Pengenalan Sekilas Analisis Percakapan

Pengenalan Sekilas Analisis Percakapan

Analisis percakapan (conversation analysisselanjutnya disingkat AP) merupakan salah satu pendekatan analisis wacana dalam disiplin ilmu sosiologi.  AP dipelopori oleh Harold Garfinkel yang dikenal juga sebagai bapak sosiologi. AP berakar dari pendekatan yang telah dikembangkan sebelumnya, yaitu etnometodologi (yang dipengaruhi fenomenologi Alfred Schutz).  Namun, AP berbeda dengan cabang sosiologi lainnya karena AP bukan menganalisis pranata sosial itu sendiri, melainkan menemukan bagaimana cara anggota masyarakat membentuk hakikat dari sebuah pranata sosial.

Dalam praktik analisisnya, AP memperhatikan masalah pranata sosial dan cara kerja bahasa dalam membentuk pranata sosial serta cara konteks sosial membentuk bahasa.  AP mirip dengan etnografi komunikasi dalam kaitannya dengan pengetahuan manusia. Pendekatan itu juga berfokus pada analisis detail ujaran tertentu. Namun, AP sangat berbeda dengan pendekatan itu. AP memiliki asumsi, metodologi (termasuk terminologi), dan kerangka teoretisnya sendiri.

AP juga perlu dibedakan dengan analisis pragmatik.  Memang, pragmatik (yang di dalamnya ada konsep speech act) menganalisis percakapan, tetapi analisis itu didasarkan pada pengertian bahwa percakapan itu merupakan serangkaian “discrete acts” (kejadian yang berbeda satu dengan yang lainnya).  Metode itu memokuskan diri pada interpretasi ucapan dan bagaimana penjelasan tentang aspek penggunaan bahasa dapat dimasukkan ke dalam model gramatika.  Oleh karena itu pula, teori tentang “speech act” digunakan pula oleh pakar semantik generatif dalam mengenalisis bahasa (lihat Yule, 2006; Gordon dan Lakoff, 1971).

AP berakar dari etnometodologi. Istilah etnometodologi digunakan oleh Garfinkel (1974) dalam analisis lintas budaya yang berkaitan dengan cara-cara bertindak (doing) dan apa yang diketahui (knowing) (dalam Schiffrin, 1994:233)Apa yang diketahui tidak hanya terbatas pada pengetahuan secara sempit, tetapi juga meliputi kebiasaan yang ada. Alasan penggunaan istilah di atas pada prinsipnya sama dengan pengertian etnometodologi itu sendiri.  Pakar pendekatan itu berkeyakinan bahwa percakapan merupakan suatu aktivitas yang diatur oleh aturan (rule-governed).  Percakapan itu bukanlah aktivitas yang acak (random) maupun tak bertujuan (aimless), melainkan suatu aktivitas yang memperagakan keteraturan (regulaty) dan pola (patterns) (Marcellino, 1993:60).

Istilah etnometodologi itu sendiri berasal dari penelitian Garfinkel yang bahwa “metodologi” dalam etnometodologi mempunyai arti mengatur pertimbangan yang sesuai dengan konsep tertentu dengan bukti yang kuat, penjelasan yang masuk akal, dan sebagainya.   Oleh Garfinkel etnometodologi merujuk pada pengertian “a social actor’s, or community’s. Own lay methodology” (Taylor dan Cameron, 1987:101).

Penelitian etnometodologi menghindarkan penyiangan (idealizations) dan membantah bahwa apa yang dihasilkan adalah suatu perlambangan (typification), yaitu hanya berdasarkan aturan interaksi/organisasi percakapan yang diatur. Hasil itu didasarkan pada kenyataan bahwa walaupun bahasa adalah alat untuk membentuk kategori yang berterima (common sence categories), tetapi sebaliknya makna dan penggunaan tuturan tertentu masih dapat dinegosiasikan dan tidak dapat ditentukan secara eksak. Artinya kaitan antara kata-kata dan objek merupakan masalah kajian hubungan dunia sosial (lingkup sosial) dan aktivitas di mana kata-kata tersebut digunakan.

Meskipun percakapan umumnya berlangsung secara berpasangan, ada cara yang memungkinkan diperluasnya pasangan, yaitu sebelum diawali (lihat Schegloff 1980; Levinson 1983: 345-64), setelah selesai (lihat Fox 1987: 23-8), atau bahkan persis ketika berlangsung percakapan berpasangan  (lihat Jefferson 1972). Persoalan penting yang mendasari percakapan adalah masalah ”distribusi”, yaitu bagaimana penutur menempatkan giliran ketika berbicara? Bagaimana mereka tahu kapan diperkirakan orang akan berbicara dan mitra tutur harus diam? Bagaimana orang tahu kapan harus berhenti berbicara, dan mitra tutur harus mulai berbicara, dengan sekecil mungkin jarak pertuturan dan jarak bertutur bersamaan antara giliran?

AP menawarkan solusi terhadap masalah itu (dan yang sejenisnya) seputar ganti-giliran dalam percakapan; sebuah solusi yang prosesnya teramati ketika sedang berlangsung percakapan. Solusi tersebut merupakan ”seperangkat aturan dasar yang mengatur formasi giliran, memberikan alokasi giliran berikutnya pada suatu kelompok percakapan, dan mengkoordinasikan pergantian giliran sehingga memperkecil jarak pertuturan dan jarak bertutur bersamaan” [Sacks (1974) dalam Schiffrin, 1994:238].

Ringkasnya, fokus AP adalah percakapan sebagai peristiwa aktual, dengan cara percakapan direkam tanpa rekayasa, hasil rekaman ditranskrip sebagaimana adanya. AP tidak mengakui penyiangan sebagai dasar, baik bagi ilmu sosial maupun kebiasaan manusia dalam bertindak. Dikemukakan oleh Sacks (1984) bahwa banyak penyiangan dalam ilmu sosial menghasilkan konsep yang bersifat umum sehingga mengakibatkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hubungan khusus dalam rentetan suatu peristiwa (dalam Schiffrin, 1994:234). Pada prinsipnya, konteks perlakuan AP masih didasarkan pada etnometodologi. Walaupun demikian, dalam membuat transkrip percakapan, AP tidak terlalu memperhatikan hubungan sosial atau konteks sosial, seperti identitas sosial, latar, dan atribut personal (Schiffrin, 1994:235).

Heritage (1984) mengemukakan tiga asumsi AP, yaitu (a) interaksi yang diorganisasi secara struktural, (b) kontribusi terhadap interaksi yang berorientasi kontekstualitas, dan (c) dalam interaksi tidak terdapat urut-urutan pembicara, eksidental bahkan tidak relevan (tidak ada typification) (lihat Schiffrin, 1994:236). Pada sumber lain dikemukakan bahwa ada dua perspektif yang harus diperhatikan dalam AP, yaitu (a) organisasi percakapan dan (b) tema-isi percakapan (bagaimana tema pembicaraan dibahas, apakah pembicaraan membentuk sebuah benang merah atau malah tidak relevan dengan tema).

Schiffrin (1994) juga mengemukakan salah satu struktur percakapan yang perlu diperhatikan adalah pasangan berdekatan (adjacency pairs), yaitu dua tuturan yang berpasangan/ berdekatan dituturkan oleh dua pembicara secara berurutan (sebagai bagian pertama dan bagian kedua) sehingga bagian pertama memerlukan bagian atau jarak khusus dari bagian kedua.  Perhatikan contoh berikut.

A: (a)   Itu kan dari= pertama ya

B: (b)   ... Iya dari jilid satu

     (c)   Iya dari [jilid] satu sampai jilid

A: (d)           [XX]

B: (e)   ... empat

     (f)   em=pat

B:  (g)  ... Soalnya

      (h)  Aa malesnya

      (i)  kalau misalnya beli per jilid itu

      (j)  ilang

A:  (k)  ... Cepet ilang

B:  (l)      [Eh-eh]

 

Contoh  di atas  adalah sebuah struktur percakapan yang ditemukan dalam bahasa spontan. Bentuk klausa timbul dalam percakapan secara berurutan dan bergiliran.  Yang terjadi disini adalah A sebagai yang memulai percakapan: Itu kan dari= pertama ya membuka kesempatan bagi sekuen kedua sebagai  jawaban. Dengan demikian, klausa (a) “Itu kan dari= pertama ya” serta jawaban B (b) dan (c) dianggap sebagai respons atas suatu celah yang kosong, dalam hal ini juga dianggap sebagai pasangan berdekatan, dan seterusnya.

 

Bacaan

Marcellino, M. 1993.  “Analisis Percakapan (Conversation Analysis): Telaah Tanya-Jawab di Meja Hijau” dalam Pellba 6 (Bambang Kaswanti Purwo (Ed.)).  Yogyakarta: Kanisius.

Schiffrin, Deborah. 1994.  Approaches to Discourse. Cambridge, Massachusetts: Blackwell.

Taylor, Talbot J. dan Deborah Cameron. 1987. Analysing Conversation.  Oxford: Pergamon Press.

Yule, George. 2006.  Pragmatik (terjemahan Indah Fajar Wahyuni dan Rombe Mustajab). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa