Peranan Bahasa Daerah Sebagai Wahana Peningkatan Daya Apresiasi Budaya Daerah

Pengantar

Judul tulisan ini sekurang-kurangnya mengisyaratkan dua hal, yaitu bahwa masyarakat kita belum mencapai tingkat apresiasi yang maksimal terhadap budaya daerah dan bahwa bahasa harian – baik yang berupa bahasa daerah maupun bahasa Indonesia – dapat menjadi wahana untuk meningkatkan apresiasi terhadap budaya daerah itu. Kaitan antara budaya daerah dan bahasa yang digunakan masyarakat itu dalam kehidupan sehari-hari semakin menguat apabila kita berbicara tentang apresiasi dalam kerangka lintas budaya. Bahasa harian dianggap penting sebab budaya pada dasarnya adalah kristalisasi interaksi manusia dengan alam, dengan makhluk lain, dan Sang Pencipta dalam kehidupan sehari-hari yang aktualisasinya pun dapat dirasakan dalam perilaku manusia itu dalam kehidupan sehari-hari.

Tulisan ini akan menguraikan perihal kesenjangan pemahaman masyarakat terhadap kebudayaan yang selalu akan terjadi dan juga mencari rumusan bahasa harian seperti apa yang mampu mempertinggi daya apresiasi terhadap budaya daerah itu. Sehubungan dengan hal yang terakhir itu, bahasa Indonesia menjadi wahana yang lebih tepat dan untuk itu upaya pengadopsian istilah atau ungkapan daerah ke dalam bahasa Indonesia akan semakin memperkuat fungsi bahasa Indonesia sebagai wahana peningkatan apresiasi budaya daerah.

1.    Kesenjangan Pemahaman Budaya

Tidak dapat disangkal lagi bahwa perkembangan masyarakat selalu diwarnai kurangnya pemahaman generasi baru terhadap budaya yang telah dilembagakan oleh generasi pendahulunya. Kesenjangan pemahaman antara dua generasi itu muncul selain akibat tidak mulusnya proses transfer budaya dari generasi ke generasi meskipun proses itu telah dilalui dengan perenca¬naan yang matang – misalnya melalui pendidikan – juga akibat munculnya pola-pola perilaku baru yang pada akhirnya akan menjadi embrio budaya atau tradisi baru. Generasi baru yang cenderung berorientasi ke masa depan didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, pemahaman nilai-nilai luhur kebudayaan akan terabaikan. Alih-alih memegang teguh pola perilaku yang telah mapan, mereka cende¬rung mencari dan membentuk pola-pola perilaku yang baru.

Pergeseran atau perubahan nilai budaya bukanlah hal yang dapat dihindari sebab budaya pada dasarnya adalah kristalisasi respon manusia dalam interaksinya dengan alam atau makhluk-makhluk lain. Dalam pada itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa pengaruh yang amat besar terhadap respon yang diberikan manusia. Sudah barang tentu, respon akan berubah sejalan dengan perubahan atau perkembangan alam yang menjadi stimulusnya. Inilah yang menjelaskan mengapa manusia pada suatu waktu amat erat terkait dengan makhluk-makhluk gaib, kemudian ketika orang mulai mendewakan rasionalisme ikatan itu mengendor. Kini, keterpajanan terhadap alam gaib kembali merebak. Dahulu keterkaitan atau kerterikatan pada alam dimanifestasikan dalam  perilaku menyembah terhadap benda-benda alam, agar tidak marah dan mendatangkan bencana, kini keterkaitan dan keterikatan itu kembali menguat dengan manifestasi yang berbeda, misalnya menjaga kelestarian alam agar tidak banjir dan sebagainya. Hal itu semua merupakan cerminan bahwa pada akhirnya kristalisasi perilaku akan ditentukan oleh pola-pola hubungan stimulus-respon antara manusia dengan alam dan makhluk lainnya, selain tentu saja juga dengan Sang Pencipta itu sendiri.

Akan tetapi, berbicara tentang manusia dengan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, selalu membawa kita berhadapan dengan sisi-sisi yang bisa jadi amat berseberangan. Di antara kita ada orang tidak sedikit orang – biasanya generasi tua – yang masih memegang teguh norma yang mengatur perilaku manusia dalam berinteraksi karena diyakini bahwa norma-norma itu adalah telah terbukti kemapanannya dalam kehidupan ini. Akan tetapi, di antara kita juga tidak jarang orang – biasanya generasi muda – yang begitu tidak peduli terhadap tradisi yang diyakininya tidak lebih hanya sebagai aturan yang akan menghambat kebebasannya. Oleh karena itu, orang-orang yang termasuk golongan kedua itu cenderung melanggar tradisi dan tanpa disadarinya mereka juga mengakumulasikan pola-pola perilaku baru yang pada saatnya nanti akan menjadi budaya tandingan yang harus dipertahankan.

Kesenjangan serupa itu muncul dalam dimensi waktu. Dari waktu ke waktu, perubahan persepsi terhadap perilaku-perilaku yang akhirnya dilembagakan sebagai budaya itu semakin menambah besar kesenjangan antar-generasi. Dalam kesenjangan yang amat parah, budaya daerah di¬anggap menjadi penghambat pengembangan diri meskipun diyakini bahwa di dalam budaya itu banyak nilai luhur yang aplikasinya masih dapat dirasakan hingga sekarang. Dari sudut pandang generasi yang melembaga¬kan sebuah budaya, dalam kesenjangan itu mereka hanya melihat bahwa generasi muda tidak mampu mengapresiasi budaya secara baik dan karenanya mereka cenderung anti-konservatifisme. Alih-alih menghayati dan mengamalkan pola-pola perilaku yang telah mapan di dalam budaya daerah, mereka memilih merumuskan pola perilaku kelompoknya sendiri sebagai akibat atau bahkan sebagai reaksi budaya yang telah ada.

Pergeseran nilai budaya yang kemudian memicu rendahnya daya apresiasi masyarakat terhadap budayanya menjadi bukti pembenaran bahwa budaya itu sesungguhnya merupakan sistem yang adaptif. Para ahli yang cultural adaptionist menganggap budaya sebagai suatu sistem yang berfungsi menghubungkan komunitas manusia dengan lingkungannya. Perubahan budaya tidak lain merupakan proses adaptasi pemahaman manusia atas lingkungannya itu yang dinamis.

2.    Bahasa sebagai Wahana Apresiasi Budaya

Bahasa merupakan salah satu unsur budaya penting selain sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, kesenian, sistem mata pencaharian, dan sistem teknologi dan peralatan.  Bahasa terbentuk akibat keperluan manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya dan untuk melambangkan segala sesuatu baik yang ada di dalam realita maupun dunia konseptual agar dapat disebutnya dalam interaksi. Sebagai makhluk petanda, manusia cenderung membuatkan lambang semua hal dan peristiwa yang terjadi di dalam dunianya.

Dalam pandangan teori ideasional, selain merupakan sebuah sistem kognisi, sistem struktural, budaya diperlakukan sebagai sistem simbol atau semiotika. Sebagai sistem semiotika, bahasa mengambil posisi yang amat penting sebab antropologi meletakkan masalah interpretasi sebagai pekerjaan pokok. Jika bahasa adalah wahana penuangan gagasan, maka bahasa dipastikan mengambil peran penting juga sebagai wahana interpretasi budaya. Apresiasi budaya sebagai bentuk interpretasi terhadap simbol dan penuangan gagasan ke dalam simbol-simbol, sudah barang tentu amat bergantung kepada kemahiran berbahasa.

Dalam kaitannya dengan bahasa daerah atau bahasa harian, dapat dipastikan bahwa budaya daerah hanya akan dapat diapresiasi secara baik apabila masyarakat itu mempunyai kemahiran berbahasa daerah. Adalah tidak mungkin mengapresiasi bahasa daerah tertentu tanpa kemahiran berbahasa daerah itu. Akan tetapi, khususnya di Indonesia, mengingat kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak-puncak budaya daerah, sesungguhnya untuk dapat mengapresiasi budaya nasional secara baik, tidaklah mungkin masyarakat Indonesia ini harus pula menguasai sekian banyak bahasa daerah yang dibawa masuk ke dalam budaya nasional itu. Untuk itu, pemerkayaan bahasa harian dengan unsur-unsur bahasa daerah akan mempertinggi kemampuan bahasa harian itu sebagai wahana apresiasi terhadap budaya daerah. Konsep perilaku yang tercermin dalam ungkapan-ungkapan khas bahasa daerah seperti ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karto, dan tut wuri handayani dapat dikatakan hampir menjadi milik masyarakat Indonesia secara luas. Budaya kepemimpinan Jawa yang harus memberi teladan, memberi motivasi, sekaligus menjadi pengontrol tampak¬nya dapat dipahami dan lebih dari itu juga dapat diterapkan dalam perilaku hidup sehari-hari.

Selain ungkapan-ungkapan Jawa seperti itu, masih banyak ungkapan-ungkapan dari bahasa daerah lainnya yang amat sarat dengan nilai moral yang amat luhur. Berikut ini contoh-contoh ungkapan dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia.

1)      Tunjuak luruih, kelingkiang bakaik (Minangkabau) ‘apa yang dikatakan tidak sama dengan yang dipikirkan’

2)      Bia kepalo baluluak, asa tanduak lai makan (Minangkabau) ‘bekerjalah apa saja asal bisa makan’

3)      Ngukur ka kujur (Sunda) ‘hendaknya selalu tahu kemampuan diri sendiri’

4)      Hirup teu neut paeh teu hos (Sunda) ‘hidup segan mati tak hendak’

5)      Hadep habaring hurung (Ngaju) ‘berdiri sama tinggi duduk sama rendah dalam kegotongroyongan’

6)      Penyang hinje simpei (Ngaju) ‘bersatu kita teguh bercerai kita runtuh’

7)      Ya mulek bengkan turan (Bayan) ‘pantang menyerah sebelum berhasil’

8)      I yayat U santi (Minahasa) ‘maju terus pantang mundur’

9)      Si tou tumou tumou tou (Minahasa) ‘manusia memanusiakan manusia’

10)  Mototabiaan mototanoban, bo mototompiaan (Bolaang Mongondow) ‘saling mengingati, saling menyayangi, dan saling membaiki’

11)  Somahe kai kehage, pantuhu makasalentiho (Sangihe) ‘tantangan adalah kesenjangan; kalau mengikuti arus harus pandai berkelit (maju terus pantang mundur)

12)  Sarasen sakate (Palembang) ‘satu tujuan dan satu perkataan’

13)  Widya Sastra dipanikang bhuana (Bali) ‘ilmu pengetahuan dan sastra adalah suluhnya negeri’

14)  Adik ka’talino bacuramin ka’suraga basemangat ka’jubata (Dayak) ‘berlaku pada manusia, bercermin pada kebaikan, bernapas pada Tuhan’

15)  Sampan anyut tepian ada (Dayak) ‘walaupun sampannya hanyut, dermaga masih ada’

16)  Sintuvu maroso (Poso) ‘kebersamaan yang kuat; bersatu kita teguh’

 

Kemampuan mengapresiasi ungkapan seperti itu sepenuhnya bergantung kepada kemahiran seseorang dalam berbahasa daerah meskipun seringkali  konsep perilaku yang dikandung ungkapan itu tidak begitu saja dapat dirumuskan dengan hanya mengetahui arti setiap unsur leksikal pemben¬tuk¬nya. Beruntung jika ungkapan-ungkapan itu juga mempunyai padanan dalam bahasa Indonesia – misalnya hirup teu neut paeh teu hos (Sunda) yang kurang lebih sama dengan hidup segan mati tak hendak, atau ungkapan jaman tai kotok dilebuan  (Sunda) yang kurang lebih sama dengan jaman kuda gigit besi atau somahe kai kehage, pantuhu makasalentiho (yang kurang lebih sama dengan maju terus pantang mundur atau sintuvu maroso dan penyang hinje simpei yang kurang lebih sama dengan bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Tentu saja pemahaman ungkapan-ungkapan itu akan lebih mudah karena dijembatani oleh padanannya. Jika tidak, mau atau tidak mau ungkapan-ungkapan itu harus diangkat menjadi unsur bahasa harian lebih dahulu agar dapat diapresiasi dengan baik.

Sebagai wahana apresiasi, suatu bahasa hendaklah mempunyai kelayakan leksikon dan kelayakan sistem bahasa itu. Apresiasi terhadap budaya daerah hanya dapat dilakukan jika seseorang mempunyai leksikon yang memadai dalam bahasa daerah itu. Bukan saja dari segi jumlah tipenya, tetapi juga token. Bukan saja kata-kata yang denotatif, tetapi juga konotatif. Selain itu, tentu saja secara umum mereka juga harus mempunyai kemahiran yang memadai terhadap bahasa daerah itu. Betapapun mereka berhadapan dengan budaya fisik, dengan ketersediaan leksikon dan kelayakan sistem bahasa itu, mereka akan dapat mulai memahami budaya itu.

3.    Peningkatan Daya Apresiasi terhadap Budaya Daerah

Istilah apresiasi mengisyaratkan adanya kemampuan menerima pesan yang sesungguhnya bertingkat-tingkat. Istilah dapat mengapresiasi budaya daerah itu mengacu ke kemampuan yang terentang mulai dari dapat memahami, menghayati, menghargai, hingga dapat mengaplikasikan nilai-nilai budaya daerah itu dalam kehidupan sehari-hari. Tidak dapat disangkal bahwa tingkat apresiasi masyarakat terhadap budaya daerah belumlah mencapai tingkat yang memuaskan. Akan tetapi, belum dapat ditentukan secara pasti tingkat apresiasi itu.

Peningkatan apresiasi selain dapat diartikan mengubah kemampuan memahami menjadi menghayati atau mengamalkan nilai luhur budaya daerah, juga berarti peningkatan secara kuantitatif masyarakat yang dapat mengapresiasi budaya itu. Sampai pada tingkat tertinggi, apresiasi nilai-nilai budaya akan membawa kita pada penghayatan terhadap nilai-nilai budaya suku bangsa dan penghayatan yang baik terhadap nilai budaya suku bangsa akan menumbuhkan rasa memiliki terhadap nilai budaya suku bangsa. Lebih dari itu, akhirnya kedalaman apresiasi itu akan melahirkan sikap menghargai nilai budaya suku bangsa.

Keragaman budaya dan bahasa daerah di satu sisi memang membanggakan, tetapi di sisi lain merupakan kendala bagi pengapresiasian budaya daerah itu secara lintas kultural. Padahal, peningkatan daya apresiasi masyarakat terhadap budaya daerah yang bernilai luhur harus dilakukan tanpa harus menghilangkan pluralitas kebudayaan Indonesia.  Masyarakat akan dapat mengapresiasi budaya daerah secara baik – tertutama budaya verbal – apabila masyarakat itu menguasai bahasa daerah. Kenyataannya, kita dihadapkan pada kualitas penguasaan bahasa daerah yang kian menurun dan jumlah penutur yang berbahasa ibu bahasa Indonesia akibat perkawinan antar-etnis yang makin meningkat. Untuk menuntut penguasaan bahasa daerah tertentu demi meningkatkan daya apresiasi masyarakat terhadap budaya daerah itu amatlah tidak efektif, bahkan tidak mungkin. Lebih-lebih telah terbukti bahwa bahasa Indonesia dan bahasa asing mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan bahasa daerah.

Untuk tujuan komersial, budaya daerah sering kali dimanipulasi  ke dalam bentuk-bentuk yang lebih punya nilai jual meskipun itu berarti harus menyimpang atau berbelok dari pakem. Memang tidak dapat disangkal bahwa memodifikasi seni pertunjukan menjadi seperti yang dilakukan ketoprak humor dapat memperluas atau menambah daya apresiasi masyara¬kat dari segi kuantitas. Bahkan, dengan mengubah media bahasa daerah menjadi bahasa Indonesia, batas-batas bahasa daerah tidak lagi menjadi kendala. Akan tetapi, upaya meningkatkan kualitas apresiasi dari hanya sekadar tahu hingga menghayati dan mengaplikasikan nilai budaya yang termuat dalam repertoar ketoprak itu tidak mendapat tempat secara baik. Bahkan, nilai-nilai tertentu boleh jadi akan dilanggar. Pengalih¬bahasaan merupakan cara yang baik untuk sekadar memicu apresiasi, tetapi upaya itu tidak banyak manfaatnya apabila justru akan menurunkan atau bahkan menghilangkan nilai-nilai luhur di dalam budaya daerah itu.

Dalam keragaman budaya di Indonesia, dengan konsep pengem¬bangan budaya nasional yang konon merupakan puncak-puncak budaya daerah, memilih bahasa Indonesia sebagai wahana peningkatan apresiasi terhadap budaya adalah pilihan yang amat tepat. Akan tetapi, untuk itu bahasa Indonesia harus dikembangkan dengan arah yang tepat. Pengem-bangan bahasa Indonesia telah lama berupaya mengangkat unsur-unsur bahasa daerah agar penutur bahasa Indonesia lebih dapat mengapresiasi budaya daerah atau sekurang-kurangnya unsur budaya daerah yang menjadi bagian budaya nasional.

4.        Penutup

Pengapresiasian budaya daerah secara baik akan dapat dilakukan apabila masyarakat menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa harian. Akan tetapi, mengingat keragaman budaya dan bahasa daerah, efektifitas peningkatan daya apresiasi terhadap budaya daerah akan dapat dilakukan dengan cara mengangkat budaya daerah dengan menggunakan wahana bahasa Indonesia secara utuh, atau mengang¬kat istilah dan ungkapan bahasa daerah yang sangat esensial bagi budaya daerah ke dalam bahasa Indonesia. Cara ini efektif bukan saja untuk apresiasi terhadap budaya daerah, tetapi juga apresiasi terhadap budaya nasional yang konon merupakan  puncak-puncak budaya daerah. Jadi,  peningkatan apresiasi budaya daerah pada akhirnya merupakan tantangan bagi penanganan bahasa Indonesia, bukan saja dalam kaitan usaha memperkaya bahasa Indonesia dengan istilah dan ungkapan bahasa daerah, tetapi juga pemahiran masyarakat dalam berbahasa Indonesia.

Dr. Sugiyono

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa