Temu Sastra Mitra Praja Utama: Sastra, Kota, dan Estetika Kota

Apakah yang terpikirkan jika sastrawan bicara tentang kota dan estetikanya? Jika ilmuwan berbincang hal yang sama? Maka, pada Temu Sastra Mitra Praja Utama XI yang digelar oleh Dinas Pariwisata dan Budaya, Kementrian pariwisata dan Budaya Jawa Barat dari tanggal 16—19 November 2017 di Putri Gunung Hotel, Lembang Jawa Barat.

Kegiatan Temu Sastra Mitra Praja Utama XI bertujuan untuk meningkatkan kerjasama anggota MPU dalam mengembangkan sastra dan bahasa, baik bahasa daerah mau pun bahasa dan sastra Indonesia. Temu sastra ini dihadiri oleh anggota MPU dari 10 propinsi (Lampung, NTT, DKI Jakarta, Jawa Timur, NTB, Banten,Yogyakarta, dan Jawa Barat sebagai tuan rumah). Temu sastra MPU tahun ini mengangkat tema: Sastra, Kota, dan Estetika Kota. Kegiatan yang dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan kebudayaan Provinsi Jawa Barat ini dihadiri oleh 117 orang peserta, yang terdiri dari sastrawan, pecinta budaya, dan institusi kebahasaan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan memfasilitasi kegiatan dengan rangkaian acara yang menarik, pelayanan yang ramah, dan perbincangan tentang keinginan sastrawan untuk perkembangan sastra daerah masing-masing.  

Sastra dan Estetika Kota

Pada pelaksanaan ini dilakukan perbincangan sesuai dengan tema, menghadirkan enam narasumber dan perbincangan yang menghasilkan tujuh rekomendasi sebagai rumusan pertemuan dan pengembangan kegiatan untuk saat mendatang. Pada kegiatan ini juga ada sesi mengenang kepengarangan sastrawan Cirebon, alm. Ahmad Subbanudin Alwy sebagai salah seorang sastrawan yang sangat berpengaruh dalam mengangkat kesastraan Cirebon. Beberapa sastrawan menampilkan kreasi di panggung pada malam harinya, juga disertai obrolan yang kaya pengetahuan dari masing-masing daerah.

Dian Hardiana membahas tentang Kota dan Biografi Pembaca. Kota dan seni memiliki hubungan tak terikat tapi saling melengkapi sebagai bentuk hubungan simbiosis komensalisme. Kota adalah rumah bagi seni, seni menjadikan kota sebagai objek-prediktif, secara arsitektural atau sebagai pusaran modernisme yang dinamis dan majemuk. Kota sebagai kapitonim, hadir sebagai wacana tersendiri yang berbeda dengan sekedar pemahaman desa yang tenang, lambat,sederhana, natural, tradisional, dan kota yang modern, ingar, dinamis, dan plural. Dikotomi dua ruang yang berbeda itu sebenarnya bukan kontradiktif secara penuh, kota masih menyisakan bentuk-bentuk tradisi dalam kemajemukan yang diinterpretasikan sebagai desa. Kota dan desa memiliki ruang antara sebagai irisannya yang dihasilkan  dari perbedaan itu yang menjadi bidikan seni sastra, terutama puisi. Puisi dianggap mampu memotret dan mendokumentasikan ruang antara itu dengan lebih jernih. Cara pandang tiap orang terhadap kota akan berbeda sesuai dengan biografi yang digunakannya, sebagai apa dia menempatkan dirinya dalam memandang kota. Ini menarik ketika Dian berkata bahwa puisi tidak lengkap menjelaskan tentang entitas sebuah kota. Mungkin dia berpijak pada puisi pendek.

Langgeng Prima Anggradinata membahas tentang Citra Kota dan Eksperimen Cerita. Urbanisasi terjadi karena dunia memasuki revolusi industri. Hal itu menciptakan ruang sekaligus kelas sosial baru, yaitu kota dan kelas menengah atau kelas bawah. Beberapa kelompok terpinggirkan sebagai orang yang kalah karena tidak mampu menjadi bagian siklus produksi. Kota menjadi latar yang dipaparkan penulis dengan sangat terbuka dan telanjang. Kota direpresentasikan dengan kemiskinan. Karya sastra banyak yang memotret  ketimpangan sosila, penindasan, kemiskinan, dan citra negatif dari sebuah kota. Kota menjadi latar yang terkadang hanya penggambaran sebuah tempat tanpa memaparkan sebagai satu unit social dan kultural, akan tetapi banyak cerita yang menjadikan kota sebagai latar cerita dengan mengangkat persoalan sosial dan kulturalnya. Lebih jauh akan memaparkan kepiawaian penulis dalam menggunakan kota sebagai latar perkembangan estetika kota dalam perkembangan estetika cerita dari segi bentuknya.

Luthfi Mardiansyah membahas Ruang di dalam Karya Sastra. Ruang dalam karya sastra bisa dikelompokkan menjadi dua; ruang factual dan ruang imajiner. Ruang factual merupakan ruang yang keberadaannya secara geografis-historis yang dapat ditelusuri di luar teks sebagai ruang yang benar-benar ada. Ruang imajiner merupakan ruang yang hanya dapat ditelusuri dalam teks cerita. Kedua ruang itulah yang memengaruhi sebuah cerita yang merupakan perwujudan kemapuan pengarang dalam melihat dan menggambarkannya. Pembaca akan digiring pada ruang imajiner dalam teks, akan tetapi tidak melupakan ruang faktual yang berada di luar teks.

Heru Hidayat membahas Seni dan (Warga) Negara. Dalam nomenklatur kesenian ada dalam struktur pemerintah kita, maka sesungguhnya Negara menganggap kesenian itu penting, dan dengan menyediakan alokasi pendanaan serta prosedural untuk mengurus kesenian. Kadar kepentingan bias saja rendah, jumlah dananya terlalu kecil, atau pejabatnya kurang kompeten, tapi tetap saja, di atas kertas, kesenian dianggap perlu diurus oleh Negara selama nomenklaturnya ada. Bagaimana menjadikan ruang pemerintah sebagai rumah bagi kesenian sebab Dewan kesenian sebagai wadahnya tidak mampu menampung kesenian dan pelakunya yang berjumlah banyak dan tersebar di seluruh pelosok negeri. Kita tidak hanya berbicara tentang penyediaan fisik saja, tapi lebih pada produktivitas dan kreativitas kesenian yang berjalan lancar dan sesuai alurnya.

Nurweni Saptawuryandari mewakili pemangku kebijakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, membahas tentang Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Program Badan Bahasa yang sangat luas untuk bahasa dan sastra dilaksanakan dengan melakukan penciptaan suasana yang kondusif untuk bersastra, pelatihan kesastraan, penyediaan fasilitas untuk mendorong berkembangnya kehidupan sastra, dan penyediaan fasilitas untuk menyajikan karya sastra. Hal itu dilaksanakan dengan bengkel sastra, sastrawan masuk sekolah, sastrawan berkarya di daerah 3 T, penghargaan sastra.              

Kegiatan Rutin

Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan dua tahun sekali dengan tema-tema sastra dan budaya. Saya pikir, kegiatan ini menjadi salah satu hal yang akan membuat Badan Bahasa menjadi mitra dan bagian perbincangan dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya. Badan Pengembangan dan Pembinaan akan menjadi bagian penting dalam peristiwa kesastraan dan kebudayaan dalam Temu Sastra Mitra Praja Utama selanjutnya.  Ada ruang yang terbuka luas untuk program-program Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk menjadi bagian dari peristiwa perjalanan temu sastra ini selanjutnya. Temu Sastra Mitra Praja Utama 2019 akan dilaksanakan di Banten.

Pertemuan ini akhirnya menghasilkan pemikiran dan pertimbangan yang dituangkan dalam bentuk rekomendasi. Rekomendasi itu merupakan kertas kerja dan rencana kerja yang akan dilaksanakan oleh masing-masing daerah. Rekomendasi itu ditandatangani oleh perwakilan tiap provinsi, yang kemudian salinannya dibawa ke provinsi masing-masing.

Rekomendasi Lembang

Kegiatan Temu Sastra Mitra Praja Utama (MPU) yang diselenggarakan atas kerjasama 10 provinsi di Indonesia ini, memiliki beberapa persoalan. Sebagai acara temu sastrawan tahunan yang telah dilaksanakan sebanyak 11 kali, kegiatan ini  mestinya mampu menunjukan suatu grafik perkembangan program yang berkelanjutan dari perencanaan sampai kepada program jangka panjang.

Sebagaimana kita ketahui, kegiatan ini dilaksanakan durasi setahun sekali. Penyelenggaraan dilaksanakan bergiliran, dengan pelaksana konsep dan teknis diserahkan pada provinsi yang menjadi tuan rumah. Konsep ditentukan berdasar pada isu sastra di daerahnya atau membaca kondisi kesusasteraan terkini. Selanjutnya provinsi lain mengirim utusan yang terdiri dari unsur sastrawan dan perwakilan pegawai dinas. Seluruh utusan mengirim karya sesuai dengan tema kegiatan yang nanti akan dibukukan sebagai jejak dari kegiatan pertemuan.

Pelaksanaan yang berpindah-pindah sebagai penyelenggara tentu bukan persoalan, menimbang pentingnya melihat geliat sastra di berbagai daerah. Menjadi persoalan ketika penyelenggaraan kegiatan dilaksanakan sepenuhnya secara otonom oleh daerah tersebut. Perumusan konsep dan teknis serta pelaksanaan kegiatan selalu berawal dari nol kembali. Tidak ada lembar evaluasi yang kemudian bisa menjadi catatan dari penyelenggaraan sebelumnya. Lebih dari itu, tidak ada suatu arah dari program Temu Sastra MPU yang kemudian menunjang perkembangan sastra jangka panjang.

Sisi positif dari skema program semacam ini adalah leluasanya  tuan rumah untuk mengatur kegiatan sesuai dengan karakter persoalan dan potensi yang ada. Namun bagaimana kita bisa mengeksekusi kondisi dan potensi tersebut lalu menempatkannya pada perkembangan konsep dan teknis kegiatan jangka panjang, ketika program ini tidak memiliki koordinasi dan komunikasi antar provinsi tentang urgensi konsep dan evaluasi kegiatan dari tahun-tahun sebelumnya. Selama ini komunikasi itu terjadi saat kegiatan berlangsung tentu hal ini jauh dari efektif sebab pada pelaksanaan selanjutnya, panitia tuan rumah selalu memiliki standar konsep yang baru.

Dalam persoalan regulasi, MPU memiliki tujuan, diantaranya meningkatkan produktifitas dalam berkarya, pengembangan wacana dan isu kesusasteraan dan sinerginya para sastrawan dengan pemerintah. Regulasi tersebut pun mengatur sumber dan skema anggaran. Pada wilayah itu, perancangan dan pengaturannya masih dilaksanakan oleh pemerintah. Untuk membangun pola perancangan dan pengaturan yang efektif dan terarah perlu adanya komunikasi antara sastrawan dan pemerintah. Sementara di berbagai daerah hubungan komunikasi antara keduanya tidaklah sama, beberapa menunjukan suatu hubungan yang tidak sinergis. Salah satu contoh, utusan sastrawan (sebagai instrument penting dalam pertemuan sastra) beberapa daerah justru mendapat jatah yang sedikit. Sinergi di sini mestilah dalam pandangan bahwa sastrawan dan pemerintah menempati posisi yang tepat dan sesuai kapasitasnya.

Sastrawan memiliki kapasitas pengetahuan pada kondisi sastra, masyarakat, dan strategi pengembangannya. Sementara pemerintah memiliki tugas memfasilitasi segala tinjauan kondisi yang dirumuskan oleh sastrawan dalam strategi perkembangan sastra. Maka dari itu temu sastra semacam MPU ini mestilah diatur dengan porsi sastrawan yang merumuskan konsep kegiatan dan pemerintah mengatur segala kebutuhan konsep tersebut. Termasuk di dalamnya porsi utusan sastrawan di setiap provinsi mestilah dipilih oleh kalangan sastrawan dengan porsi yang lebih banyak.

Terkait frekuensi kegiatan, pelaksanaan setiap tahun dengan penyelenggara otonom, evaluasi yang terarah nyaris tidak ada. Frekuensi kegiatan pertahun pun dinilai  tidak efektif sebab dari ketiadaan evaluasi dan arah jangka panjang itu, kegiatan kemudian jadi stagnan dan berulang dengan skema yang sama. Hal ini dikarenakan tidak adanya suatu tim kerja perwakilan dari setiap provinsi yang kemudian mengawal perumusan konsep dan pelaksanaan secara lebih strategis. Tim kerja ini berfungsi sebagai penentu wacana, strategi program, dan pemilihan sastrawan yang sesuai dengan kegiatan yang akan disepakati.

Dari uraian di atas, maka dapat diambil beberapa poin penting terkait program Temu Sastra MPU, yakni pentingnya terjalin suatu kerja program jangka panjang yang terarah dan konstruktif. Selain itu perlu komunikasi sinergis antara sastrawan dan pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsinya. Maka  dari itu, berikut rekomendasi kontingen Jawa Barat untuk Temu Sastra MPU:
 

  1. Membentuk Tim (Badan) Kerja Temu Sastra MPU untuk merumuskan konsep dan strategi pelaksanaan MPU berikutnya sehingga kegiatan memiliki arah jangka panjang yang jelas dan konstruktif.  Anggota Tim (Badan) Kerja MPU berjumlah 10 orang yang terdiri dari utusan masing anggota MPU.
  2. Tim (Badan) Kerja Temu Sastra MPU memilih sastrawan daerah berdasar pada program yang dirancang. Setelah program dirancang sesuai dengan isu sastra terkini, pengembangan potensi lokal, sinergi kontruktif antara wacana sastra dengan masyarakat, dan lain-lain, tim kerja memilih sastrawan daerah disesuaikan dengan arahan strategis MPU yang telah dirancang. Bisa jadi kegiatan workshop daerah merupakan upaya pertimbangan pemilihan sastrawan dalam temu sastra.
  3. Tim (Badan) Kerja Temu Sastra MPU, bertugas selama dua tahun untuk menyiapkan MPU berikutnya, menentukan tema, dan memilih sastrawan yang terlibat, dan menentukan perangkat acara, seperti pemateri, narasumber, dan perangkat lainnya.
  4. Menekankan komposisi sastrawan MPU yang lebih memprioritaskan pada sastrawan muda, dengan komposisi 70% sastrawan muda dan 30% sastrawan senior, demi berlangsungnya regenerasi sastrawan di 10 provinsi peserta MPU.
  5. Mengembalikan durasi pertemuan sastrawan MPU menjadi dua tahun sekali seperti semula. Sebelum kegiatan dua tahunan itu diselenggarakan kegiatan di  daerah yang menunjang sebelum pertemuan dua tahunan berlangsung. Dalam artian, program MPU secara regulasi anggaran tetap dilaksanakan setiap tahun, hanya tahun pertama merupakan kegiatan daerah (pengembangan sastra di daerah).
  6. Kegiatan Temu Sastra Mitra Praja Utama, mesti merupakan kegiatan sastrawan dalam mengembangkan kehidupan sastra di Indonesia dan kebermanfaatannya bagi kehidupan kesusastraa di Indonesia. Bukan kegiatan tahunan rutin yang tidak berkembang, dan jadi penyerapan anggaran semata.
  7. Menunjuk Provinsi Banten sebagai tuan rumah Temu Sastra MPU 2019.



Demikian REKOMENDASI LEMBANG ini ditetapkan oleh 10 utusan provinsi peserta Temu Sastra MPU Jawa Barat ke XI.


Lembang, 18 November 2017


Eva Yenita Syam

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa