem-sistem yang telah terbukti berhasil. Misalnya, teori-teori struktural dalam lingusitik dan strukturalisme sastra yang masih dominan di sekolah-sekolah dipadukan dengan teori psikolinguistik dan psikologi sastra, sosiolinguistik dan sosiologi sastra, atau antropolinguistik dan resepsi sastra, dll.
- Polakan kurikulum dalam empat bagian, dengan penilaian diri dan pelatihan ketrampilan hidup sebagai komponen kunci—yang menekankan: (a) citra diri dan perkembangan pribadi, (b) pelatihan keterampilan hidup, (c) belajar tentang cara belajar dan berpikir, dan (d) kemampuan-kemampuan akademik-intelektual dan artistik yang spesifik. Setiap aspek tersebut dapat disatupadukan untuk saling mendukung dan melengkapi pendidikan sastra.
- Terapkan tiga tujuan untuk sebagian besar pembelajaran dan pengajaran bahasa (dan sastra), yaitu (a) mempelajari keterampilan dan pengetahuan tentang materi-materi pelajaran bahasa (dan sastra) yang spesifik, (b) mengembangkan kemampuan konseptual umum—mampu belajar menerapkan konsep bahasa (dan sastra) dengan bidang-bidang lain, dan (c) mengembangkan kemampuan apresiasi dan sikap pribadi yang apresiatif yang secara mudah dapat digunakan dalam segala tindakan nyata.
- Definisikan ulang tempat-tempat terbaik untuk pengajaran—bukan hanya di sekolah atau ruang kelas. Ajaklah peserta didik menampilkan drama singkat di luar ruang kelas atau ajaklah mereka berdiskusi, berdebat, bermain peran, atau menonton pembacaan puisi dan mendiskusikannya.
- Agendakan dalam pembelajaran bahasa (dan sastra) di kelas: belajar sastra sama dengan belajar tentang cara belajar dan cara berpikir. Yang pertama berarti mempelajari cara membaca, cara memori menangkap informasi kesastraan, cara kita menyimpan informasi, mengambilnya, menghubungkannya dengan konsep lain (misal, tokoh ini bernama dan berwatak begini dan mengapa dia begitu, lalu refleksikan dengan kehidupan peserta didik), dan mencari pengetahuan baru, kapan pun peserta didik memerlukannya dengan cepat.
- Temukan gaya belajar dan kecerdasan individu, dan layani setiap gaya yang ada. Kita semua tahu bahwa sebagian orang belajar lebih baik dengan suatu cara, sebagian yang lain dengan cara yang lain pula. Sebagaimana orang suka belajar sambil duduk di kursi, sedang yang lain sambil berbaring di kasur atau lantai. Namun, setiap orang mempunyai tipe kecerdasan tidak hanya satu dan setiap orang memiliki gaya belajar yang unik, sama uniknya dengan sidik jari. Seorang yang cenderung lebih menyukai matematika tidak mustahil dia pun mampu menulis puisi. Mungkin tidak di kelas, tetapi lihat catatan hariannya!
- Pelajari komputer dan internet. Bagi abad ke-21, komputer dan internet adalah seperti halnya telepon bagi abad ke-20. Bahkan lebih dahsyat lagi. Seperti halnya tak ada orang yang mampu bertahan di dunia ekonomi modern tanpa telepon, tak ada orang yang kini dapat bertahan tanpa mengenal komputer dan internet. Hellen J. Schwartz (1989: 1) dalam Literacy Theory in the Classroom: Computers in Literature and Writing pernah mengatakan bahwa penggunaan komputer dan internet tidak saja untuk ilmu-ilmu eksakta, sastra pun bisa menggunakan media ini terutama untuk membantu pembelajaran menulis karya sastra dan pemerkayaan kosa kata peserta didik. Untuk mewujudkan ini, kita tidak harus menjadi negara besar. Yang paling menentukan adalah pemerintahan yang bervisi ke depan, yang menyadari bahwa pendidikan adalah investasi utama suatu bangsa. Singapura mengalokasikan dana $ 1.5 miliar untuk mendistribusikan teknologi informasi mutakhir ke seluruh sekolah dan rumah. Pada tahun 1999 setiap sekolah menerima sedikitnya satu komputer untuk setiap dua siswa. Mereka memiliki akses Internet secara gratis-untuk berhubungan dengan 150 juta orang yang telah mempelajari Internet. PM. Goh Chok Tong mencanangkan visi “Sekolah Berpikir Negara Belajar” sebagai tujuan abad ke-21. Anggaran total teknologi informasi selama lima tahun sebesar $ 2,5 juta per sekolah.
- Posisikan kembali peran pendidikan sastra di dunia pendidikan kita karena kita hidup di era komunikasi digital ketika setiap orang dapat berkomunikasi dengan siapa saja. Teknologi gabungan internet-komputer-World Wide Web telah membentuk generasi baru—lebih dahsyat dibandingkan revolusi yang dipicu oleh temuan percetakan, radio, mobil, dan televisi. Bangsa yang benar-benar memanfaatkan ledakan komunikasi digital, dan menghubungkannya dengan teknik-teknik pembelajaran baru niscaya akan memimpin dunia di bidang pendidikan.
- Bukalah pikiran dan ciptakan komunikasi yang segar. Semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan sastra agar selalu membuka pikiran dan mengomunikasikan capaian-capaian penelitian secara faktual, jujur dan jelas. Masa depan jutaan anak telah dirusak oleh penyebaran teori-teori pendidikan yang telah terbukti kesalahannya.
Untuk akselerasi tujuan di atas, pendidikan bahasa (dan sastra) memerlukan komponen-komponen pembelajaran dan bahan-bahan ajar yang unggul, termasuk di dalamnya subkomponen alokasi waktu dan metode pembelajaran. Hal ini berarti bahwa pendidikan (dan sastra) dapat dimaksimalkan untuk perkembangan individual pembelajar, menciptakan suasana menyenangkan, penyediaan akses pemerolehan pengalaman baru dan berbeda, merangsang kepekaan perasaan dan proses berpikir, keinginan, serta kreativitas peserta didik.
Peran Pembelajaran Bahasa (dan Sastra) sebagai Sarana Mengembangkan Kecerdasan dan Keterampilan Hidup
Bagaimanapun rumusan dan pengertian para ahli tentang bahasa dan sastra, bahasa tetap merupakan medium bagi kehidupan kitan dan bagi penciptaan karya sastra yang tidak dapat diabaikan.
Pembelajaran bahasa (dan sastra) yang baik dapat melahirkan peserta didik yang terampil menggunakan bahasa secara baik. Pembelajaran bahasa (dan sastra) yang baik dapat menghadirkan pengalaman estetik dan mengembangkan kemampuan bahasa peserta didik, sekaligus mendorong siswa untuk gemar membaca. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa peserta didik yang kemampuan bahasanya tinggi adalah mereka yang banyak membaca. Ada hubungan yang erat antara kebiasaan membaca dengan peningkatan kecerdasan bahasa.
Lalu, dapatkah pembelajaran bahasa (dan sastra) yang baik mengembangkan kecerdasan sosial (interpersonal) dan kecerdasan kepribadian (intrapersonal) peserta didik? Kita ambil contoh pembelajaran sastra di sekolah. Selain perannya sebagai sarana pengembangan kecerdasan bahasa, sastra sangat potensial untuk pengembangan kecerdasan sosial peserta didik. Aneka ragam pengalaman yang dihadirkan pengarang dapat membantu peserta didik mengembangkan kemampuan memahami tingkah laku manusia. Dengan dasar kecerdasan bahasa dan kemampuan memahami tingkah laku ini, mereka dapat mengembangkan relasi dengan insan yang sebaya atau dengan yang lebih tua. Kemampuan membangun relasi dengan orang lain ini sangat menentukan keberhasilan hidupnya kelak dalam masyarakat. Peserta didik yang cerdas secara sosial adalah mereka yang mampu memahami dan merespon watak, temperamen, motivasi, manajemen konflik, dan kecenderungan orang lain.
Adapun peserta didik yang mempunyai kecerdasan intrapersonal adalah mereka yang mempunyai kemampuan memahami kehidupan emosional, membedakan emosi orang-orang, pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri. Pengembangan “daya rasa dan pikir” yang tersirat dalam penceritaan dengan imajinasi sebagai wilayahnya yang senantiasa terus bergerak membantu perenungan tentang yang ada dalam “diri” ini. Jika selama ini kita banyak diajari hal-hal yang berkaitan dengan fakta, sastra justru menawarkan hal lain, yaitu mengasah rasa, pikiran, dan imajinasi personalitas.
Pembelajaran bahasa (dan sastra) dapat dijadikan sebagai sarana mengajarkan keterampilan hidup jika prosesnya tidak hanya terbatas kecakapan teoritis saja, tetapi juga kecakapan sosial, intelektual, dan akademik sehingga diharapkan mampu menjawab tantangan dan kebekuan proses pendidikan yang selama ini hanya teks book thinking semata. Paulo Freire (1993), yang menawarkan gagasan pembaruan pendidikan, menyebutkan bahwa sistem pendidikan sekarang hanya “the banking concept of education”. Guru yang mengajar dianggap mengetahui segala-galanya dan murid yang diajar dianggap tidak tahu apa-apa. Posisi seorang murid hanya sebagai alat penerima ilmu dari seorang guru. Jikapun ada acuan baru, produk baru, buku baru, aturan baru, proses dan cara penyajiannya tetap saja memakai model lama.
Pembelajaran bahasa (dan sastra) diharapkan tidak hanya sekadar memahami konsep dan prinsip keilmuan semata, tetapi juga harus berbuat dan menerapkan hasil dari pendidikan keterampilan berbahasa dan apresiasi sastranya. Apabila proses pendidikan bahasa (dan sastra) yang diberikan kepada peserta didik dilandasi pada kebutuhan mereka secara konkret, kondisi pendidikan sastra secara bertahap bisa diperbaiki dan tidak akan menyebabkan pengajaran dan pembelajaran yang semula berlangsung membosankan, monoton, dan tidak menarik bagi peserta didik akan berubah menjadi proses pendidikan yang menyenangkan.
Konsep yang ditawarkan Kementerian Pendidikan Nasional tentang keterampilan hidup (life skill) sebenarnya sudah lama menjadi angan-angan praktisi pendidikan dengan harapan mampu membentuk perubahan pola pikir, yaitu suatu inovasi pembelajaran yang dapat membantu peserta didik memahami teori secara mendalam melalui pengalaman belajar praktik-empirik. Peserta didik di bawa dalam suasana pembelajaran untuk membangun jati diri (learning to be) dan pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis (learning to live together). Model pembelajaran ini pun dapat menjadi program pendidikan yang mendorong kompetensi, tanggung jawab, dan partisipasi peserta didik, belajar menilai dan mempengaruhi kebijakan umum, memberanikan diri untuk berperan serta dalam kegiatan antarpeserta-didik, antarsekolah, dan antar-anggota masyarakat.
Keterampilan hidup (life skill) dapat diartikan sebagai pembelajaran dan pemberian bekal tambahan kepada peserta didik berupa keterampilan-keterampilan yang berguna untuk membentuk kecakapan hidup. Program dari Depdiknas ini (dengan konsep life skill) merupakan hasil nyata yang disadur dari pilar pembelajaran UNESCO, yaitu learning to be (pembelajaran untuk membangun jati diri) dan learning to live together (pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis), di samping dua konsep lainnya, yaitu learning to know (pembelajaran untuk menambah pengetahuan) dan learning to do (pembelajaran untuk mampu mempraktikan apa yang dipelajari).
Dengan membawa konsep keterampilan hidup dalam pembelajaran bahasa (dan sastra), secara langsung maupun tak langsung, akan memunculkan daya kritis peserta didik. Kehadiran ujian nasional (UN) di tengah wacana ini merupakan salah satu urgensi yang penting. Dalam keadaan demikian, akan lahir daya kreatif dan proses pemecahan masalah bagi para peserta didik dalam kehidupan nyata dan bisa disikapi dengan baik. Membawa keterampilan bahasa dan karya sastra dengan konteks masalah dan fakta kehidupan yang ada di seputar kehidupan peserta didik dibutuhkan inovasi yang dilakukan guru, termasuk inovasi-inovasi dalam pengujiannya. Inilah makna kompetensi dalam pembalajaran bahasa (dan sastra), yaitu menumbuhkan keyakinan untuk mampu melakukan sesuatu, yaitu melibatkan peserta didik untuk mengambil bagian dalam program keterampilan hidup (lifeskill).
Kita bisa mengambil contoh penerapan life skill dalam pelajaran ekonomi yang pernah dipraktekkan. Sebagai misal, dipraktekkan di Alaska, para pelajar SMU Mt. Edgecumbe menjalankan empat perusahaan proyek percontohan. Salah satu proyeknya adalah ekspor salmon asap ke Jepang senilai $600.000. Mereka sekaligus belajar ilmu pemasaran, bisnis, dan bahasa Jepang. Di sini, para pelajar tidak lagi menjadi objek semata, tetapi berperan sebagai subjek dalam proses belajar.
Daftar Pustaka
DePorter, Bobbi, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nourie. 2000. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa.
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2000. Quantum Learning. Bandung: Kaifa
Dryden, Gordon dan Jeannette Vos. 2000. Revolusi Cara Belajar (The Learning Revolution) I—2. Bandung: Kaifa.
Goodman, Ken. 1986. What’s Whole in Whole Language? Ontario:Scholastic.
Orstein, Alan C. dan Daniel U. Levine. 1985. An Introduction to the Foundation of Education. Boston: Houghton Mifflin Company.
Purwo, Bambang Kaswanti (Ed). 1991. Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa:
Pembaharuan Pengajaran. Yogyakarta: Kanisius.
Ganjar Hwia
...