Revitalisasi Sastra Lisan Kayat: Satu Cara Pewarisan Tradisi
Revitalisasi Sastra Lisan Kayat: Satu Cara Pewarisan Tradisi
Eva Yenita Syam[1]
Revitalisasi dalam KBBI (2017) dimaknai sebagai proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang berdaya. Sastra lisan sebagai salah satu bentukbudaya dalam masyarakat yang khas juga memerlukan perhatian dan cara yang pantas untuk bisa bertahan hidup, salah satunya dengan pewarisan kepada generasi muda. Sastra lisan ini diwariskan sebagai bentuk kepedulian untuk mewariskan sikap hidup, nilai-nilai baik, dan hasil yang bermanfaat bagi generasi muda sebagai pelanjutnya. Bahwa sastra lisan sebagai sebuah kekayaan yang tidak akan punah di telan zaman yang tak dapat dihentikan.
Revitalisasi sastra lisan Kayat diselenggarakan oleh Subbidang Revitalisasi, Bidang Pelindungan, Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, tahun 2018 dengan Balai bahasa Riau. Kegiatan ini dilaksanakan dalam tiga tahap: survey, pelaksanaan, evaluasi. Survey diselenggarakan 26—28 April 2018, pelaksanaan diselenggarakan Mei—Agustus 2018, sedangkan evaluasi dengan pentas, dan pemantauan direncanakan bulan Agustus 2018 bertepatan dengan perhelatan Pacu Jalur.
Revitalisasi sastra lisan Kayat ini dilaksanakan berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Irwanto, peneliti sastra di Balai Bahasa Riau. Hasil kajiannya menyebutkan bahwa sastra lisan Kayat ini perlu di revitalisasi karena tinggal dua orang pengkayatnya dan sudah jarang sekali ditampilkan pada acara tradisi.
Selanjutnya dilakukan penelusuran dengan berbagai informasi secara tertulis dengan kajian pustaka, beberapa tulisan dan informasi tentang sastra lisan Kayat dan dua orang maestro Kayat, yaitu Roestam yang sudah berusia 73 tahun dan Anas yang berusia 65 tahun. Kayat ini merupakan sastra lisan yang sifatnya berkisah tentang kehidupan dan perjalanan nabi serta tokoh-tokoh agama Islam. Mereka menampilkannya dari setelah Isya hingga Subuh tiba. Kayat dilakukan dalam rangkaian kegiatan peristiwa berkabung setelah kematian.
Pertemuan yang dilaksanakan di rumah pak Roestam (26/04/2018) di desa Sangian, Kuantan Singingi, Riau, berlangsung akrab dengan disertai keluarga dan pak Anas yang datang dari desanya menggunakan kompang melalui aliran sungai Kampar di depan rumah pak Roestam. Perjalanan yang ditempuh dari Pekanbaru menuju Sangian memerlukan waktu lima jam perjalanan darat. Jalanan yang berliku dan berbelok cukup mengguncang perut.
Kedua maestro ini sangat senang menyambut kehadiran tim revitalisasi sastra lisan dan berharap sastra lisan Kayat dapat diwariskan dan tidak hilang dari Kuantan Singingi. Wajah mereka menunjukkan kegembiraan yang luar biasa meski mereka akan sangat kewalahan dalam proses pewarisan itu nantinya.
Pak Roestam dan Pak Anas sangat khawatir, jika Kayat ini tidak segera diwariskan tentulah akan punah karena usia mereka sudah lanjut dan tidak ada yang berminat mempelajari Kayat. Mereka bercerita bahwa dahulu, mereka tidaklah mudah mendapatkan pengetahuan tentang Kayat. Mereka mesti berguru ke tempat yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Mereka kemudianmendatangi guru dengan membawa rantang (makanan sebagai tanda mereka ingin belajar yang berisi berbagai makanan) ke rumah guru. Menyusuri aliran sungai Kampar dengan semangat tinggi. Hal itu dilakukan terus menerus, menghapal hikayat dan meningkahi dengan musik.
Proses belajar yang unik dan cukup lama, mereka mesti menghapal hikayat tentang nabi dan tokoh teladan lainnya,kemudian setelah hapal maka teks mesti dihanyutkan di sungai karena yang asli telah tinggal di kepala, demikian mereka sampaikan. Proses belajarnya juga cukup lama karena mengisi waktu belajar pada malam hari. Mereka telah menggeluti Kayat kurang lebih selama 15 tahun. Menjadi pengkayat bukan menjadi profesi utama karena mereka berdua bekerja siang hari sebagai pemotong karet (penyadap karet). Apalagi sekarang, Kayat mulai ditinggalkan dan mereka sudah sangat jarang menerima panggilan mengkayat.
Mereka berdua sangat bahagia ketika anak-anak SMA 1 Benai bersemangat dan cepat menangkap pembelajaran yang beliau berdua sampaikan. Anak-anak sangat mudah mengikuti proses dan tertarik dengan Kayat. Kegiatan yang berlangsung dua hari tersebut (27—28/04/2018) menjadi catatan baik bahwa Kayat akan menemukan pewarisnya, Semoga!. (EYS)
Eva Yenita Syam
Peneliti sastra Pusbanglin, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa