Bahasa Gaul dalam Perspektif Teori Strukturasi Anthony Giddens
Kata gaul muncul pertama kali dalam korpus bahasa Melayu (Malay Concordance Project), tepatnya dalam naskah Hikayat Amir Hamzah bertarikh 1380. Kata itu muncul bersanding dengan kata bercampur. Bercampur gaul bermakna ‘bergaul, bermesra, bersahabat dgn’ (Kamus Dewan Edisi Keempat, 2007). Sementara, kata gaul sendiri dimaknai ‘campur; baur’ (lihat juga KBBI, 2017). Dari definisi tersebut, dapat terlihat fungsi bahasa gaul, yaitu bersahabat atau berbaur. KBBI (2007) mendefinisikan bahasa gaul sebagai ‘dialek bahasa Indonesia nonformal yang digunakan oleh komunitas tertentu untuk pergaulan’. Kosakata bahasa ini berasal dari berbagai sumber, seperti dialek Indonesia Jakarta, bahasa prokem, bahasa daerah, dan bahasa asing. Selain itu, bahasa gaul juga menciptakan kosakata baru yang terbentuk melalui kaidah-kaidah tertentu.
Dualitas Struktur dalam Penggunaan Bahasa Gaul
Teori Strukturasi adalah teori yang memadukan agen dan struktur. Hubungan antara agen dan struktur tersebut berupa relasi dualitas yang kedua unsurnya saling menunjang. Dualitas tersebut tejadi dalam praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu. Praktik sosial yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah penggunaan bahasa gaul di kalangan anak muda di Jakarta pasca-Orde Baru. Mengapa anak muda? Karena Bahasa gaul merupakan ragam bahasa yang erat kaitannya dengan anak muda. Mengapa di Jakarta? Karena Jakarta merupakan ibu kota negara tempat dituturkannya bahasa Indonesia dialek Jakarta yang menjadi varian yang paling dominan digunakan dalam komunikasi di berbagai ranah. Pendatang yang pindah ke Jakarta biasanya meninggalkan bahasa daerah mereka dan menggantinya dengan bahasa Indonesia dialek Jakarta selama satu atau dua generasi (Sneddon, 2003: 11). Mengapa pasca-Orde Baru? Pascakejatuhan rezim Orde Baru, penggunaan bahasa gaul mulai menggeliat di kalangan anak muda. Bukti tersebut diperkuat sejak diterbitkannya Kamus Bahasa Gaul (1999)—berisi kosakata yang digunakan oleh para waria di Jakarta—yang disusun oleh Debby Sehertian. Secara perlahan penggunaan kosakata itu merambah kalangan anak muda. Tahun 2005 bahasa alay—berasal dari singkatan anak layangan, yaitu anak “kampungan” karena bermain layang-layang pada zaman sekarang sudah memang bukan zamannya—pertama kali muncul dalam jejaring sosial Friendster.
Di manakah letak dualitas antara agen dan struktur dalam penggunaan bahasa gaul itu? Dualitasnya terletak dalam fakta bahwa “struktur mirip pedoman” yang menjadi prinsip penggunaan bahasa gaul tersebut merupakan hasil perulangan dari tindakan anak muda tersebut. Namun, skemata yang mirip “aturan” itu juga menjadi sarana atau medium bagi praktik penggunaan bahasa gaul. Sebagai prinsip penggunaan bahasa, sifat struktur adalah mengatasi waktu dan ruang sehingga struktur itu dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi. Berbeda dengan pengertian Durkheim tentang struktur yang lebih bersifat mengekang (constraining), struktur dalam gagasan Giddens juga bersifat memberdayakan (enabling), yaitu memungkinkan terjadinya praktik sosial (Herry-Priyono, 2002: 23). Dalam konteks ini dapat digambarkan dalam situasi berikut yang dikutip dari Yuwono (2010: 80).
Baba : Kemaren Udin cerita, Jay punya gebetan baru, lo ...
Ipul : Ya, bohay punya katanya
Ali : Eh, si Jay bokinnya cuakep, lo ...
Baba : Oneng, oneng! Kita lagi ngomongin dia sekarang!
Ketika membaca percakapan di atas, pembaca yang tidak memahami kosakata bahasa gaul akan kebingungan mendapati kata gebetan, bohay, bokin, dan oneng. Dibandingkan dengan kata cuakep dan ngomongin, kedua kata ini masih bisa ditebak maknanya dengan menggunakan struktur bahasa Indonesia ragam baku meskipun ada sedikit modifikasi. Akan tetapi, berbeda halnya dengan empat kata sebelumnya, kata-kata tersebut agak susah untuk ditebak maknanya, kecuali jika pembaca mengetahui kosakata yang berlaku dalam bahasa gaul. Dalam bahasa gaul, kata gebetan bermakna ‘calon pacar’, bohay bermakna ‘seksi; montok’, bokin bermakna ‘pacar; bini’, dan oneng bermakna ‘bodoh; tolol; dungu’. Adanya skemata tersebut—dalam hal ini kosakata bahasa gaul—memungkinkan seseorang memahami maksud percakapan di atas.
Dalam bahasa gaul, unsur yang paling penting adalah kosakatanya. Sebagian besar kosakata bahasa gaul dibentuk melalui proses penyingkatan (abbreviation) atau penyerapan (borrowing). Penyingkatan meliputi akronim dan pemendekan. Peminjaman meliputi kata dan frasa dialek sosial dan regional yang nonformal serta bahasa kata dan frasa pinjaman dari bahasa asing, terutama Inggris. Pada praktiknya kedua kategori (singkatan dan pinjaman) itu sering bertumpang tindih dan pinjaman juga mengalami proses penyingkatan seperti pada kata dan frasa bahasa Indonesia.
Penyingkatan merupakan proses pembentukan kata dalam bahasa gaul yang paling produktif. Kata berupa singkatan antara lain JJS ‘jalan-jalan sore’, ABG ‘anak baru gede’, PD ‘percaya diri’, HTS ‘hubungan tanpa status’, PHP ‘pemberi harapan palsu’, dan BPJS ‘budget pas-pasan, jiwa sosialita’. Bentuk akronim di antaranya curcol ‘curhat colongan’, salting ‘salah tingkah’, salkim ‘salah kirim’, saltum ‘salah kostum’, telmi ‘telat mikir’, lemot ‘lemah otak’, asbun ‘asal bunyi’, ongkir ‘ongkos kirim’, pulkam ‘pulang kampung’, kuper ‘kurang pergaulan’ dan mahmud ‘mamah muda’. Sementara itu, bentuk pemenggalan antara lain restoran menjadi resto, minimal menjadi minim, administrasi menjadi admin, juragan menjadi agan, demontrasi menjadi demo, eksistensi menjadi eksis, begitu menjadi gitu, begini menjadi gini, sedikit menjadi dikit, dan terima kasih menjadi makasi. Bentuk singkatan, akronim, dan pemendekan tersebut merupakan hasil dari proses pembentukan kata yang lazim dijumpai dalam bahasa Indonesa baku, bahkan Pemerintah pun menggunakannya, baik di zaman Orde Lama maupun Orde Baru. Pada masa Orde Lama dapat ditemukan singkatan dan akronim, seperti GNB ‘Gerakan Non-Blok, KAA ‘Konferensi Asia-Afrika’ nekolim ‘neokolonialisme dan imperialisme’, nasakom ‘nasionalisme, agama, dan komunisme’, dan Ganefo ‘The Games of the New Emerging Forces’. Pada Era Orde Baru proses penyingkatan ini lebih menjamur, seperti Supersemar ‘surat perintah sebelas Maret’, Gestapu ‘gerakan September tiga puluh, Hansip ‘pertahanan sipil’, Menko Kesra ‘menteri koordinator kesejahteraan rakyat, PKK ‘pemberdayaan kesejahteraan keluarga’, dan KB ‘keluarga berencana’. Pada era pasca-Orde Baru, bentuk penyingkatan digunakan pada tokoh politik, seperti SBY ‘Susilo Bambang Yudhoyono’, JK, Jusuf Kalla, Jokowi ‘Joko Widodo, dan AHY ‘Agus Harimurti Yudhoyono’.
Sumber penting lainnya dalam kosakata bahasa gaul adalah pinjaman, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa Inggris. Pinjaman dalam bahasa daerah, misalnya dari bahasa Jawa: saking, pantes, banget, gede, bareng, bejo, dan mepet; dari bahasa Sunda: baheula, bobotoh, mewek, cadas, dan gahar; dari bahasa Betawi/Melayu Jakarta: bacot, geber, demen, toyor, gaet, gua, elu, cewek, cowok, dan norak.
Chambert-Loir (1984) dalam artikelnya “Those Who Speak Prokem” mengidentifikasi infiks -ok sebagai fitur unik dalam kosakata bahasa prokem. Kata-kata itu sampai sekarang masih digunakan oleh anak muda, misalnya gokil dari gil(a), mertoku dari mertu(a), bokap dari bap(ak), nyokap dari nyak ‘ibu’, boker dari ber(ak), bokep dari BF /be ep/, doku dari du(it), dan bokin dari bin(i).
Bentuk pinjaman dalam bahasa Inggris banyak dijumpai dalam bahasa gaul, terutama di kalangan mahasiswa. Smith-Hefner (2012) mencatat lebih dari 30 persen istilah gaul berasal dari bahasa Inggris. Pinjaman yang berbentuk singkatan, misalnya MBA ‘married by accident’, ML ‘making love’, BTW ‘by the way’, ASAP ‘as soon as possible’, OTW ‘on the way’, OMG ‘oh my God’, LGBT ‘lesbian gay bisex transgender’, LCR ‘love cyber relationship’, LDR ‘long distance relationship’, FIY ‘for your information’, dan LOL ‘laugh out loud ’. Contoh kata atau frasa pinjaman asing lainnya di antaranya so sweet, so what, me time, broken, addict, annoying, available, bullshit, boring, backstreet, basecamp, dating, cute, enjoy, care, dan hopeless. Ada juga serapan bahasa Inggris yang berasimilasi dengan bunyi-bunyi dalam bahasa Indonesia, misalnya plis (please) deh, ilfil (ilang feeling), dan grogi (groggy).
Bahasa gaul, bagi sebagian orang, dianggap merusak bahasa karena menjatuhkan integritas bahasa Indonesia. Bahasa gaul dianggap melanggar kaidah pembentukan kata dan dibentuk dengan cara yang tidak lazim. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar. Bahasa gaul sesungguhnya menggunakan beberapa pola yang teratur dalam pembentukan kata baru dan mengadaptasi kata-kata serapan, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing, dan tidak menabrak pola gramatikal bahasa nonstandar dalam bahasa Indonesia. Bahasa gaul justru memberikan keaktifan, daya ekspresi, dan cap kosmopolitan sehingga menjadi daya tarik bagi anak muda untuk mempelajari bahasa Indonesia dan menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari.
Dimensi Dualitas Struktur
Dari berbagai prinsip struktural, Giddens terutama melihat tiga besar struktur, yaitu signifikasi, dominasi, dan legitimasi. Struktur signifikasi atau penandaan berkaitan dengan skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Struktur dominasi atau penguasaan mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (ekonomi). Sementara itu, struktur legitimasi atau pembenaran berkaitan dengan skemata peraturan normatif yang terungkap dalam tata hukum.
Berdasarkan pembagian tersebut, maka penggunaan bahasa gaul merupakan praktik sosial pada gugus struktur signifikasi. Penggunaan bahasa gaul dengan bermacam orang dalam berbagai situasi, baik itu formal dan nonformal, dan berbagai media, baik cetak maupun elektronik, meyebabkan bahasa gaul menggeser peran bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari. Praktik itu merupakan praktik sosial dalam bingkai struktur dominasi politik (kontrol atas orang’. Dengan makin maraknya penggunaan bahasa gaul dalam masyarakat, perekaman kosakata bahasa gaul dalam bentuk kamus dapat dikategorikan sebagai praktik sosial dalam bingkai struktur legitimasi.
Dalam gerak praktik-praktik sosial, ketiga gugus prinsip struktural itu saling terkait. Struktur signifikasi pada gilirannya juga mendukung terjadinya struktur dominasi yang menghasilkan legitimasi. Misalnya, skemata signifikasi ‘penggunaan bahasa gaul’ pada gilirannya mendukung terjadinya skemata dominasi ‘otorisasi bahasa gaul atas bahasa daerah’ dan menghasilkan skemata legitimasi hak bahasa gaul sebagai ‘varian bahasa Indonesia nonformal’. Hal yang sama juga berlaku bagi struktur dominasi dan legitimasi.
Pola hubungan ketiga prinsip struktural (struktur/skemata) tersebut dengan praktik sosial dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini.
Sebagaimana tampak dalam skema di atas, dualitas struktur dan indakan selalu melibatkan modalitas atau sarana-antara. Modalitas adalah aturan dan sumber daya yang tersedia, dapat berupa skema penafsiran, fasilitas, dan norma. Skemata signifikasi “penggunaan bahasa gaul” memerlukan skema interpretatif “kosakata bahasa gaul”. Apabila kosakata bahasa gaul tersebut dipahami, komunikasi yang baik akan terjadi di antara penggunanya. Skemata dominasi “otorisasi bahasa gaul atas bahasa daerah” difasilitasi oleh penggunaan bahasa gaul dalam komunikasi di berbagai ranah dan media. Akibatnya, posisi bahasa gaul lebih tinggi daripada bahasa daerah, bahkan menggeser bahasa daerah. Skemata legitimasi “varian bahasa Indonesia” membatasi bahasa daerah sebagai bahasa nonformal. Oleh karena itu, penggunaan bahasa gaul dalam ranah formal—misalnya dalam penulisan tugas kuliah, laporan kerja, dan dokumen negara—akan mendapatkan sanksi.
Ketika bahasa gaul digunakan, para penutur memiliki kesadaran mengapa mereka memilih untuk menggunakan bahasa itu. Selama berada di bangku sekolah, mereka selalu dijejali aturan-aturan berbahasa yang baik dan benar. Namun, ternyata bahasa itu hanya dipakai pada kesempatan-kesempatan tertentu. Di luar sekolah dan di rumah bahasa yang mereka pelajari di sekolah mereka tanggalkan. Mereka mulai menggunakan bahasa yang santai dan lepas dari aturan. Ketika mereka berhadapan dengan orang tua, mereka segera mengubah bahasa mereka dengan bahasa yang hanya diketahui oleh kelompoknya. Terutama ketika pembicaraannya berkaitan dengan sesuatu yang tabu atau rahasia sehingga bahasa yang mereka gunakan menjadi sebuah bahasa sandi. Mereka lalu memanfaatkan pola-pola tertentu, seperti yang telah dibicarakan pada penjelasan sebelumnya.
Pengguna bahasa gaul tidak anti dengan bahasa standar. Mereka ingin menunjukkan identitas. Mereka dengan sadar memperluas penggunaan bahasa gaul di ranah publik, termasuk di sekolah. Mereka menggunakan bahasa gaul untuk lebih mengekspresikan diri—bahkan terkadang mendramatisasi—dan itu tidak bisa mereka lakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia standar. Mereka juga tidak memilih untuk menggunakan bahasa daerah mereka karena sering dianggap bahasa kampungan. Mereka sadar bahwa menggunakan bahasa gaul berarti termasuk orang yang modern karena kebanyakan pengguna bahasa gaul adalah orang kosmopolitan, maka ketika tidak menggunakannya akan dianggap kuper.
Bahasa gaul mencerminkan identitas sosial dan rasa memiliki di antara para penuturnya. Bahasa gaul menyuarakan solidaritas daripada perbedaan status. Kata gaul itu sendiri menunjukkan keinginan anak muda Indonesia akan identifikasi sosial yang baru dengan cara merumuskan hubungan yang lebih egaliter dan interaksi yang lebih cair serta lebih ekspresif secara personal.
Bibliografi
Budiman, Arif. 2006. “Bahasa Gaul Mahsiswa Jakarta: Studi Kasus di FIB UI”. Dalam Sutami, H. & Malagina, A. (Ed.). Bahasa Indonesia Dewasa Ini (hlm. 1—26). Depok: Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Chambert-Loir, Henri. 1984. “Those Who Speak Prokem” (James T Collins, penerjemah). Dalam Indonesia No. 37 (April 1984), hlm. 105—117.
Giddens, Anthony. 2005. ‘The Constitution of Society; Outline of the Theory of Structuration”. Dalam Spiegel, Gabrielle M. (Ed.). Practicing History: New Direction in Historical Writing after the Linguistic Turn (hlm. 121—142). New York and London: Routledge.
Hajah Noresah bt Baharom. 2007. Kamus Dewan Edisi Keempat. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka.
Herry-Priyono, B. 2002. Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Smith-Hefner, Nancy J. “Youth Language, Gaul Socialility, and the New Indonesian Middle Class”. Dalam Jurnal Studi Pemuda, Vol. 1, No. 1. Mei 2012, hlm. 61—82.
Sneddon, James N. 2006. Colloquial Jakartan Indonesian. Canberra: Pacific Linguistics.
Wijana, I Dewa Putu. 2012. “The Use of English in Indonesian Adolescent’s Slang”. Dalam Humaniora, Vol. 24, No. 3 Oktober 2012, hlm.315—323.
Yuwono, Untung. 2010. “Ilfil Gue Sama Elu: Sebuah Tinjauan atas Ungkapan Serapah dalam Bahasa Gaul Mutakhir’. Dalam Moriyama, M. & Budiman, M. (Ed.). Geliat Bahasa Selaras Zaman: Perubahan Bahasa-bahasa di Indonesia Pasca-Orde Baru (hlm. 60—87). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Sumber Daring:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/. Diakses 1 Desember 2017.
https://kitabgaul.com. Diakses 1 Desember 2017.
http://mcp.anu.edu.au/. Diakses 1 Desember 2017.
Adi Budiwiyanto
...