Kamus dalam Perspektif Budaya Material
Istilah budaya material (material culture) menekankan bagaimana benda-benda takbernyawa di lingkungannya berfungsi bagi manusia dan bagaimana benda-benda itu manfaatkan oleh mereka, untuk melaksanakan fungsi sosial, mengatur hubungan sosial, dan memberi makna simbolik bagi aktivitas manusia (Woodward, 2007: 3). Kamus sebagai objek budaya material menunjukkan bahwa kamus mempunyai fungsi sosial dan makna simbolik bagi aktivitas manusia. Kamus bukan saja merupakan buku acuan untuk mencari informasi tentang kata dan makna, pengucapannya, serta penggunaannya suatu bahasa. Kamus, bagi manusia, ternyata mempunyai fungsi dan makna lain.
Kamus: Fungsi dan Makna
Kamus memiliki kemampuan ekspresif yang memberikan seseorang kesempatan untuk mengartikulasi aspek diri melalui pelibatan material untuk mengomunikasikan sesuatu tentang diri mereka. Contohnya, penulis sering melihat beberapa mahasiswa Universitas Indonesia, misalnya, mendekap kamus Belanda-Indonesia dan Prancis-Indonesia menuju fakultasnya. Kamus yang dibawanya itu, selain berfungsi sebagai referensi ketika berada di dalam kelas, juga berfungsi sebagai penanda identitas. Oleh karena itu, orang dengan cepat menandai mereka adalah mahasiswa Jurusan Bahasa Belanda dan Jurusan Bahasa Prancis.
Identitas adalah bangun konseptual, dalam ilmu yang berkaitan dengan perilaku dan sosial, untuk mengacu pada “selera” seseorang terhadap dirinya sebagai individu yang berbeda dalam konteks masyarakat (Woodward, 2007). Sosiolog dan psikolog sosial berpendapat bahwa ada tiga aspek dalam identitas, yaitu 1) identitas sosial/objektif, mengacu pada kepemilikan seseorang pada berbagai kelompok sosial, dan ciri sosial yang membedakannya kepemilikan tersebut, seperti gender, kelas sosial, atau etnisitas; 2) identitas diri/subjektif, mengacu pada kombinasi unik dari ciri, sifat, dan pilihan personal seseorang; dan 3) identitas ego, mengacu pada perasaan yang seseorang miliki tentang mengetahui siapa dirinya, bagaimana dia nyaman, memberikan orang rasa stabilitas dan kontinuitas untuk menunjang cara pandang dan tindakan.
Dalam masyarakat kontemporer objek dapat berperan penting dalam membentuk identitas personal dan sosial. Dalam hal identitas sosial, ia dapat merepresentasikan ciri-ciri tertentu pada seseorang, tanpa harus berkontak secara interpersonal. Dalam hal identitas personal objek membantu penampilan yang kredibel dari sebuah identitas—objek adalah bagian integral dari penampilan sosial yang efektif di mana objek menyatu dengan pemilik objek itu untuk memberikan penampilan sosial yang meyakinkan.
Ada banyak kamus yang beredar di pasar buku dengan beragam penerbit dan berbagai kualitas juga, baik dari segi dari isi maupun material. Makin berkualitas kamus itu, tentu makin mahal harganya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa tidak semua orang memiliki kamus karena kamus termasuk barang mahal dan tidak termasuk kebutuhan tersier, apalagi primer. Di Indonesia, profesi yang seharusnya memiliki kamus pun, misalnya guru bahasa Indonesia, pada umumnya tidak mempunyai kamus. Kamus menjadi barang mahal dan hanya menjadi konsumsi orang tertentu, khususnya orang berduit. Oleh karena itu, dalam konteks ini kamus dapat disebut sebagai penanda identitas sosial.
Meskipun kamus tergolong barang mahal, tetap saja ada beberapa orang yang tetap membelinya. Bagi mereka kamus adalah lautan pengetahuan. Dengan menguasainya, itu menjadikan mereka berbeda dengan yang lain. Mereka kaya akan kosakata dan dapat menjadi tempat bertanya bagi orang membutuhkan informasi tentang apa pun, sehingga menjadi “kamus berjalan”, identitas diri yang lekat dengan kecendekiaan.
Berdasarkan wawancara singkat, penulis mendapati bahwa pada umumnya ada rasa bangga dalam diri mereka ketika mendekap kamus menuju kampus. Mereka merasa bangga karena tidak semua orang dapat menjadi mahasiswa Jurusan Bahasa Belanda atau Jurusan Bahasa Prancis. Meskipun kamus yang didekap bukan kamus bahasa asing, mereka tetap memiliki rasa bangga karena itu mencerminkan intelektualitas mereka. Ini adalah bentuk identitas ego.
James Côté (dalam Woodward, 2007) berpendapat bahwa dalam masyarakat modern belakangan ini individu mempunyai kemampuan untuk mengembangkan cara mempresentasikan diri secara kontekstual yang bersifat refleksif dan pemantauan diri, yang memberi kemudahan bentuk mobilitas budaya melalui ruang dan waktu. Modal identitas merupakan investasi yang seseorang bangun dalam diri mereka, yang membantu mereka dalam membuat jalan di berbagai arena pribadi dan profesional yang mereka cita-citakan.
Ketika kita pergi bertamu ke rumah seseorang, kita sering kali menemukan kamus yang terpajang rapi bersama buku-buku lain dalam rak di ruang tamu. Mereka dengan sengaja meletakkan rak buku itu di ruang tamu untuk menunjukkan sesuatu. Russel Belk (dalam Woodward, 2007) menyatakan bahwa manusia tidak hanya meliputi tubuh dan pikiran. Manusia sangat menghargai objek personal di lingkungan eksternalnya, khususnya objek yang mereka miliki. Awalnya objek itu murni bersifat fungsional, tetapi akhirnya objek tersebut memiliki makna yang lebih dalam. Psikolog William James (dalam Woodward, 2007) menegaskan bahwa diri—siapa kita—dipahami bukan saja sebagai “kita”, seperti dalam tubuh dan pikiran kita, tetapi juga “milik kita”. Jadi, objek dapat menjadi perluasan dari diri seseorang. Dengan demikian, kamus bukan saja bermakna sebagai buku acuan, tetapi juga sebagai pencapaian masa lalu seseorang, ketertarikan/minat seseorang, atau token yang menggambarkan identitas seseorang.
Di era modern ini, perkembangan teknologi telah menggeser fungsi dan makna kamus yang telah disebutkan sebelumnya. Perubahan fungsi itu disebabkan oleh pergeseran medium kamus dari bentuk cetak ke digital.
Dari Kertas ke Digital
Kamus identik dengan tebal, berat, dan mahal. Ketiga sifat itu saling berkaitan. Kamus biasanya berisi banyak informasi sehingga kamus menjadi tebal, dan ketika diproduksi harganya pun menjadi mahal. Harga yang mahal itu juga disebabkan oleh kualitasnya yang biasanya lebih bagus daripada buku biasa karena kamus adalah buku referensi yang biasanya akan sering digunakan daripada buku biasa.
Namun, sekarang orang tidak perlu repot lagi untuk membawa-bawa kamus karena sekarang kamus telah banyak yang beralih medium, dari kertas ke digital, baik berbentuk web maupun aplikasi. Dua penerbit kamus ternama di Inggris telah melakukannya, yaitu Oxford English Dictionary (OED) dan Macmillan English Dictionary (MED). Penerbit OED telah mengumumkan rencana itu sejak 2010 dan rencana itu dieksekusi pada tahun 2014, sedangkan penerbit MED mengumumkannya di akhir 2012 dan awal 2013 rencana itu dieksekusi. Penerbit OED mengkhawatirkan bahwa jika edisi berikutnya akan dicetak, ukurannya akan sangat besar dan terdiri atas 40 volume sehingga kamus versi daring (online) dianggap yang paling layak dan memadai dari segi harga untuk para penggunanya.
Penerbit MED melihat ada dua faktor yang mendasari perpindahan dari kertas ke digital, yaitu perkembangan teknologi dan perubahan dalam hal perilaku dan ekspektasi pengguna kamus. Kamus telah hadir dalam bentuk digital sejak 1980-an dalam bentuk peranti yang dapat digenggam tangan yang datanya diimpor dari kamus cetak. Kemudian, kamus dalam bentuk CD-ROM muncul di akhir 1980-an dan Longman Interactive American Dictionary, kamus pemelajar pertama dalam bentuk elektronik, muncul pada 1993 dengan beberapa penambahan fungsi, seperti fasilitas pencarian, rujuk silang berhipertaut, dan pelafalan audio. Meskipun sudah diberi beberapa fitur tambahan, upaya tersebut masih konservatif. Setelah itu, penerbitan kamus selalu dilengkapi dengan bentuk CD-ROM-nya, sesuai permintaan para pembeli kamus. Kehadiran internet menandai perubahan yang fundamental, terutama dengan adanya mesin pencari dan media sosial di sekitar 2005. Kehadiran internet juga mengakibatkan turunnya pendapatan para penerbit buku, termasuk kamus.
Media digital menawarkan kesempatan yang luar biasa untuk meningkatkan kamus dari cetak menuju daring. Perubahan itu juga berdampak pada definisi kamus yang telah ada sebelumnya, seperti yang terjadi pada MED. Definisi kamus yang awalnya “a book that gives a list of words in alphabetical order and explains what they mean” berubah menjadi “a reference resource which provides information about words and their meanings, uses, and pronunciations. A dictionary may be published as a printed book, or as a digital product such as a website or app, and it may be monolingual, bilingual, or multilingual.” Kamus tidak lagi hanya berupa buku dan susunan entrinya yang alfabetis tidak relevan lagi.
Gambar 1 OED versi daring
Kamus cetak pada umum memiliki keterbatasan ruang dan masalah kemutakhiran isi. Untuk menghemat ruang, biasanya kamus cetak banyak menggunakan singkatan. Apabila tidak menggunakan singkatan, akan memakan ruang sehingga berakibat pada penambahan jumlah halaman, dan itu akan membuat harga kamus menjadi lebih mahal. Dari segi isi, kamus cetak tidak akan pernah menjadi kamus mutakhir karena begitu kamus itu terbit, ia telah tertinggal banyak kosakata baru. Sebelum kamus terbit, ada proses penyuntingan yang harus dilakukan dan selama itu pula tidak boleh menambahkan kata baru ke dalam kamus yang sedang diproses untuk terbit karena akan mengacaukan tata letak. Dengan kamus digital atau daring, keterbatasan itu menjadi tiada.
Gambar 2 MED versi dari daring
Kamus daring, tidak seperti kamus tradisional, dapat diperkaya lagi dengan berbagai ragam informasi, di luar fokus kamus (yakni pencarian kata), misalnya penambahan konten berupa permainan bahasa, video yang berorientasi pendidikan, bahan ajar, kolom mingguan untuk kata-kata baru, dan blog yang membahas masalah bahasa yang sedang tren.
Bagi generasi milenial, bentuk kamus digital akan sangat menguntungkan. Mereka tidak perlu lagi mendekap kamus ke kampus mereka. Mereka tidak perlu mengeluarkan banyak uang membeli kamus karena kamus digital tersebut sudah banyak diubah ke dalam aplikasi luring (offline) yang dapat diunduh dalam ponsel mereka. Kalau pun harus mengakses internet, maka uang mereka dapat dialihkan untuk membeli paket data. Namun, bagi generasi sebelum milenial, kamus cetak tampaknya masih tetap menjadi primadona karena memang mereka terbiasa dengan kamus cetak atau karena literasi digital mereka sangat kurang.
Apa yang terjadi di atas tampaknya sesuai dengan apa yang katakan oleh Alexander (dalam Woodward, 2007) yang melihat teknologi sebagai wacana, yaitu sistem tanda yang disusun oleh kode atau struktur semiotik serta tuntutan emosional dan sosial. Ia mengikut gagasan Durkheim bahwa manusia membagi dunia ke dalam benda dan peristiwa yang sacred dan profane. Sacred mengacu pada citra baik yang orang yang berusaha untuk melindunginya, sedangkan profane menggambarkan citra buruk/jahat sehingga orang-orang perlu dilindungi.
Di Indonesia, perkembangan teknologi dan informasi juga telah mendorong Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) membuat versi daring. KBBI versi cetak tetap dipertahankan mengingat belum semua wilayah di Indonesia mendapat akses internet. Bagi pencinta kamus, kamus cetak adalah hal yang wajib dimiliki, meskipun mereka juga telah dapat mengakases kamus melalui internet. Ada kepuasan tersendiri bagi mereka ketika menggunakan kamus cetak. Ketika mencari satu kata, pengguna kamus akan mendapatkan banyak entri di hadapannya sehingga mereka mendapatkan lebih banyak kata, meskipun kata itu bukanlah kata yang dicari. Secara tidak langsung, mereka mendapatkan tambahan pengetahuan. Bahkan, terkadang mereka menemukan kata yang dahulu mereka ingin cari, tetapi pada saat itu belum diketemukan. Berbeda jika menggunakan kamus digital/daring. Mereka hanya mendapatkan kata yang mereka cari.
Gambar 3 KBBI V versi Daring
Bagi orang yang tidak pernah/jarang membuka kamus, menggunakan kamus cetak memerlukan keterampilan khusus, terutama menelusuri lema (kata kepala) yang dicari, baik yang berupa kata turunan dan kata gabungan. Setiap kamus mempunyai cara khusus dalam meletakkan lema. Misalnya, lema KBBI umumnya diisi dengan kata dasar. Jadi, jika ingin mencari sebuah kata turunan, yang dicari terlebih dahulu adalah kata dasarnya. Keterampilan semacam ini tidak akan diperlukan lagi ketika menggunakan kamus digital. Pengguna kamus hanya perlu mengetikkan kata yang dicari, apakah itu bentuk dasar, turunan, atau gabungan, lalu kamus akan memberikan kata yang dicari.
KBBI adalah kamus ekabahasa yang diterbitkan oleh Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Karena diterbitkan oleh Pemerintah, masyarakat menganggapnya sebagai kamus baku atau standar. Dalam beberapa kasus, diketahui bahwa masyarakat tidak berani menggunakan suatu kata yang belum masuk ke dalam KBBI. Hal itu terjadi pada masyarakat yang memperhatikan atau peduli dengan masalah bagaimana berbahasa yang baik dan benar. Dalam hal ini, kamus telah berfungsi sebagai alat kuasa Pemerintah, seperti panoptikon yang berfungsi untuk mengawasi dan mendisiplinkan penggunaan bahasa oleh masyarakat.
Begitu juga halnya dengan para penyusun kamus. Karena kamus adalah hasil kerja mereka, maka penggunaan bahasa Indonesia mau tidak mau seperti selalu terawasi. Kata-kata yang mereka gunakan adalah cermin dari hasil karya mereka yang ada di kamus. Oleh karena itu, kamus menjadi alat untuk mendisiplinkan mereka. Perubahan kamus dari cetak ke digital juga telah membuat para editor terawasi dan terdisiplinkan karena kinerja mereka dapat dicek dengan akurat, kapan saja dan di mana saja, seperti yang tampak pada Gambar 4. KBBI V daring ini adalah kamus yang dibuat dengan prinsip urun daya (crowdsourcing). Artinya, seluruh masyarakat dapat berpartisipasi dan berkontribusi dalam menambah kosakata baru dalam KBBI. KBBI daring ini juga bersifat interaktif karena pengusul kata dapat berinteraksi dwiarah dengan para editornya.
Gambar 4 Statistik KBBI V Daring
Penutup
Kamus merupakan objek budaya material yang mempunyai fungsi sosial dan makna simbolis bagi kehidupan manusia. Kamus dapat berfungsi sebagai penanda identitas, baik itu identitas sosial, identitas diri, atau identitas ego. Kamus juga merupakan perluasan diri dari pemiliknya. Ia dapat bermakna sebagai pencapaian masa lalu seseorang, ketertarikan/minat seseorang, atau token yang menggambarkan identitas seseorang. Kamus juga mengandung kuasa dan pengawasan, baik bagi pengguna kamus maupun penyusun kamus. Perubahan kamus dari cetak ke digital/daring turut mengubah fungsi dan makna, bahkan meniadakannya.
Bibliografi
Benton, M. (2008). Books. Dalam H. Sheumaker, & S. T. Wajda, Material culture in America : understanding everyday life (hal. 70-75). Oxford: ABC-CLIO.
Flanagan, P. (2014). RIP for OED as world's finest dictionary goes out of print. Diambil kembali dari http://www.telegraph.co.uk: http://www.telegraph.co.uk/culture/culturenews/10777079/RIP-for-OED-as-worlds-finest-dictionary-goes-out-of-print.html
Rundell, M. (2012). Stop the presses – the end of the printed dictionary. Diambil kembali dari http://www.macmillandictionaryblog.com: http://www.macmillandictionaryblog.com/bye-print-dictionary
Rundell, M. (2014). Macmillan English Dictionary: The End of Print? Slovenš?ina 2.0, 2 (2), 1-14. Diambil kembali dari http://slovenscina2.0.trojina.si/arhiv/2014/2/Slo2.0_2014_2_02.pdf
Woodward, I. (2007). Understanding Material Culture. London: Sage.
Adi Budiwiyanto
...