Cerita Silat Wiro Sableng Karya Bastian Tito: “Sablengnya” Seorang Pendekar Penumpas Kejahatan

CERITA SILAT WIRO SABLENG KARYA BASTIAN TITO:

“SABLENGNYA” SEORANG PENDEKAR PENUMPAS KEJAHATAN

  1. PENDAHULUAN

           Tahun 2018 film Wiro Sableng kembali muncul dan mendapat sambutan yang meriah, terbukti dengan banyaknya penonton  yang konon tembus 1 juta penonton (https://m.liputan 6 .com/tag/wiro-sableng/. Transformasi dari cerita silat (cersil) Wiro Sableng ke  bentuk film atau bentuk lain (sinetron) sudah  sejak 1980-an dan 1990-an, sedangkan sinetronnya tahun 2000-an.

            Cerita silat (cersil) memiliki ciri khas, yaitu mengusung kisah kepah­la­wanan (heroisme), dan mengusung tema klasik, yakni kejahatan yang akhirnya dapat dikalahkan oleh kebenaran. Konflik dalam cerita silat selalu diselesaikan dengan ke­te­ram­pilan silat  tingkat yang paling tinggi (sakti) sesuai dengan doktrin silat "di atas langit masih ada langit". Jadi di dunia persilatan jika ada orang yang mengaku pandai/sakti,  belum tentu benar sebelum dibuktika dengan pertarungan karena masih ada orang yang lebih pandai/sakti lagi.

Wiro Sableng  merupakan cersil yang ditulis oleh Bastian Tito sekitar  tahun 1980-1990-an. Cersil Wiro Sableng ini jumlahnya sangat banyak, ratusan buku (180-an lebih),  penerbitnya tidak tertera dengan jelas dan tidak ada tahun terbitnya, tetapi  di sampul cersil Wiro Sableng itu disebutkan, bahwa karya itu sudah terdaftar di Departemen Kehakiman RI, Direktorat Jenderal Hak Cipta.

Mencermati judul cersil Bastian Tito umumnya pengarang memberi judul berkaitan dengan dunia hantu/makhluk halus yang memberi kesan “menyeramkan”  misalnya 1) Gondoruwo Patah Hati, 2) Rahasia Kincir Hantu, 3) Hantu Santet Laknat, 4) Guci Setan, 5) Serikat Candu Iblis, 6) Wasiat Iblis, 7) Jagal iblis makam setan, 8) Dadu Setan, 9) Bola-Bola Iblis, 10) Tiga Setan  darah Cambuk. Ada juga yang berkaitan dengan alam lain dan dunia supernatural seperti 1) Utusan dari Akhirat, 2) Lembah Akhirat, 3) Kutunggu di Pintu Neraka, 4) Pembalasan Ratu Laut Selatan, 5) Keris Tumbal Wilayuda,  6) Pembalasan Ratu Laut Utara, 7) Rahasia Patung Menangis, 8) Mayat Persembahan, 9) Sesajen Atap langit, 10) Jaka Pesolek Penangkap Petir, 11) Meraga Sukma. Di samping itu ada juga yang berlatar sejarah (kerajaan), seperti 1)  Maut Bernyanyi di Pajajaran 2) Kemelut di Majapahit.

Masalah yang muncul dalam cersil Wiro Sableng, misalnya balas dendam karena orang tuanya dianiaya/dibunuh manusia  jahat (Empat Berewok Dari Goa Sanggreng), memperebutkan senjata sakti dan menolong teman baik  (Kutukan sang Badik), kekacauan akibat adudomba dan memperebutkan kitab sakti  (Lembah Akhirat).  

             Tulisan ini awalnya merupakan bagian penelitian penulis bersama teman-teman (seri mazhab) yang berjudul “Menelusuri Jejak Cerita Silat dalam Sastra Indonesia “  tahun 2013. Pada kesempatan ini tulisan akan terfokus pada tokoh-tokoh (khususnya tokoh utama sang Pendekar 212 sebagai penumpas kejahatan) dan unsur-unsur pendukungnya, seperti latar, benda pendukung keberhasilan sang pendekar (Kapak Naga Geni 212).  Penulis juga akan mengaitkan  dengan  “kesablengan” yang menjadi ciri khas sang Pendekar.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode ini dipilih sebab yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis cerita silat Wiro Sableng. Mengacu pendapat Ratna (2007: 53), metode deskriftif analisis digunakan dengan cara-cara mendeskripsikan fakta-fakta, kemudian disusul dengan analisis atau tidak semata-mata menguraikan, juga memberikan pemahaman dan penjelasan. Sementara itu, teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Penulis mengumpulkan data dari berbagai pustaka yang ada, terutama yang berbentuk terbitan.              Pendekatan  yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan objektif. Ratna (2007: 73) mengatakan bahwa pendekatan objektif memusatkan perhatian pada unsur-unsur karya itu sendiri.  Di samping itu, penulis berlandaskan pada pendapat Seno Gumira Adjidarma  (21 November 2013 dalam forum konsultasi Tim penulis mazhab Badan Bahasa) mengatakan, bahwa inti dari cerita silat paling tidak mengandung tiga unsur, yaitu sejarah (latar sejarah), kekuatan supernatural, dan  silat (jurus silat, pertarungan)[1]. Namun, dalam kesempatan ini penulis hanya membahas dua unsur yakni kekuatan supernatural dan unsur pertarungan

PEMBAHASAN

            Seperti sudah disebutkan terdahulu, bahwa cerita silat karya Bastian Tito sangat banyak jumlahnya. Untuk itu, tidak semua cersil tersebut dibahas,  dalam kesempatan ini hanya akan difokuskan pada cersil yang saling berkaitan antara cerita yang satu dan lainnya seperti Asmara Darah Tua Gila, Tua Gila dari Andalas, Meraga Sukma, dan Kutukan sang Badik.

3.1 Kekuatan Supernatural dalam Wiro Sableng

Pengarang menampilkan sosok Wiro Sableng secara fisik  sebagai seorang pemuda gagah dan tampan dan memiliki watak pemberani, suka jahil, kadang-kadang bersikap konyol (sableng). Jika menghadapi sesuatu masalah  selalu menggaruk-garuk kepalanya,  di dadanya tertera angka 212 yang penuh makna dan filsafat hidup. Di dunia persilatan Wiro Sableng  sangat diperhitungkan karena memiliki ilmu silat tinggi. Sang Pendekar selalu berguru ke berbagai orang yang ‘mumpuni’ untuk menambah ketinggian ilmu silatnya. Dalam hiruk-pikuk dunia persilatan sang Pendekar memiliki jurus andalan yang bisa menghancurkan musuh.

            Menengok masa kecilnya, nama pemuda itu adalah Wira Saksana, tetapi setelah terjun ke dalam dunia persilatan dia diberi nama oleh gurunya Wiro Sableng dan nama itulah yang dikenal orang. Tampaknya nama tersebut sejiwa dengan perilakunya. Artinya nama Wiro Sableng mencerminkan perilakunya. Jika dirunut dari sudut etimologi bahasa, kata /saksana/ memiliki arti dapat dipercaya, sedangkan  kata /sableng/ memiliki arti agak gila atau kurang waras (KBBI : 974), sedangkan kata /wiro bisa saja dari wira/ memiliki arti  pahlawan, laki-laki; berani atau bersifat bersifat jantan ( KBBI : 1273).  Perubahan nama dari Wira Saksana ke Wiro Sableng  merupakan perintah gurunya, Sinto Gendeng, yang saat itu akan  berpisah. Wiro disuruh turun gunung karena sudah 17 tahun digembleng oleh sang guru, tujuannya yaitu untuk mencari dan balas dendam kepada kakak seperguruannya (Suranyali/Mahesa Birawa) yang berbuat onar di dunia persilatan. Selain itu,  hubungan batin antara guru dan murid tampaknya tidak  bisa dipisahkan, sama-sama “nyleneh”. Bagi sang guru, Wiro Sableng dapat dipercaya dan merupakan harapan untuk melanjutkan perjuangannya menumpas kejahatan. Berkaitan dengan nama samaran, di dunia persilatan nama samaran atau nama beken hampir semua tokoh memilikinya.

Dalam cersil Wiro Sableng pengarang selalu menampilkan kekuatan supernatural yang hidup di seputar tokoh-tokohnya. Kekuatan supernatural sangat kental pada saat pertarungan dan pada saat berguru untuk mencari kesaktian baru yang dianggap paling tinggi. 

Supernatural adalah ajaib (tidak dapat diterangkan dengan akal sehat); gaib; adikodrati (KBBI, 2001:1107). Di sisi lain, yang dimaksud dengan gaib adalah sesuatu yang tidak tampak oleh mata. Secara umum untuk menyimpulkan suatu materi yang dianggap gaib adalah dengan indera mata dan biasa disebut sebagai alat penglihatan. Jika sesuatu itu, tidak tampak oleh penglihatan maka sesuatu itu akan dikatakan gaib (Widotono, 2005: 2).

 

                  Dalam dunia persilatan, sosok Pendekar 212 Wiro Sableng tidak saja bergaul dengan manusia biasa,  dia juga bergaul dengan manusia-manusia ajaib dari dunia yang aneh-aneh (makhluk halus). Dalam cersil Asmara Darah Tua Gila dan Tua Gila dari Andalas, misalnya Wiro Sableng berteman baik dengan Ratu Duyung (manusia setengah ikan yang terkena kutukan. Wiro Sableng menolong Ratu Duyung  sehingga Ratu Duyung dan anak buahnya terbebas dari kutukan itu).

Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya (Tua Gila Dari Andalas) dengan maksud menolong Ratu Duyung lepas dari kutukan yang telah menyengsarakan diri dan anak buahnya selamana bertahun-tahun maka dari Pangandaran Pendekar 212 Wiro Sableng ikut bersama Ratu bermata biru itu ke tempat kediamannya di kawasan laut selatan.

Di sebuah tempat yang disebut Puri Pelebur kutuk ketika Wiro dan ratu Duyung saling          berpelukan mendadak menyeruak bau kembang kenanga yang amat santar. Bersamaan dengan itu Ratu Duyung yang memandang ke arah pintu melihat kemunculan seorang perempuan muda cantik berwajah pucat mengenakan kebaya panjang dan kain berwarna putih. Wiro sendiri sama sekali tidak melihat dan tidak mengetahui siapa adanya orang itu. Jelas yang datang ini adalah satu mahkluk dari alam gaib yang memperlihatkan diri sebagai seorang gadis cantik yang sama sekali tidak dikenal oleh Ratu Duyung sebaliknya tidak terlihat oleh mata Pendekar 212 (Bastian Tito, TT: 21).  

 

       Dari kutipan itu memperlihatkan, bahwa unsur supernatural yang dimaksudkan adalah selain berteman dengan manusia setengah ikan, ada juga sosok wanita cantik dari alam gaib yang tidak bisa terlihat oleh mata’biasa’. Di pihak lain, Ratu Duyung yang sosoknya setengah manusia melihat perempuan dari alam gaib itu dengan jelas. Di satu sisi ada kejelasan, di sisi lain ada kegaiban. Hal itu terjadi karena sang Pendekar adalah manusia biasa yang bahan bakunya berbeda dengan bahan baku makhluk gaib. Jika sang Pendekar ingin melihat dan berhubungan dengan makhluk gaib ada “sesuatu” hal yang perlu disiapkan supaya komunikasi bisa nyambung.

Selagi Ratu Duyung memberi tahu apa yang dilihatnya lalu berteriak memperingatkan Wiro karena gadis bermuka pucat itu mendekatinya, dalam kamar berkiblat sinar biru pukulan yang dilepaskan Ratu Duyung ke arah pintu di mana sosok gadis aneh itu berada.  Sebaliknya dari arah pintu Wiro sempat melihat melesatnya sebuah benda kuning kehijauan. Lalu satu letusan dahsyat memporak-porandakan ruangan.

 Di atas tempat tidur Ratu Duyung tersandar ke dinding. Mukanya sepucat kain kafan dan dari sela bibirnya ada darah kental mengucur pertanda telah terjadi suatu bentrokan tenaga dalam sangat hebat. Seperti diketahui Ratu Duyung memili kesaktian tinggi. Jika dirinya menderita luka dalam begitu parah berarti lawannya memiliki tingkat kesaktian yang sulit dijajagi (Bastian Tito, TT : 22).

 

Kutipan tersebut menunjukkan, walaupun Ratu Duyung memiliki tingkat kesaktian yang tinggi, ternyata dia masih dapat dikalahkan oleh sosok perempuan dari alam gaib, jadi doktrin silat di atas langit ada langit memenuhi formula cerita silat, yang tentunya berkaitan dengan perilaku seorang tokoh.  Selain itu, latar tempat Pangandaran dan Laut Selatan mendukung suasana sakral dan supranatural.

Pengarang juga memunculkan piranti lain yang memiliki kekuatan supernatural, yakni saat Ratu Duyung menggunakan cermin sakti untuk mengetahui keberadaan Wiro Sableng  yang dilarikan oleh sosok perempuan dari dunia gaib. Keunikan cermin  sakti itu bisa melihat seseorang yang dikehendaki oleh pemiliknya. Si pemilik tinggal memandang cermin tanpa berkedip, kemudian membayangkan paras sang pendekar. Jika dihubungkan dengan zaman  ini, bisa jadi mirip dengan cctv, walaupun tidak sama persis.  

           Dari bawah bantal Ratu Duyung mengeluarkan cermin sakti berbentuk bulat. Dia menatap tak berkesip ke dalam cermin itu sambil membayangkan paras Pendekar 212 Wiro Sableng. Mula-mula dia melihat biru. Lalu deretan pulau-pulau. Ada sinar terang di sebelah kanan cermin kemudian gelap dan perlahan-lahan muncul satu daratan. Lalu samar-samar tampak puncak  sebuah gunung. Menyusul bayangan seperti sungai lalu muncul kilatan-kilatan aneh. Bersamaan dengan itu satu hawa dingin merambas masuk ke dalam tubuh sang Ratu lewat jari-jari tangannya yang memegang cermin.

           Pada puncak rasa dingin yang membuat dia tidak tahan Ratu Duyung terpekik. Cermin bulat dilemparkannya ke atas tempat tidur. Dia cepat kerahkan tenaga dalam, mengatur jalan nafas dan peredaran darahnya.

           Sebenarnya Ratu Duyung memiliki kesaktian yang disebut “menembus pandang”. Seperti telah dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Wasiat Sang Ratu ilmu kepandaian itu telah diberikannya kepada Pendekar 212 Wiro Sableng dengan akibat dia sendiri kehilangan kemampuan untuk mempergunakan ilmu itu selama 777 hari. Karenanya dia terpaksa memakai cermin bulat sakti untuk menjajagi di mana kira-kira beradanya Pendekar 212. Ternyata ada satu kekuatan aneh yang tidak sanggup ditembus Ratu Duyung yang melindungi diri Pendekar 212 (Bastian Tito, hlm. 48, 49).

 

   Dari kutipan tersebut, ternyata cermin sakti Ratu Duyung tidak bisa berfungsi dengan baik sesuai dengan kehendak sang pemilik karena ada kesaktian yang lebih tinggi yang menghalangi objek yang dikehendaki  oleh Ratu Duyung.

Wiro Sableng juga berteman baik dengan Bunga (seorang gadis dari alam gaib). Saat akan menolong Ratu Duyung, Wiro Sableng “dilarikan” oleh Bunga. Rupanya gadis dari alam lain itu cemburu karena untuk melepaskan kutukan, sang Pendekar harus tidur bersama Ratu Duyung. Padahal, sang Pendekar baru saja masuk ke sebuah ruangan sambil  berpelukan dengan Ratu Duyung, gadis dari alam gaib yang mengikutinya itu sudah melancarkan serangan. Sebagai seorang pemuda tampan dan sakti Wiro Sableng banyak dicintai oleh gadis-gadis cantik. Gadis cantik itu ada bangsa manusia, ada juga bangsa makhluk halus dan gadis-gadis itu  membantu Wiro Sableng pada saat-saat genting.

Dalam cersil Meraga Sukma pengarang juga menampilkan unsur supernatural sangat kental, misalnya saat Wiro berguru kepada Nyi Roro Manggut untuk mendapatkan  ilmu Meraga Sukma.  Berkat bantuan Ratu Duyung dan Kakek Segala Tahu, akhirnya Wiro bisa bertemu dengan Nyi Roro Manggut. Perjalanan sang Pendekar 212 menuju kediaman Nyi Roro Manggut  yang  berada di dasar Samudera Laut Selatan di wilayah kekuasaan Nyi Roro Agung memerlukan ilmu silat yang sangat tinggi.  Secara logika, jika manusia biasa tanpa peralatan (teknologi) yang canggih tentunya tidak akan sanggup menyelam ke dasar samudera, apalagi dalam waktu lama.  

    Pengarang menggambarkan  latar, yakni dunia di dasar samudera dengan pandai sehingga pembaca “merasakan” dunia di dasar samudera itu seperti dunia manusia biasa. Dunia dasar samudera yang digambarkan itu penuh dengan keajaiban yang  “menakjubkan”. Artinya dunia samudera yang disampaikan pengarang kepada pembaca itu seperti  benar-benar adanya. Tampak pengarang sangat menguasai  objek yang  digambarkannya itu.  Misalnya, saat Wiro mulai turun ke dalam laut, dia belum bisa bicara kalau belum sampai ke wilayah kekuasaan Nyi Roro Agung. Jika sudah sampai di wilayah kekuasaan Nyi Roro Agung, baru Wiro Sableng bisa bicara. Keajaiban muncul saat Wiro melihat Tembok  Karang Abad, pembatas kediaman Nyi Roro Agung dengan dunia luar. Wilayah kekuasaan Nyi Roro Agung penuh dengan penjagaan yang sangat ketat. Dalam hal ini, pengarang menyinggung mitos atau kepercayaan masyarakat Indonesia, bahwa samudera  bagian selatan termasuk wilayah kekuasaan Nyi Ratu Kidul dan Nyi Roro Ratu Kidul telah berbaik hati memberi kesempatan kepada sang Pendekar untuk bertemu Nyi Roro Manggut. Dalam cersil Meraga Sukma pengarang menyebut  Nyi Roro Agung ( Bastian Tito, hlm. 83), tetapi dalam cersil Kutukan sang Badik pengarang dengan jelas menyebutkan nama Nyi Agung Roro Kidul (Bastian Tito, hlm. 48).

Untuk mendukung kesaktian sang Pendekar yang nantinya kesaktian itu digunakan untuk menumpas kejahatan, pengarang selalu mengangkat nasib sang Pendekar dengan suatu keberuntungan. Hal ini, misalnya seketat apa pun penjagaan di wilayah kerajaan Nyi Roro Agung , sang Pendekar diizinkan masuk  dan  yang lebih mencengangkan makhluk di sekitar wilayah itu adalah patung batu naga biru besar yang melingkar di atas pintu gerbang menggerakkan kepala dan ekornya, tiba-tiba meluncur ke bawah menyambut kedatangan sang Pendekar dengan cara menjilat-jilat kaki Wiro Sableng dan menelan senjata andalan sang Pendekar 212. Tidak lama kemudian, sang naga kembali mengeluarkan kapak itu kembali tersisip di pinggang Wiro Sableng. Ternyata sang Naga mengisi kesaktian tambahan pada tubuh Wiro Sableng dan pada senjata andalannya (ngecas kesaktian), kemudian  sang naga pun kembali ke tempatnya.

Dalam dunia supernatural waktu sebagai penanda alam juga memiliki peran penting, saat tenggelam matahari, saat bulan purnama, dan lain-lain. Dalam cersil Meraga Sukma misalnya, saat Wiro Sableng saat akan mulai mengadakan perjalanan ke dalam samudera. Ratu Duyung menunggu waktu yang tepat, yaitu saat matahari sudah tenggelam. Perhitungan waktu yang tepat gunanya agar maksud dan tujuan kita tercapai dengan baik.

Unsur supernatural lain yang  muncul, saat Wiro bertemu dengan Nyi Roro Manggut. Ternyata untuk mendapatkan ilmu tersebut Wiro harus menjalani ujian  terlebih dulu. Nyi Roro Manggut mengajukan syarat kepada Wiro, bahwa untuk mendapatklan ilmu Meraga Suka, sang Pendekar harus masuk ke sebuah kamar mencumbu Nyi Roro Manggut layaknya suami istri.  Wiro menolak syarat  pertama itu, bahkan dia lebih baik pulang dan tidak perlu mendapat ilmu Meraga Sukma daripada mencumbu Nyi Roro Manggut. Ketika memandang wajah dan sosok Nyi Roro Manggut  Wiro jadi terkesiap kaget.

 “Ah…” Dia sampai keluarkan desah tertahan. …

Ternyata Nyi  Roro Manggut adalah seorang nenek bertubuh cebol. Sepasang matanya juling, hidung pesek hampir sama rata dengan dua pipi berkulit keriput. Rambut putih panjang, menjela sampai ke bantalan yang didudukinya. Sesekali kepalanya diangguk-anggukkan seperti orang tersedak. Mungkin ini sebabnya dia bernama Nyi Roro Manggut alias Nyi Roro Angguk. …

“Kita akan masuk ke sebuah kamar. Di kamar itu kau harus mencumbui diriku layaknya seorang suami mencumbui istrinya.” …

  “Nyi Roro, aku memang sangat inginkan ilmu Meraga Sukma untuk menolong sahabatku Bunga. Tapi kalau aku harus mencumbuimu, aku…” Wiro gelengkan kepala. Maafkan aku Nyi Roro. Aku tak bisa melakukan hal itu…”

“Nyi Roro, aku telah mengganggu dirimu maafkan. Aku minta diri untuk meninggalkan tempat ini (Bastian Tito, TT: 106, 109).”

 

   Dari kutipan itu terungkap, bahwa  Wiro Sableng sangat terkejut sewaktu melihat fisik Nyi Roro Manggut, kemudian Wiro Sableng menolak saat Nyi Roro Manggut meminta dicumbui layaknya suami istri. Bahkan, Wiro pamit ingin meninggalkan tempat Nyi Roro Manggut. Apakah penolakan Wiro itu karena melihat fisik Nyi Roro Manggut yang sangat jelek. Dari ujian berikut, saat Nyi Roro mengubah dirinya menjadi cantik , pendirian sang Pendekar tetap teguh tidak tergoda. Wiro pun dinyatakan lulus ujian pertama.   

            “Kau tidak mau karena aku seorang nenek cebol dan jelek?” Tanya Nyi Roro Manggut.

              “Sekali pun kau seorang bidadari, aku tetap tidak mau melakukan hal itu.” Jawab Wiro pula.

                 “Sungguh?”

di situ ada sebuah tempat tidur rendah dilengkapi bantal-bantal lembut. Dan di atas tempat tidur itu tergolek sosok seorang gadis yang wajahnya luar biasa cantik. Kepalanya tidak manggut-manggutan lagi. Saat itu juga tercium bau wangi harum semerbak dan lapat-lapat terdengar suara alunan gamelan. …

              “Nyi  Roro, aku mengagumi kecantikan wajah dan kebagusan tubuhmu.  Tapi sayang, aku tetap tidak bisa menerima permintaanmu.” …

            “Aku sudah melupakan untuk mendapatkan ilmu meraga Sukma itu. Aku akan berusaha mencari cara lain untuk menyelamatkan Bunga.”

              Nyi Roro Manggut turun dari atas tempat tidur besar. Berdiri di hadapan Wiro dan pegang pundak kiri kanan si pemuda dengan kedua tangannya. Wiro merasa nafasnya seperti berhenti dan darahnya seperti tidak mengalir lagi.

               Nyi Roro Manggut tiba-tiba dekatkan mulutnya ke wajah sang pendekar. Wiro mengira dirinya hendak dicium. Ternyata Nyi Roro Manggut berbisik.

               “Kau lulus syarat pertama…”

               Wiro lepaskan nafas lega Bastian Tito ( Bastian Tito, TT: 110, 111, 113).

 

Pada ujian kedua, Wiro Sableng diuji secara fisik, dia harus duduk bersila pada batu merah menyala. Di depan mulut sebuah goa yang sengaja diciptakan oleh Nyi Roro Manggut. Wiro meminta pertolongan pada Tuhan, lalu memantapkan hatinya untuk melaksanakan perintah Nyi Roro Mangut. 

   Unsur supernatural dari  kutipan itu adalah dengan menjentikkan tangan Nyi Roro Manggut mengubah fisiknya, dari jelek menjadi cantik. Kedua Wiro Sableng sewaktu duduk di batu panas di dalam gua, semula dia membayangkan tubuhnya akan kepanasan, tapi sebaliknya dia malah sangat kedinginan. Saat itulah Wiro Sableng bisa menyaksikan sukmanya keluar dari tubuh fisiknya.

Secara nalar dalam fikiran manusia  biasa secara umum, mana mungkin seseorang hanya dengan menjentikkan tangannya tiga kali berturut-turut dia bisa mengubah wujudnya. Begitu pula saat Wiro Sableng duduk di batu panas merah membara, tetapi yang dirasakannya justru sebaliknya, yaitu kedinginan.

Membaca kisah ini  jadi teringat kisah Nabi Ibrahim yang dibakar oleh musuhnya, tetapi dia tidak merasa kepanasan,  malah kedinginan. Apakah dengan peristiwa itu, pengarang ingin menguatkan kisah tersebut. Yang jelas pesan moral yang ingin disampaikan pengarang, jika seseorang ingin menjadi pendekar penumpas kejahatan banyak ujian/ rintangan yang harus dilalui dan jika berhasil tujuan pun akan tercapai.

Selanjutnya dengan ujian yang berat, tokoh Wiro mampu menanggulangi segala rintangan sehingga dia akhirnya mendapat ilmu Meraga Sukma untuk menolong sahabatnya. Hal itu, tentunya dibuat pengarang untuk mendukung kekuatan atau kesaktian sang Pendekar sebagai “penumpas kejahatan”. Sebagai seorang tokoh “penumpas kejahatan ” Wiro Sableng juga bersikap religius. Sikap religius itu sengaja ditanamkan gurunya pada saat akan turun gunung. Perhatikan kutipan berikut.

Inget! Ilmu dan segala kesaktian apa yang telah aku berikan sama kau semuanya adalah masih sangat terlalu kecil, terlalu sedikit, sama sekali tidak ada artinya jika dibandingkan dengan ilmu kekuasaan Gusti Allah. Kau mengerti, Wiro?"
"Ya, Eyang...."
"Karena itu kau musti sadar, kudu ingat. Kalau ini hari kau sudah menjadi sakti mandraguna yang tak sembarang orang bisa menandingi kau, tapi hal utama
yang musti kau lakukan ialah menjauhkan diri dari segala sifat yang tidak baik! Kau jangan sekali-kali bersifat sombong, congkak dan tekebur! Pakai semua
ilmu yang kuberikan untuk menolong sesama manusia, untuk kebaikan. Kalau kau nyeleweng, kau akan dapat balasan sendiri di kemudian hari! Kau musti ingat
bahwa bukan kau saja yang sakti di dunia ini. Kau musti sadar bahwa diluar langit ada langit lagi. Kau sadar, Wiro?"
"Sadar, Eyang...."
"Ingat?"
"Ingat,Eyang...."
(Bastian Tito, hlm.   https://www.facebook.com/kakasensei.page/posts/518096361585715).

Kutipan itu mengungkapkan, bahwa sebelum Wiro Sableng turun gunung, Sinto Gendeng menasihati muridnya supaya kehebatan ilmunya itu untuk menolong orang lain yang lemah, kemudian Wiro walaupun memiliki ilmu silat tinggi jangan bersikap sombong, congkak, dan takabur.

Dalam cersil Meraga Sukma membuktikan kereligusan sang Pendekar, yakni saat sang Pendekar digoda oleh perempuan cantik jelmaan dari Nyi Roro Manggut. Sang Pendekar dapat kuat pada pendiriannya dan dia minta perlindungan Tuhan pada saat hatinya dalam keadaan bimbang.

Selanjutnya, Nyi Roro Mangut menjatuhkan mental sang Pendekar dengan menyatakan, bahwa saat menolong Ratu Duyung dari kutukan sang Pendekar meniduri Ratu Duyung, sang Pendekar membantah dengan mengatakan, bahwa  Nyi Roro Mangut mendapat informasi yang tidak benar dan keselamatan serta lepasnya kutukan Ratu Duyung merupakan kehendak Gusti Allah.  

“Kau salah menduga Nyi Roro. Mungkin juga mendengar cerita yang keliru. Aku tidak pernah meniduri Ratu duyung. Keselamatannya dari kutukan itu ialah atas kehendak dan kuasa Gusti Allah (Bastiana Tito, hlm. 112).

 

            Sebagai sebuah cersil,  Wiro Sableng memiliki alur cerita yang digunakan untuk mendukung image sosok penumpas kejahatan. Kehebatan Wiro Sableng sering menjadi  bahan pembicaraan antartokoh, misalnya dalam cersil Meraga Sukma (hlm.61) Loh Gatra membicarakan kehebatan sang Pendekar memindahkan hidung Jatilegowo ke keningnya.

            Munculnya hal-hal yang bersifat supernatural ini semakin memperkuat asumsi bahwa  kekuatan supernatural bagi seorang tokoh persilatan ini memenuhi formula yang menjadi prasyarat sebagai sebuah cersil.

Dalam cersil  Asmara Darah Tua Gila, sikap Wiro juga baik saat menolong Putri Duyung, membebaskan putri duyung dan anak buahnya dari kutukan. Wiro kehilangan kesaktiannya  selama 100 hari, kemudian dia tinggal di gua di bukit Jatinom. Selain baik pada teman seperjuangan, sang Pendekar juga baik pada musuh yang meminta tolong dalam cersil Kutukan sang Badik (hlm. 40-42) .

2) Makna  Senjata Andalan 212

            Sang Pendekar pun selalu menambah ilmu baru untuk membekali dirinya dan untuk bertarung dengan musuh, sang Pendekar dibekali senjata andalan oleh gurunya yaitu kapak maut  Naga Geni 212.

Ada beberapa pendapat kenapa kapaknya diberi angka 212 senjata andalan Wiro Sableng ini. Senjata kapak itu merupakan pemberian gurunya Sinto Gendeng. Gurunya berharap supaya sang Pendekar bijaksana menggunakan senjata andalannya itu. Selain itu, sang guru memberi pelajaran hidup kepada muridnya, bahwa segala sesuatu  berpasang-pasangan (ini berarti berkaitan dengan angka 2), sedangkan  segala sesuatu ada yang menciptakan dan yang menciptakan semua itu adalah Gusti Allah (ini terkait dengan angka 1). Menurut ajaran Sinto Gendeng angka dua dan satu selalu melekat dalam diri manusia.

 Perhatikan kutipan berikut.

"Segala apa yang ada di dunia ini selalu terdiri atas dua bagian, Wiro! Dua bagian yang berlainan satu sama lain tapi yang menjadi pasangan-pasangannya...."
Wiro Saksana kerenyitkan kening tak mengerti. "Misalnya Eyang?" tanyanya.
"Misalnya...., ada laki-laki ada perempuan. Bukankah itu dua bagian yang berlainan? Tapi merupakan pasangan?!

"Betul Eyang...."
"Misal lain.... ada langit.... ada bumi. Ada lautan ada daratan. Ada api ada air.... ada panas ada dingin. Ada hidup ada mati, ada miskin ada kaya. Ada buta ada melek. Ada lurus ada bengkok, ada panjang ada pendek, ada tinggi ada rendah, ada dalam ada cetek! Semuanya selalu begitu Wiro, Kemudian.... ada susah ada senang, ada tertawa ada menangis. Di atas semua itu ada satu yang tertinggi. Yang satu ini ialah penciptanya. Siapa yang ciptakan kau, Wiro....?"
"Tidak tahu Eyang...."
"Goblok!"
"Aku tahu Eyang...."
"Siapa?"
"Ibu sama bapakku."
"Siapa yang mencipatakan ibu sama bapak kau?"
"Nenek sama kakek...."
"Yang menciptakan nenek sama kakek....?"
"Nenek dari nenek dan kakek dari kakek...."
"Dan yang menciptakan nenek dari nenek serta kakek dari kakek....?"
"Ya nenek dari nenek dari nenek dan kakek...."
"Geblek!" bentak Sinto Gendeng. "Manusia tidak pernah bisa menciptakan manusia! Bapak kau kawin sama ibu kau dan ibu kau cuma melahirkan kau, lain tidak!!
Ibu kau dilahirkan sama nenek, kau begitu seterusnya goblok! Semua manusia ini, semua apa saja di dunia ini diciptakan oleh Yang Satu. Oleh Gusti Allah!
Hal-hal yang dua itupun juga diciptakan dengan kodrat iradatnya Gusti Allah. Gusti Allah ciptakan laki-laki juga Dia ciptakan perempuan. Gusti Allah bikin
langit, juga bikin bumi. Bikin orang-orang susah juga bikin orang-orang senang. Bikin manusia-manusia kaya juga bikin manusia-manusia miskin (http://padepokan212.blogspot.com/2013/02/dialog-sinto-gendeng-dengan-wiro.html

Kutipan itu merupakan cara Sinto Gendeng mengajari muridnya supaya mengerti bahwa dia merupakan ciptaan dari Gusti Allah Yang satu sebab tidak ada manusia yang bisa menciptakan manusia. Perhatikan kutipan selanjutnya yang merupakan ajaran dari guru kepada muridnya.

Sekarang aku mau tanya sama kau. Berapa kau punya mata?"
"Dua, Eyang."
"Hidung?"
"Satu Eyang."
"Lobang hidung?"
"Dua Eyang...."
"Mulut?"
"Satu...."
"Bibir?"
"Dua Eyang."
"Kepala?"
"Satu...."
"Tangan?"
"Dua...."
"Kaki....?"
"Juga dua Eyang...."
"Kau punya biji kemaluan....?"
"Dua Eyang," dan dalam hatinya Wiro memaki tapi geli.
"Kau punya batang kemaluan?"
"Satu Eyang...." Wiro geli lagi dan memaki lagi.
"Nah.... itu semua membuktikan di dunia ini kehidupan manusia adalah tak ubahnya seperti bilangan dua dan satu, satu dan dua, dua satu dua dan seterusnya.
Angka dua dan satu itu selalu ada melekat dalam diri manusia. Dan semuanya itu hanya diciptakan oleh Yang Maha Kuasa yakni Gusti Allah! Kehidupan dua dan satu ini, kehidupan dua satu dua ini, dan adanya dua satu dua ini tak bisa diingkari dan harus melekat dalam diri manusia! Manusia pasti akan merasakan senang susah, gembira sedih, kaya miskin, lapar kenyang, hidup mati, dan manusia juga musti percaya pada yang satu yakni Gusti Allah...."
"Tapi manusia yang picak, Eyang, matanya cuma satu, manusia yang buntung kakinya sebelah, berarti cuma punya satu kaki. Jadi dia tidak memiliki angka dua yang sempurna dalam dirinya...."
"Betul, meski begitu berarti dia cuma punya satu mata, punya satu kaki! Nah, bukankah ada juga melekat angka satu pada dirinya?! Aku sudah bilang sama kau bahwa dalam diri manusia musti ada angka dua dan satu itu! Apa kau masih kurang ngerti, goblok?!"
Wiro diam, kata-kata gurunya itu memang betul.
(http://padepokan212.blogspot.com/2013/02/dialog-sinto-gendeng-dengan-wiro.html)

  Menurut ajaran Sinto Gendeng angka satu dan dua itu melekat pada diri manusia, misalnya di dalam fisik manusia saja sudah menyiratkan hal itu, seperti ada  satu hidung dan dua lobang hidung. Sebagai murid Wiro banyak bertanya, tetapi diam-diam dia membenarkan pendapat gurunya.

Sekarang berdirilah kau!," perintah Eyang Sinto Gendeng.
Wiro Saksana berdiri. Eyang Sinto Gendeng menyeringai dan tertawa cekikikan. Tiba-tiba dari balik pakaian hitamnya dikeluarkannya kembali kapak saktinya.
Terkejut Wiro Saksana dan pemuda ini mundur beberapa langkah ke belakang. Sinto Gendeng menyeringai lagi, tertawa lagi hingga kedua matanya berair.
...
"Kenapa kau terkejut....?" tanya Eyang Sinto Gendeng. "Kau takut?!"
"Eyang mau bikin cilaka murid lagi?!" tanya Wiro Saksana bersiap-siap. Dan nenek itu tertawa lagi melengking-lengking. Dia mundur sampai tujuh tombak ke belakang.
"Pejamkan matamu, Wiro!" perintah Eyang Sinto Gendeng pula.
"Tapi.... Eyang mau bikin apa?!"
"Eeee.... kunyuk betul kau! Aku suruh pejamkan mata malah banyak tanya!! Pejamkan matamu!"
Wiro memejamkan matanya dengan ragu-ragu. Karena itu kedua mata itu dipejamkannya tidak rapat betul.
"Biar rapat!" hardik Sinto Gendeng. Dan Wiro terpaksa menutup matanya rapat-rapat.
"Buka bajumu!"
Wiro membuka bajunya dan meletakkannya di tanah. Kedua matanya tetap memejam.
"Buka tangan kananmu, naikkan ke atas dan hadapkan telapaknya kepadaku!", perintah Sinto Gendeng lagi. Wiro mengikuti perintah itu. Eyang Sinto Gendeng memegang mata kapak dengan tangan kanannya erat-erat. Salah satu jarinya kemudian menempelkan disatu bagian rahasia pada gading dekat kepala kapak yang terbuat dari besi putih itu.
"Apapun yang terjadi sekali-kali jangan buka kedua matamu dan sekali-kali jangan bergeser. Kecuali kalau kau mau mampus!"
"Eyang...."
"Diam! Gila betul!," bentak Sinto Gendeng. Wiro terpaksa membungkam. Perempuan tua itu menekan alat rahasia dekat kepala kapak. Maka dari mulut naga di hulu kapak melesat dengan suara menderu tiga puluh enam batang jarum putih. Ketiga puluh enam jarum itu mendarat dan menancap di dada kanan Wiro Saksana. Jarum-jarum ini menancap dengan teratur membentuk susunan angka 212. Pemuda itu menjerit keras. Tubuhnya rebah ke tanah! Sekali lagi Sinto Gendeng menekan alat rahasia dekat kepala kapak. Kini dua puluh empat batang jarum hitam meluncur dan menancap di telapak tangan sebelah kanan Wiro Saksana! Pemuda ini menjerit lagi karena tancapan jarum yang 36 tadi telah membuat dia tak sadarkan diri!
Sebelum Wiro Saksana siuman, Eyang Sinto Gendeng sudah mencabuti jarum-jarum putih di dada pemuda itu, juga jarum-jarum hitam di telapak tangan kanan Wiro. Dan ketika Wiro sadarkan diri maka dilihatnya di kulit dadanya terukir deretan angka-angka 212 berwarna hitam kebiruan. Angka-angka yang sama juga juga terdapat di telapak tangannya. Bedanya angka-angaka yang di telapak tangan ini agak kecil dan berwarna putih sehingga agak samar-samar kelihatannya.

"Berdiri Wiro!" perintah sang guru.
Wiro Saksana berdiri. Dia tak tahu apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh gurunya. Yang dia tahu tadi ialah suara yang menderu-deru, lalu dia menjerit,
lalu roboh dan.... tak ingat apa-apa lagi.
"Kau telah lihat angka 212 pada kulit dada dan telapak tangan kananmu?"
Wiro mengangguk.
"Berarti dalam dirimu sudah kulekatkan unsur-unsur keduniaan dan unsur ingat Tuhan. Agar kau tidak lupa bahwa kau hidup di dunia adalah untuk menolong sesama
manusia. Juga agar kau tidak lupa bahwa kau mempunyai Tuhan yang harus dituruti segala perintah dan dijauhkan segala laranganNya. Kau mengerti?"
"Mengerti Eyang. Tapi... mengapa badanku kini tiga kali lebih enteng dari sebelumnya? Bahkan tenaga juga terasa bertambah hebat!" Eyang Sinto Gendeng tertawa
mengikik.
"Itu adalah berkat jarum kapak Naga Geni 212" kata Sinto Gendeng pula. Lalu nenek-nenek ini menerangkan apa yang telah dilakukannya terhadap muridnya (http://padepokan212.blogspot.com/2013/02/dialog-sinto-gendeng-dengan-wiro.html)

 
Kutipan di atas menjelaskan saat Sinto Gendeng memasukkan ilmunya ke tubuh Wiro Sableng dan reaksi tubuh Wiro Sableng sampai pingsan, kemudian sang guru memberikan wejangan-wejangan apa yang harus dilakukan oleh muridnya.

 

Wiro merasa mendapat anugerah ilmu tambahan segera berlutut dihadapan gurunya "Tak usah pakai peradatan segala macam. Berdirilah! Masih banyak yang aku mau bicarakan sama kau," kata Sinto Gendeng pula. Wiro berdiri.
Sinto Gendeng mengeluarkan kapak dan batu hitam kembali. Diulurkannya benda-benda itu. "Wiro.... kapak ini kuberi nama Kapak Naga Geni 212. Sepuluh tahun lamanya kubutuhkan waktu untuk membuatnya dan telah dua puluh tahun lebih senjata ini berada di tanganku. Rupanya kau ada jodoh dengan senjata ini. Terimalah...."
Tertegun dan hampir tak percaya Wiro Saksana mendengar ucapan gurunya. Tak disangkanya bahwa dia bakal mendapat anugerah senjata yang sangat sakti itu.
Dia terdiam mematung seketika.
"Ayo Wiro! Kenapa kau jadi bimbang? Terimalah Kapak Naga Geni 212 ini untuk kau!"
Wiro Saksana mengulurkan kedua tangannya. Ketika senjata sakti itu menyentuh tangannya mendadak sontak mengalirlah arus aneh yang dingin ke dalam tubuh Wiro. Dan disaat itu pula dirasakannya tubuhnya naik sampai dua tingkat, padahal dia merasa tingkat tenaga dalam yang sudah dimilikinya sebelumnya sudah mencapai tingkat yang paling sempurna!
"Sisipkan di pinggangmu Wiro dan pakai kau punya baju kembali!"
Wiro melakukan apa yang dikatakan Eyang Sinto Gendeng. Kapak dan batu yang ada angka 212-nya itu disisipkan ke pinggangnya.
"Kapak Naga Geni 212 bukan senjata sembarangan, Wiro. Karenanya juga tak boleh kau pakai sembarangan. Pergunakanlah hanya pada saat-saat kau terdesak hebat atau dalam keadaan nyawamu terancam. Kau telah lihat juga macam kehebatan kapak itu tadi, tapi masih ada satu lagi kehebatannya yaitu bila kau tekan salah satu bagian di bawah mata kapak itu maka akan berhamburanlah jarum-jarum putih dari mulut naga-nagaan.... Untuk membuat angka 212 pada dada dan telapak tanganmu aku telah pergunakan jarum-jarum semacam itu tadi. Cuma jarum-jarum tadi telah kuisi dengan sejenis racun yang hebat sehingga tubuhmu akan kebal terhadap segala racun apapun juga! Tangan kananmu juga mempunyai racun yang tersembunyi, Wiro. Jangan sembarangan mempergunakannya karena bisa mematikan
lawan!"
Wiro Saksana hendak berlutut lagi, tapi segera dibentak oleh gurunya.
"Terima kasih Eyang.... terima kasih," kata pemuda itu.
Eyang Sinto Gendeng hanya keluarkan suara tertawa. Digaruk-garuknya kepalanya yang berambut jarang dan yang kini hanya ditancapi dua buah tusuk kundai.
Kemudian mulailah dia untuk ketiga kalinya menyanyikan lagu tadi: Pitulas taun wus katilar....( http://padepokan212.blogspot.com/2013/02/dialog-sinto-gendeng-dengan-wiro.html)

Kutipan di atas menjelaskan Wiro Sableng yang berlutut karena merasa bersyukur diberi anugerah ilmu dari gurunya, tetapi Sinto Gendeng marah. Selanjutnya Sinto Gendeng memberikan senjata andalannya Kapak Naga Geni 212 kepada Wiro dan memberikan berbagai wejangan.

3) Pertempuran/Pertarungan sang Pendekar

            Di dunia persilatan munculnya pertarungan atau pertempuran tidak dapat dihindari, pengarang mengemas pertarungan antara tokoh protagonis (sang Pendekar) dengan tokoh antagonisnya (musuh-musuh sang Pendekar) dengan sangat menarik sehingga pembaca ingin terus membaca kisah pertempuran itu sebelum mengetahui  nasib akhir sang Pendekar.

Dalam cersil Kutukan Sang Badik, Wiro Sableng bertarung dengan Iblis Kepala Batu Beralis Empat atau terkenal dengan nama Iblis Kepala Batu Pemasung Roh untuk menolong Bunga, gadis cantik dari alam gaib yang mencintai sang Pendekar. Bunga disekap dalam sebuah guci kecil karena Iblis itu ingin menjadikan Bunga sebagai gadis peliharaan.

            Pengarang menyajikan latar tempat Lembah Welirang di kawasan Bukit Menoreh tempat kediaman tokoh Iblis Kepala Batu Beralis Empat. Jika sang Pendekar dan Ratu Duyung tidak melihat kedatangan Hantu Penjunjung Roh (Luhniknik) kakak sang Iblis, mereka akan kesulitan menemukan jejak Iblis Kepala Batu Beralis Empat. Dengan kedatangan Hantu Penjunjung Roh akhirnya mereka pun bisa masuk ke kediaman sang musuh.

Rupanya kedatangan sang kakak untuk mengingatkan adiknya supaya adiknya melepaskan gadis dari alam roh yang disekap diguci. Selain itu, sang kakak mengingatkan, bahwa Wiro Sableng mendapat ilmu kesaktian baru dari dasar samudera laut selatan. Namun adiknya, tidak peduli dengan peringatan kakaknya itu (Bastian Tito, hlm. 19).

Tokoh aliran hitam itu mendesain tempat tinggalnya sedemikian rupa, penuh dengan jebakan dan senjata rahasia yang mematikan. Seandainya Wiro Sableng dan Ratu Duyung tidak berilmu silat tingggi dan hati-hati, mereka pasti sudah tewas.

 Wiro Sableng dan Ratu Duyung memakai ilmu kesaktian andalannya, yaitu ilmu Menembus Pandang untuk melihat dengan cermat segala sesuatu di sekitar tempat kejadian,  ilmu kesaktian Sepasang Pedang Dasar Samudera yang berupa sinar biru keluar dari sepasang mata Ratu Duyung untuk menghantam bagian atas lorong batu (Bastian Tito, hlm. 15).

Pengarang menggambarkan kehebatan dan kemajuan ilmu dalam dunia persilatan yang saling mengungguli sepanjang masa, seperti sudah disebutkan terdahulu, doktrin di atas langit ada langit, misalnya  dalam cersil (Kutukan sang Badik) dalam pertempuran Wiro Sableng melawan Iblis Kepala Batu Alis Empat. Sang Pendekar mencoba ilmu  Meraga Sukma yang baru didapatkannya dari Nyi Roro Manggut, sedangkan si musuh menggunakan Asap Penyiksa Roh, Iblis Tunggal Menjebol Tembok Roh, Dua Iblis Menjebol Tembok Roh . Untuk mengalahkan tokoh iblis yang sangat sakti itu, sang Pendekar menggunakan ilmu-ilmu silat lain sebagai pendukung keberhasilan untuk mengalahkan musuh, seperti Kilat Menyambar Puncak Gunung, Tangan dewa Menghantam Batu karang, Koppo (ilmu dari nenek Neko, Jepang), Menahan Darah Memindah Jasad.

Pada saat sang Pendekar bertarung melawan Adipati Salatiga (Jatilegowo), sang Pendekar selain menggunakan ilmu Meraga Sukma, juga menggunakan ilmu lain sebagai pendukung, misalnya Kitab Putih Wasiat Dewa, Tangan Dewa Menghantam Air Bah, Tangan dewa menghantam Batu, Kilat Menyambar Puncak Gunung. Di saat genting itu muncullah  Daeng Wattansopeng dari  Makassar, si pembuat Badik Sumpah Darah yang tidak menginginkan senjatanya itu digunakan untuk kejahatan (Bastian Tito, hlm. 125).  

Pengarang mengemas pertarungan tokoh persilatan dengan sangat menarik sehingga pembaca ingin terus membacanya, untuk mengetahui sang protagonis dapat mengalahkan sang antagonis. Untuk mengalahkan musuh diperlukan kecerdikan dalam memanfaatkan ilmu yang dimilikinya dan taktik perkelahian yang tinggi. Selain itu, untuk menghancurkan  musuh , seseorang harus mengetahui titik kelemahan musuh itu sendiri. Seperti sang Pendekar, saat belum mengetahui kelemahan musuhnya, Jatilegowo dalam  cersil (Kutukan sang Badik) musuhnya itu susah dikalahkan.  Jatilegowo mempunyai kelemahan di dalam tubuhnya, yaitu di bawah perut tepat di antara dua pangkal paha (Bastian Tito, hlm. 118 125).

Begitu pula saat bertarung melawan Iblis Kepala Batu Beralis Empat. Iblis itu mempunyai kelemahan di alis kiri sebelah kanan bawah ( Bastian Tito, 36,  37).

Pengarang juga mengungkapkan sisi lemah sang Pendekar. Dalam cersil Bendera Darah, Wiro Sableng melepas pukulan Sinar Matahari yang ditujukan pada sebuah pohon sehingga pohon itu hancur. Hal itu dilakukannya karena Wiro Sableng cemburu. Dia masih teringat Bidadari Angin Timur, gadis yang dicintainya bersama pemuda lain.  Perhatikan kutipan berikut.

“Kita bersahabat, mengapa kau tidak mau berterus terang padaku?” ucap Loh Gatra pula.

“Sahabatku, gadis itu telah pergi. Sekarang giliran kita melanjutkan perjalanan.” Wiro melompat naik ke punggung kuda. Loh Gatra goleng-goleng kepala lalu membedal kuda mengejar Wiro.    

Ketika Wiro melewati sebuah pohon besar mendadak terbayang kembali Bidadari Angin Timur yang duduk berdampingan dekat mata air sambil saling berpegangan tangan dengan Jatilandak. Juga terbayang saat ketika Jatilandak mendukung gadis itu dan Bidadari Angin Timur menangis dalam pelukan si pemuda. Tidak terasa ada hawa panas mendorong tenaga dalam hebat ke tangan kanan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tangan itu berubah menjadi seputih perak mulai dari siku sampai ke ujung jari. Loh Gatra terkesiap kaget. Belum sempat dia mengatakan sesuatu tiba-tiba diluar sadar Wiro hantamkan tangannya ke arah pohon. 

            “Bummmm!”

            “Kraaak!”

            Pohon besar terbongkar tumbang, hancur dan berubah jadi kobaran api.

                        “Wiro!” Kau melepas pukulan Sinar Matahari! Kau hancurkan pohon tanpa alas an!” Apa kau sudah gila?!”

Pendekar 212 tertawa bergelak. “Gila mungkin belum. Yang pasti aku memang sableng! Ha…ha…ha…ha!”

“Kalau cuma sableng rasanya semua orang sudah tahu. Yang aku khawatirkan kalau-kalau dirimu telah kesambat kemasukan roh gadis aneh tadi. Menghantam tak karuan, tertawa tak karuan …” kata Loh- gatra perlahan hingga tidak terdengar oleh Wiro yang berada di sebelah depan (Bastian Tito, tt: 50-51).

           

Dari kutipan itu dapat dicermati, bahwa kesablengan Pendekar 212 itu semua orang sudah tahu (sudah menjadi rahasia umum). Sebagai seorang sahabat, Loh Gatra menginginkan Wiro berterus terang mengenai perasaannya dan jangan bertindak sembarangan, melepaskan jurus maut sehingga pohon menjadi sasaran kemarahan hatinya. Jadi perilakunya (tindakannya) tidak terkontrol karena emosi.  Selain itu, kadang-kadang sikap sableng sang Pendekar pun memperkuat sisi lemah itu.  Bahkan, kadang-kadang kesablengannya itu bisa membayakan nyawanya. Jejak kesablengan sang Pendekar bisa ditelusuri dari ucapannya yang suka bercanda secara berlebihan atau perilakunya yang konyol, seperti dalam cersil Kutukan sang Badik saat dia menolong musuhnya hampir saja Wiro Sableng mati kalau tidak ditolong Ratu Duyung. Setelah selamat dari bahaya cekikan Hantu Penjunjung Roh, Wiro berkata bahwa dikiranya si nenek sebelum mati minta dicium. Perhatikan kutipan berikut.

Sukma Wiro usap-usap lehernya yang kelihatan merah bekas cekikan Hantu Penjunjung Roh. Sambil geleng-geleng kepala dan garuk-garuk rambut Sukma Wiro berkata.

            “Tadinya aku kira dia minta dicium sebelum mati. Tahu-tahu…”

            “Tahu-tahu hampir saja kau mencium anjing yang kau lepaskan dari jepitan!

Ratu Duyung tertawa lebar, mengusap rambut gondrong sang pendekar sambil berkata.

            “Dasar sableng! Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa berguarau!”

            “Aku  memang jelas sableng. Jadi harap kau jangan ikut-ikutan sableng!”

            Ratu Duyung menutup mulut menahan tawa (Bastian Tito, hlm. 42)

Kesablengan itu secara keseluruhan tidak mengganggu kehebatan sang Pendekar sebagai seorang penumpas kejahatan. Sebagai seorang  manusia biasa, sifat itu masih masuk dalam kategori yang wajar. Justru barangkali kesablengan itulah yang memperkuat identitas dan jati dirinya.

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan atas cersil Wiro Sableng dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Cersil Wiro Sableng sangat sarat dengan dunia/kekuatan dunia supernatural,  pertarungan,  Misalnya, dalam cersil Meraga Sukma
  2. Pertarungan yang terjadi dalam dunia persilatan karena sang Pendekar mau  balas dendam karena diri atau keluarga dianiaya/dibunuh manusia zalim (Empat Berewok Dari Goa Sanggreng), memperebutkan senjata sakti dan menolong temannya yang disekap oleh Iblis  ( Kutukan sang Badik)
  3. Senjata andalan sang Pendekar adalah Kapak Nagageni 212 yang penuh makna, yakni sesuatu di dunia ini  berpasang-pasangan (ini berarti berkaitan dengan angka 2), sedangkan  segala sesuatu ada yang menciptakan dan yang menciptakan adalah Gusti Allah (ini terkait dengan angka 1). Menurut ajaran Sinto Gendeng angka dua dan satu selalu melekat dalam diri manusia.
  4. Kesablengan (kegilaan) Wiro Sableng, yakni dalam keadaan genting dia masih suka bergurau dan bersikap konyol. Bahkan,  kadang-kadang kesablengannya itu membahayakan keselamatannya. Namun, kadang-kadang juga membawa keberuntungan.  Selain itu kesablengannya juga membuat pihak lawan penuh kejengkelan/kebencian, bahkan dendam kesumat.

 

 

 

 

 



[1] Konsultasi 21 November 2013 dengan Seno Gumira Adjidarma

 

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa