Tradisi Lisan Sunna Hada ‘Sunat Adat’ dari Alor Kecil, NTT
TRADISI LISAN SUNNA HADA ‘SUNAT ADAT’ DARI ALOR KECIL, NTT
PENDAHULUAN
Tradisi lisan, dalam berbagai bentuknya sangat kompleks yang mengandung, tidak hanya cerita, mitos, legenda, dan dongeng , tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya kearifan lokal (local wisdom), sistem nilai, pengetahuan sastra lokal (local knowledge), sejarah, hukum, adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi, dan berbagai hasil seni[i][1]. Perlu pula diingat bahwa sebagai titik tolak penelitian, tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau sebagai suatu bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali (invented culture)[2] untuk dimanfaatkan, dikembangkan, dan direvitalisasi, atau sebagai suatu bentuk kebudayaan yang karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya. Komunitas pemilik dan atau pendukung sastra menjadi unsur penting yang harus dilihat dalam kehadiran tradisi lisan bersangkutan.
Salah satu tradisi lisan yang masih dijaga dan dirawat oleh masyarakat di Leffo Kisu ‘Alor Kecil’ kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur adalah ritual sunna hada ‘sunat adat’. Tradisi sunna hada ‘sunat adat’adalah tradisi sunat yang dilaksanakan secara adat (masal) pada waktu tertentu oleh suku Baorae dari Leffo Kisu ‘Alor Kecil’, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Anak-anak yang disunat dalam tradisi sunnna hada adalah anak laki-laki dan juga anak perempuan yang berusia antara 4-10 tahun. Pelaksanan ritual sunna hada ini melibatkan beberapa suku yang terdapat Alor di Leffo Kisu, seperti suku Baorae, Dulolong, Manglolong, Mudiloang, Gaelai, dan Klon dari Petumbang. Adapun suku Baorae sebagai pelaksana ritual sunna hada juga masih dapat dipecah lagi atas beberapa klan (sub-suku) seperti klan Antoni, Arkiang, Kiribunga, Kossah, dan Panara. Masing-masing klan ini sangat berperan penting dalam ritual sunna hada ini.
Menurut keterangan Bapak Abdul Halim Arkiang (67 thn), juru penerang dari suku Baorae, sunna hada yang dilaksanakan pada tahun 2016 merupakan sunna hada yang keenam. Sunna hada terakhir dilakukan pada tahun 1997 dan baru dilakukan lagi setelah jeda selama 18 tahun. Adapun penyelenggaraan sunna hada pada tahun 2016 yang lalu dilaksanakan selama sebulan yakni bulan Mei dan Juli 2016 dan puncaknya pada tanggal 10-16 Juli 2016 dengan jumlah anak yang disunat sebanyak seratus orang.
URUTAN DALAM TRADISI LISAN SUNNA HADA
Pelaksanaan ritual sunna hada memiliki beberapa rangkaian acara yang saling berkaitan. Rangkaian pelaksanaan ritual sunna hada termasuk ritual adat yang panjang, melibatkan banyak orang, dan suku sehingga memerlukan pula biaya yang banyak yakni ratusan juta rupiah. Adapun urutan ritual sunna hada ini terdiri atas beberapa ritual pendukung yakni.
Pertama, ritual bajoapa ‘tumbuk padi’. Ritual ini biasanya dilakukan sebulan sebelum ritual puncak sunna hada dilakukan. Ritual bajoapa ini merupakan ritual menumbuk padi secara bersama oleh masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Ritual bajoapa ini melambangkan semangat kebersamaan dan komunalitas masyarakat di Alor Kecil yang memperlihatkan ciri kelisanan dalam masyarakat tersebut masih kuat (Walter J. Ong (1982: 40). Ritual bajoapa dimaksudkan sebagai persiapan mengumpulkan bahan pokok untuk keperluan upacara yang akan dilaksanakan pada bulan berikutnya.
Kedua, ritual serahkire yakni penyerahan urusan sunna hada dari orang tua anakmori ‘anak-anak yang akan disunat’ kepada panitia resmi yang dibentuk dan ditentukan oleh tetua adat.
Ketiga ritual sorongdori ‘penyerahan pisau sunat’ dari ketua adat klan Panara sebagai klan yang bertanggungjawab menyimpan benda pusaka (perlengkapan perang) kepada jurumoding ‘juru sunat’. Tugas sebagai penyimpan benda pusaka ini berkaitan dengan fungsi klan ini sebagai panglima perang dalam struktur pemerintahan adat. Peran dan fungsi klan ini sesuai dengan nama fam yang mereka sandang yakni Pana [jalan] dan Ra [darah] dalam bahasa Alurung. Setiap kali tetua adat dan juru moding akan memasuki arena ritual adat biasanya didahului oleh sekelompok Jontera. Jontera adalah pasukan penyisir ranjau terutama ‘ranjau’ gaib yang dikhawatirkan dapat menghambat kelancaran ritual sunna hada. Kelompok Jontera ini akan bergerak berkeliling arena (halaman uma hada) sebanyak tiga kali sambil menarikan gerakan perang. Setelah yakni bahwa lokasi ritual sudah aman maka mereka segera melaporkan kepada ketua klan Panara dan bersiap mengiringi para tetua adat beserta juru moding untuk memasuki arena ritual. Tugas para jontera ini dapat dianalogkan sebagai paspampres di zaman modern. Demikian juga pada saat jubahdodo ‘baju kebesaran’ diturunkan dari uma Pelang Serang ‘rumah raja’ para jontera juga akan memastikan lokasi ritual aman dari gangguan dan akan menyisir arena sambil menari mengikuti musik gong dan gendang sebanyak tiga kali.
Keempat ritual penyerahan anakmori ‘anak-anak yang akan disunat’ kepada paman-bibi. Beberapa hari sebelum anakmori akan disunat maka paman dan bibi dari fihak ibu merupakan kerabat yang diberi tanggung jawab mengurus dan merawat anakmori selama mengikuti ritual sunna hada. Termasuk mengurus dan menjaga mereka sebelum dan setelah penyunatan. Setelah anakmori didandani dan diberi bekal berupa kambing, manuk, sirih pinang, dan bekal makanan lainnya dan mereka akan diantar secara beramai-ramai oleh paman-bibi masing-masing ke Uma Pelang Serang ‘rumah raja’ sebagai salah satu uma ‘rumah’ adat yang dipakai selama pelaksanaan sunna hada. Setelah dari Uma Pelang Serang mereka dipindahkan ke Kokoro Labahanji ‘balairung pertemuan adat’ dan anakmori akan diinapkan di Kokoro Labahanji selama berlangsungnya ritual sunna hada. Pengawasann dan perawatan anakmori selama itu juga berada di bawah pengawasan dan perawatan paman-bibi.
Foto Anakmori di depan Mesjid di Leffo Kisu, Sebelum Pelaksanaan Ritual Suna Hada
Kelima, ritual Talling Feking/Kakari Opung Anang Serufakking adalah ritual saling mengunjungi dan menghantar bekal upacara antara keturunan dari Uma Menapa Lolong, Uma Atahodi, dan Uma Sina. Orang-orang dari ketiga uma ini memiliki hubungan kekerabatan dalam suku Baorae dan juga memiliki hubungan secara adat dengan orang yang menghuni Uma Rombi dan Uma Pelang Serang.
Keenam, ritual Kualaka, pada saat ini keluarga dari suku Baorae menerima kedatangan suku-suku lain yang masih memiliki sejarah dan hubungan kekerabatan dengan suku Baorae. Suku-suku lain yang ikut membantu itu seperti, suku Manglolong, Geilae, Mudiloang, Lekaduli, dan suku Loffobeng. Waktu pelaksanaan ritual tallingfekking ini dilakukan pada tanggal 10 Juli 2016 petang. Pada tanggal 11 Juli 2016 dilanjutkan dengan suku Baorae menanti kedatangan keluarga besar dari Otvai, Pura, Kalong, Pandai, Balagar, Mauta, Dukalolong, Alor Besar, dan Petumbang. Kerabat dan anggota suku yang tersebut terakhir merupakan kerabat dan suku yang menetap di luar Alor Kecil yakni dari pulau Pantar, Pulau Pura, dan wilayah Gunung Besar seperti Petumbang.
Para kerabat dan anggota suku yang datang dari luar kampung Alor Kecil itu dinanti di Uma Pelang Serang dan kedatangan mereka biasanya juga dengan membawa bekal makanan dan sirih pinang berkarung-karung untuk keperluan ritual sunna hada tersebut. Misalnya suku Klon dari kampung Petumbang Ailelang [bambu besar], hubungan kekerabatan mereka dengan suku Baorae berasal dari hubungan perkawinan antara perempuan (nenek moyang) orang Alor Kecil dengan laki-laki (kakek moyang) orang Petumbang. Pada saat ini, keturunan orang Alor Kecil yang sudah menetap di Petumbang ini umumnya beragama Katolik. Namun, perbedaan agama dan juga bahasa itu tidak menghalangi semangat kebersamaan dan persaudaraan di antara kedua suku ini. Bahkan mereka saling bantu-membantu dalam pelaksanaan ritual sunna hada. Sekalipun berbeda agama dan keyakinan mereka masih mengindentifikasi diri mereka sebagai saudara dengan orang Alor Kecil yang mayoritas Muslim. Hubungan kekerabatan antara antara orang Petumbang dengan orang Alor Kecil itu selalu dinyanyikan dalam syair lego-lego dan pepatah mereka adat suku Baorae yang berbunyi: [ruakakangaring] ‘dua kakak adik’ atau [rua opung amang] ‘dua bapa anak’.
Urutan ketujuh dalam ritual sunna hada adalah khataman Al-Quran. Pada malam tanggal 12 Juli anak-anak yang sudah dianggap tamat belajar mengaji Al-Quran juga dilaksanakan upcara khatam Al-Quran yang bertempat di Kokoro Labahanji ‘balairung pertemuan adat’ yang berada di depan rumah adat seperti Uma Menapa Lolong, Uma Pelang Serang, dan Uma Atahodi.
Kedelapan adalah penyambutan jurumoding perempuan ‘juru sunat’ di Uma Pelang Serang dan sekaligus penyunatan anakmori perempuan yang dilaksanakan pada tanggal 12 Juli malam.
Kesembilan, penyunatan anakmori kalake (laki-laki) yang dilaksanakan pada pada tanggal 13 Juli pagi. Juru moding yang melaksanakan tugas ini adalah juru moding laki-laki. Pada malam hari setelah anakmori kalake disunat maka diadakan tarian lego-lego di halaman rumah adat. Tarian lego-lego ini menggambarkan kebersamaan antara masyarakat di Alor Kecil. Semangat kebersamaan ini terlihat dari komposisi dan gerakan tarian yakni para penari menari sambil bergandengan tangan. Bahkan di beberapa suku yang lain saling memeluk dari belakang. Formasi tarian membentuk lingkaran yang besar dan berlapis. Jumlah masyarakat yang dibolehkan ikut menari dalam tarian ini tidak dibatasi hingga dapat mencapai ratusan orang. Biasanya mereka menari mengeliling mesbah ‘batu altar persatuan’ yang selalu dimiliki oleh setiap suku di Alor. Mesbah tersebut terbuat dari batu-batu yang disusun melingkar dan di tengahnya biasanya ditanami sebatang pohon atau sebuah batu yang berbentuk phallus. Batu yang berbentuk phallus itu melambangkan sistem patrilineal yang dianut oleh kebanyakan suku di Alor.
Foto: Tarian Lego-Lego di Alor Kecil
Pada tanggal 16 Juli 2016 diadakan ritual mandianakmori. Ritual ini merupakan tahapan ke sepuluh dalam ritual sunna hada. Mandi Anakmori biasanya dilakukan pada hari ketiga setelah anakmori disunat. Mereka dimandikan pada pukul 6 pagi oleh oleh juru moding dan tetua adat. Anakmori yang dimandikan didudukan berderet di atas kursi kemudian disiram satu persatu dengan air yang sudah dimantrai dan diberi sesajen berupa mayang pinang muda, daun kelapa muda, dan daun sirih yang sudah direndamkan ke dalam air mandi anakmori. Air yang digunakan pun tidak boleh sembarang air melainkan air yang diambil dari sumur tua di pinggir pantai Alor Kecil. Air dari sumur tua itu merupakan sumur yang digali pertama kali oleh utusan dari Jawa yang ikut mengembangkan ajaran Islam ke Alor Kecil.
Kegiatan memandikan anakmori ini dapat ditafsirkan sebagai upaya pembersihan diri dan pembuangan segala penyakit, serta penyembuhan bekas luka sunat. Pada saat anakmori disunat dan dimandikan terdapat tiga anak yang khusus disunat pertama dan dimandikan serta dibuka verbannya pertama kali di laut. Ketiga anakmori yang mendapat perlakuan khusus itu disebut sebagai anakoda yakni representasi dari calon nakhoda, juru kemudi, dan juru batu (juru jangkar). Ketiga anakoda ini merupakan keturunan dari Uma Rombi dan UmaMenapaLolong. Keturunan dari kedua uma ini dipersiapkan sebagai calon pemimpin dalam pemerintahan adat kelak.
Ketika anakoda dibawa ke laut untuk dibuka verbannya pertama kali, maka laut menjadi tempat ritual yang dianggap paling penting dalam ritual sunna hada. Laut dapat ditafsirkan sebagai tempat penyembuhan, dan sekaligus tempat pentasbihan bagi seorang anak laki-laki Alor Kecil yang sudah berhasil melalui ritus inisiasi baik secara adat maupun secara keagamaan. Di laut pula dilarung seperangkat sesajen ke dasar laut seperti sirih pinang, dan mayang pinang muda yang sebelumnya dipakai sebagai perlengkapan memandikan seluruh anakmori. Dengan demikian, laut dalam kosmologi orang Alor Kecil juga memiliki fungsi sebagai tempat penyembuhan, pentasbihan, dan tempat mencari nafkah. Fungsi sakral dan profan laut saling berkelindan dalam masyakarat Alor Kecil.
SEJARAH LISAN DALAM TRADISI LISAN SUNNA HADA
Tradisi lisan juga mengandung sejarah lisan (Vansina, 2014) sebagaimana yang ditemukan dalam tradisi lisan sunna hada. Pada ritual sunna hada terkandung sejarah lisan kedatangan orang Jawa (utusan Majapahit) ke Alor Kecil. Bagian yang merepresentasikan kedatangan oang jawa yang disebut oleh penduduk dengan Pati Songo dapat dilihat pada puncak pelaksanaan sunna hada. Puncak ritual dalam sunna hada dilakukan pada tanggal 16 Juli 2016 pukul 9 pagi hingga petang hari. Ritual ini disebut dengan ritual Jubah Dodo Turun. Ritual Jubah Dodo Turun menggambarkan sejarah perkembangan agama Islam di Alor kecil yang dibawa oleh Pati Songo seorang pengembang agama Islam dari kerajaan Majapahit. Cerita kedatangan orang Jawa ke Alor Kecil merupakan pengembangan dari sejaah lisan kehadiran ekspedisi Majapahit yang mendarat pertama kali di pulau Pantar kemudian menyeberang ke Alor Kecil. Sejarah lisan kedatangan orang Jawa ke Alor Kecil ini disampaikan oleh Adam Oramahi (alm) dari Kampung Lama Kalabahi. Menurutnya, sejarah kedatangan Pati Songo ke Alor itu melalui misi penyebaran Islam pada abad ke 14 (antara tahun 1524-1546). Lebih jauh beliau menceritakan sejarah lisan kedatangan Islam ke Alor itu sebagai berikut. “Melalui misi inilah datangnya Pati(h) Songo ke Leffo Kisu ‘Alor Kecil’ dengan tujuan: (1) menyebarkan agama Islam, (2) memperluas wilayah kekuasaan, dan (3) mempersatukan Nusantara.
Pati Songo selama menjalankan misinya menetap serta hidup bersama warga cukup lama dan misi beliau tercapai. Bukti keberhasilan pengembangan agama Islam pada saat itu adalah semua penduduk memeluk agama Islam. Namun, Pati Songo tidak menetap selamanya di Alor Kecil dan harus melanjutkan perjalanan mengembangkan agama Islam. Hubungan erat yang sudah terjalin antara Pati Songo (orang Jawa) dengan penduduk dan kepala-kepala kampung di Leffo Kisu diibaratkan seperti batu cadas yang terpaut di Tanjung Kumbang (sebuah tanjung yang terdapat di daerah Alor kecil). Untuk menggambarkan kemesraan hubungan itu, orang Alor Kecil menyampaikannya dalam pantun adat yang berbunyi [Lefo luwolata lolong, kurang feituke, bete binong sorong, sere fei Java].
Selain berhasil mengembangkan ajaran Islam di Leffo Kisu, Patih Songo juga berhasil membentuk struktur pemerintahan adat dan aturan-aturan yang berkaitan dengan kepentingan agama dan adat-istiadat. Bukti kedatangannya ke Leffo Kisu dapat dilihat dari peninggalan sejarah berupa sumur tua yang terdapat di kampung Bugis-Makassar yang mulai digali pada tahun 1562 dan digunakan sebagai sumber mata air bersih; Alquran tua, jubah kebesaran (Jubah Dodo), sorban, dan selempang merah putih yang masih disimpan di Uma Pelang Serang hingga saat ini; keris, kelewang, pedang, dan parang yang disimpan di Uma Rombi. Menurut Adam Oramahi, aturan pengggunaan Jubah Dodo juga telah diwasiatkan oleh Pati Songo. Jubah dodo hanya boleh dikenakan oleh keturunan bangsawan kerajaan. Ketika jubah dodo diturunkan dari uma Pelang Serang, biasanya akan dilengkapi dengan kain merah-putih sepanjang tujuh meter yang dililitkan di badan. Kain berwarna merah melambangkan keperkasaan sebagai kepala perang dan putih melambangkan kebenaran. Kain merah-putih yang diselempangkan di badan itu juga melambangkan persatuan Nusantara. Jubah dodo hanya boleh diturunkan di waktu tertentu seperti pada saat ritual sunna hada ‘sunat adat; pembangunan rumah adat; dan pembangunan rumah ibadah. Pati Songo diketahui kembali ke Jawa dengan menaiki perahu bercadik. Sumber lisan dari Bapak Adam Oramahi (alhm) yang kemudian dituliskan oleh Abdul Halim Arkiang tahun 1991.
Foto: Jubah Dodo Turun dari Uma Pelang Serang
Sejarah lisan mengenai kedatangan orang Jawa ke Alor Kecil sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Adam Oramahi (alm) itu sayang sekali tidak tercatat dan disinggung oleh Vran Fraasen. Van Fraasen adalah seorang sejarawan dari Belanda yang pernah menuliskan sejarah kedatangan orang Jawa ke Pulau Pantar sebuah pulau yang berdekatan dengan Alor Kecil. Menurut Van Fraasen (dalam Barnes, 1982:410) ia menggambarkan hubungan Majapahit dengan wilayah Alor khusunya Pantar sudah terjadi ratusan tahun yang lalu. Berdasarkan tuturan dan cerita masyarakat lokal disampaikan bahwa sebuah koloni orang Jawa sudah menetap di sepanjang pantai utara pulau Pantar sekitar lima atau enam ratus tahun yang lalu yakni antara tahun 1300 dan 1400 M. Kisah ini kemudian diperkukuh oleh satu legenda yang disampaikan oleh seorang penduduk bernama Talib dalam tulisan Lemoine (1969) yang menyebutkan bahwa seorang Jawa yang bernama Majapahit telah menetap di pantai utara di Blangmerang dan kemudian menduduki Pandai dan Bernusa di Pantar, AlorBesar, dan Lembata. Cerita kedua yang berhubungan dengan kisah pertama menjelaskan bahwa orang Jawa menghancurkan sebuah kerajaan di ujung Timur Laut pulau Pantar yang disebut dengan MunaSeli ‘TempatBerlabuh’. Sebuah laporan yang lebih awal lagi (dari informan yang anonym tahun 1914) menjelaskan bahwa penakluk Jawa yang berada di Muna itu kemudian bergerak ke Alor dan menetap di wilayah pesisir pantai Alor. Selanjutnya mereka berasimilasi dengan penduduk setempat dan melahirkan suku Kayan dan Marisa di Kalikur, Lembata sebagai keturunan dari orang Jawa (Barnes, 1974:11). Pada saat ini menurut Rajab Sulaeman Abubakar (70 thn) keturunan Majapahit dari Pantar, jika ditemukan orang Pantar atau Alor yang berambut air [lurus] itu pertanda mereka masih keturunan dari Majapahit.
STRUKTUR DAN DENAH KAMPUNG ADAT ALOR KECIL
Struktur pemerintahan adat di Alor Kecil sebagaimana sudah disampaikan di atas sudah tertata sejak kedatangan Islam di daerah tersebut. Secara adat mereka sudah mengenal pembagian kerja dalam pemerintahan. Raja berdiam di Uma Pelang Serang dan hanya bertugas sebagai simbol pemersatu. Sedangakan tugas-tugas legislatif dan yudikatif dikerjakan oleh orang yang berada di Uma Menapa Lolong, Uma Rombi, Uma Mukung, dan Uma Tukang. Orang dari Uma Rombi bahkan memiliki tugas dan fungsi ganda yakni sebagai panglima perang dan sebagai imam dalam keagamaan sebagaimana disampaikan oleh Arifin Panara (58 thn) ketua klan Panara dari Kampung Lama, Kalabahi. Tugas sebagai imam ini juga diemban oleh orang dari UmaHulnaning. Sedangkan orang dari Uma Sina seperti Abdul Halim Arkiang (67 thn) bertugas sebagai juru penerang. Orang dari UmaMarang, bertugas sebagai pembaca mantra [amor] dan juru penerang bersama-sama dengan orang dari Uma Sina. Orang dari Uma Atahodi berperan sebagai kakak yang berada di antara UmaPelang Serang dan UmaMenapaLolong. Selain memberi ruang bagi suku-suku asli yang menetap selama ratusan di Alor Kecil, struktur dan pemerintahan adat di sini juga memberi ruang bagi orang pendatang seperti Bugis-Makassar dan orang Atauru (Timor-Timor) yang menetap di wilayah ini. Orang dari Bugis-Makassar memiliki UmaFatang dan peran serta fungsi mereka dalam struktur adat di Alor Kecil adalah sebagai Khatib yang diwarisi secara turun temurun. Demikian juga orang dari Pulau Pura memiliki peran dan fungsi sebagai jurumoding yang juga akan diemban secara turun-temurun.
Foto Struktur Pemerintahan dan Denah Kampung Adat di Alor kecil
PENUTUP
Ritual sunna hada yang masih dilaksanakan di Alor Kecil adalah tradisi lisan masyarakat suku Baoerae dari Leffo Kisi ‘Alor Kecil”. Tradisi lisan ini memiliki tahapan-tahapan pelaksanaan yakni sebanyak sepuluh tahapan dan dilaksanakan secara bertahap pula yakni sejak bulan Mei dan Juli. Pelaksanaan ritual sunna hada juga mengandung sejarah kedatangan agama Islam yang dibawa dan dikembangkan oleh utusan Majapahit yang disebt dengan Pati Songo. Pengembangan agama Islam ke wilayah Alor itu juga membawa misi penyatuan Nusantara yang disimbolkan dengan kain merah-putih yang kemudian dikenal sebagai jubah dodo di Alor Kecil. Semangat keindonesiaan, keragaman, nilai-nilai demokrastis ternyata telah tumbuh dan berakar sejak lama di Leffo Kisu [Alor Kecil]. Nilai-nilai itu sudah menjadi identitas orang Alor Kecil sejak ratusan tahun lampau dan mengakar dalam diri masyarakatnya. Oleh sebab itu tidak menngherankan ketika Belanda tahun pada 1901 mengembangkan kekuasaannya ke Alor Kecil dengan membawa misi zendingnya mengalami kegagalan. Belanda kemudian meminta bantuan pada pemimpin Alor Kecil termasuk di dalamnya Langko Panara yang merupakan panglima perang dari suku Baorae pada saat itu. Atas bantuan Kakek Langko Panara yang kemudian mengerahkan orang Atauru (Timor-Timor) maka dibukalah kota Kalabahi yang berarti pohon Kusambi dalam bahasa Alurung. Demikianlah penerokaan kota Kalabahi pada masa lalu dapat terjadi berkat campur tangan orang Alor Kecil hingga menjadi kota Kabupaten Alor saat ini. Dalam ritual sunna hada juga tersimpan sejarah lisan dan nilai kebinekaan dan keharmonisan antara pemeluk agama yang berbeda seperti Islam dan Katolik, suku yang berbeda, dan bahasa yang berbeda. Di dalam ritual sunna hada juga tersimpan pelajaran keindonesiaan yang penuh toleransi dan hidup dalam budaya multikultur tanpa saling menafikan satu dengan yanng lainya. Inilah representasi Indonesia mini dari Leffo Kisu yang patut ditiru.
Daftar Pustaka
Barnes, R.H. 1982 The Majapahit Dependency Galiyao. Bijdragen tot Taal-, Land- en
Volkenkunde 138
Lord, Albert B. 1972. The Singer of Tales. New York: Atheneum.
Melalatoa, M.J. 1997. Sistem Budaya Indonesia. Jakarat FISIP UI dan PT. Pamator.
Ong, Walter J. 1982. Orality and Lietracy. New Haven: Yale University Press.
Hobsbawm, E.J dan T.O. Ranger. 1983. Invented of Tradition. Cambridge University Press.,
Koentjaraningrat. 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta:Gramedia
Pustaka
Vansina, Jan. 2014.Tradisi Lisan Sebagai Sejarah (Terjemahan). Jogyakarta:Ombak
[1] Lihat lebih jauh Pedoman Pengembangan Langkah Kajian Tradisi lisan, 2012.
[2] Hobsbaoum, Invented Culture, 1986
Sastri Sunarti
...