Wacana Iklan dalam Bahasa Indonesia

Wacana Iklan dalam Bahasa Indonesia

1.Pengantar

Dalam peradaban modern ini masyarakat tidak mungkin dapat menghindarkan diri dari iklan. Iklan sebagai salah satu bentuk komunikasi, baik dalam media cetak maupun media elektronika, masuk ke setiap ruang dalam kehidupan sehari-hari. Sadar atau tidak, seseorang kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari iklan sebagai konsumen atau sasaran iklan, sebagai media iklan, atau bahkan sebagai pengiklan walaupun ia tidak punya produk barang atau jasa yang ditawarkan, walaupun juga tidak ada keuntungan baginya. Iklan akan memasuki setiap ruang kehidupan manusia modern, tidak peduli waktunya tepat atau tidak. Pendek kata, iklan bukan lagi merupakan suguhan yang boleh dicernak secara selektif, tetapi suguhan yang merebut setiap kesempatan dan ruang yang ada dalam kehidupan manusia modern.

Memang tidak dapat diingkari bahwa iklan juga membawa banyak manfaat bagi manusia, baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen. Dengan iklan, seorang yang mempunyai produk barang atau jasa tertentu dapat menawarkan produk itu kepada masyarakat sehingga arus produk itu sampai pada konsumennya. Bagi konsumen, seseorang dapat mengetahui informasi tentang produk tertentu yang kemudian iapunya banyak pilihan atas produk yang mungkin diperlukannya.

Tulisan ini adalan kajian singkat terhadap iklan berbahasa Indonesia. Data dan analisisnya masih sangat sederhana sehingga temuannya pun boleh jadi baru bersifat hipotetis. Kajian lebih lanjut dengan data yang lebih memadai, dengan kedalaman analisis yang lebih baik tentu akan dapat menjelaskan temuan dalam tulisan ini.  Secara ringkas, tulisan ini akan memaparkan informasi dan hubungan informasi itu di dalam iklan serta bahasa di dalam iklan.

 

2.Informasi dalam Iklan

Ada empat unsur yang menjadi pembangun wacana iklan, yaitu pengiklan, barang atau jasa yang diiklankan, iklan, dan sasaran iklan. Termasuk di dalam unsur pengiklan adalah pihak yang punya produk barang jasa yang diiklankan dan biro jasa periklanan atau pembuat iklan. Masing-masing subunsur itu biasanya hadir dengan keperluannya masing-masing. Pemasang iklan hadir dengan keperluan agar produk, jasa, atau imbauan-imbauannya dapat sampai ke sasaran iklan secara efektif, yaitu tidak saja agar mereka membaca, mendengar, memahami, tetapi juga agar mereka mengkonsumsi atau melakukan aksi tertentu yang dikehendaki. Dari kacamata pemasang iklan ini, efektifitas iklan dilihat seberapa kuat reaksi positif terhadap iklannya.

Banyak pembuat iklan yang tidak peduli terhadap apa yang diiklankan sebab mereka hadir dengan tujuannya sendiri, yaitu memproduksi iklan yang memuaskan pemesan iklan. Dengan demikian, biro iklan akan mendapat pemasukan untuk menghidupi perusahaannya. Hal ini tidak berarti bahwa biro iklan tidak punya pengetahuan tentang konsumen – sesungguhnya bahkan ada biro iklan yang amat bertenggung jawab pada masyarakat sehingga berani menolak membuat iklan-iklan tertentu – tetapi pengetahuannya tentang selera konsumen hanya merupakan faktor pendukung saja dalam memproduksi iklan.

Iklan sendiri – baik iklan yang komersial, nonkomersial, maupun iklan korporasi –pada dasarnya adalah satu bentuk wacana direktif atau imperatif yang tertuang dalam bahasa audio, visual, dan verbal. Fungsi direktif dann imperatif iklan disampaikan melalui media suara (audio), media gambar (visual), dan media bahasa (verbal). Bahasa yang digunakan di dalam iklan selalu memberi sugesti atau mengarahkan masyarakat agar mengkonsumsi atau melakukan aksi tertentu. Sebagai mana komunikasi yang efektif, iklan yang efektif harus mempu membangun persepsi masyarakat konsumen menjadi seperti yang dikehendaki pemasang dan pembuat iklan, yaitu bahwa menggunakan barang dan jasa yang diiklankan atau melakukan aksi seperti yang dimbau dalam iklan akan mendatangkan sangat banyak manfaat kepada konsumen dan juga masyarakat secara umum. Terlepas dari apakah deskripsi merupakan fakta atau sekedar deskripsi bombastis tentang fakta itu, jika iklan mampu memunculkan persepsi dan aksi positif itu, maka retorika iklan itu telah mencapai tujuan bisnis.

Bagian dalam iklan, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua bagian pokok, yaitu bagian deskripsi dan bagian direktif. Dalam iklan-ikaln panjang, misalnya iklan dalam bentuk advertorial, bagian deskripsi lebih dominan daripada bagian direktifnya. Bahkan, bagian direktifnya sering kali juga ditiadakan. Iklan seperti itu umumnya ditujukan kepada konsumen yang telah mem­punyai kematangan analisis sehingga makna imperatif dari iklan itu dapat dibangun sebdiri dengan mengembangkan hubungan kausalitas dari fakta yang diuraikan dalam iklan. Dalam iklan-iklan pendek, biasanya bagian direktif menjadi lebih dominan kecuali jika makna direktifnya dapat dipahami secara mudah atau telah menjadi pemahaman bersama. Boleh dikatakan, semakin panjang iklan semakin dominan unsur deskriptifnya.

 

(1)

Hadirkan kehandalan performa hasil inovasi Honda.

[DIR]

(2)

Tempra Forte dirancang khusus untuk anak usia 6–12 tahun karena beda usia, beda obat demamnya.

[DES]

 

Ganti obat demam anak Anda sesuai dengan usianya yang juga terus bertambah.

[DIR]

 

Tempra Forte baru, dirancang khusus untuk anak usia 6-12 tahun dengan dosis efektif untuk meredakan demam anak Anda.

[DES]

(3)

Nokia 8800, sebuah masterpiece persembahan Nokia bagi Anda pribadi istimewa.        

[DES]

 

Paduan sempurna cita rasa seni yang tinggi dengan teknologi paling mutakhir, melahirkan sebuah mahakarya premium.

[DES]

 

Desainer elegan dan tipis, diciptakan dari bahan stainless steel kualitas terbaik.

[DES]

 

Mekanisme ball bearings karya para desainer mobil kelas dunia memberikan sentuhan sliding yang berbeda.

[DES]

 

Rasakan pula sensasi alunan musik karya komposer ternama Ryuichi Sakamoto dalam nada deringnya.

[DIR]

 

Nokia 8800, mahakarya yang tak ternilai harganya.

[DES]

 

Layar tahan gores.

[DES]

 

Garansi Nokia 8800 selama 2 tahun.

[DES]

 

Dilihat dari komposisi informasinya, jumlah informasi deskriptif lebih banyak dibandingkan informasi direktifnya. Dilihat dari hubungannya, bagian direktif itu merupakan konklusi dari sekian banyak deskripsi yang penyebarannya dalam wacana mengikuti pola deduksi, induksi, atau campuran keduanya. Dari sudut pandang lain, bagian direktif menjadi akibat dan serangkaian sebab yang dituangkan pada bagian deskriptifnya.

 

3.Bahasa Indonesia dalam Iklan

Keberhasilan sebuah iklan diawali dengan keberhasilan seorang penulis naskah iklan (copywriter). Seorang penulis naskah iklan dituntut punya kemahiran berbahasa yang memadai. Dengan modal kemahiran berbahasa yang memadai, penulis naskah iklan dapat memainkan bahasanya hingga memperoleh efek yang diinginkan. Dalam iklan Indonesia, kemahiran berbahasa Indonesia saja ternyata tidak cukup. Pemahaman atau penguasaan ragam bahasa bahkan juga berbagai bahasa daerah di Indonesia menjadi kemahiran penting juga bagi penulis naskah iklan Indonesia. Kadang-kadang ambiguitas yang dibangun dari keragaman bahasa, menjadi pengingat verbal yang baik. Keberhasilan iklan susu bendera, yang memanfaatkan kata tulang ‘paman’ (Batak), teh (Sunda), dan beli ‘paman’ (Bali) menjadi bukti bahwa penguasaan bahasa daerah juga menjadi faktor positif keunggulan iklan Indonesia. Iklan semacam itu, tidak sekadar mengubah persepsi komsumen, tetapi juga memberi pengetahuan positif kepada konsumen.

Dalam setiap iklan, memunculkan unsur pengingat (catcher) baik yang berupa suara (audio), gambar (visual), maupun bahasa (verbal) menjadi amat penting sehingga suatu saat, dengan hanya mendengar, melihat, atau membaca pengingat itu, konsumen langsung terhubung dengan produk yang diiklankan. Untuk mencapai efek pengingat visual, seringkali tampilan gambar dieksploitasi dengan mengabaikan relasi dengan aspek-aspek tertentu. Efek pengingat verbal diciptakan dengan memanfaatkan ungkapan bahasa daerah.

 

(4) ingak-ingak           ‘ingat’

(5) enak tenan ‘enak sekali’

(6) bablas angine        ‘hilang anginnya’

(7) pancen oye ‘memang oke’ (oke diplesetkan menjadi oye)

 

Dalam situasi yang multikultural, baik dalam hal penutur bahasa maupun masyarakat yang menjadi konsumen produk yang ditawarkan, amatlah wajar jika iklan juga memanfaatkan keragaman bahasa dan budaya itu sebagai daya tarik atas barang yang diiklankan. Seperti halnya, penggunaan bahasa Jawa untuk berbicara dengan orang Jawa, penggunaan bahasa Batak untuk berbicara dengan orang Batak, atau penggunaan bahasa Inggris untuk berbicara dengan orang asing, pemilihan bahasa tertentu dalam iklan dengan sasaran tertentu merupakan langkah logis dalam mencapai efektifitas iklan mengingat perubahan persepsi konsumen atas produk yang diiklankan pada dasarnya menjadi hal yang amat esensial dalam iklan.

Pengingat produk ternyata juga berhasil dibangkitkan dengan anomatope atau ungkapan seperti berikut.

 

  1. … wus wus wus …
  2. … cring cring cring …
  3. … wes ewes ewes …
  4. … crot crot crot …
  5. … ya ya ya …
  6. … tiga kali sehari
  7. … saya minum dua.
  8. … tinggal leb …
  9. … nyaris tak terdengar
  10. … berbukalah dengan yang manis …
  11. … yang lain pasti ketinggalan …
  12. … murah tapi bukan murahan…
  13. … sudah lupa tu.
  14. Jeruk kok minum jeruk.

 

Ungkapan di dalam iklan seperti contoh (8)–(21) secara mudah mengingatkan masyarakat akan produk tertentu. Mungkin pengingat itu memang tidak dibangun sepenuhnya oleh aspek verbal, tetapi pada akhirnya aspek verbal inilah yang sangat besar pengaruhnya. Beberapa di anataranya bahkan menjadi metafora atau semacam pepatah baru dalam bahasa Indonesia. Ungkapan jeruk minum jeruk, misalnya, kemudian sering digunakan untuk menyebut orang yang bertengkar atau berbantah dengan teman atau golongannya. Ungkapan nyaris tak terdengar kemudian digunakan untuk menyindir orang yang di dalam pertemuan tidak punya inisiatif, usul, atau saran apa-apa.

Banyak pihak yang resah karena bahasa iklan memberi contoh yang tidak baik dalam berbahasa Indonesia. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa Indonesia iklan, baik yang dimuat dalam media massa cetak maupun yang disebarluaskan melalui media elektronika, banyak menyalahi kaidah bahasa Indonesia. Iklan yang berbunyi kurang lebih “Wah, kijangnya sedang banget” dan “Kopiko, kopi banget” sempat membuat resah para penutur bahasa Indonesia yang sadar perlunya menjaga bahasa Indonesia. Para ahli bahasa Indonesia “mencak-mencak” karena lalzimnya kata penyangat seperti sekali, amat, dan banget adalah kata yang berkategori sifat, bukan kata benda seperti kijangsedan, atau kopi. Memang secara mentalistik, kalimat itu dapat ditransformasikan ke dalam kalimat yang lebih berterima strukturnya dengen menambahkan kata mirip atau menyerupai dengan ciri esensial kedua kata yang dibandingkan itu.

 

  1. Kijangnya sedan banget.
    1. Kijangnya mirip sedan banget.
    2. Kijangnya mirip banget dengan sedan.
    3. Suara kijangnya mirip banget dengan suara sedan.
    4. Suara kijang disel mirip banget dengan suara sedan.
  1. Kopiko kopi banget.
    1. Kopiko, mirip kopi banget.
    2. Kopiko, mirip banget dengan kopi.
    3. Kopiko, rasanya mirip banget dengan rasa kopi.
    4. Rasa Kopiko mirip banget dengan rasa kopi.

Pengingkaran kaidah bahasa, tampaknya sengaja dipilih pembuat iklan untuk membangun pengingat verbal akan produk itu. Pengaruh pemakaian kata banget sebagai penjelas kata benda kemudian juga merambah ke pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari.

Apakah, pengingat verbal harus dibentuk dengan pengingkaran kaidah? Jawabnya tidak. Pemilihan kata dengan memanfaatkan aspek keindahan bunyi dapat juga dijadikan.

  1. Ramping tanpa efek samping
  2. Babat dengan Kontrabat.
  3. Aku dan kau, suka Dencow.
  4. Suzuki, inovasi tiada henti.
  5. OMO Biru melenyapkan kotoran dan bau.
  6. AXI Triguna pembersih lantai Anda yang sempurna
  7. Daihatsu, wajah baru, performa baru.
  8. Polaroid, pas foto hanya 1 menit.
  9. Jawa Pos, padat, hangat, akurat.
  10. Dari Italia lewat Sanjaja langsung ke kamar mandi Anda.
  11. Kartu Bank Duta, diakui di seluruh dunia.
  12. Pilihan dunia, pilihan kita.
  13. Total Bangun Persada mengisi pembangunan dengan hasil nyata.
  14. Terus terang, Philips terang terus.

Lepas dari berhasil atau tidaknya pembuat iklan menciptakan pengingat verbal, sesungguhnya iklan merupakan karya kreatif yang menuangkan estetika dengan memanfaatkan banyak unsur. Dilihat dari aspek verbal, di dalam iklan terdapat ciri kreativitas yang sedikit banyak mengandung nilai-nilai estetika. Pemilihan ragam bahasa yang tepat dalam iklan sama pentingnya dengan pemilihan ragam di dalam karya kreatif verbal lainnya, seperti karya sastra. Contoh (24)–(37) di atas adalah sebagaian bukti bahwa rima atau persamaan bunyi dapat dimanfaatkan secara baik untuk membangun estetika dalam iklan berbahasa Indonesia. Tidak dapat diingkari bahwa selain mengandung keindahan, iklan seperti itu juga berhasil membentuk pengingat.

4.Penutup

Iklan adalah wacana persuasif yang tertuang dalam bentuk deskripsi dan direktif. Efektivitas iklan diukur berhasil atau tidaknya iklan itu mengubah persepsi dan perilaku masyarakat yang menjadi sasaran iklan seperti yang dikehendai pemasang iklan. Dalam banyak hal, iklan sangat dikendalikan oleh aspek ekonomi (bisnis).

Iklan adalah sebuah karya kreatif yang selain menggunakan media audio visual, juga menggunakan media verbal. Untuk mencapai aspek pengingat verbal, manipulasi kata-kata dan ungkapan seringkali dilakukan secara leluasa sehingga dalam beberapa hal ada kecenderungan melanggar kaidah kebahasaan yang berlaku. Pembatasan penggunaan bahasa dalam iklan dapat diarahkan dengan rambu-rambu peraturan, tetapi hendaknya tidak membatasi atau memasung kreativitas secara kuat.

Dr. Sugiyono

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa