Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai Identitas Bangsa
Pendahuluan
Identitas merupakan suatu persoalan yang penting dan hangat dibicarakan dalam bidang kesusasteraan dan kajian budaya. Menurut Linda Martin Alcoff (2000: 324), sejak hampir dua dekade yang lalu, identitas menjadi topik utama yang sering difokuskan dan diperdebatkan dalam kajian psikoanalitik, pascastrukturalis dan juga pascakolonial. Jika kita hanya merujuk kepada bidang pascakolonial, persoalan identitas ini memang merupakan suatu kasus yang mendasar kepada negara-negara bekas tanah jajahan, (seperti Indonesia pada masa Hindia Belanda) apalagi jika penjajahan oleh kuasa asing itu berlangsung terlalu lama.
Tempo penjajahan yang panjang menyebabkan sebuah negara, bangsa, ataupun individu di tanah jajahan dapat kehilangan identitasnya. Puncaknya adalah ketika pribumi saban hari didesak oleh kuasa penjajahnya dengan pelbagai retorika tentang budaya penjajah yang selalu ditampilkan lebih dominan, hebat, maju, dan berkualitas jika dibandingkan dengan budaya pribumi atau anak jajahan. Retorika penjajah tentang kehebatan budayanya itu telah lama berjaya menggugah identitas atau jati diri sebagian besar kaum pribumi yang rapuh pegangannya terhadap budayanya. Retorika penjajah tersebut berhasil menjadikan pribumi memilki sifat rendah diri (inferior) dan cenderung malu akan budaya dan bahasanya sendiri. Lebih dahsyat daripada itu, penjajah bertujuan menjerumuskan pribumi ke kancah kekaburan identitas agar mereka dengan mudah dapat dicucuk hidungnya serta patuh dengan segala arahan dan peraturan penjajah. Sebagaimana disampaikan oleh Zawiah Yahya (1994: 108) yang menyatakan:
...Retorika kolonial digunakan untuk mengawal kaitan kuasa antara Barat yang menjajah dengan Timur yang dijajah, sambil menepikan budaya pribumi...
Syukurlah semangat kebangsaan yang berhasil dibangun dan dicetuskan oleh kalangan pribumi di Hindia Belanda berhasil diraih dan akhirnya dinyatakan sebagai sebuah kebulatan tekad oleh pemuda-pemuda Indonesia. Pribumi yang awalnya terpecah identitasnya itu mulai mencari-cari kembali identitas negara, bangsa atau dirinya sendiri yang telah dirusak dan dicemarkan oleh penjajah. Pencarian identitas negara dan bangsa ini biasanya dapat diraih kembali melalui bahasa dan sastra, serta kebudayaan sesebuah masyarakat. Sementara itu, identitas sendiri atau individu juga dapat dibentuk melalui cantuman bahasa, budaya, agama, gender, perkahwinan dan umur seseorang.
Upaya meraih kembali identitas bangsa melalui bahasa itu akhirnya dinyatakan melalui suatu kerapatan atau kesepakatan yang disebut oleh pemuda Indonesia pada masa itu sebagai Kongres Pemuda yang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1928. Atau sekarang lebih kita kenal sebagai Sumpah Pemuda 1928. Bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu disepakati bersama untuk dijunjung sebagai bahasa persatuan. Kesepakatan untuk mengukuhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ini tidak muncul secara serta merta melainkan telah melalui batu ujian yang panjang yang dapat kita ketahui perjalanannya dari surat kabar dan sumber tercetak lainnya pada masa lalu. Perjalanan bahasa Melayu menajdi bahasa Indonesia itu salah satunya adalah pada sumber-sumber kesusasteraan baik yang lisan,terulis, maupun tercetak.
Sastra adalah bagian kebudayaan yang keberadaannya didukung oleh dua unsur universal kebudayaan, yakni bahasa dan seni. Dengan dan dalam bahasa, sastra itu hadir dan terbaca oleh khalayak yang memerlukannya. Dengan dan dalam seni, sastra mengusung nilai-nilai keindahan yang menjadikan kehidupan lebih bermakna dan lebih beradab. Bahasa dalam sastra memperoleh wujudnya dalam tradisi sastra Melayu klasik sebagai mahkota bahasa pada mulanya. Karena peradaban itu tuntutan kehidupan, setiap bahasa memiliki tradisi sastranya dalam kadar yang berbeda-beda. Apabila sebuah bahasa memiliki tradisi keberaksaraan, peluang untuk memiliki sastra yang kuat akan terbuka. Memang, ada bahasa yang tidak memiliki tradisi keberaksaraan sehingga bahasa tersebut hanya memiliki sastra lisan yang kehidupannya amat tergantung pada penutur. Lain halnya dengan sastra dalam bahasa yang memiliki tradisi keberaksaraan, kehidupannya terabadikan sehingga akan terus berlanjut tanpa bergantung pada penutur. Pada perkembangan lebih lanjut dalam tingkat keberaksaraan yang lebih maju kehidupan sastra dipandang aman di tangan pembacanya.
Pada akhirnya sastra bukan sekadar permainan kata nan indah. Sejak Roestam Effendi menyair pada dasawarsa 1920-an, upaya untuk melepaskan kungkungan estetika lama yang dianggap menghalangi kebebasan laguan sukma melalui sajaknya yang terkenal “Bukan Beta Bijak Berperi” terus berlanjut hingga kini --yang dalam beberapa hal menimbulkan ekses penolakan atas semua yang berbau lama. Namun, dinamika kesastraan selalu menghasilkan sejenis sintesis. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam dinamika perkembangan pemikiran kesastraan di Indonesia itu sejak Polemik Kebudayaan hingga sekarang selalu ada yang mengagungkan keindahan di satu pihak ada pula yang mengagungkan kegunaan di pihak lain.
2
Sastra sebuah bangsa mencerminkan tinggi rendahnya peradaban bangsa itu. Termasuk di dalam peradaban itu gagasan-gagasan cemerlang yang bermuara pada apa yang kita sebut sebagai ideologi. Untuk menjadi sebuah ideologi, gagasan tersebut memerlukan rumusan yang tegas untuk dapat mengendalikan pola pikir dan laku penganutnya. Dalam konteks ini, ideologi merasuk sukma sang penganut dan menjadi sesuatu yang menggerakkannya dalam sebuah kelompok seperti lahirnya bangsa Indonesia.
Kapan istilah Indonesia mulai digunakan?
Meski kita sudah menerima jadi kongres Pemuda yang mencetuskan kesepakatan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di Hindia Belanda pada masa lalu, ada baiknya juga kita menelusuri kembali kapan sebetulnya istilah Indonesia ini digunakan. Untuk mengetahui hal ini marilah kita mulai dari pengkajian surat kabar dan dunia percetakan yang terbit di Hindia Belanda dan sudah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Ahmad Adam (2003) dan disertasi saya sendiri (2011). Ahmad Adam (2003:39),menyebutkan bahwa surat kabar berbahasa Melayu pertama di pulau Jawa adalah adalah, Selompret Melajoe di Semarang (1860) dan Bientang Timoor di Jawa Timur (1862). Penyebaran surat kabar Bientang Timoor ini ternyata juga mencakup wilayah Sumatera dan Makassar, sehingga di daerah lain seperti Minangkabau juga terpicu menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu pertama dengan nama yang mirip yakni Bintang Timoer dengan beraksara Latin. Edisi perdananya ialah pada tanggal 7 Desember 1864 dan kemudian terbit secara rutin (mingguan setiap Rabu) mulai 4 Januari 1865. Oleh sebab tidak memiliki mesin cetak sendiri maka penerbit ini bekerja sama dengan percetakan Chatelin Press milik orang Belanda (Ahmad Adam, 2003, 41-43). Pada periode ini penggunaan bahasa Indonesia di kalangan penerbit pribumi masih belum ditemukan. Barulah pada awal abad keduapuluh ketika semangat kebangsaan mulai bangkit di kalangan pemuda dan rakyat Indonesia istilah Indonesia mulai ramai dilaung-laungkan penggunaannnya. Para pemuda pergerakan yang duduk di wakil rakyat seperti Haji Agus Salim dan kemudian diikuti oleh Muhammad Yamin, sudah mulai menyebutkan bahasa Indonesia dan bukan lagi bahasa Melayu dalam pidato-pidato mereka yang dimuat dalam surat kabar maupun ketika dalam rapat-rapat di wakil rakyat (volksraad) di Hindia Belanda tahun 1919. Namun, jauh sebelumnya beberapa sarjana Eropa seperti Adolf Sebastian telah menggunakan istilah Indonesia ini dalam satu tulisan yang dimuat di majalah de Malaisch tahun 1850.
Begitu pula ketika terbentuknya Serikat Islam pada tahun 1912, semangat kebangsaan nasionalismepun sudah mencuat keras dalam kancah perjuangan politik dan kebudayaan para pemuda pergerakan. Di bidang kesusastraan, tepatnya pada tahun 1937—1942 di Medan, Sumatera Utara, terbit roman-roman yang dijuluki “Roman Medan” oleh Roolvink (1955). Balai Pustaka sebagai lembaga resmi kebudayaan di Hindia Belanda pada masa itu menggolongkan roman tersebut sebagai karya picisan dan bahkan bacaaan liar, (Erlis, 2005:30--31). Hal ini dapat dimaklumi karena berdasarkan hasil penelitia Erlis dan kawan-kawan (2005) ternyata dalam Roman Medan, isu-isu kemerdekaan, pergerakan politik, dan anti pemerintah Hindia Belanda amat banyak dibicarakan oleh tokoh-tokoh dalam karya tersebut. Kebanyakan peran tokoh utama dalam Roman Medan adalah kaum pergerakan yang sudah barang tentu mengusung semangat kemerdekaan. Oleh sebab itu dapatlah dimaklumi jika kemudian pemerintah Belanda melalui Balai Pustaka menggolongkan karya-karya seperti itu sebagai bacaan bermutu rendah. Sebaliknya, dalam karya-karya Roman Medan selain ditemukan isu-isu kebangkitan bangsa, semangat Nasionalisme, juga ditemukan isu perkawinan antarras. Tempat bertumbuhnya Roman Medan ini ternyata juga tidak hanya terbatas di kota Medan saja, melainkan juga terdapat di beberapa daerah lain seperti di Solo, Padang, Bukitinggi, dan Yogyakarta. Semangat nasionalisme dan isu kebangsaaan yang kerap dimuat dalam roman-roman tersebut menyebabkan beberapa penulis dan penerbitnya pernah dibreidel oleh Belanda. Di dalam terbitan karya-karya Roman Medan seperti inilah sebetulnya kita banyak menemukan penggunaan istilah Indonesia dilaung-laungkan pada masa-masa awal kebangkitan kebangsaan dan semangat nasionalisme mulai didengungkan secara terbuka dalam dunia penerbitan dan percetakan.
Di satu sisi, penelusuran terhadap karya-karya Roman Medan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Erlis dan kawa-kawan di atas merupakan salah satu usaha untuk melengkapi penulisan sejarah sastra Indonesia. Yang pada akhirnya nanti penulisan sejarah sastra tersebut diharapkan akan menyumbangkan pemikiran yang berharga untuk mengetahui sejarah dan perkembangan pemikiran bangsa Indonesia melalui penelitian yang intensif terhadap Roman Medan sehingga akan dapat diketahui ideologi kebangsaan pada masa itu. Sebagaimana kita mengenal beberapa karya sastra lain seperti Student Hidjo karya Mas Marco Martodikromo yang jauh lebih awal juga telah menyinggung masalah nasionalisme ini.
Situasi Setelah Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 kkhususnya Bab XV, pasal 32 dan 36. Kemudian dikukuhkan dalam undang-undang kebahasaan tahun 2010. Bahasa dan sastra Indonesia semakin mantap dikukuhkan sebagai alat pemersatu dan pengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa juga semakin kuat tercermin melalui kemunculan karya sastra Indonesia modern yang berkembang dengan pesat setelah kemerdekaan.
Bahasa yang dapat dipelajari melalui karya sastra sebagaiman telah disebutkan di atas sarat dengan kandungan pemikiran dan ideologi. Kedua unsur inilah yang kemudian dianggap sebagai jatidiri suatu bangsa. Dalam hubungan antarbangsa, identitas menjadi penting karena menyangkut keberlanjutan eksistensi sebuah bangsa lebih-lebih dalam konteks global. Kepentingan identitas menjadi utama kalau kita ingin menunjukkan diri sebagai bangsa dalam gempuran budaya global.
Karya Sastra dapat menjadi dinding identitas itu selama sang pengarang memiliki keterpanggilan untuk berbuat sesuatu yang besar bagi bangsanya. Sutardji Calzoum Bachri, dalam sebuah kesempatan di tahun 2006, menyatakan bahwa dengan karyanya seorang pengarang menorehkan identitas dirinya. Ketika seorang pengarang menorehkan identitasa dirinya, ia juga telah menorehkan identitas bangsanya. Jadi, sastra memberikan ruang yang di dalamnya kebangsaan dapat kita temukan. Sebagaimana alam Melayu (Malay World) di wilayah serantau ini mengenalkan Hamzah Fansuri sebagai penyair dari zaman kegemilangan tamaddun Melayu masa lampau atau William Shakespeare sebagai sastrawan Inggris dari zaman Victoria yang dikenal di seluruh dunia.
Karya sastra seperti puisi misalnya mengandung lirik-lirik yang personal dan indah, yang menyuarakan kesepian, kesendirian, dan keterasingan manusia. Sebagaimana terbaca dalam sajak-sajak, Chairil Anwar, Abdul Hadi WM, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan lain-lain. Pada sajak Sutardji Calzoum Bachri misalnya, mencuat nada nihilistik dan renungan-renungan surealis. Pada sajak-sajak Danarto, Kuntowijoyo, dan Sutardji Calzoum Bachri cenderung muncul unsur mistikal dan sufistik. Juga dalam beberapa beberapa puisi, Taufiq Ismail, Emha Ainunnadjib, D. Zawawi Imron dan lain-lain. Melalui karyanya mereka menawarkan sumber-sumber kearifan lokal – yaitu tasawuf dan mistisisme – sebagai kerangka dasar keindahan puitikanya, (Abdul Hadi WM, 2010: 13-14).
Karya-karya sastra seperti prosa yang mengeksplorasi budaya lokal juga akan terbaca pada novel Umar Kayyam, Chairul Harun, Y. B, Mangunwijaya, dan lain-lain. Melalui karya sastra pula kita dapat menemukan konteks sosial dan zaman yang terepresentasi dalam sajak-sajak milik WS. Rendra, Taufiq Ismail, Emha Ainunnadjib, Hamid Jabbar, dan lain-lain. Demikian pula jika kita membaca kembali tetralogi karya Pramoedya Anantatoer yang terkenal itu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jalan Lurus, dan Rumah Kaca, maka akan kita temukan isu-isu yang dimuat di dalamnya tidak terbatas pada persoalan suatu bangsa (Indonesia masa penjajahan) saja. Meskipun keempat novel itu banyak berbicara tentang manusia Jawa tetapi menurut Sudibyo (2007:18) Jawa justru menjadi unsur yang diberontaki oleh penulis. Terutama mentalitas Jawa yang terbelakang, tidak kritis, hipokrit, pasrah, dan terlalu loyal pada atasan. Tokoh protagonist Minke dalam novel tersebut berupaya keras mengingkari kejawaaannya dan berupaya bertransformasi menjadi manusia kosmopolitan, anak semua bangsa yang menyusu tidak hanya dari peradaban Eropa melainkan juga peradaban unggul dari Asia. Keempat novel ini yang mengambil latar waktu pada pergantian abad ke 19-20 sangat terinspirasi pada perubahan zaman terutama pada kebangkitan Jepang yang sangat cepat pasca restorasi Meiji dan organisasi bawah tanah Cina perantauan yang berusaha mengembalikan misi suci membangun imperium Cina yang bermartabat. Dua novel Pramudya yang terakhir yakni Jalan Lurus dan Rumah Kaca sangat berkosentrasi pada pembenihan dan persemaian kebangkitan bangsa Hindia-Belanda (baca Indonesia) pada pergantian abad tersebut.
Jauh sebelum kemunculan sastran modern di atas, bahasa dan sastra Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu telah memperlihatkan fungsinya sebagai jatidiri bangsa di Nusantara. Historiografi tradisional yang terdapat dalam khasanah sastra tulis maupun tradisi lisan masyarakat di Nusantara memuat kearifan tersendiri. Hasil karya nenek moyang kita tersebut dimuat dalam klasifikasi tersendiri seperti, tambo, babad, riwayat, hikayat, riwayakna, salasilah, serat sarasilah, pustakaraja, ruwayat dan lain sebagainya memuat pemahaman asal-usul suatu komunitas, tempat, atau tokoh dari sebuah negeri di Nusantara. Misalnya, Hikayat Raja-Raja Pasai yang menurut Winstedt dalam (Sweeney, 1967:94) merupakan “sejarah” dalam kesusastraan Melayu yang paling tua. Selain Hikayat Raja-Raja Pasai (1960) juga terdapat Salasilah Kutai (1981) dari Kalimantan, Tambo Minangkabau (1991), dan sejarah raja-raja di Jawa dalam Babad Tanah Jawi, Babad Demak, Pustakaraja Purwa, Sajarah Ageng,Nusa Jawi, Serat Purwakanda, Serat Sarasilah Raja-Raja Jawa (Djamaris, 1991:13), I Laga Ligo (1991) dari Sulawesi Selatan, dan lain sebagainya.
Keadaan Kebahasaan saat ini
Kekayaan sastra yang telah digambarkan di atas hendaknya juga sejalan dengan fungsi kekayaan bahasa daerah di Indonesia yakni sejogyanya menjadi penyumbang bagi pengembangan bahasa Indonesia ke depan. Untuk itu, perlu sekali kita mengingat kembali kondisi kebahasaan kita saat ini yang menurut Yayah Lumintaintang (1999:137) adalah bahasa yang bilingual/multilingual, baik secara individual maupun secara komunal. Hal ini disebabkan penutur bahasa di Indonesia selain menggunakan bahasa Indonesia kita juga memiliki kekayaan bahasa daerah yang saat ini menurut data Linguists List per 1 April 2008 terdapat sebanyak 746 bahasa daerah termasuk bahasa Cina di wilayah Indonesia (Ganjar, 2010: 34).
Di sinilah politik bahasa yang tepat perlu diterapkan sehingga bahasa daerah tidak menjadi terancam perannya dan bahasa ibu tetap dapat hidup dan berkembang dengan baik ketika kebijakan bahasa Indonesia menjadi pilihan politis yang juga harus dijalankan. Kita tentu tidak menginginkan situasi kebahasaan yang rumit seperti di India terjadi juga di negera kita. India yang juga memiliki ratusan bahasa daerah terpaksa menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa Nasional kedua ketika bahasa Nasional resmi yakni Hindi tidak mampu menjadi jembatan bagi alat komunikasi yang menyatukan bangsa India yang multi etnik tersebut. Belum lagi persoalan penyerapan kata asing ke dalam bahasa Indoensia seperti yang disampaikan oleh Remy Sylado (2005) bahwa 9 dari 10 kosakata Bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Hal ini tentu agak mennyedihkan jika mengingat betapa kayanya bahasa daerah yang dapat kita kita manfaatkan untuk menambah kosakata bahasa Indonesia tersebut. Tetapi sayang hal ini belum terlaksana dengan baik.
Di sinilah peran dan tantangan yang harus kita ambil sebagai penelitikebahasaan dan kesastraan Indonesia dan daerah bhaik yang berada di lembaga bahasa seperti Badan Bahasa dan kantor Balai Bahasa maupun perguran tinggi seperti Universitas Negeri Gorontalo untuk berperan mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia ke depannya.
Daftar Pustaka
Abdul Hadi WM. 2010. “Sastra, Teori, dan Matinya Ideologi”. Makalah Seminar Majlis Sastra
Asia Tenggara Sastra dan Ideologi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.
Ahmad Adam. 2003. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan. Jakarta: Hastra Mitra.
A.H., Hill. 1960. Hikayat Raja-Raja Pasai ed. JMBBRAS 33 (2):1-214.
Alcoff, Linda Martin. 2000. “Who’s Afraid of Identity Politics” dalam Reclaiming Identity.
Paula M.L. Moya dan Michael R. Hames- Garcia (eds.). Berkeley: University of California.
Djamaris, Edwar. 1981. Naskah Undang-Undang dalam Sastera Lama Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ganjar HWIA.2010. “Perencanaan Bahasa Indonesia dan Rancangan Undang-Undang
Kebahasaan: Tuntutan Komunikasi dan Implikasinya” dalam Geliat Bahasa Selaras
Zaman. Tokyo University of Foreign Studies.
Lumintaintang, Yayah B. Mugnisjah. 1999. “Menuju Bahasa Indonesia Bilingual dan Diglosik
Yang Stabil” dalam Telah bahasa dan Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengem
bangan Bahasa
Mujiningsih, Erlis. 2005. “Ideologi Kebangsaan dalam Roman Medan: Menguak Kembali
Sejarah Sastra Indonesia”. Penelitian Subbid Pengkajian Sastra. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Sudibyo. 2007. “Di Luar Kuasa Negara Kuartet Buku Karya Pramoedya Anantatoer Sebagai
Warga Sastra Dunia”. Makalah Seminar Sastra dan Negara. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sunarti, Sastri. 2011. “Kelisanan dan keberaksaraan dalam Surat Kabar dan Majalah Terbitan
Awal di Minangkabau (1859-1940-an)”. Disertasi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Sweeney, Amin. 1967. “The Connection Between The Hikayat Raja2 Pasai And The
Sejarah Melayu”. dalam Journal of The Malaysian Branch Royal Asiatic Society
Hlm. 94.
Sylado, Remy. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa: Alif Danya Munsyi. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Zawiah Yahya. 1994. “Budaya Tempatan Sebagai Sistem Perlambang Untuk Menginterpretasi
Sastra Kolonialis”. Dalam Pengantar Kesusasteraan Bandingan. Editor Syed Jaafar Husin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Sastri Sunarti
...