Menunggu Ucapan Terima Kasih dan Sapaan Bukan Kamu dalam Bahasa Indonesia Penutur Jati Bahasa Maanyan
A. Cerita Agus
Pagi tampak cerah pada pertengahan tahun 90-an saat Agus Hendratmo untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di sebuah SMA di salah satu kabupaten di Kalimantan Tengah, tempat ia ditugaskan menjadi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Selagi bersiap untuk masuk kelas pada jam pertama di tahun ajaran baru itu, guru yang duduk di sebelahnya di ruang guru menyapa mantan mahasiswa IKIP Jakarta (sekarang bernama Universitas Negeri Jakarta) yang berasal dari Yogyakarta itu, “Bapak, kamu guru baru yang dari Jawa itu, ya? Siapa nama kamu, Pak?” Walau tampak kaget, Agus memperkenalkan diri kepada ibu guru berwajah ramah yang katanya penduduk asli di sana sebelum dia masuk ke kelas. Di kelas, sebelum memulai pelajaran pertama di kelas 1E, Agus memperkenalkan diri. Setelahnya, ia mempersilakan para siswa yang baru tamat SMP itu untuk bertanya berkaitan dengan perkenalannya. Seorang siswa mengangkat tangan dan bertanya dengan nada santun, “Apa ini pertama kalinya kamu merantau, Pak Guru?” Agus tampak lebih kaget mendengar bagaimana siswa itu menyapanya. Teringat pula olehnya pemilik rumah tempat ia mengontrak. Ketika memberi oleh-oleh bakpia tanda perkenalan kemarin, ia tidak pendengar satu ucapan terima kasih pun dari bapak itu. Si bapak hanya berulang-ulang mengatakan bahwa kue itu tampak akan sangat pas untuk dimakan sambil minum kopi dan memuji Agus sebagai orang baik. Agus menarik napas, pertanyaan siswa tadi merupakan kejutan ke sekian, padahal baru beberapa hari dia berada di ibu kota kabupaten itu.
Keterkejutan yang dialami Agus bukanlah hal yang baru. Orang-orang yang merantau atau berkunjung ke Kabupaten Barito Selatan atau Barito Timur di Kalimantan Tengah atau orang yang merantau ke Kabupaten Tabalong di Kalimantan Selatan, tempat bahasa (Dayak) Maanyan dominan dituturkan, akan mengalami hal yang serupa dengan yang dialami Agus: sangat jarang mendengar ucapan terima kasih dan disapa dengan kamu.
Ketika mengaitkan hal yang dialami Agus dengan apa yang jamak terjadi dalam pergaulan penutur bahasa antarmasyarakat tutur dan budaya yang berbeda, Goddard dan Wierzbicka (2014: 243) mengatakan bahwa orang dalam budaya dan masyarakat yang berbeda itu tidak hanya bertutur dengan menggunakan bahasa dan kata yang berbeda, mereka juga menggunakan bahasa dengan cara yang berbeda. Kata atau leksikon dari sebuah bahasa yang dituturkan berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat penuturnya, baik dari aspek yang terlihat sebagai hal lahir maupun dari aspek yang tidak lihat sebagai hal batin kehidupan (Wierzbicka, 1997: 3 dan 2003: 47). Dengan mengutip pendapat John Locke (1956) dan Edward Sapir, ia menegaskan bahwa makna kata dari bahasa yang berbeda mencerminkan dan meneruskan ciri cara hidup dan cara pikir masyarakat atau masyarakat tutur. Dalam komunikasi antarbudaya dengan bahasa yang berbeda, bahasa melalui sistem linguistiknya memberikan petunjuk yang tidak ternilai untuk memahami budaya yang berbeda. Artinya, dalam masyarakat yang multikultural sekaligus multilingual seperti di Indonesia, hal tersebut menjadi petunjuk untuk saling memahami antarbudaya.
Pemahaman terhadap budaya tertentu dalam pemahaman lintas budaya dapat mengurangi dampak gegar budaya (Kusherdyana, 2011: 14). Keterkejutan yang dialami Agus tersebut dapat diminimalkan bahkan ditiadakan jika ada pemahaman terhadap budaya, yang tecermin dalam bahasanya. Tidak adanya ucapan dengan terima kasih dari pemilik rumah kontrakan Agus serta penggunaan sapaan kamu oleh guru dan murid di sekolah Agus tersebut dapat dijelaskan pada bagian berikut.
B. Ucapan Terima Kasih
Pernyataan terima kasih dalam bahasa Maanyan adalah tarime kasis [ta.ri.m? ka.sis] dapat dipastikan merupakan ungkapan yang diserap dari bahasa Melayu/Indonesia terima kasih. Kata bahasa Indonesia dengan suku terakhir berbunyi [ih] berpadanan dengan [is] dalam bahasa Maanyan, misalnya lebih dan labis atau bersih dan barasis. Begitu juga halnya dengan kata serapan, suku akhir kata asal yang berbunyi [ih] akan menjadi [is] dalam bahasa Maanyan. Penyerapan ungkapan pernyataan terima kasih ini menunjukkan bahwa dalam bahasa Maanyan tidak ada kata asli untuk menyatakan terima kasih.
Ucapan terima kasih merupakan pernyataan terima kasih yang disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur karena penutur mendapatkan keuntungan dari mitra tutur (Park dan Lee, 2012). Tanpa serapan dari bahasa lain, bagi orang Maanyan, pernyataan terima kasih tidak diungkapkan langsung dengan kata khusus seperti terima kasih. Percakapan berikut memperlihatkan bagaimana masyarakat Maanyan mengungkapkan rasa terima kasih dalam bahasa Maanyan.
X memberikan rebung yang diambilnya dari hutan di dekat ladangnya kepada Y. X: Maq, iri pukaq teka tumpung paring hang pinggir ume kami. ‘Om, ini rebung dari rumpun bambu di tepi ladang kami.’ Y: Heheh, kaqeh pukaq kalina nelang muda-muda. Mamis tuu yina naluen bayaq urang, buluq huweq santan babutit. Himat galis nahiq erang kenseng. ‘Wah, bagus(nya) rebung begini lebih-lebih muda-muda. Manis sekali ini dimasak dengan udang, lalu masukkan santan sedikit. Pasti habis nasi satu panci. X: Sipulun. Gere hiq Itak kakan. ‘Ikut-mencicipi. Mudah-mudahan Nenek ingin-makan.’ Y: Himat kakan tuu hanye. Arai hanye naqan ulun maqeh kansang bagawi yalah hanyuq. ‘Pasti dia sangat ingin-makan. Hatinya gembira ada orang baik dan kuat bekerja seperti kamu.’ X: Palus aku, Maq. ‘Pamit-langsung-pergi saya, Om.’ Y: Hayu. Mamaqeh hang lalan nelang maliei udi uran. ‘Ya. Hati-hati di jalan sebab-lagipula licin setelah hujan. Lalu, X pergi meninggalkan Y bersama rebung yang dia berikan.
|
Jika memperhatikan dialog tersebut, tidak ada satu pun ucapan terima kasih atau tarime kasis dari Y kepada X walaupun X mendapatkan keuntungan dari Y yang memberinya sesuatu. Namun, rasa terima kasih Y kepada X disampaikannya dengan strategi lain, yaitu sebagai berikut.
(1) Memuji atau menyatakan semua hal positif terhadap sesuatu yang diterimanya, misalnya dengan pernyataan, “Heheh, kaqeh pukaq kalina nelang muda-muda. Mamis tuu yina ...” ‘Wah, bagus(nya) rebung begini lebih-lebih muda-muda. Manis sekali ini ...’
(2) Menyampaikan hal yang akan dilakukan terhadap apa yang diterimanya atau respons orang lain yang juga secara tidak langsung menerima pemberian itu, misalnya dengan pernyataan, “... naluen bayaq urang, buluq huweq santan babutit. Himat galis nahiq erang kenseng” ‘... dimasak dengan udang, lalu masukkan santan sedikit. Pasti habis nasi satu panci’ juga dengan pernyataan, “Himat kakan tuu hanye.” ‘Pasti dia sangat ingin-makan.’
(3) Memuji orang yang memberikan sesuatu kepadanya tersebut, misalnya dengan pernyataan, “Arai hanye naqan ulun maqeh kansang bagawi yalah hanyuq” ‘Hatinya gembira ada orang baik dan kuat bekerja seperti kamu.’
Dalam bahasa Indonesia dan masyarakat tutur Indonesia, ketika menerima keuntungan dari mitra tuturnya, seorang penutur secara langsung mengucapkan terima kasih atau makasih dan varian ucapan terima kasih lainnya yang kemudian direspons oleh mitra tuturnya dengan sama-sama atau terima kasih kembali atau ucapan balasan lainnya. Rasa terima kasih dalam budaya Indonesia disampaikan dengan ucapan terima kasih. Rasa terima kasih dalam budaya Maanyan disampaikan dengan cara yang berbeda, yaitu dengan ucapan pujian terhadap sesuatu yang diterimanya tersebut dan kepada orang yang memberinya. Ketika mendapatkan oleh-oleh bakpia dari Agus, pemilik rumah kontrakan Agus menerapkan pola strategi berterima kasih dalam bahasa Maanyan yang merupakan bahasa jatinya. Pemilik kontrakan itu menyampaikan nikmatnya bakpia itu dimakan sambil minum kopi serta memuji Agus sebagai orang baik.
Seorang penutur memang tidak sepenuhnya ditentukan oleh perangkat konseptual yang disediakan bahasa jatinya (native language) dan selalu ada cara alternatif bagi seseorang untuk mengekspresikan diri (Wierbicka, 1997). Namun, jelas bahwa cara pandang konseptual masyarakat Maanyan terhadap terima kasih dalam bahasa Indonesia dipengaruhi bahasa jatinya yang tidak mempunyai kata khusus untuk mengucapkan terima kasih, tetapi mempunyai alternatif dalam menyampaikan rasa terima kasih.
Penggunaan tarime kasis oleh anggota masyarakat tutur Maanyan dipengaruhi bahwa penutur bahasa Maanyan juga merupakan penutur bahasa Indonesia atau bahasa lainnya seperti bahasa (Melayu) Banjar. Dalam pergaulan atau interaksi dari dua kebudayaan yang berbeda, yaitu Indonesia-Maanyan (sebelumnya Melayu-Maanyan) atau Banjar-Maanyan, penutur bahasa Maanyan mengenal ucapan terima kasih dan kemudian diserap menjadi tarime kasis. Sebagaimana yang dikatakan Wierzbicka (1997) bahwa bagi masyarakat yang akrab dengan dua bahasa dan budaya, ada bukti diri bahwa bahasa dan pola pikir saling terhubung di antara keduanya. Oleh karena itu, sebagian anggota masyarakat tutur Maanyan yang juga merupakan bagian dari masyarakat tutur Indonesia dan masyarakat tutur Banjar juga mulai menggunakan ucapan terima kasih atau tarime kasis.
C.Sapaan Kamu
Masyarakat tutur Indonesia menggunakan pronomina orang kedua sebagai sapaan selain menggunakan istilah kekerabatan, gelar/pangkat, nomina, pe- + verba, deiksis, dan zero (Kridalaksana, 1982). Pronomina orang kedua yang digunakan sebagai sapaan pun beragam, yaitu kamu, engkau, kau, dan Anda. Alwi, dkk. (1998: 260) dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBI) menyampaikan bahwa Anda digunakan dalam hubungan yang tidak pribadi dan dalam keadaan si penutur tidak ingin bersikap terlalu formal dan terlalu akrab, sedangkan kamu digunakan oleh orang tua kepada orang muda. Kaswanti Purwo (1982: 23) dan Alieva (1991: 244) mengatakan bahwa sapaan kamu dipakai oleh orang yang dekat hubungannya; panggilan orang yang lebih tua umurnya kepada yang lebih muda. Kamu digunakan oleh peserta ujaran yang sudah akrab hubungannya atau dipakai oleh orang yang status sosialnya lebih tinggi untuk menyapa lawan bicara yang status sosialnya lebih rendah. Sebaliknya, Anda dianggap sebagai sebutan ketakziman untuk persona kedua serta merupakan panggilan yang sopan dan resmi. Sementara itu, engkau dipakai dalam ragam sastra dan kau digunakan oleh penutur bahasa Indonesia dari etnis tertentu.
Dalam masyarakat tutur Maanyan, menyapa orang dapat dilakukan dengan pronomina orang kedua, nama, panggilan, jabatan/pangkat, istilah kekerabatan, dan sapaan beku. Namun, pronomina persona yang terbatas, yaitu hanya hanyuq dan -nu untuk promonina orang kedua tunggal dan naun untuk pronomina orang kedua jamak, digunakan dengan pola tertentu. Dalam menyapa, pronomina orang kedua digunakan sebagaimana yang dijelaskan oleh Karenisa (2018) dalam percakapan (1) dan (2) berikut.
(1) X: Haut manrus sa hanyuq?
sudah mandi QM 2SG
‘Sudah mandikah kamu?’
Y: Huqan, Neh.
NEG SAPAAN-bu
Belum, Bu.’
(2) Y1: Subaqnu nunti bayaq tataqnu.
Coba-2SG INTR-tanya dengan kakak-mu
‘Coba kamu bertanya kepada kakakmu.’
Y2: Anreinu ai hanye mudi sakulaq.
TRANS-tunggu-2SG saja 3SG pulang sekolah saja
‘Kamu tunggu saja dia pulang sekolah.’
(3) X: Jam pire ambahnu ngalap naun?
Jam Q-berapa ayah-mu TRANS-jemput 2PL
‘Jam berapa ayahmu menjemput kalian?’
Y: Huqan nelpon hanye, Tak.
NEG TRANS-telpon 3SG SAPAAN-(ne)nek
‘Dia belum menelepon, Nek.’
Pada percakapan antara penutur dan mitra tutur yang berbeda status (X dan Y), terlihat bahwa penutur yang diberikan sapaan pronomina persona akan mendapatkan sapaan kesantunan seperti sapaan kekerabatan (3) atau sapaan panggilan (1). Namun, dalam sapaan antarteman yang statusnya sama (2), digunakan sapaan pronomina persona kedua -nu saja secara resiprokal, penyapa memberi pronomina persona kedua dan menerima pronomina persona kedua.
Pada banyak peristiwa tutur, pronomina pun digunakan oleh penutur yang statusnya lebih rendah kepada yang statusnya lebih tinggi. Percakapan (4) dan (5) memperlihatkan penggunaan pronomina kepada X yang status sosialnya lebih tinggi karena merupakan generasi yang lebih tinggi dalam hierarki kekerabatan.
(4) X: Kuman taqati sa kamu, Itak Ge?
makan sekarang QM 2SG SAPAAN-Nenek Ge
‘Nenek Ge, kamu makan sekarangkah?’
Y: Aku huqan kalauan.
1SG belum lapar.
’Saya belum lapar.’
(5) X: Uu Pak Dokter, araiku hanyuq ganta.
INT SAPAAN-profesi senang-ku 2SG berkunjung
‘O Pak Dokter, aku senang kamu berkunjung.’
Y: Hiai, Datuq. Sigar sa haut hanyuq, Tuq?
ya kakek/nenek-buyut sehat QM sudah 2SG SAPAAN-kakek/nenek buyut
‘Ya, Kakek/Nenek-Buyut. Kamu sudah sehatkah, Kakek/Nenek-Buyut?’
Penggunaan sapaan pronomina persona hanyuq, -nu, dan naun saja dalam percakapan dengan mitra tutur yang lebih tua atau lebih tinggi status sosialnya akan menyebabkan penutur dianggap tidak memahami bagaimana bertutur sapa dalam bahasa Maanyan. Strategi yang dilakukan oleh penutur dalam menggunakan pronomina persona yang dianggap sebagai pronomina persona solidaritas dalam bahasa Maanyan tersebut adalah dengan memadukannya dengan sapaan panggilan, seperti Itak Ge pada percakapan (4), dan dengan sapaan jabatan/profesi modern, seperti Pak Dokter pada percakapan (5). Dengan perpaduan atau sapaan ganda tersebut, Y dianggap menghormati X.
Sewaktu menyapa Agus, guru bahasa Indonesianya, dengan kamu dalam kalimat “Apa ini pertama kalinya kamu merantau, Pak Guru?”, murid kelas 1 SMA tersebut menerapkan pola santun dalam konsep sapaan Maanyan dengan pronomina persona kedua + sapaan hormat, yaitu sapaan profesi/jabatan. Dalam pola kesantunan sapa-menyapa dalam bahasanya, murid tersebut sudah menyapa dengan sopan. Namun, saat murid tersebut menerjemahkan pola sapaan bahasa Maanyan ke dalam bahasa Indonesia yang mempunyai varian sapaan dengan pronomina persona kedua, bagi penutur bahasa Indonesia (terutama bagi yang berlatar belakang bahasa jati yang mengenal tingkat tutur dengan variasi tuturan yang lebih beragam seperti bahasa Jawa), menyapa dengan pola seperti murid kelas 1 SMA tersebut dianggap tidak memenuhi syarat kesantunan.
Pola sapaan yang sama digunakan oleh rekan sejawat guru Agus. Ibu guru tersebut menyapa Agus dengan sapaan hormat dengan sapaan kekerabatan Bapak dan Pak yang digabung dengan pronomina kamu dalam kalimat “Bapak, kamu guru baru yang dari Jawa itu, ya? Siapa nama kamu, Pak?” Ibu guru tersebut tidak pernah menganggap bahwa penggunaan kamu yang dia identikkan dengan hanyuq/-nu dalam bahasa Maanyan yang ia gunakan untuk menyapa orang tua atau orang yang dihormatinya dalam budayanya akan dianggap sebagai sapaan yang tidak sopan oleh penutur lainnya karena ia telah menggabungkannya dengan sapaan kekerabatan sebagai sapaan kesantunan.
Pilihan sapaan orang kedua dalam bahasa Indonesia bagi penutur jati bahasa Maanyan pada dasarnya dipengaruhi oleh kontaknya dengan bahasa Indonesia. Penutur yang baru tamat SMP umumnya mengenal sapaan orang kedua kamu atau kalian saja. Hal ini karena guru di sekolahnya (salah satu tempat bahasa Indonesia digunakan dengan aktif) menyapa para murid dengan kamu, sama dengan di buku pelajaran yang mereka gunakan. Pilihan sapaan kamu dan kalian tersebut merupakan kebijakan pemerintah untuk menggunakan sapaan yang menunjukkan kedekatan tersebut di sekolah. Pemerintah bermaksud membuat sekolah menjadi menyenangkan karena murid dekat dengan gurunya yang tecermin dalam penggunaan sapaan oleh guru kepada murid. Namun, hal ini pulalah yang membuat pengetahuan murid pendidikan dasar terhadap sapaan dengan pronomina terbatas pada kamu dan kalian. Ketika Agus disapa dengan kamu oleh muridnya, hal itu juga disebabkan terbatasnya pengetahuan murid tentang sapaan di dalam bahasa Indonesia.
Dengan mudahnya komunikasi dan transportasi, kontak masyarakat tutur Maanyan dengan budaya lain menjadi lebih kerap sehingga paparan bahasa Indonesia menjadi lebih kuat. Hal ini memengaruhi penggunaan bahasa Indonesia masyarakat berbudaya Maanyan. Ada adaptasi yang dilakukan masyarakat Maanyan ketika menggunakan sapaan dalam bahasa Indonesia. Penyesuaian atau adaptasi antara lain menghilangkan penggunaan sapaan pronomina persona kedua dari kalimat dan menggantinya dengan sapaan hormat + sapaan hormat, misalnya “Bu Guru, apa Bu Guru mau ikut kami menjenguk Santi di rumah sakit?” Penggunaan sapaan seperti ini mulai banyak digunakan oleh penutur usia sekolah di ibu kota kabupaten.
D. Masih Menunggu?
Penjelasan tentang tidak adanya kosakata khusus berupa ucapan terima kasih dan pola sapaan dengan pronomina persona kedua dalam masyarakat tutur Maanyan yang memengaruhi penggunaan bahasa Indonesianya serta tanggapan mitra tutur bahwa penutur tersebut tidak memenuhi kriteria kesantunan dalam berbahasa Indonesia itu menunjukkan hal sebagai berikut. Pertama, dalam masyarakat dan budaya yang berbeda, orang bertutur secara berbeda pula. Kedua, perbedaan dalam cara bertutur itu mendalam dan sistematis. Ketiga, perbedaan tersebut mencerminkan perbedaan nilai budaya. Keempat, perbedaan cara tutur dan gaya komunikasi dapat dijelaskan dan masuk akal.
Tidak adanya ucapan terima kasih dalam budaya asli Maanyan bukan berarti masyarakat dalam budaya tersebut tidak dapat berterima kasih. Rasa terima kasih diungkapkan dengan pujian dan harapan, baik terhadap apa yang diterimanya maupun kepada orang yang memberi sesuatu kepadanya. Dalam hal ini, penutur bahasa dapat berpikir tentang sesuatu yang tidak ada kata atau leksikonnya di dalam bahasanya walaupun kata/leksikon itu merupakan pengabadian dan kristalisasi ide tertentu dan memengaruhi pikiran manusia.
Penggunaan pronomina persona kedua yang terbatas pada hanyuq, -nu, dan naun dalam masyarakat tutur Maanyan memengaruhi pola sapaan dengan pronomina persona kedua ketika penutur yang sama berada pada masyarakat tutur yang berbeda, seperti masyarakat tutur Indonesia. Hanyuq, -nu, dan naun merupakan sapaan yang demokratis, egaliter, dan menjadi perangkat penghilang jarak antara penutur dan mitra tutur. Namun, penutur juga menggunakan sapaan ganda, yaitu memadukan sapaan pronomina persona kedua dan sapaan kekerabatan/profesi/jabatan, sebagai penanda kesantunan.
Saling memahami budaya dalam masyarakat multikultural juga multilingual dilakukan untuk mengurangi gegar budaya dan menghindari konflik untuk mencapai keselarasan atau harmoni sosial. Setiap budaya mempunyai repertoar ciri tindak tutur dan genre tuturnya masing-masing. Oleh karena itu, perbandingan sistem linguistik dalam budaya yang berbeda seperti budaya Maanyan dan budaya Indonesia yang dipengaruhi latar belakang budaya lainnya akan memunculkan dikotomi santun-tidak santun, setuju-tidak setuju, menerima-menolak, sanjungan-hinaan, dan lain-lain. Untuk menghindarinya, analisis lintas budaya harus bebas budaya tertentu. Walau tidak dapat dipisahkan dari identitas penutur dan mitra tutur, sudut pandang emik patut lebih diutamakan daripada sudut pandang etik. Sudut pandang etik akan melihat perilaku tutur orang Maanyan dalam berbahasa Indonesia (seperti murid dan rekan kerja Agus) sebagai tuturan yang tidak santun karena referensi kaidah bahasa Indonesia (yang pasti dipengaruhi bahasa jati) si mitra tutur. Pandangan emik akan melihat bahwa perilaku penutur yang beragam tersebut mencerminkan fakta bahwa sistem budaya dari budaya-budaya yang disandingkannya itu memang berbeda. Dengan demikian, secara etik, seseorang akan menunggu ucapan terima kasih dan sapaan bukan kamu dalam bahasa Indonesia penutur jati bahasa Maanyan. Namun, secara emik, seseorang akan memahaminya sebagai bagian dari komunikasi lintas budaya di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Alieva, N.F., dkk. 1991. Bahasa Indonesia: Deskripsi dan Teori. Yogyakarta: Kanisius.
Alwi, Hasan.1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Goddard, Cliff dan Anna Wierzbicka. 2014. Words and Meaning: Lexical Semantics across Domains, Languages, and Cultures. Oxford: Oxford University Press.
Karenisa, Kity. 2018. “Sapaan dalam Masyarakat Tutur Maanyan: Kekuasaan dan Solidaritas” sebagai makalah tugas dalam mata kuliah Sosiolinguistik di Program Magister Linguistik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Kridalakasana, Harimurti. 1982. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende: Nusa Indah.
Kusherdyana. 2011. Pemahaman Lintas Budaya: dalam Konteks Pariwisata dan Hospitaslitas. Bandung: Alfabeta.
Park, Hee Sun dan Hye Eun Lee. 2012. “Cultural Differences in “Thank You”” dalam Journal of Language and Social Psychology 31 (2) halaman 138—156.
Purwo, Bambang Kaswanti. 1982. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wierzbicka, Anna. 1997. Understanding Cultures Through Their Keys Words. New York: Oxford University Press.
Wierzbicka, Anna. 2003. Cross-Cultural Pragmatics: Semantics of Human Interaction (second edition). New York: Mouton de Gruyter.
Kity Karenisa
...