Memahami Budaya Daerah sebagai Kunci Sukses dalam Pemelajaran BIPA

Memahami Budaya Daerah sebagai Kunci Sukses dalam Pemelajaran BIPA[1]
 
 
Abstrak

Makalah ini akan memaparkan masalah pemelajaran BIPA yang berfokus pada pemahaman budaya daerah, khususnya bahasa daerah, sebagai kunci sukes dalam pembelajarannya. Pemaparan makalah ditujukan untuk memberi wawasan dalam rangka mengatasi problem pemelajar BIPA yang muncul sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan masalah kebahasaan dan sosiokultural dari bahasa pemelajar. Pemakaian materi ajar bahasa sekaligus budaya yang otentik dan diajarkan dengan pendekatan komunikatif diharapkan akan membangkitkan minat pemelajar dan memelihara keterlibatan pemelajar terhadap subyek yang sedang dipelajarinya. Dengan berbekal materi budaya tersebut diharapkan kesadaran pemelajar BIPA tentang budaya  daerah di Indonesia akan membantu pemelajar dalam mengaktualisasikan diri mereka secara tepat ketika berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

 
Pengantar

Pemahaman budaya daerah di Indonesia merupakan isu penting sekaligus mempunyai peranan sangat penting dalam pemelajaran[2] bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA). Pemahaman terhadap budaya sangat penting karena (1) memudahkan pengertian cara berkomunikasi dan (2) menghindarkan pemelajar BIPA dari kemungkinan terjadinya benturan budaya (cultural shock) dalam pembelajaran dan ketika berkomunikasi dengan penutur asli. Misalnya, dengan pemahaman budaya, pemelajar dapat mengetahui apakah unsur-unsur bahasa yang akan digunakannya itu dapat menyinggung perasaan orang lain, bertentangan dengan norma-norma masyarakat, atau belum sesuai dengan sopan santun (tata krama, unggah-ungguh) dalam berkomunikasi dengan penutur asli.

Pemahaman terhadap budaya juga dapat berperan menambah wawasan pengetahuan dan penghayatan para pemelajar BIPA terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Artinya, bahasa Indonesia yang digunakan sebagai alat komunikasi antarpenduduk dan antarsuku bangsa merupakan cerminan latar belakang budaya Indonesia yang beragam. Dengan pemahaman tersebut, para pemelajar BIPA akan memahami bahwa bahasa Indonesia yang dituturkan oleh penutur dari Jawa akan berbeda dengan penutur dari Sunda, Madura, Batak, Bali, Melayu, Makassar, dll. Selain itu, secara praktis pemahaman budaya ini berimplikasi pada pemelajaran BIPA bahwa tidak cukup sekadar mengenalkan aspek linguistik bahasa Indonesia saja.

Di sisi lain, Ketertarikan mempelajari budaya, khususnya bahasa daerah, biasanya berjalan seiring dengan minat mengenal budaya masyarakat penutur bahasa tersebut. Demikian pula sebaliknya, mempelajari budaya suatu masyarakat tidak akan optimal tanpa mempelajari bahasanya. Seorang mahasiswi Australia, Kirrilly McKenzie, yang sedang kuliah bahasa Jawa di Australian National University mengatakan “...belajar bahasa Jawa memberikan saya wawasan yang dalam soal budaya Jawa dan cara yang orang Jawa berkomunikasi satu sama lain.” Selain mengenal budaya, tujuan mempelajari bahasa daerah juga dipengaruhi kepentingan ekonomi, politik, dan akademik (Suhardjono, 2017).

Perihal bahasa dan budaya ini tentunya seiring dengan pendapat bahwa bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dianggap sangat penting, bahkan mutlak diperlukan, dalam kehidupan manusia.  Bahasalah yang dianggap milik khas manusia yang paling umum dan paling mampu untuk digunakan sebagai alat pengembangan akal budi dan pemelihara kerja sama antarmanusia yang dapat diamati (Koentjaraningrat, 1984:2).

 

Memahami Budaya Indonesia

Dalam belajar bahasa Indonesia, khususnya bagi penutur asing, diperlukan pemahaman bahwa keberagaman budaya di dalam masyarakat Indonesia mencerminkan pola pikir, pola hidup, dan pola nilai etnisitas. Keragaman suku di Indonesia dapat dilihat  sebagai perbedaan yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Perbedaan itulah yang dipelajari secara silang budaya untuk dilihat nilai-nilai psikologis masyarakatnya.  

Sehubungan dengan hal tersebut, sebelum mengajarkan bahasa dari aspek linguistik (pemelajaran struktur bahasa Indonesia), perlu diajarkan (dikenalkan) pengetahuan budaya-budaya daerah di Indonesia yang meliputi sistem nilai, sistem sosial, dan produk budaya serta implikasinya terhadap tindak berbahasa. Pengenalan “sikap berbahasa” melalui media audio-visual  dari guru, tutor, atau instruktur sangat membantu proses belajar bahasa ini. Dalam konsep budaya Jawa, memahami budaya ini  sebenarnya seperti model  ngertos caranipun ngertos atau  ‘mengerti bagaimana caranya mengerti’ (model pendidikan heuristik).  Artinya, pemelajar BIPA menjadikan pemahaman budaya sebagai dasar mereka menerapkan ilmu bahasanya ke dalam cara berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.

          Di dalam tataran praktis, untuk memahamkan budaya ini diperlukan penekanan pada pengertian yang berkaitan dengan kemampuan menangkap kata-kata dan kemampuan menyusun kalimat, kemampuan memahami orang lain, kemampuan memahami emosi sendiri, serta kemampuan melukiskan suatu konsep bahasa dalam perspektif (think in picture).  Tujuannya ialah agar pemelajar dapat mempersepsi lingkungan dan mengekspresikan konsep bahasa dan budaya dalam berkomunikasi. Pemelajaran dengan cara diskusi tentang puisi, novel, percakapan dalam drama (misalnya, drama tradisional [seperti ketoprak, ludruk, wayang orang]) atau dialog tentang simbol-simbol budaya dalam video klip iklan di TV merupakan sarana (media) yang menarik untuk pembelajaran budaya.

Dalam mempersepsi lingkungan, misalnya, dipahami bahwa bahasa tidak menentukan persepsi penutur, tetapi persepsilah yang menentukan bahasa. Maka, dengan cara yang sama, tidak ada alasan untuk berkata bahwa orang Eskimo telah belajar mengamati macam-macam salju melalui bahasa dan bukan melalui pengalaman hidup mereka. Orang Indonesia sendiri, jika pernah mengamati salju, dapat menggambarkan beberapa keadaan salju dengan membentuk frasa-frasa seperti salju halus, salju mencair, salju kotor, dsb. sehingga kosakata untuk salju akan sebanyak orang Eskimo. Namun, pengalaman hidup juga tidak selalu mencetuskan bentuk-bentuk kosakata baru.

Di dalam kelompok budaya masyarakat Indonesia, sama seperti kelompok-kelompok lain di dunia ini, mempunyai cara memandang lingkungannya. Whorf (1956) menyajikan penelitian rinci atas bangsa Hopi (salah satu dari Pribumi Amerika atau Indian-Amerika) dengan hasil-hasil yang sangat menarik. Umpamanya soal persepsi mengenai waktu. Bahasa Inggris merujuk waktu dengan kata benda, ‘season'; namun bangsa Hopi memahami waktu sebagai suatu jalur perjalanan atau sebuah proses, sehingga mustahil ditetapkan dalam kata benda. Seorang Anglo-Sakson (Anglo-Saxon, bahasa Inggris kuno atau seorang turunan Inggris) mengatakan "in the summer", orang Hopi tidak bisa berkata demikian karena di kepalanya tertanam pemikiran bahwa “musim panas” itu adalah sebuah fase yang berlalu atau tiba, tak pernah ‘di sini' dan tak pernah ‘sekarang', melainkan senantiasa bergerak, selalu berakumulasi. Contoh lain, masih tentang waktu, berkaitan dengan persoalan tata bahasa. Bahasa Inggris memiliki tiga penunjuk waktu yang mewakili cara pandang bahwa waktu berjalan dalam ruang-ruang analog: lampau (past), kini (present), yang akan datang (future). Ini bukan monopoli bangsa Inggris; waktu, dalam bahasa-bahasa standar rata-rata di Eropa (termasuk Belanda, Jerman, Italia, Swedia, dsb), divisualisasi sebagai satu garis lurus. Hal ini berbeda dengan cara pandang orang Hopi.  Bagi mereka yang penting bukanlah lokasi suatu kegiatan dalam alur waktu, melainkan hakikat kesahihannya (apakah kegiatan itu merupakan fakta teramati, ataukah fakta yang diingat kembali, atau suatu harapan).  Berkaitan dengan hal itu, Whorf (1956) menyimpulkan bahwa akibat perbedaan bahasa ini, bangsa Hopi dan bangsa-bangsa Eropa memiliki perbedaan pemikiran, pemahaman, dan perilaku yang berkaitan dengan waktu. Berdasarkan pendapat ini, apabila sesuatu bangsa menukar bahasanya, maka bangsa itu bukan hanya menukar alat komunikasinya, tetapi bangsa itu juga mengalami perubahan cara pandang berkenaan dirinya dan persepsinya tentang dunia sekelilingnya.  Sehubungan dengan itu pula, ketika kita mempelajari suatu bahasa berarti kita juga harus memahami persepsi dari  masyarakat bahasa itu. Kendati hipotesis Whorf banyak mendapat kritikan, tetapi dengan gambaran ini kita bisa mengerti bahwa sebagian besar orang menerima anggapan bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan.

Sehubungan dengan uraian di atas, kita dapat mengambil contoh dari bahasa Jawa  untuk melihat bagaimana orang Jawa memandang dunianya yang tercermin dari bahasanya.  Salah satu perbedaan yang sangat mendasar antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia adalah bahasa Jawa mengenal adanya tingkatan-tingkatan bahasa, sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak.  Ada tiga tingkatan dalam bahasa Jawa, yaitu (1) ngoko, yang dianggap bahasa kasar dan bersifat paling informal, (2) krama madya, yang dianggap berada di tengah-tengah (agak halus dan agak formal), dan (3) krama inggil, yang dipandang sebagai bahasa Jawa paling halus dan juga paling formal.  Dalam bahasa Jawa, seseorang dapat bertanya secara ngoko, "Kowe wis mangan durung?", bisa juga secara krama, "Sampeyan pun nedha napa dereng?", atau secara krama inggil, "Panjenengan sampun dhahar menapa dereng?".  Ketiga kalimat yang berbeda tersebut memiliki makna yang sama dalam bahasa Indonesia, yaitu "Kamu sudah makan belum?".  Seperti halnya bahasa Indonesia, bahasa Inggris juga tidak mengenal bahasa bertingkat seperti bahasa Jawa sehingga terjemahan kalimat-kalimat di atas adalah "Have you eaten?" atau bisa juga "Did you eat?".  Di sini tampak sesuatu yang menarik dari dua kalimat tersebut, kata kerja to eat mengalami perubahan.  Dalam bahasa Inggris, kata kerja mengalami perubahan seiring dengan waktu dilakukannya kerja tersebut sehingga dikenal istilah tense yang tidak ada dalam bahasa Jawa ataupun bahasa Indonesia.  Dari sinilah kita mengetahui bahwa kategori kata "halus" dan "kasar" dan kedudukan seseorang merupakan aspek penting dalam hubungan antar-individu masyarakat Jawa.

Memahami budaya Indonesia juga akan membimbing para pemelajar BIPA untuk mengerti realitas yang berbeda-beda dari masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, dua orang penutur bahasa yang berlainan bahasa akan menyatakan ekspresi berbahasa dengan cara berlainan dan memahaminya secara berlainan pula.  Kita dapat lagi mengambil contoh dari bahasa Jawa.  Dalam bahasa Jawa, kita mengenal sejenis tanaman yang disebut pari 'padi'.  Apabila pari ini telah dipetik dan dirontokkan dari dari tangkainya, dia disebut gabah.  Jika gabah ini telah digiling atau ditumbuk, sehingga lepas kulitnya, dia disebut beras.  Kalau beras itu kemudian dimasak dengan tepat, dia akan disebut sega 'nasi', tetapi kalau dia dimasak dan menjadi kerak, dia akan disebut intip, sedang kalau dimasak dengan air yang berlebihan, dia akan disebut bubur.  Sega ini kalau berupa butir-butir lepas disebut upa.  Nama yang begitu bermacam-macam dalam bahasa Jawa untuk menamakan buah dari sejenis rumput (termasuk jenis oryza) tersebut tidak dikenal dalam bahasa Inggris.  Bahasa Inggris hanya mengenal satu kata untuk berbagai bahasa Jawa tadi, yaitu rice.  Bahkan di Indonesia, tumbuhan yang menghasilkan beras ini ada berbagai jenis, seperti padi cere, padi genjah, padi gogo, padi pulut, padi radin (padi ringan), dsb.

Dengan pemilihan bentuk kata sapaan dalam bahasa Indonesia,  pemelajar BIPA dapat melihat perspektif perasaan terhadap yang lain, seperti jarak, rasa hormat, keintiman, dll., dan kesadaran terhadap adat atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat.  Kesadaran semacam  itu tercermin dalam bentuk kesopanan secara umum dalam pemilihan bentuk kata sapaan yang cocok. Saling menggunakan kata sapaan yang sama, seperti kamu atau Anda, merupakan contoh kata yang mengandung tingkat kesopanan tertentu dalam masyarakat. Contoh yang mudah dilihat ialah ketika seorang guru menyapa muridnya bisa dengan sapaan kamu, tetapi si murid tidak akan berani menyapa guru tersebut dengan perkataan kamu, ia akan menggunakan kata Bapak, misalnya. Perbedaan penggunaan bentuk sapaan kamu, Anda, engkau, kau, dan dikau sebagai cerminan dari bentuk ketidaksetaraan dan formalitas. Bentuk bahasa lain yang menunjukkan  bentuk kesopanan dengan pilihan kata  dapat dilihat pada bahasa Jawa. Seseorang harus menentukan jenis pilihan kata karena ketika dia berbicara dengan orang yang berbeda. Dia akan memilih apakah dia akan menggunakan  kata dhahar, nedha,  mangan,  atau saiki, sameniko, saniki maupun ajeng, bade, arep ketika ia berbicara dengan orang lain. Berikut ini beberapa kata “sakti” (magic words) bahasa daerah diajarkan dan disarankan untuk dipakai untuk berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat setempat agar lebih mudah diterima oleh masyarakat (Suhardjono, 2017). Beberapa kata “sakti” itu, antara lain:

Jawa      : “monggo”, “matur nuwun”, “kula nuwun”, “sugeng enjang/siyang/ sonten/dalu”, “piye kabare”, “pinten”

‘silakan, terima kasih, permisi, selamat pagi/siang/sore/malam, bagaimana kabarnya, berapa’

Madura : “torè", “bãrãmma kabãrrã”, “kalangkong”, “pangapora”, “bãrãmpa”.

‘silakan/mari, bagaimana kabarnya, terima kasih, mohon maaf/maafkan saya, berapa’

Sunda    : “punten”, “mangga”, “wilujeng énjing/siang/sonten/wengi”, “sabaraha”, “kumaha damang”, “nuhun”.

‘permisi/mohon maaf, silakan, selamat pagi/siang/sore/malam, berapa, bagaimana kabarnya, terima kasih’

Tak dapat dimungkiri bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia ada kenyataan perbedaan strata sosial dan  juga ada dimensi power dan solidarity yang tercermin pada penggunaan bentuk pronomina kedua. Ketika ada dimensi power yaitu ketika peran atau status sosial pembicara dan  lawan bicaranya asymetrical (tidak simetris/setara),  mereka cenderung menggunakan kata sapaan (pronomina kedua atau istilah kekerabatan)  yang non-reciprocal (tidak menggunakan kata sapaan yang sama). Sebagai contoh, seorang ayah akan memanggil putra-putrinya dengan Alex atau Siska (namanya saja) dan anak-anak akan menyapa mereka dengan Bapak atau Ibu. Sebaliknya ketika terdapat dimensi solidaritas, yaitu ketika posisi atau status pembicara dan lawan bicaranya symetrical (simetris/setara), mereka menggunakan bentuk sapaan yang reciprocal (saling menyapa dengan menggunakan bentuk kata sapaan yang sama).

Sehubungan dengan jarak komunikasi dalam komunikasi juga perlu menjadi pertimbangan.  Misalnya, beberapa ungkapan dalam bahasa Indonesia dianggap melampaui batas kewajaran oleh pemelajar BIPA, misalnya ungkapa “wah gemuk sekali” dan “anaknya lucu ya” ketika melihat bayi yang lucu dan sehat yang berarti positif di Indonesia, tetapi ada kemungkinan memuat konotasi negatif dalam konsep budaya Barat. Dalam hal ini ungkapan fungsi bahasa harus dijelaskan dalam konteks budaya dan tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa si pemelajar begitu saja. Hal wajar jika pemelajar sering mengeluhkan tentang betapa inginnya orang Indonesia mencampuri urusan orang lain dalam konteks komunikasi menggunakan bahasa Indonesia.  Problem ini menunjukkan betapa minimnya pembahasan komponen budaya dalam BIPA. Contoh menyiratkan dalam pertanyaan dan ungkapan pujian, komponen budaya bisa dikenalkan kepada pemelajar, paling tidak sebagai catatatan budaya, di mana pengajar bisa menyinggung masalah ini bahkan pada hari pertama pelajaran BIPA dimulai dengan menggunakan topik “greeting” atau memberi salam yang bahan ajarnya diperoleh dari materi komunikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari orang Indonesia.

Dengan pemahaman seperti itu pula, seorang pemelajar akan paham mengapa orang Jawa dan Sunda, misalnya, termasuk kelompok pemakai bahasa yang senantiasa menggunakan strategi samar-samar ketika membuat penolakan saat diminta atau disuruh. Dengan pilihan kata yang diikat oleh aturan unggah ungguh atau undak-usuk basa (speech levels) ketika dihadapkan kepada sebuah situasi yang akan memaksanya membuat penolakan. Masyarakat Jawa dan Sunda adalah masyarakat yang sangat mempertimbangkan keharmonisan tatanan masyarakat dan hubungan antarpribadi, sehingga prinsip ewuh pakewuh (bahasa Jawa)  ‘tidak enak perasaan’ atau heurin ku letah (bahasa Sunda)  ‘lidah menjadi kelu’ ketika harus membuat penolakan secara langsung sangat nampak dalam setiap realisasi pertuturan menolak yang mereka buat.

 

Berpikir Kritis dan Membangun Kesadaran Budaya

Kemampuan kognitif budaya pemelajar BIPA dapat dibangun untuk menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mempunyai daya ungkap untuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang diperlukan adalah membimbing pemelajar untuk menggunakan bahasa Indonesia secara kritis, yang mungkin lebih tepat diartikan sebagai kesadaran terhadap budaya dan lingkungan Indonesia.

Berbahasa kritis di sini berarti kesadaran terhadap arti atau padanan kata/istilah bahasa Indonesia yang sukar dipadankan dengan bahasa asli pemelajar bukan karena bahasa Indonesia “rumit” atau “banyak mengandung makna”, tetapi karena kata/istilah yang dipilih untuk penggunaan dalam suatu konteks akan dikaitkan dengan implikasi, sikap, atau tingkat kesopansantunan (ethical) yang berlainan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Oleh karena itu, sungguhpun akan gampang memadankan suatu kata bahasa Indonesia ke dalam suatu bahasa dengan kata dalam bahasa yang lain dari segi makna harfiahnya, tetapi sangat sukar memadankannya dengan makna sekunder dan implikasinya.

Misalnya, kata unduh, yang berasal dari bahasa Jawa, dipakai untuk menggantikan istilah  download.  Pemaknaan kata ini masih terasa sulit bagi pemelajar BIPA, apalagi jika dikaitkan dengan muatan gagasan dari istilah teknis  dalam dunia komputer/internet.  Lihatlah muatan gagasan yang dikandung dari unduh: ‘proses pemindahan data dari komputer utama ke komputer lokal dalam sebuah jaringan internet atau mengambil file dari komputer lain yang sama-sama terhubung pada jaringan lokal’.  Jika tingkat abstraksi download yang kita dipadankan dengan unduh itu, kita misalkan satu, lalu bagaimana dengan abstraksi istilah spektroskopi? Download masih ada hubungannya dengan “bongkar muat”, tapi spektroskopi sudah jauh hubungannya dengan “melihat hantu”.

Kasus lain, misalnya dalam menerjemahkan sebuah kalimat. Parakitri T. Simbolon (2005) pernah bercerita tentang pengalamannya dalam proses penerjemahan buku Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia karya Rudolf Mrazek. Dalam kata pengantar buku itu, Mrazek menulis “I can not disagree more” untuk menanggapi sebagian pembaca naskahnya yang berpendapat bahwa karyanya itu merupakan riwayat hidup seorang yang gagal. Sebelum buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seorang redaktur Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) menerjemahkannya menjadi “Saya tidak dapat lebih menyangkal lagi”.  Perhatikanlah hasil terjemahan itu, dari segi tata bahasa tidak salah memang, tetapi maksudnya jadi sulit dimengerti.  Bahkan, kata Simbolon, ada salah satu penerbit yang menerjemahkannya menjadi “Saya sangat setuju”! Setelah memahami perkataan itu dari segi logika dan implikasinya, kalimat itu akhirnya oleh Simbolon diterjemahkan “Saya sangat tidak setuju!”.

Contoh lainnya ialah ketika Simbolon menjadi penerjemah buku  Within Reason karya Calne. Ketika ada kata breaking wind dalam kalimat “The primal religions dwell on biological functions, such as eating, drinking, sexual intercourse, chidbirth, fighting, killing, and dying. Even breaking wind (pts) can be immortalized in religious narratives”. Seperti biasanya, hal-hal seperti itu ia tunjukkan kepada para redaktur di  KPG untuk coba diterjemahkan. Semua menerjemahkannya dengan angin topan. Simbolon bilang terjemahan itu kurang logis, karena kalimat yang dimulai dengan  “Even” jelas menunjukkan bahwa breaking wind itu lebih sepele daripada semua yang disebut lebih dulu, seperti “eating, drinking ....”. Lalu, ia memberi tahu bahwa arti breaking wind dalam kalimat itu adalah ‘kentut’ !  Karena itu pula apabila tidak ada kesejajaran yang tepat bukanlah akibat perbedaan pikiran, tetapi akibat cara menerapkan pikiran ke dalam kata-kata dan struktur bahasa. Memang, memadankan langsung sebuah kata/istilah asing ke dalam bahasa Indonesia dan memilih mana yang perlu dipertahankan dalam bahasa aslinya ketika masuk ke sistem pikiran kita, sungguh upaya yang memerlukan kerja keras yang mengaitkan sistem pikiran dengan sistem bahasa.

Perlu menjadi perhatian juga bahwa pengenalan budaya untuk membangun kesadaran budaya tidak hanya terbatas pada budaya Indonesia secara umum, tetapi juga budaya setempat di mana pemelajar tinggal atau bekerja. Pemelajar asing yang akan bekerja di daerah tertentu membutuhkan informasi mengenai budaya dan adat istiadat masyarakat di daerah itu. Pengenalan budaya daerah berpotensi meningkatkan minat mempelajari bahasa daerah. Dalam konteks ini, bahasa daerah dapat menjadi jembatan untuk mengenal budaya dan masyarakat di daerah tersebut. Di samping itu, dalam pembelajaran juga berpotensi mengajarkan unsur-unsur (kata serapan, kata bentukan) dalam bahasa daerah. Untuk pemelajar BIPA tingkat lanjut, pengajar mengenalkan penggunaan bahasa daerah untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia untuk tujuan menghormati mitra tutur (alih kode). Contoh kalimat: “Kalau Bapak mau melakukan itu, ya monggo saja”. Selain itu, penggunaan kata serapan pada sapaan, seperti Mas dan Mbak (Jawa), Aa (Sunda), atau Kak (Madura) (Suhardjono, 2017).

Oleh karena itu pula, pengenalan budaya daerah sangat dijadikan sarana pengenalan bahasa daerah. Dalam rangka mengenalkan keragaman budaya daerah di Indonesia, misalnya, penyelenggara pengajaran BIPA dapat menyelenggarakan kegiatan “Malam Budaya Indonesia” atau “Sehari Mengenal Budaya Indonesia”. Dalam acara tersebut pemelajar dan pengajar dapat memakai pakaian tradisional dari berbagai daerah dan menampilkan tarian tradisional. Penyelenggara BIPA di luar Indonesia dapat juga mengundang beberapa mahasiswa atau orang dari berbagai daerah di Indonesia untuk menyajikan berbagai informasi mengenai daerahnya (pernik-pernik budaya, makanan, tempat wisata) dan menampilkan tarian tradisional daerahnya. Di dalam acara tersebut pemelajar selain mendapatkan berbagai informasi mengenai daerah tersebut, juga dapat berinteraksi dengan penutur asli daerah tersebut. Ketika berinteraksi dengan penutur asli dari daerah itulah, sering muncul istilah atau kata dari bahasa daerah tersebut.

 

Memahami Bahasa dan Kondisi Politik Indonesia

Untuk memahami lebih dalam perihal bahasa Indonesia, pemelajar BIPA juga (terutama pada tingkat mahir) perlu diberikan informasi menarik tentang bahasa dan kondisi politik di Indonesia.

Ada tiga masalah kebahasaan di Indonesia, yaitu masalah bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan pemakaian bahasa asing (Alwi dan Sugono,  2003).  Masalah itu menjadi rumit ketika di dalam kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri terjadi berbagai perubahan.  Perubahan itu setidaknya karena dua hal berikut. Pertama, munculnya tatanan kehidupan dunia yang baru sebagai akibat globalisasi dan perkembangan teknologi informasi yang amat pesat.  Hal ini menuntut bahasa Indonesia mempunyai daya serap dan daya adaptif yang tinggi terhadap kata/istilah asing dari berbagai bidang ilmu, dari ilmu-ilmu sosial sampai ilmu-ilmu eksakta sekaligus merajut makna, ide, atau konsep-konsep yang mengikuti perkembangan teknologi. Kedua, keanekaan bahasa yang hidup di Indonesia itu merupakan segi kebahasaan dari keanekaan etnis dan budaya suatu masyarakat.  Menurut data Badan Bahasa,  per 28 Oktober 2017, ada 652 bahasa di Indonesia yang sudah diidentifikasi dan masih ratusan bahasa lagi yang belum diidentifikasi. Di sisi lain, dalam suatu masyarakat hidup beraneka dialek.  Antar-bahasa atau antar-dialek itu memungkin­kan terjadinya persaing­an dalam upaya menempati tempat istimewa dalam masyarakat tertentu. Jika masyarakat yang secara sosial budaya beraneka ragam itu merupakan kesatuan politis dan geografis, akan timbul masalah keba­hasaan. Masalah bahasa ini sudah pasti melibatkan masyarakat tuturnya. Ini bukan persoalan sosiolinguistik saja, tetapi juga politik.

Para pakar bahasa tampaknya bersetuju bahwa penduduk yang menggunakan beraneka bahasa atau dialek secara serempak, memerlukan alat perhubungan yang memung­kinkan semua warga masyarakat dalam satuan politik itu bergaul dan be­kerja sama.  Tak bisa dipungkiri pula bahwa pemerintah harus ikut campur menyelesaikan masalah komunikasi yang sedemikian kompleks karena perbedaan bahasa. Faktor ini membuat bahasa menjadi objek yang tidak terhindarkan dari aneka pilihan politik bahasa (Coulmas 2006:184; Moeliono, 1985:1; Alwasilah 1993:91).

Contoh pilihan politik itu bisa dicermati dalam kasus di Timor Timur dan India.  Misalnya, ketika Timor Timur  lepas dari Indonesia dan menjadi negara merdeka, pemerintah yang baru membuat  ketentuan mengenai bahasanya. Bab 13 tentang “Bahasa Resmi dan Bahasa Nasional” dari konstitusi yang ditetapkan pada tanggal 22 Maret 2002 menyebutkan bahwa (1) bahasa Tetum dan bahasa Portugis dijadikan bahasa resmi di Republik Demokratik Timor Timur serta (2) bahasa Tetum dan bahasa nasional yang lain akan dihargai dan dikembangkan oleh negara.

Di India, meskipun bahasa nasionalnya bahasa Hindi, ada juga bahasa nasional alternatif, yaitu bahasa Inggris.  Namun, bahasa Hindi pun ditetapkan sebagai bahasa resmi di negara bagian Himachal Pradesh, Delhi, Haryana, Uttar Pradesh, Chandigarh, Bihar, Madhya Pradesh, dan Rajashtan. Di samping itu, kelompok-kelompok Indo-Arya, seperti Bengali, Gujarati, Marathi, Punjabi, bersikeras dengan bahasanya sendiri-sendiri.  Belum lagi kelompok-kelompok Dravida, seperti Telugu, Tamil, dan Malayalam, juga bersikeras dengan bahasanya masing-masing. Bahkan, sebagian besar muslim India setia menggunakan bahasa literer Urdu.  Bayangkan bagaimana repotnya India dengan pilihan politik bahasanya!

Dua contoh kasus itu menggambarkan bahwa pilihan politis tentang bahasa dimotivasi beragam kepentingan dan dibuat dalam berbagai format.  Meskipun demikian, ada pandangan umum yang mendasarinya, yaitu bahwa keputusan pilihan politik itu digunakan untuk mengatur pemakaian bahasa dengan tujuan tertentu. Oleh karena itu pula, suatu kebijakan bahasa secara eksplisit dibuat berdasarkan latar belakang keanekaan bahasa yang hidup dalam suatu pemerintahan dan bertujuan untuk mengatur beragam fungsi pemakaian bahasa itu.

Indonesia mungkin lebih mujur daripada India.  Berkat pilihan politis para pemuda dalam Kongres Pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 yang mengikrarkan  Sumpah Pemuda, Indonesia mempunyai bahasa nasional yang mempersatukan ratusan bahasa daerah dan dialek. Pernyataan sikap politik bangsa Indonesia “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang menyatukan keanekaan dalam masyarakat Indonesia.  Sebagai gambaran, Anton M. Moeliono (2000) menyatakan, pada tahun 1928 populasi orang Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu hanya 4,9 persen, sedangkan bahasa Jawa 47,8 persen dan Sunda 14,5 persen.

Terbukti dalam perkembangannya, melalui vernakularisasi, pilihan politik pada tahun 1928 itu telah mengantarkan bahasa Indonesia menjadi bahasa masyarakat baru yang bernama Indonesia. Bahasa Indonesia telah mampu menyatukan berbagai lapisan masyarakat yang berbeda latar belakang sosial budaya, bahasa, dialek, dan etnik ke dalam satu kesatuan bangsa Indonesia.  Bahasa Indonesia  pun kemudian mendapat pengukuhannya ketika perjuangan politik bangsa Indonesia mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945.  Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa negara yang merdeka dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 32 dan 36.

Dalam konteks pengukuhan pilihan politik status bahasa Indonesia, perencanaan bahasa Indonesia adalah upaya yang tidak mungkin dihindari. Setidaknya, pesatnya perkembangan bahasa Indonesia dan gencarnya “serangan” bahasa asing telah menuntut hal itu.  Status meningkatkan atau mengurangi penggunaan bahasa menjadi kebijakan politik yang diasumsikan dapat mengembangkan dua hal, yaitu pengembangan bahasa dan menciptakan situasi-situasi sosial. Di lain pihak, kebijakan bahasa secara resmi di kalangan pemerintahan dan pendidikan merupakan upaya pengembangan bahasa untuk menyatukan rasa nasionalisme. Implementasi kebijakan itu adalah memberikan status bahasa.  Hal ini pula memberi dua pengertian pada kita bahwa perencanaan bahasa menyangkut (1) para penutur bahasa itu dan (2) berhubungan dengan perencanaan status dan perencanaan korpus bahasa itu sendiri.

Perencanaan bahasa di Indonesia merupakan refleksi perjalanan yang panjang.  Selama bertahun-tahun di tengah masyarakat sudah berkembang pandangan dan pemikiran agar bangsa Indonesia mempunyai politik bahasa yang eksplisit.  Implikasinya adalah agar bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah, dan bahasa-bahasa asing yang lazim digunakan dapat dimanfaatkan secara maksimal demi kemajuan bangsa dalam arti seluas-luasnya. Hingga kini apa yang disebut Politik Bahasa Nasional masih berupa kesepakatan masyarakat (terutama para ahli dan peminat bahasa) dan belum menjadi dokumen perundang-undangan yang formal.

Masalah perencanaan bahasa di Indonesia memang tidak dapat dipisahkan dari persoalan kehidupan berbangsa—sebagai konsekuensi dan implementasi Sumpah Pemuda 1928.  Namun, selama tidak ada dukungan yuridis terhadap masalah bahasa itu, selama itu pula akan timbul suasana ketidakpastian sehubungan dengan beberapa prinsip yang sudah disepakati.  Itulah sebabnya berbagai pertemuan tingkat nasional—termasuk sepuluh kali Kongres Bahasa Indonesia—dan sejumlah pertemuan tingkat lokal, yang jumlahnya boleh dikatakan tak terbilang, seakan-akan berlalu begitu saja tanpa memberikan dampak atau pengaruh yang berarti, padahal di dalam pertemuan-pertemuan tersebut juga dibahas kedudukan dan masa depan bahasa di Indonesia.

Pembahasan yang menonjol dalam pertemuan-pertemuan itu di antaranya ialah tentang fungsi bahasa daerah, penggunaan bahasa asing, peranan sastra Indonesia dalam pengembangan bahasa, dan pentingnya dunia pendidikan dalam pengembangan bahasa. Karena para akademisi bahasa makin berperan, banyak aspek ilmiah dibahas. Namun, pemikiran para praktisi, ditambah dengan para birokrat dan sastrawan, tetap menonjol—semuanya didasarkan atas kepedulian pada keadaan bangsa pada saat tertentu, terutama yang menyangkut bahasa.  Kepedulian itu setidaknya berdasarkan pada fakta yang berkaitan dengan (1) perkembangan bahasa dan bangsa Indonesia, (2) keanekaragaman budaya di Indonesia, (3) situasi politik kebahasaan di Indonesia, (4) pengaruh kehidupan modern terhadap bangsa Indonesia, (5) adanya fanatisme kedaerahan, (6) lingua franca sebagai alat komunikasi antara kelompok masyarakat yang mempunyai bahasa yang berlainan, (7) situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat (diglosia), (8) gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kemampuan dan kebiasaan memakai lebih dari satu bahasa (multilingualisme).

 

Penutup

Ketika mempelajari BIPA, pada hakikatnya sedang memahami orang Indonesia yang berasal dari suku-suku bangsa yang memiliki karakter jiwa kebudayaan lokalnya yang berbicara dengan bahasa nasional dan bahasa persatuannya. Sehubungan dengan itu pula, ketika pemelajar BIPA berkomunikasi dengan orang Indonesia dengan bahasa Indonesia yang telah dipelajarinya, paling tidak ia telah mempelajari ilmu bahasa Indonesia dengan latar pemahaman kebudayaan, kepribadian, dan pola-pola tindakan orang Indonesia.

Oleh karena itu, di dalam makalah ini dapat dikatakan bahwa, pertama, kemampuan berkomunikasi tidak hanya ditentukan oleh pengetahuan terhadap unsur-unsur kebahasaan, tetapi juga oleh pemahaman terhadap aspek-aspek sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat. Aspek-aspek sosial budaya itu sangat berperan dalam penggunaan bahasa. Agar dapat berkomunikasi secara baik dan benar, pembelajar bahasa diharapkan dapat memahami aspek-aspek sosial budaya masyarakat yang bahasanya dipelajari. Kedua, aspek-aspek sosial budaya yang perlu dipahami itu dapat dipilah ke dalam aspek-aspek sosial dan aspek-aspek budaya. Ketiga, pengetahuan tentang aspek-aspek budaya itu mempunyai peranan yang amat penting dalam pengajaran BIPA. Dengan pengetahuan itu, pembelajar bahasa dapat memahami tata krama dalam berbahasa dan dapat menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya benturan budaya (cultural shock).

 

Daftar Bacaan
Alwasilah, Chaedar A. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa.Bandung: Angkasa.
 
Alwi, Hasan and Dendy Sugono (eds) 2003. Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa, Depdiknas and Penerbit Progress.
 
Alwi, Hasan; Dendy Sugono; A. Rozak Zaidan. (Peny.). 2000. Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi.  Jakarta: Pusat Bahasa.
 
Anderson, Benedict. 2001.   Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). (terj. Omi Intan Naomi) Yogyakarta: Inist.
 
Calne. Donald B. 2005. Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia (terjemahan Parakitri T. Simbolon). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
 
Cooper, Robert L. 2000. Language Planning and Social Change. New York: Cambridge University Press.
 
Coulmas, Florian.  2006. Sociolinguistics: The Study of Speaker’s Choices.  Cambridge: Cambridge University Press.
 
Ferguson, Gibson. 2006. Language Planning and Education. Edinburgh: Edinburgh University Press
 
Halim, Amran. 1976. Politik Bahasa Nasional I dan II.  Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
 
Kleden, Ignas.1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3S.
 
Koentjaraningrat.  1984.  Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
 
Korzybski, Alfred. 1994. Science and Sanity; an Introduction to non-Aristotelian Systems and General Semantics.  New York, Lakeville CT: International Non-Aristotelian Library Pub.Co.
 
Kridalaksana, Harimurti (Ed.) 1991. Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai (seri ILDEP). Yogyakarta: Kanisius
 
Liddicoat,  Anthony J. (Ed.). 2007. Language Planning and Policy, Issues in Language Planning and Literacy. Clevedon-Philadelphia-Toronto-Sydney-Johannes­burg: Multilingual Matters Ltd.
 
Moeliono, Anton M.  1985.  Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa (Seri ILDEP). Jakarta: Djambatan.
 
Moeliono, Anton M. 2000. “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi” dalam Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi (Hasan Alwi, Dendy Sugono, dan A. Rozak Zaidan (Ed.).  Jakarta: Pusat Bahasa.
 
Suhardjono, Agus. 2017. “Bahasa Daerah dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA): Studi Kasus di Wisma Bahasa”. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Bahasa Ibu yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan  dan Pelindungan pada tanggal 22 Februari 2017 di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta.
 

[1] Disampaikan pada Forum Ilmiah Ke-47 Himpunan Peneliti Indonesia Seluruh Jepang (HPISJ) di Osaka, Jepang, 11—12 November 2017

[2] Istilah pemelajaran dan pembelajaran perlu dibedakan secara konseptual. Istilah pembelajaran diartikan ‘proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar’. Tentu saja yang belajar itu orang, bukan maujud yang tidak bernyawa seperti bahasa atau pencak silat (olahraga beladiri khas Indonesia). Istilah “pembelajaran” sama dengan “instruction”. Dalam konteks pendidikan, guru adalah pembelajar (instructor) ‘orang yang membelajarkan’ dan peserta didik (siswa) adalah pemelajar “orang yang mempelajari (sesuatu)”. Istilah “pembelajaran” lebih luas dari pada “pengajaran” (learning).  Adapun pemelajaran berarti ‘proses, cara, perbuatan mempelajari’ (KBBI Daring, 2017)
 

Dr. Hurip Danu Ismadi, M.Pd.

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa