Alih Wahana dalam Sastra

Alih wahana , kalau boleh dikatakan, pada hakikatnya tidak mampu dipisahkan dari “alam raya” manusia selama ia hidup, apalagi dari hubungan-hubungan antarmedia sekitar. Saya sepakat dengan Sapardi Djoko Damono, yang pernah mengatakan bahwa wahana adalah medium yang dimanfaatkan  atau dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu. Wahana adalah alat  untuk membawa  atau memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain—“sesuatu” yang dapat berupa gagasan, amanat, perasaan, atau sekadar suasana.  Bukankah selama ini kita paham bahwa tiap-tiap media berdiri sendiri dan mampu dipisah-pisahkan dari lainnya? Meskipun, kenyataan media itu selalu hadir bersama-sama . 
 
Alih wahana adalah “sebuah kemungkinan”; ia bertransformasi terhadap dirinya sendiri. Ia menyelami berbagai perihal yang baru. Sampai suatu ketika, perihal tersebut terbuka segenap pintu-pintunya—oleh sebuah kajian: alih wahana. 
 
***
Kita ambil musikalisasi puisi sebagai salah satu bagian dari kerja alih wahana. Pemusikalan tersebut bukan “seperangkat pengertian”, melainkan peristiwa dunia proses kreatif. Semacam metamorfosis dari kehadiran tiap instrumen; musik dan puisi itu sendiri. Maka, untuk memahami musikalisasi puisi dapat dikatakan “mudah, tapi sulit”; semacam dibutuhkan usaha konkret dari “bunyi yang abstrak”.
 
Mudah kita memberikan bunyi konkret ke dalam puisi itu sendiri, semisal pemusik. Ia akan dengan mudah memasukkan instrumen menjadi pengiring puisi itu sendiri. Atau bukan pemusik sekalipun, asalkan saja ia mampu menghadirkan bunyi bagi puisi itu sendiri. Sementara kesulitan yang acap terjadi adalah kekeliruan dalam bertafsir. Selain faktor lainnya, seperti keterampilan dalam penguasaan instrumen, keselarasan, vokal, maupun penampilan.
 
Dalam puisi itu sendiri, ada beberapa unsur di dalamnya; seperti rima, irama, maupun tipografi. Dalam tradisi berpuisi atau bersajak juga terdapat aksentuasi (penekanan makna) dari bahasa puisi itu sendiri—yang disampaikan oleh si penyair, tentunya. Seperti kebutuhan akan tanda baca (pungtuasi). Untuk bunyi, wilayahnya pun tak sebatas alat musik; bahkan, bila perlu, dari “tubuh kita sendiri pun adalah kehadiran bunyi itu sendiri”—seperti bertepuk-tangan ataupun bunyi ketukan dari tangan pada kepala, misalnya.
 
Lantas, adakah contoh puisi dalam musikalisasi puisi itu? Atau hanya beberapa saja untuk kesungguhan puisi yang dapat dimusikalisasikan. Menurut saya tak hanya beberapa, karena sesungguhnya semua puisi berhakikat untuk dimusikalisasikan, tinggal bagaimana pemusikalisasi berstrategi dalam menafsirkan puisi itu sendiri ke dalam bentuk musikalisasi. Intinya, seyogianya, puisilah yang dimusikalisasikan dan bukan musik yang dipuisikan.
 
Musikalisasi memang bukanlah sesuatu yang baru. bunyi (instrumen musik) dan teks puisi sudah hadir sezak zaman lampau—kalau boleh dikatakan/ditambahkan—sejak zaman nabi, seperti teks wahyu yang “dimazmurkan”. Juga dalam dunia musik (khususnya klasik), musikalisasi puisi sudah menjadi perhatian bagi para komponis sejak dahulu. Sebut saja Franz Schubert (1797-1828), yang membuat komposisi musik vokal berdasarkan syair-syair gubahan pujangga-pujangga besar eropa di zaman itu. Atau Maurice Ravel (1875-1937), komponis yang membuat sebuah karya piano (berjudul Gaspard de la Nuit) berdasarkan puisi karya pujangga Prancis, Aloysius Bertrand (1807-1841).
 
Musik puisi pernah menghias jagat musik era 70-an di Indonesia, beberapa seniman mencoba untuk memusikalisasikan puisi antara lain, puisi Sanusi Pane, Chairil Anwar, Kirdjomulyo, dan Ramadhan K.H (sebagaimana kalangan pemerhati mengasumsikannya demikian). Karya sastra tersebut digubah menjadi lagu oleh komponis dan penulis lagu, salah satunya F.X. Sutopo. Syair pada lagu bercerita tentang persoalan hidup, tentang lingkungan hidup dan keindahan alam. Bimbo, bisa dikatakan sebagai penggebrak avant garde musik puisi di Indonesia. Mereka bekerja sama dengan penyair Taufiq Ismail “Dengan puisi aku bernyanyi”.
 
Sikap awal mereka—sepengamatan saya—itulah, seperti sejarah musik puisi yang mesti diingat dan dicatat.
 
Berbagai pementasan pun kerap mewarnai aktivitas para remaja, seperti musikalisasi puisi tingkat pelajar. Dari situlah mereka terbentuk untuk mengenal lebih jauh proses kreatif pemusikalan terhadap sebuah puisi. Mulai dari puisi daerah setempat sampai nasional diperkenalkan kepada mereka. Sikap antusias mereka; siswa dan guru, bahkan masyarakat (juga kalangan seniman, tentunya), cukup apresiatif menanggapinya. Tidak hanya kalangan pelajar, tetapi juga rumah-rumah komunitas sastra. 
 
Kembali dalam musikalisasi puisi, dalam masyarakat pencinta seni musik maupun penyair, sikap ”pro dan kontra” terhadap musikalisasi puisi itu sendiri juga masih dalam batas wajar. Sebab, sepengamatan saya, inti pokok masalah itu tidak lain bersifat mempertanyakan terhadap puisi itu sendiri yang sesungguhnya memiliki keutuhan bunyinya sendiri, seperti ”Mengapa, puisi mesti dimusikalkan?” Mengapa ada tambahan dari bunyi instrumen dalam musikalisasi puisi? Dan seterusnya”; sebuah artian bahwa instrumen musik dianggap mengganggu puisi itu sendiri. Bahkan ada peranggapan bahwa sikap memusikalisasi justru merusak puisi dari karya penyair itu sendiri pula. Saya berasumsi mereka tidaklah salah, dan hak mereka juga untuk menanggapinya demikian, bukan?
 
Terpenting, dalam musikalisasi puisi, bergantung pada usaha memampukan pemusikalan “menjadi” utuh. Keutuhan dimaksud adalah usaha semaksimal, sebagus, dan sebaik mungkin, segala bunyi-bunyian pada instrumen musik (secara musikalitas) mampu dan tepat untuk menembus ruang pemaknaan dari puisi itu sendiri. Dan ketika tidak mampu menghadirkan ketepatan penafsiran pemaknaan itu, barulah disebut kurang tepat. Bahkan bisa disebut merusak atau “memerkosa”.
 
Maka, bukan perkara salah seperti tertangkap dan teranggap. Dan tentang kesalahan itu—kalau boleh saya tekankan—menjadi besar bila kita menambahkan atau justru mengurangi teks puisi karya penyair itu sendiri. Sebab tak lain merupakan sikap perusakan atau “memerkosa” puisi itu sendiri. Dan (barangkali) itulah yang dianggap gagal. Bahkan dianggap merusak.
 
***
Selain musikalisasi puisi, alih wahana dari karya sastra ke dalam bentuk seni tari juga tidak kalah menarik. Misalnya, tari Golek Menak—salah satu seni tari klasik Jawa yang lahir dari lingkungan Keraton Kesultanan Yogyakarta. Tari Golek Menak ini berdasarkan cerita yang ada dalam teks Serat Menak . Kreasi tari ini pertama kali dicetuskan oleh Almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940—1988) di masa awal pemerintahannya. 
 
Alih wahana dari teks Serat Menak ke dalam tari Golek Menak membawa perubahan-perubahan (transformasi) yang signifikan karena adanya perbedaan wahana yang digunakan, yakni dari karya sastra yang bermedia bahasa menjadi tarian yang bermedia gerak tubuh.  Dalam karya tari Golek Menak, tema peperangan terasa sangat dominan, yang tentunya berbeda dengan teks Serat Menak.  Selain itu, di dalam tarian sering dimunculkan properti berupa burung garuda yang tidak ada dalam teks Serat Menak.  Ia ditampilkan semata untuk menambah semarak tarian.  Cerita yang paling populer, misalnya,  adalah Adaninggar Kelaswara yang berkisah tentang peperangan antara Dewi Adaninggar dari Cina melawan Dewi Kelaswara yang berakhir dengan kekalahan Dewi Adaninggar. Perang itu bermotif kecemburuan Adaninggara pada Kelaswara yang berhasil diperistri oleh Amir Ambyah.  
 
Di sisi lain, karena tari Golek Menak merupakan alih wahana dari teks sastra yang bernuansa Islam, aspek kostum sangat diperhatikan dalam penggarapannya.  Disesuaikan dengan nafas Islam yang menjadi latar penciptaan teks, seluruh tokoh dalam tari Golek Menak mengenakan baju berlengan panjang dari bahan beludru yang bersulam benang emas atau satin.  Dalam versi drama tari, disajikan pula dialog yang menggunakan bahasa Jawa Bagongan . 
 
Setakat ini, di Indonesia, alih wahana yang paling lazim adalah perubahan dari karya sastra ke dalam film  atau sebaliknya. Tercatat cukup banyak novel atau film yang mengalami perubahan bentuk itu, khususnya pada karya-karya yang cenderung dikategorikan sebagai karya populer . Namun demikian, sebenarnya upaya alih wahana dari karya sastra, khususnya cerita-cerita rakyat, ke dalam film telah dilakukan sejak tahun 1920-an. Sebagai contoh, film Loetoeng Kasaroeng—film pertama yang diproduksi di Indonesia. Film Loetoeng Kasaroeng dibuat berdasarkan cerita pantun dengan judul yang sama, yang pada masa itu populer di masyarakat Sunda, dengan tokoh utama yang menyerupai seekor lutung . Film bisu ini dirilis pada tahun 1926 oleh NV Java Film Company dan disutradarai oleh dua orang Belanda,  yang G. Kruger dan L. Heuveldorp. Film yang dibintangi oleh aktor-aktris asli Indonesia ini diputar perdana di kota Bandung dan berlangsung dari tanggal  31 Desember 1926—6 Januari 1927 di dua bioskop terkenal, yakni bioskop Metro¬pol¬e dan Majestic. Film Lutung Kasarung ini tercatat pernah dibuat ulang dua kali, yaitu tahun 1952 dan 1983. Pada tahun 1921, cerita rakyat ini pun pernah diangkat ke dalam gending karesmen, yaitu drama yang diiringi musik sastra Sunda, oleh R.A. Wiranatakusumah, Bupati Bandung pada waktu itu.  Semua upaya itu tidak saja menjadikan cerita Lutung Kasarung menjadi populer di kalangan masayarakat Sunda, tetapi juga mendudukkan cerita itu menjadi milik seluruh masyarakat Indonesia.
 
Modernisasi terkadang dilakukan secara ektrem; modifikasi dan alih wahana pun dilakukan bersamaan. Wayang Hip Hop dari Yogyakarta, misalnya. Dua tahun terakhir ini, wayang ini konsisten menggarap seni progresif dengan menampilkan pola-pola pementasan wayang yang dipadukan iringan musik hip hop. Wayang  dimodernisasi dengan menggunakan bahasa pengantar campuran bahasa Indonesia dan Jawa sederhana. Kemasan tampilannya jenaka. Lakon menjadi terasa lebih ringan karena disesaki canda tawa. Nuansa beat hip hop dan liriknya sebagai narasi cerita.
 
Di dalam pertunjukan Wayang Hip Hop ini, penonton masih melihat adanya dalang yang duduk bersila di hadapan wayang, tetapi dandanannya tak biasa: blangkon dengan kombinasi pakaian adat Jawa, kacamata hitam, dan sepatu kets. Di dalam adegan pertama wayang, ada suluk pewayangan, tetapi yang mengiringinya adalah musik elektro hip hop dari disc jokey (DJ) yang keras mendentum dengan beat-beat cepat ala rapper, bukan suara pentatonis dari gamelan Jawa. Pakaian tokoh-tokoh wayangnya pun tak lagi berbahan kain laiknya dalam wayang purwa. Tokoh punakawan Petruk dan Gareng, misalnya, hadir dalam pakeliran bercelana jeans, berkaos katung, dan berkalung besar laiknya penyanyi rap. 
 
Konsep Wayang Hip Hop  sangat berbeda dengan wayang purwa yang masih setia pada pakem tradisi. Di dalamnya ada modifikasi tokoh wayang purwa dengan konsep yang lebih kekinian. Lakon yang dibawakan juga tidak sesuai dengan pakem dan banyak dilakukan perubahan. Tak jarang, tokoh selebritas masa kini, seperti Lady Gaga, dibaurkan dengan tokoh Petruk dan yang lainnya. Cerita yang dimainkan pun banyak mengangkat kondisi sosial masa kini. 
 
Ki Catur ‘Benyek’ Kuncoro, dalang sekaligus rapper Wayang Hip Hop,  menampik kiprah bersama kawan-kawannya itu merusak kaidah seni tradisi pewayangan. "Saya hanya mencoba mengemas seni pertunjukan wayang agar anak muda sekarang tahu apa itu wayang,"  katanya. Banyak seniman lain melakukan langkah seperti Ki Benyek. Sebut saja Nanang Hape dengan wayang urban-nya, yang mengombinasikan wayang dengan elemen teatrikal. Nanang juga memadukan wayang-nya dengan musikalitas gamelan dan band. 
 
Pilihan Ki Benyek dkk. itu memang tidak semata tuntutan tren. Pertunjukan seni kontemporer di Indonesia memang sedang booming. Namun, lebih dari itu, seni pertunjukan juga harus berkembang tanpa harus tercerabut dari akar tradisinya.
 
Apabila mencermati upaya modernisasi dalam karya sastra, khususnya modifikasi dan alih wahana, fenomena itu merupakan sebuah wacana dengan karakteristik khusus, yakni wacana yang di dalamnya tersimpan informasi dan keterangan transformasi tertentu yang mengandung pengetahuan budaya tentang pelaku dan dunianya. 
 
Fenomena modernisasi karya sastra menjadi studi menarik. Dalam konteks ini, karya sastra yang dimodifikasi dan dialihwahanakan itu dianggap sebagai sebuah wacana yang melibatkan interaksi beberapa sumber daya semiotik, seperti bahasa (lisan dan tulisan atau naskah dan dialog) , gestur, busana, arsitektur, dan efek pencahayaan, gerakan, pandangan, sudut pandang kamera, dll. (misalnya dalam film atau teater) (lihat O’Halloran, 2004). 
 
Artinya, modernisasi karya sastra mencerminkan budaya suatu masyarakat tertentu dalam mempertahankan miliknya yang berharga, yang dalam beberapa hal mencerminkan ideologi yang beroperasi dalam masyarakat itu. Sebuah pertunjukan wayang kulit kontemporer, misalnya, yang di gelar di sebuah gedung pertunjukan mewah dan modern serta ditonton oleh generasi muda bukan hanya dapat dibaca sebagai pertunjukan fungsional; pertunjukan itu memiliki tanda-tanda dari semua fungsi praktis yang dirancang pelaku seni tentang pertunjukan itu. Paling tidak, pertunjukkan itu mencerminkan makna tertentu, yaitu keberhasilan seni sastra dalam wujud wayang kulit yang mampu menembus lintas generasi dan sosial. 
 
Dalam khalayak sastra, gerak idea ini telah mengidentifikasi kebutuhan untuk mengembangkan teori kesadaran sosial dan deskripsi semiotik secara holistik, tidak hanya untuk semua petunjuk dan sistem tanda, tetapi juga mampu memperhitungkan karakteristik khusus yang berbeda dari setiap fenomena semiotik.  Sehubungan dengan itu, sebuah pertunjukan seni sastra dan segala aspek pendukungnya bukan sekadar bagian dari budaya masyarakat yang menegaskan dan membangun kembali nilai-nilai dan cita-citanya, melainkan representasi sebuah kekuasaan.  Terlepas dari “kekuasaan” itu positif  atau negatif, sebuah upaya pelestarian karya sastra adalah citra masyarakatnya dan seberapa kuat semangat pendukungnya dalam mempertahankannya.
 
Dalam pandangan Kress dan van Leeuwen (2001:1), perkembangan dalam khalayak sastra itu sendiri telah dipengaruhi  tiga faktor pendorong besar selama abad kedua puluh. Pertama, seperti yang diamati, dalam budaya Barat beragam aktivitas seni-budaya—baik yang bersifat ‘populer’ maupun serius—telah bergeser dari “monomodal” menuju multimodal dan multimedia.  Aktivitas seni-budaya itu telah menggunakan beragam media/bahan; telah lintas batas antara berbagai seni, desain, dan disiplin ilmu. 
 
Kedua, semiotika modern terinspirasi untuk menyeberangi batas-batas di luar kajiannya.  Aliran utama semiotika berusaha untuk mengembangkan kerangka teoritis semiotik yang berlaku untuk semua mode, dari mulai kostum dalam pentas puisi rakyat sampai kostum yang dipakai para pemain teater modern.  Dorongan utama ketiga untuk studi tentang wacana multimodal adalah perkempangan teknologi,  khususnya teknologi kom¬puter, untuk merekam, memutar ulang, dan menganalisis teks dan fenomena multimodal. 
 
Daftar Pustaka
 
Barthes, Roland. 1981. Elements of Semiology.  New York: Hill and Wang.
Barthes, Roland. 2010. Imaji/Musik/Teks. Yogyakarta: Jalasutra.
Berger, Arthur Asa. 2010. Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer.  Yogyakarta: Tiara Wacana.
Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa, Kemdiknas.
Damono, Sapardi Djoko. 2012. Alih Wahana. Jakarta: Editum
Fairclough, Norman. 1992. Discourse and Social Change.  Cambridge: Polity Press.
Hall, Stuart. 1997. Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices. London: Sage Publications.
Kress, G. dan van Leeuwen T. 2001. Multimodal Discourse: The Modes and Media of Contemporary Communication. London: Arnold.
Liaw Yock Fang.  2011.  Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik.  Jakarta: YOI.
Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch, Kontemporer: Sebuah Studi tentang Seni Pertunjukkan Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
O’Halloran,  Kay. I (Edior). 2004. Multimodal Discourse Analysis: Systemic-Fungsional Perspectives.  London-New York: Continuum.
O’Halloran, K. L., Tan, S., Smith B. A., dan Podlasov, A. 2009. “Multimodal Discourse: Critical Analysis within an Interactive Software Environment” dalam  Critical Discourse Studies. Diunduh dari http://multimodal-analysis-lab.org/events/publications.html pada tanggal 31 Januari 2010.
Preziosi, D. 1986. “The Multimodality of Communicative Events” dalam J. Deely, W. Brooke, & F.E. Kruse (Eds.), Frontiers in Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. 
Sausure, Ferdinand de. 1996. Pengantar Linguistik Umum (Seri ILDEP).  Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soedarsono, R.M. 1998. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta: Depdikbud.
Soedarsono, R.M. 2003. Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.
Tim Redaksi. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi Keempat, Cetakan Kedua. Jakarta: Depdiknas dan Gramedia Pustaka Utama.
 
*Penulis berterima kasih kepada Dr. Ganjar Hwia yang telah memberikan ide dan data untuk tulisan ini. 

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa