Adaptasi Genre Epik “Dayang Rindu”, Tradisi Lisan Sumatra Selatan

Suatu Kesempatan Menulis tentang Dayang Rindu

Dayang Rindu  merupakan cerita tutur yang berasal dari masyarakat Sumsel. Tuturan ini berkisah tentang kepahlawanan dalam suatu peperangan antara kesultanan Palembang dan  negeri kecil bernama Tanjung Iran. Peperangan ini terjadi karena seorang putri yang disebutkan sangat jelita dan sudah ditunangkan, berasal dari negeri  Tanjung Iran, Dayang Rindu, diculik oleh Sultan Palembang untuk dijadikan salah satu istrinya.

Masyarakat Sumatra Selatan yang sampai saat ini masih mengingat tuturan ini adalah masyarakat sekitar  Hulu di Sumsel yaitu Muara Enim, dan sekitar Lahat yang masing-masing mempunyai versi yang berbeda. Buletin Bukit Asam pernah memuat hasil wawancarai Ha Korie Ali di Muara Enim dalam beberapa edisi dalam tahun 2006 yang berisi tentang kisah Dayang Rindu sebagai suatu kisah nyata yang pernah tejadi dalam kehidupan masyarakat Muara Enim sekitar tahun 1500-1600 dengan bukti peninggalan salah satunya adalah sebatang pedang milik Kerie Carang (kakek Dayang Rindu), salah satu pahlawan dalam cerita tersebut.  Sekitar bulan Agustus 2014, saya melakukan observasi awal di Tanjung Enim dan bertanya pada masyarakat tentang tuturan ini. Meskipun mereka tidak fasih menceritakan secara lengkap, tetapi mereka kebanyakan mengenal cerita ini.

Arman A.Z, dalam esai berjudul “Dayang Rindu cerita Rakyat Yang Terlupakan” dan “Dayang Rindu dan Anak Dalom” dengan melihat persebaran cerita ini berargumentasi bahwa Dayang Rindu merupakan cerita tutur masyarakat Sumatra bagian Selatan(Sumbagsel) yang antara lain meliputi Sumatra Selatan, Lampung, Jambi dan Bengkulu. Persebaran ini dibuktikan dengan adanya sejumlah versi dalam cerita dan penemuan nama-nama sesuatu dengan sebutan Dayang Rindu mulai dari jenis varietas padi di Pagaralam dan Lubuklinggau, nama gedung kesenian (Dayang Merindu), nama rumah makan dan di Baturaja, ada goa yang diyakini penduduk setempat sebagai tempat peristirahatan Dayang Rindu, serta ada  juga batu yang dipercaya sebagai Dayang Rindu yang dikutuk Si Pahit Lidah. Selain ketersebaran di empat provinsi tesebut Arman juga melihat ketersebaran dokumentasi manuskrip Tetimbai Sai Dayang Rindu yang ditulis berhuruf Lampung, berbahasa Melayu dan Jawa di perpustakaan Leiden Belanda, di School of Oriental and African Studies (London) dan The Chester Beatty Library (Dublin, Irlandia) adalah hasil inventarisaSi William Marden, dan hasil invetarisaSi Van der Tuuk di  Leiden, Belanda, dan satu lagi di Munich Jerman.

Menurut Arman A.Z  (2014) ada tujuh manuskrip tersimpan di Leiden dengan perincian sebagai berikut: 20 halaman (aksara Jawi), 24 halaman (aksara latin tulisan tangan Van der Tuuk, teks dari Sukadana), 36 halaman, 28 halaman (buku, titimangsa 1274 Hijriah/1853). Kemudian ada satu keranjang koleksi Van der Tuuk tentang Lampung, termasuk Dayang Rindu 148 halaman (buku, dilengkapi catatan dari Van der Tuuk.   Arman A.Z. menyitir artikel  H.N. Van der Tuuk berjudul Brieven Betreffende Het Lampongsch, bahwa ada lagi manuskrip Dayang Rindu yang diperolehnya dari Sukadana (16 halaman, titimangsa Tarabanggi, 28 Oktober 1847 yang artinya telah ada atau telah ditulis sebelum van der Tuuk ke Lampung). Sementara manuskrip Dayang Rindu  tahun 1880  adalah hasil koleksi H.O Forbes.

Voorhove  (1978) membuat catatan tentang cerita tutur ini dan meyebutnya sebagai epik. Vorhoove menganalisis epik-epik Bengkulu, Lampung dan Sumatra selatan dari sudut pandang motif peperangan, kepahlawanan, latar sungai, sabung ayam, dan perang tanding satu lawan satu sesama prajurit. Selain itu ia juga mengatakan bahwa epik ini dinamai oleh masyarakat setempat dengan andai-andai untuk Sumatra Selatan dan Bengkulu, dan Tetimbai untuk Lampung. Baik Andai-andai maupun Tetimbai menurut Voorhove mempunyai kesamaan pada bentuk puitikanya.

Dalam cerita Tuturan Dayang Rindu  di Sumatra Selatan disebut andai-andai sementara versi Lampung yang ditemukan dalam bentuk  manuskrip tulisan tangan yang mengisahkan cerita ini disebut dengan Tetimbai SiDayang Rindu. Voorhove sempat mempertanyakan mengapa cerita Sumatra Selatan ini kemudian dituliskan dalam huruf Lampung dengan bahasa Melayu campuran Jawa. Hipotesis Voorhove kemudian adalah mungkin ada seorang yang berjalan ke wilayah Sumatra Selatan kemudian terinspirasi menulis cerita tutur ini dalam huruf Lampung, dan meyimpannya sehingga kemudian manuskrip tersebut ditemukan di Sukadana oleh Van der Tuuk, menjadi salah satu koleksi yang salinannya terdapat  di Leiden, Dublin, Munich.

Voorhove juga menduga bahwa Tetimbai Si Dayang Rindu (TSDR) mempunyai epik yang berbeda dengan epik Sumatra Selatan lain. Ia mendasari pendapatnya bahwa ada unsur kesejarahan atau kisah faktual yang terjadi  dalam hubungan antara Kesultanan Palembang dan penduduk Pedalaman. Pendapat tersebut diperkuat dengan situasi bahwa suku-suku di Pedalaman bergantung pada kesultanan Palembang untuk hubungan dengan dunia luar. Masyarakat pedalaman membayar upeti pada Sultan Palembang. Fakta di luar epik ini menurut Voorhove dihubungkan dengan pada suatu kesempatan terjadinya pemberontakan pembunuhan tehadap sultan Palembang dengan dalih masyarakat pedalaman melawan kekejaman tradisi kerajaan, salah satunya adalah penculikan seorang putri berdarah ningrat yang sudah bertunangan. Voorhove tidak meyebutkan pada masa kesultanan siapa perisitiwa tersebut terjadi atau mengatakan angka tahun. Argumen-argume tersebut kemudian digunakan untuk membenarkan tentang kisah penculikan Dayang Rindu yang digambarkan adalah benar-benar terjadi. Kemudian Vorhoove juga mencoba mengkonstruksi lokus Tanjung Iran yaitu di wilayah hulu tempat adanya Dayang Rindu.

Dayang Rindu dalam Berbagai  Karya Sastra cetak

Terlepas dari fiksi atau tidaknya cerita tutur tersebut, tulisan ini akan lebih menekankan pada  munculnya genre-genre  baru dalam  sastra tulis yang  merujuk pada cerita tutur tersebut terutama pada bagian ini, karya sastra cetak yang muncul di Lampung. Sepakat dengan terminologi Vorhoove bahwa cerita tutur ini merupakan epik yang ciri-ciri khasnya juga akan dibahas pada tulisan ini, temasuk ketika manuskrip Tetimbai Sai Dayang Rindu ini dinamai sebagai Tetimbai.

Genre-genre sastra tulis yang terinspirasi oleh cerita tutur ini dapat juga disebut sebagai penyelamatan cerita tutur. Amin Sweneey dalam Papenhuyzen (2010) pada pembahasannya tentang kelisanan dan keberaksaraan di dunia Melayu (1987) mengatakan bahwa  menuliskan cerita yang dituturkan merupakan cara perlindungan tetapi faktanya akan berbeda bentuk antara lisan dan tulisan. Penulisan tersebut merupakan pemeliharaan bentuk-bentuk setandan yang sering diulang dalam penuturan yang sedang berlangsung, kemudian dihentikan/dijeda dalam prosa.

Struktur gramatik kalimat, tanda baca, adalah bagian dari ciri khas tulisan yang menjeda/menghentikan bentuk yang sedang diucap  oleh penutur tersebut.  Dalam tulisan ini juga tidak mempermasalahkan transmisi lisan ke tulisan. Penulisan makalah ini berdasarkan penelitian pada genre epik  dan tetimbai dalam cerita tutur dan perubahannya dalam genre sastra tulis terjemahan berbahasa Indonesia dalam novela, drama dan cerita pendek, dan  peyuaraan teks masing-masing genre dalam sastra tulis tersebut. Lalu melihat bagaimana keekonimian  genre ini berhubungan dengan pasar.

Genre sebagai Kerangka Teori

Genre tidak sebatas pada persoalan klasifikasi. John Frow (2006) melihat genre sebagai sebuah bentuk tindakan Simbolik yaitu organisasi yang secara generik  baik itu dalam bahasa, gambar, gesture, suara yang membentuk pemahaman kita pada dunia. Oleh karena itu genre yang dimaksud dalam pikiran John Frow bukan peralatan stilistik semata, tetapi genre menciptakan efek terhadap realitas  dan kebenaran, otoritas dan kemasukakalan  yang menjadi inti berbagai cara pandang  yang  berbeda  terhadap  dunia dalam  tulisan sejarah, filsafat, ilmu pengatahuan, lukisan dan bahkan pembicaraan sehari-hari. Efek yang diciptakan oleh genre tidak stabil dan tetap. Tetapi sejak teks bahkan dari yang paling sederhana hingga ke  bentuk formula yang kompleks, tidak menjadi milik suatu genre. Teks tersebut memanfaatkan genre.  Ia tidak merujuk pada genre tetapi bidang keekonomian genre yang melahirkan kompleksitas hubungan yang berasal dari suatu konstruksi pemosisian teks oleh sistem. Sistem yang dimaksud di sini adalah pembedaan yang dilakukan oleh pasar. Satu genre akan berhubungan dengan genre yang lain, saling tumpah tindih antara satu dengan yang lain dan dalam percampurannya akan menjadi genre baru.

Pasar tersebut kemudian yang melahirkan taksonomi dan klasifikasi dalam genre, yakni suatu cara pengorganisasian sesuatu ke dalam kelompok-kelompok yang mudah dikenali. Klasifikasi itu seperti sebuah standard yang melihat sisi aturan yang eksplisit, diformulasikan, dan ditentukan waktunya, yang praktiknya hal tersebut kemudian diperluas hingga melebihi kelompok-kelompok itu sendiri.Beberapa ahli seperti Brunetiere membuat taksonomi dan klasifikasi genre sastra seperti dalam ilmu alam model Darwinian. Tetapi Frow keberatan dengan hal tersebut dengan argumen bahwa genre yang pada dasarnya budaya, bukan alam, akan sulit dipetakan sama dengan alam. Morfologi  beberapa genre open-ended dan tidak terbatas pada bandingan spesies biologi. Budaya tidak mempunyai keberlanjutan genetik, sedangkan genus biologi dibatasi pada ketidakinterfertilan dengan genus lain. Dalam dunia diskursif, tidak hanya semua genre tersebut interfertile, genre-genre ini bisa setiap saat disilangkan  dengan berbagai genre yang pernah ada. Secara umum dalam sastra setiap individu teks  dapat dimodifikasi dengan perluasan dan dapat mengubah kelompok-kelompok. Tetapi  tidak mudah bagi alat-alat teks tersebut untuk dapat secara langsung disilangkan  dari  genrenya. Genre terbentuk dari kekuatan pembentuk teks yang dengan tepat jadi alasan dimasukkannya dalam klasifikasi suatu kelas.

Antara Plato dan Socrates dalam Mempertimbangkan Genre
 
Socrates yang disarikan  Jhon Frow (2006) mengatakan  tanggapannya pada buku Republik karya plato: bahwa seni verbal harus mempunyai fungsi moral, dan bentuk imitasi umum untuk hal itu berpotensi merusak kebajikan  dalam republic yang ideal. Segala sesuatu yang dikatakan  oleh penyair dan penulis cerita pendek menurut Socrates dari Plato 1961,  adalah sebuah narasi (diegesis) dari sesuatu masa lampau, kini, dan nanti. Dan ia memproses keduanya dengan narasi murni atau narasi yang dipengaruhi oleh imitasi. Perbedaan yang dibuat di sini adalah antara ujaran penyair dan karakter ujaran yang dihadirkan (dipentaskan); dlm mode ketiga, yaitu mode campuran yang diambil contoh dari epik Homerus, bahwa satu level ujaran yang menceritakan sebuah cerita, dan level lainnya ujaran yang diwujudkan dalam karakter yang penghadirannya pada level pertama. Baik penyair dalam suaranya sendiri atau ia bicara seakan ia adalah orang lain (Plato 1961)—dan kemungkinan peniruan suara dan karakteristik orang lain adalah inti yang yang dipermasalahkan Socrates tentang puisi dan drama. 
Salah satu gerakan penting  meletakkan dasar teori genre di Barat dan kemudian menempatkannya ke dalam identifikasi tiga mode presentasi ujaran sebagai  genre-genre tertentu adalah Aristoteles.  Menurutnya poetika tidak hanya puisi. Puisi adalah sebagai salah satu dari genre spesifik. Semua jenis poetika adalah mode imitasi tetapi mereka membedakan diri satu sama lain; ada yang pembedanya berasal dari makna, objek, dan cara imitasi. Imitasi di sini dapat dilihat  pada warna dan bentuk, kalau dalam seni verbal adalah imitasi ritme, bahasa, dan harmoni dalam berbagai kombinasi (Aristolese 1941 dalam Frow, hlm: 57)
Seni verbal dalam cara penghadirannya kemudian dibagi menjadi dua: yaitu ujaran auktorial yang menarasikankan tentang tindakan manusia, dan ujaran tentang karakter orang yang bertindak. Dua katagori tersebut dalam bahasa Bachtin yang dikutip Frow adalah kata sebagai representasional dan kata yang direpresentasikan. Kompleksitas lapisan bagian-bagian ujaran, tegangan antara  berbagai suara dalam berbagai quot puitika membuka pertanyaan tentang hubungan antara bahasa, suara dan tubuh yang disuarakan. Roland Barthes menurut Frow menyebutnya dengan “ qui parle?” atau Siapa  yang sedang berbicara di Sini?
 
Epik, Dramatik, Lirik
 
Aristotles membagi secara universal genre dalam sastra dengan epik, dramatik dan lirik sebagai taksonomi teratas. Epik menurut Goethe dan Hegel dalam Frow adalah mode ujaran yang berjarak, penyingkapan objektif dunia eksterior, lirik merupakan ungkapan kegembiraan yang antusias atau Hegel menyebutnya penyingkapan subjektif dunia interior individu tertentu, pemisahan diri personal dari komunitas dan drama merupakan mode tindakan personal sedang Hegel menyebutnya sebagai Sintesis dari mode lirik dan epik dalam dialog dan tindakan. (Frow, hlm: 60)
Ketiga genre tersebut dapat saling tumpang tindih. James Joyce yang disitir Frow menyebutnya dengan ambigu diantara ketiganya, apa yang akan dihubungankan langsung dengan yang  lain dari drama sebenarnya, jika masih dalam skema ini , kenyataannya ada dua jenis yang berbeda dari yang lain yaitu keduanya secara fiktif dihadirkan kembali dalam epik tetapi diwujudkan dan sumber ujaran yang menghadirikan kembali dirinya sendiri dalam drama. Dan ketiganya menurut Joyce dapat menempatkan diri dan yang lain sama-sama menyatu diantara pengarang, posisi pengungkapan dan karakter fiksional. Aku atau pengungkapan orang pertama dalam lirik apakah akan selalu berarti aku pengarang. 
 
Mode ungkapan
 
Meskipun ketiga genre tersebut mempunyai tegangan diantaranya, bentuk paling besar yang mengatur dan menekankan  genre yang lebih spesifik atau  subgenre bekerja dari yang general hingga tertentu. Hal ini dipahami sebagai suatu struktur yang komplementer pada kebenaran, kesementaraan dan subjektivitas yang ada pada  genre individual. 
Struktur ujaran atau mode ujaran merupakan bentuk-bentuk yang berbeda yang memodifikasi genre atau subgenre seperti epik yang dramatik, drama lirik, novel fantastik dan sebagainya. Mode itu sendiri bukan genre, ia hanya memodifikasi dan tidak dalam struktur formal bahkan tidak sebagai medium semiotik yang disadari. Mode dalam hal ini kualitas modal yang nada teksnya berhubungan dengan plot seperti bentuk-bentuk heroik, tragis, komedi, elegi. Melihat pengorganisasian teks baik verbal, aural, dan visual, Frow kemudian membuat Simpulan terminologi sebagai berikut:
1. Genre: organisasi teks yang secara khusus mempunyai retorika tema dan dimensi formal.
2. Subgenre: spesifikasi yang lebih jauh genre dengan konten tema tertentu
3. Mode dalam makna ajektif: kualifikasi tema dan nada atau warna dari genre
 
Tuturan Dayang Rindu, Epik, dan Tetimbai
 
Seperti juga Odisey, Dayang Rindu merupakan cerita narasi dari tuturan masyarakat yang mempunya poetika yang khas yang kemudian dituliskan. Epik  Dayang Rindu dalam bentuk manuskrip menurut Vorhoove terdiri dari narasi panjang yang menceritakan kepahlawanan orang-orang Tanjung Iran melawan kesewanang-wenangan tradiSi Sultan Palembang. Manuskrip tersebut  bermula dari cerita tutur dengan bentuk poetika baris-baris pendek tanpa rima yang masing-masing mempunyai aturan empat suku kata-kata yang ditekan. Vorhoove mengatakan epik tersebut oleh masyarakat Lampung disebut Tetimbai atau andai-andai  dalam masyarakat Sumsel dan Bengkulu yang penyajiannya dinyanyikan.  
Bentuk ini sejauh  yang saya  temui dalam observasi awal masyarakat di Ramban Dangku, Muaraenim belum ditemukan. Penutur menceritakan  Dayang Rindu  dengan bahasa  yang tidak terikat aturan. Sejauh ini saya belum menanyakan apakah memang pencerita hanya menghadirkan konten tuturan sehingga tidak menggunakan  bentuk andai-andai seperti yang seharusnya, atau pencerita tersebut tidak  bisa dan  hanya mengetahui konten cerita. Adapun manuskrip yang disebutkan Voorhove juga belum saya temukan, dan saya belum dapat melihat penulisan epik tersebut. Epik yang ditulis dalam huruf Lampung, bahasa Melayu dan Jawa ini menurut Voorhove ditulis oleh penyair dengan berusaha mengikuti pelafalan bahasa setempat, baik dialek serta perbendaharaan kata. Struktur dasarnya Melayu tetapi banyak meggunakan ekspresi-ekspresi bahasa Jawa yang merupakan bahasa istana. Sayangnya, karena keterbatasan sumber data manuskrip asli ini, saya belum bisa melihat bagian mana yang menggunakan bahasa istana Palembang, dan bagian mana yang menggunakan bahasa Melayu. 
Menurut data  awal di lapangan yang saya temukan pada masyarakat Rambang Dangku, di Muaraenim, bahwa masyarakat mempunyai pantangan menceritakan Dayang Rindu dengan menggunakan bahasa Palembang (bahasa Istana). Cerita Dayang Rindu ini bagi masyarakat setempat   dianggap sakral. Jika mereka melanggar pantangan tersebut, mereka meyakini akan terkena akibat-akibat tertentu bagi yang menuturkan maupun yang mendengarkan. 
Dalam cerita tutur yang saya rekam, muncul tokoh-tokoh yang tidak terdapat dalam manuskrip Tetimbai Sai Dayang Rindu (terjemahan suntingan Krisna R Sempurnadjaja). Bisa jadi ini merupakan versi yang berbeda dari yang pernah didengar dan ditulis oleh penyair Lampung di masa lalu. Nama tokoh tersebut yaitu Pangeran Tanjung Iran yang kemudian  berhubungan dengan kemunculan Krie Carang. Kerie Carang  yang bernama kecil Tambah adalah putra biologis dari seorang perempuan yang disandera pangeran Tanjung Iran dalam keadaan hamil lalu dinikahinya. Perempuan tersebut istri dari Patih Dusun Tempedak. Nama-nama tokoh penting lain yang berbeda dengan TSDR adalah Rai Cili dan Raden  Cili yang dalam epik dari tuturan masyarakat ini  dianggap pahlawan. Rai dan  Raden Cili keduanya menyayangi Dayang Rindu dan menginginkan gadis itu sebagai istri. Namun keduanya tidak saling menyakiti dalam kenginannya mendapatkan Dayang Rindu.  Raden Cili meskipun tidak dipilih sebagai kekasih, tetapi tetap membantu  peperangan Tanjung Iran melawan kesultanan Palembang.  Rai Cili dan Raden Cili memerangi Palembang selama 7 hari 7 malam dan terus berlangsung sampai tiga bulan. Sementara Kerie Carang, kakek Dayang Rindu tewas dalam peperangan dengan cara pembunuhan yang licik. Sultan Palembang  mengutus  perempuan yang dinikahi Kerie Carang sebagai mata-mata untuk mencari kelemahannya. 
Dua pahlawan dengan nama Cili yang sama ini  disebut dalam TSDR dengan Bayi Cili dan Bayi Radin. Bayi Radin dalam TSDR merupakan kekasih Dayang Rindu. Nama-nama prajurit Palembang seperti Tumenggung Itam  dalam TSDR juga tidak dikenal dalam tuturan versi Rambang Dangku, Muaraenim ini. Depati Bungalan nama tokoh  dalam tuturan yang tidak dijelaskan Siapanya sultan, juga merupakan nama yang disebut sebagai tokoh yang memberitahu keberadaan Dayang Rindu pada sultan sementara nama tersebut dalam TSDR menjadi Kerie Niru. Tetapi diluar perbedaan nama-nama tokoh dan perannya antara epik dalam TSDR dan versi cerita dari salah satu informan di Tanjung Enim, ada hal yang menarik yang dapat digarisbawahi. Ketetapan hati Dayang Rindu untuk menentukan naSibnya sendiri, ketika dua pendekar Cili menawari Dayang Rindu untuk kembali ke Tanjung Iran, gadis itu lebih memilih meneruskan pelayaran ke Palembang. Ia menyerahkan dirinya dibunuh dengan pemenggalan tubuh, bagian atas dikembalikan pada Tanjung Iran dan pinggang ke bawah diberikan pada Palembang. Jika diartikan secara Simbolik pinggang ke bawah bagian dari daging tanpa hati yang diberikan pada sultan yang menginginkannya dengan nafsu keserakahan. Sedangkan kepala, wajah dan dadanya yang diintepretasikan sebagai cinta dan kehendak Dayang Rindu diberikan pada Tanjung Iran dan kekasihnya Rai Cili. 
Kisah pembagian tubuh ini hingga kini di Muaraenim menjadi olok-olok untuk membedakan gadis-gadis Palembang (hilir) dan Muaraenim (hulu). Olok-olok itu mengatakan bahwa secantik-cantik gadis dari hilir  tidak akan bisa menyamai kecantikan gadis hulu, dan sebergayanya gadis hulu tidak akan bisa menandingi gadis dari hilir. 
 
TSDR dalam Genre Novela, cerpen dan Drama
 
TSDR merupakan terjemahan manuskrip berhuruf Lampung  berbahasa Melayu dan Jawa ke dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama. Terjemahan tersebut kemudian diterbitkan  dalam genre novela tahun 1996 oleh Dewan Kesenian Lampung. 
Melihat tipologi buku yang hanya berukuran 11,5 cm x 16,5cm, dengan tebal halaman 81, dengan ukuran font 12 dan terdiri dari tidak lebih dari 40 ribu kata, TSDR ini dapat dikatakan novela. Ia tidak disebut sebagi cerita pendek karena memiliki banyak tokoh yang terlibat dalam tindakan-tindakan  dalam satu konflik sehingga membutuhkan narasi yang cukup panjang. Tokoh-tokoh tersebut terutama dari pihak Palembang dideskripsikan melakukan persiapan-persiapan menuju Tanjung Iran dalam rangka meminang Dayang Rindu sekaligus persiapan perang jika pinangan ditolak. Sementara gambaran-gambaran tokoh-tokoh Tanjung Iran tidak mendapat porsi dalam peyambutan tamu dari Palembang ini, kecuali pada kisah Dayang Rindu yang berbicara berkasih-kasihan pada kekasihnya atas perpisahan yang terjadi karena lamaran Sultan Palembang yang bernama Pangeran Riya. Plot berikutnya adalah gambaran-gambaran peperangan antara masing-masing jago, keadaan yang porak poranda, dan luka-luka serta kematian. Pahlawan yang dikisahkan dengan kehebatannya adalah Singalarang, yang disebut sebagai paman Dayang Rindu. Singalarang yang bisa meghancurkan Palembang dan tetap hidup sampai peperangan berakhir. Wayang Semu ayah dari Dayang Rindu tewas, juga kakeknya. Kematian orang-orang yang dicintai Dayang Rindu ini membuat sang putri di hadapan sultan kemudian moksa sebelum disentuh oleh sang sultan. 
Diceritakannya Singalarang, Wayang Semu dan Kerie Carang sebagai pendekar-pendekar Tanjung Iran, kehancuran akibat peperangan  menonjol dalam TSDR  genre novela ini. Sultan Palembang di akhir menuai sedih yang tiada tara setelah melihat kehancuran negerinya karena berusaha memenuhi permintaan mengambil dayang Rindu, juga Singalarang yang merana kembali ke Tanjung Iran dengan rasa yang sangat teluka melihat kehancuran Tanjung Iran. 
Hasrat pada wanita, pertunjukan kemegahan, peperangan adalah hal utama yang disampaikan pada novela TSDR. Dayang Rindu hanya mendapat porsi narasi yang sedikit sebagai sebab, bahkan lebih sedikit disbanding narasi-narasi yang mendeskripsikan persiapan dari pihak  kesultanan  Palembang saat sebelum menuju Tanjung Iran , seperti beberapa yang saya kutip berikut ini:
Punakawan  tiba di pasar Jawa, Dia berkata, “Tukang dan perancang; kedua, tukang ukir; ketiga, tukang melukis….tuan diundang Tumenggung Itam …turunlah tuan di PuSiban, ada yang akan diperbincangkan.” “baiklah,” kata tukang dan perancang. Maka berjalanlah tukang dan perancang  diiringi budak punakawan empat orang. Tiada lama maka sampailah tukang dan perancang di PuSiban; kedua tukang ukir; ketiga tukang gambar. Duduk berjajar para inang menghadap Tumenggung Itam.
Berkatalah Tumenggung Itam, Ya Allah, ki sanak tukang dan perancang; kedua tukang ukir; ketigatukang gambar. Sebab mula mengundang kalian, saya minta dandankan aku Kelulus Agung, ukirkan aku kutting serba rangkap,ukir di buritan gambar naga, ukir di tengah dan di depan kembang gudang, ukir di kurung bunga cina,”…..(TSDR hal:8)
 
Persiapan-persiapan keberangkatan itu juga mendeskripsikan peralatan perang seperti mesiu dengan peluru, meriam, perkakas perang dan kapal-kapal terbaik. Kapal –kapal ini dalam manuskrip TTSDR menurut Voorhove dijadikan ilustrasi, bahkan rumah-rumah panggung yang megah. 
Penekanan pada plot peperangan dan antiklimaks kehancuran dalam novela TSDR merupakan suara yang disampaikan penyair yang menuliskan TSDR dalam bentuk manuskrip berbahasa Lampung, jika memang dalam penerjemahan dalam genre novela ini tidak tejadi pengurangan dan penggubahan plot. 
Narasi orang ketiga dengan pengarang yang serba tahu  memulai dengan menggambarkan Palembang, para pembantu sultan yang membicarkan tentang  Dayang Rindu, hingga keluar perintah sultan untuk melamar Dayang Rindu. Setelah panjang lebar dibicarakan persiapan, perasaan-perasaan masygul para pembantu sultan ini, perpisahan dengan para istri mereka, berlayar kapal, lalu narasi berpindah ke situasi keluarga Dayang Rindu. Pahlawan-pahlawan Tanjung Iran adalah yang diserang, bertahan, dan menyerang ke Palembang. Tidak ada gambaran-gambaran yang  imbang diantara dua pihak Tanjung Iran dan Palembang. Narasi yang dimulai dari Palembang hingga plot yang bergerak maju terus  ke Palembang dengan porsi sedikit pihak Tanjung Iran menunjukkaan bahwa Novela yang menerjemahkan manuskrip karya penyair Lampung tentang TSDR mengakui kebesaran kesultanan Palembang. Memang disebutkan dalam cerita bahwaTanjung Iran juga disebut bahwa mereka tidak membutuhkan harta benda pemberian sultan seakan Tanjung Iran juga negeri yang kaya, tapi bergeraknya arus narasi dari latar Palembang dan kedetilan tokoh-tokoh pembantu sultan mempersiapkan segala sesuatu menunjukkan perang ini adalah dari sebuah negeri yang besar menyerbu negeri yang lebih kecil. 
Akan berbeda halnya jika narasi untuk Tanjung Iran sedemikan detil tidak hanya kecantikan gadisnya tetapi juga keindahan dan kemakmuran masyarakatnya. Saya akan terus menelusuri versi tuturan epik ini di wilayah Sumsel untuk melihat porsi narasi diantara Tanjung Iran dan Palembang dalam penelitian lanjutan.  Data sementara dari Rambang Dangku memang menunjukkan plot lebih banyak menyorot pihak Tanjung Iran dari awal hingga akhir. Pihak kesultanan Palembang hanya dianggap tamu tidak diundang yang tiba-tiba hadir dan membuat keributan.  
 
Dari TSDR ke Genre cerpen dan Genre Drama 
 
Drama Dayang Rindu yang ditulis oleh Ari Pahala Hutabarat ini berjudul Tetimbai Si Dayang Rindu, judul yang sama dengan Novela TSDR.  Naskah ini ditulis pada tahun 2012 dan dipentaskan pada tahun yang sama. Tahun 2013 naskah ini dibawakan lagi ke panggung dengan judul yang berbeda “The Song of Dajang Rindoe.” 
Genre drama seperti yang dikatakan Frow merupakan genre universal yang didalilkan oleh Aristotles sebagai salah satu dari 3 genre dalam sastra. Drama secara khas dihadirkan dengan ucapan tokoh-tokoh secara langsung disertai tindakan. 
Dayang Rindu dalam genre drama terdiri dari tiga adegan. Adegan satu dibuka dengan prolog, narasi berbentuk bait-bait dalam bahasa Lampung dua bait, lalu dilanjutkan dengan bait-bait bahasa Indonesia  sejumlah dua bait. Bait-bait tersebut berisi pengenalan terhadap seorang putri yang cantik jelita dari Tanjung Iran bernama Dayang Rindu.  Narator ini sampai dengan drama berada pada percakapan tokoh-tokoh tetap dihadirkan, di antara perpindahan adegan. Keberadaan narator dengan membawakan kisah  orang ketiga di antara adegan percakapan dan laku tokoh mencampurkan bentuk  genre epik dan drama, suatu hal yang tidak mustahil, melihat antara tiga genre universial ini dapat saling tarik menarik. 
Meskipun dalam prolog narator memperkenalkan kisah keseluruhan drama dengan menyebut tokoh Dayang Rindu, sebagai putri cantik jelita penyebab adanya cinta kasih dan perang, adegan percakapan dan tindakan tokoh dihadirkan dengan latar paseban istana Pangeran Riya atau Sultan Palembang. Pangeran Riya beserta para pembantunya membicarakan Dayang Rindu, dan adegan berikutnya Pangeran Riya yang gandrung lalu mengeluarkan perintah persiapan menuju Tanjung Iran dengan kesiapan lamaran hingga peperangan dengan rela menghancurleburkan negerinya. 
Persiapan-persiapan sultan tersebut juga menghadirkan kapal-kapal, layar yang akan dibentangkan dan meriam-meriam seperti yang digambarkan dalam novela TSDR. Bagian dua drama ini mempertemukan rombongan dari Palembang dan tuan rumah Tanjung Iran. Seluruh tokoh-tokoh Tanjung Iran dihadirkan termasuk Dayang Rindu dan kekasihnya  Bayi Radin, juga sahabatnya Bayi Cili. Panggung kemudian diberikan pada utusan Palembang, Tumenggung Itam dan Kerie Niru yang bercakap-cakap dengan Kerie Carang dan Wayang Semu. Adegan-adegan berikutnya pun menampakkan kemarahan tuan rumah, lalu suasana kesedihan dalam pertemuan sepasang kekasih Dayang Rindu dan Bayi Radin serta sahabat mereka Bayi Cili. 
Pengadegan berikutnya  berplot maju hingga peristiwa demi peristiwa seperti yang dinarasikan dalam novela TSDR. Tetapi hal yang menarik adalah suara narator yang menjeda tiap adegan dengan terkadang menyuguhkan bahasa Lampung dalam bait-bait. Bahasa Lampung ini yang tidak ditemui dalam novela TSDR dan bahkan manuskrip TSDR yang menggunakan huruf Lampung saja tetapi berbahasa Melayu dan Jawa. 
Apakah narator membawa misi khusus dengan penggunaan bahasa yang berpindah-pindah dari Indonesia dan Lampung ini? Selain narator, bahasa lampung juga ditemukan dalam perkataan tokoh Wayang Semu, ayah Dayang Rindu. 
 
WAYANG SEMU:
Lebur pai Tanjung Iran
Ngepalang jadi abuw
Gisuh rekang mak mingan
Anakku Si Dayang Rindu
 
Ngabaike peguruan
Pemutusan jak guruw
Galah liwak jak badan
Takko dapet teliyew
 
Bagian ketiga menggambarkan pengambilan Dayang Rindu secara paksa ke dalam kapal dan salah satu prajurit, Bayi Metig, menantang peperangan pada pihak Tanjung Iran. Peperangan selanjutnya digambarkan dengan dahsyat yang menewaskan banyak orang termasuk Bayi Radin kekasih Dayang Rindu yang disaksikannya dari kapal. Pangeran Riya menyambut Dayang Rindu dengan suka cita, tetapi gadis ini menolaknya, dan sebelum tangan Pangeran Riya menyentuh tangannya, Dayang Rindu akan mengucapkan selamat tinggal untuk terbang ke langit menyusul kedua orang tuanya yang tewas dan kekaSihnya. Tetapi tokoh Singaralang, paman Dayang Rindu muncul dan mengamuk. Singaralang ini lah salah satu pahlawan yang tetap dihidupkan dalam TSDR. Sebelum Dayang Rindu terbang, terdapat ucapan pamit Dayang Rindu pada pamannya. Akhir kisah ditutup dengan kemurungan dan kemarahan Singaralang melihat kehancuran negeri Tanjung Iran  dan narator yang menyimpulkan akibat peperangan di kedua negeri. 
Pengorganisasian drama Dayang Rindu dalam tiga bagian terlihat mengikuti novela plot maju TSDR. Sebuah plot yang konvensional yang terdiri dari pengenalan, konflik, konflik menuju klimaks lalu antiklimaks. Tampaknya penggunaan bahasa Lampung oleh narator dan tokoh Wayang Semu bagian yang paling dapat digarisbawahi untuk melihat arah kecenderungan teks genre drama ini. 
Ari Pahala Hutabarat dan Ahmad Yulden Erwin adalah sastrawan Lampung yang dalam drama TSDR ini berusaha memperkuat temuan manuskrip berhuruf Lampung dan diterjemahkan oleh Dewan Kesenian Lampung dalam novela TSDR.  Eksplorasi manuskrip yang mengisahkan suatu epik Sumatra Selatan ini diadaptasi dalam laku dan ekspresi Lampung. Pengindonesiaan teks pada novela telah menghilangkan bahasa Melayu dan eskpresi Jawa dan diberi nuansa bahasa Lampung dalam naskah bergenre drama. Apakah dinamika kemunculan genre-genre ini juga bagian dari genre yang merujuk pada ekonomi genre seperti yang dikatakan John Frow? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, masih ada satu genre yang muncul dengan angka penerbitan pada tahun yang sama dengan titi mangsa kelahiran naskah drama tersebut.
“Dayang Rindu” adalah judul cerita pendek yang ditulis oleh Arman AZ dan dipublikasikan dalam Koran Tempo pada rubrik cerpen di tiap hari Minggu pada tanggal 5 Agustus 2012. Meskipun tampaknya juga merujuk pada teks tejemahan manuskrip pada genre novela TSDR, kelahiran genre cerpen ini menyuarakan pertanyaan tentang hadir tapi tidak hadirnya suara Dayang Rindu dan Ibu Dayang Rindu. 
Berawal dari tipologi cerpen yang terdiri dari sudut pandang narasi orang pertama “aku” yang lebih dari satu tokoh. Masing-masing tokoh yang mengucapkan ini mirip dengan genre drama monolog. Diantara tokoh-tokoh yang berucap dalam cerpen tidak ada yang saling berdialog, tetapi membangun dialog imajiner dengan sosok Dayang Rindu yang tidak dimunculkan. Masing-masing tokoh dari mulai sang kakek, ayah, kekasih Dayang Rindu yaitu  Bayi Radin dan Pangeran Riya hanya mengucapkan kegundahan pikiran dari satu masalah yang sama yaitu Dayang  Rindu. Hanya tokoh Tumenggung Itam, Singaralarang (paman Dayang Rindu) dan Kerie Niru yang tidak melakukan dialog imajiner dengan menyebut Dayang Rindu. Tumenggung Itam meyebut Dayang Rindu sebagai orang ketiga yaitu objek tujuan yang harus ia dapatkan dari titah Pangeran Riya, demikian juga Kerie Niru. Sementara Singalarang sebaliknya mengucapkan tugasnya untuk melindungi Dayang Rindu dan Tanjung Iran. 
Ketiga prajurit ini yang masing-masing mengabdi pada tuan mereka adalah  menggambarkan rangkaian peperangan yang dalam drama digambarkan secara langsung dalam laku tokoh, dan dalam novela dinarasikan dan diberikan dialog. Sementara tokoh ibu, Wayang Semu, Pangeran Riya dan Kerie Carang yang berhubungan secara psikologis dengan Dayang Rindu memberikan gambaran konflik batin ketika mereka harus menghadapi peperangan akibat keinginan Pangeran Riya  mempersunting Dayang Rindu yang sudah ditunangkan. 
Banyaknya tokoh dalam cerpen ini dengan satu konflik menyerupai genre Novela. Pemendekan narasi dalam bentuk monolog dan deskripsi peperangan yang seperlunya membuat teks ini memang lebih ringkas. Pemadatan narasi dengan sudut pandang orang pertama ini juga berfungsi melambatkan cerita. Tetapi pemadatan tersebut tetap memberikan gambaran peristiwa dan  dapat mengeksplorasi  sisi-sisi kedalaman emosi masing-masing tokoh. 
Di lain hal,  multivokal yang monolog ini menyampaikan misi penulisnya dengan penekanan di akhir, ketika tokoh ibu bersuara. Dalam drama dan novela TSDR maupun manuskrip TSDR,  suara ibu ini tidak ada. Di cerpen  penulis membangun pertanyaan tentang epik Dayang Rindu yang dihadirkan manuskrip TSDR dan tejemahannya pada genre Novela yaitu tentang suara perempuan yang tidak dihadirkan. 
 
IBUNDA
 
Seluruh riwayat tentangmu, anandaku Dayang Rindu, disesaki suara lelaki. Sekian nama yang tertera, sekian nama berseteru, namun tak satu pun menyebutku, perempuan yang melahirkanmu. Gerangan apa yang membuat mereka meniadakanku dari riwayatmu? Apakah sejarah hanya milik para lelaki? Terkutuklah mereka yang menghapus SilSilah ibu dari anaknya.
Anandaku Dayang Rindu, putri nan jelita dari Tanjung Iran. Demikianlah, dukanya perang, kaSih, dan cinta. Binasalah Tanjung Iran. Binasalah Palembang. Embun kalah oleh darah. Kalah meruap jadi abu, menang terongok jadi arang. Begitulah harga yang mesti dilunaSi dari perang, anakku.
Janganlah keturunan mereka atau Siapa pun kelak menghujah perempuan sebagai sumber petaka. Pergilah, Dayang Rindu. Kuikhlaskan perjalananmu. Di tempat dan masa yang jauh, kau akan mengerti, kisah tentangmu dibangun di atas jumawa kaum lelaki. Terbanglah ke khayangan, belahlah dirimu jadi dua, atau relakan tubuhmu jadi batu kutukan. Kelak, di atas awan akan kau temukan cinta. (*)
Penyuaraan-penyuaraan  yang dihadirkan penulis lewat teks-teks genre tersebut menunjukkan sikap ideologis masing-masing penulis terhadap satu cerita tutur dari  Sumatra Selatan. Kelahiran genre-genre ini dan jika akan lahir lagi genre-genre yang lain dari tuturan ini bisa menjadi salah satu upaya pelestarian cerita rakyat dengan berbagai pandangan pengarang-pengarang yang menuliskannya. 
Kelahiran Genre dan Relasi Pasar?
Kelahiran genre yang telah ada tersebut bisa  berlandaskan pada hubungan keekoniman yang diakibatkan oleh pasar seperti dalam tesis John Frow. Penerbitan novela oleh Dewan Kesenian Lampung, sebuah lembaga kebudayaan di Lampung yang nirlaba menerbitkan penerjemahan manuskrip TSDR bisa jadi mencetak untuk kepentingan ekonomi dan juga lebih dari  itu. Tetapi buku tersebut  tidak didistribusikan ke toko-toko buku secara khusus dan dicetak dengan jumlah kurang lebih 500 eksemplar, jumlah yang cukup sedikit untuk dikatakan  meraih keuntungan.  Tetapi upaya penerjemahan seperti yang sudah dilakukan oleh Krisna Sampoernadjaja yang dikatakan dalam pengantar novela ini berusaha seharfiah mungkin dengan kata per kata, kemudian diperbaiki oleh Razi dengan alasan agar dapat dinikmati  oleh pembaca, membuktikan bahwa buku ini lahir untuk pasar. Walaupun pasar tidak harus dimaknai sebagai usaha mendapatkan laba sebanyak-banyaknya. Pasar dapat juga diciptakan hanya untuk kalangan tertentu yang meminati jenis cerita tertentu. 
Secara tipografi teks ini tidak mengikuti bentuk baris dan bait , tetapi dibuat seperti prosa naratif dan lahir genre novela. Hanya tipografi ini yang berubah. Kehadiran TSDR berbentuk novela menjadikan cerita ini lebih  familiar dalam narasi prosaik. Kemunculan buku kecil seukuran saku yang mudah dibawa kemana-mana dan tidak berat memudahkan pembaca membawa buku ini kemanapun.
Begitu juga kelahiran genre drama yang  tidak diadakan pertunjukan berulang-ulang dengan harga tiket yang tinggi di berbagai tempat. Pertunjukan drama Dayang Rindu yang baru dilakukan beberapa kali tersebut tidak mengejar  keuntungan. Harga tiket hanya sekitar RP.10.000 rupiah dengan jumlah tempat duduk tidak lebih dari lima ratus bangku.  Aspek pengenalan estetika teater, apresiasi kesastraan di Lampung  dari nuansa cerita klasik ke panggung teater modern merupakan hal yang dikejar  dalam kelahiran naskah drama “Dayang Rindu”. Naskah drama itu tampak hadir dua kali dari judul “Dayang Merindu” dan “The Song of Dayang Rindoe” dengan tipologi dan isi naskah yang sama. 
Genre cerpen yang hadir di media koran  bisa jadi bagian dari bisnis penerbitan koran yang seminggu sekali memberikan ruang untuk cerita pendek, tetapi kelahiran cerpen ini juga tidak ditebitkan secara khusus dalam antologi buku yang kemudian dapat didistribusikan. Cerita pendek dalam koran yang pemuatannya seminggu sekali bisa jadi menambah nilai jual koran tersebut, tetapi Koran yang habis sekali, tidak dapat dicetak ulang kecuali cerpen-cerpen di dalamnya dikumpulkan dan ditebitkan sebagai antologi. Dalam dunia penerbitan koran, adanya cerita pendek bisa jadi bagian dari lahan bisnis meskipun terbilang kecil. Tetapi Dayang Rindu sebagai satu cerita pendek yang dikirimkan dan dimuat dalam Koran hanya bagian dari usaha pemarakan sastra untuk diapresiasi masyarakat yang lebih luas. 
 
Kesimpulan
Pelestarian dan pengenalan tuturan Dayang Rindu yang ditemukan dalam manuskrip TSDR adalah hal yang lebih menonjol dalam kelahiran genre-genre tersebut yang rentang waktunya hampir bersamaan antara cerpen dan drama. Novela tahun 96-an ditebitkan lebih dulu, tetapi menurut pengantar buku tersebut, TSDR bukan penerbitan pertama karya sastra klasik yang bersumber dari tuturan. 
Pasar yang hadir dalam bisnis dunia percetakan dan pertunjukkan adalah bagian yang memang tidak bisa tidak, hadir dibalik kelahiran genre-genre ini. Tetapi pasar tidak selalu dibentuk dengan kenginginan untuk menarik keuntungan sebanyak-banyaknya seperti yang didalilkan dalam prinsip  ekonomi. Ada faktor-faktor lain yang bisa ditelusuri lebih lanjut dalam lingkup ekonomi sastra atau sosio ekonomi dalam produksi karya sastra cetak dan pertunjukan.
Kelahiran beberapa genre dari satu karya sastra klasik merupakan bagian dari penghidupan kembali karya tersebut untuk dapat dinikmati masyarakat masa kini. Peluang perubahan genre ke bentuk-bentuk visual selain pertunjukan seperti film misalnya masih sangat mungkin. Dan sesedikit apapun, hubungan antara genre-genre dalam sastra kontemporer tetap tidak stabil bisa saling tumpang tindih dalam estetikanya dalam usaha merebut perhatian pasar (pembaca, penonton). 
 
 
Daftar Pustaka
1. Nurdaya Djafar, Iwan (1996). Tetimbai Si Dayang Rindu Sastra Klasik Lampung. Bandar Lampung: Dewan Kesenian Jakarta
2. Papenhuyzen dan Brakel, Clara (2010). “Oral Literary Tradition In North Sumatra”, dalam Wacana Jurnal Ilmu Pegetahuan Budaya 12, hal:87-99
3. Frow, John (2005). Genre The New Critical Idiom. London dan New York: Routledge
4. P, Voorhove (1978). “Some Notes on South-Sumatran Epiks:, dalam S. Udin (ed.), Spectrum Essays presented Sutan Takdir Alisjahbana on his seventieth birthday. Jakarta: Dian Rakyat
5. A.Z, Arman. (2013). Dayang Rindu Cerita Rakyat yang Terlupakan. dalam http://www.teraslampung.com/2013/10/dayang-rindu-cerita-rakyat-yang.html
6. ________. (2014). “Tetimbai Si Dayang Rindu dan Anak Dalom”. Dalam Lampung Post, 13 April 2014
7. Haki, Zamrul.(2006) “Pedang Binti Liwat”. Dalam Buletin Bukit Asam th.XI/Maret 2006.

Dina Amalia Susanto

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa