Membaca Sandiwara Bangsawan sebagai Khazanah dan Cermin Budaya Melayu
1Dalam tradisi pertunjukan, baik disebut teater, drama, sandiwara, dan tonil mempunyai cara dalam mengekpresikan dan mengapresiasikannya. Sebagian kalangan mengartikan teater sebagai gedung pertunjukan—ada juga yang mengartikannya sebagai panggung (stage). Dalam arti luas teater adalah segala tontonan yang dipertunjukan di hadapan orang banyak, misalnya, wayang orang, ketoprak, ludruk, srandul, membai, randai, makyong, arja, rangda, reog, lenong, topeng, dagelan, sulapan, dan akrobatik. Dalam arti sempit, sebagai drama, teater mengisahkan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan banyak orang dengan segenap medianya: percakapan, gerak, dan laku dengan atau tanpa dekorasi berupa layar, juga pelbagai jenis dibutuhkan serta didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra) dengan atau tanpa musik, nyanyian, dan/atau tarian (Harymawan, 1993:2).
Kepulauan Riau termasuk wilayah “strategis” dalam khazanah budaya Melayu: Kepulauan Daik Lingga yang bermoto “Tanah Bunda Melayu” dapat disebut sebagai muara kebudayaan (juga bahasa) Melayu. Moto tersebut bukan sekadar adagium belaka mengingat tradisi teater/sandiwara tradisional, seperti bangsawan, makyong, mendu, langlang buana, serta tonil merupakan teater/sandiwara terkenal dalam kehidupan masyarakat Kepulauan Riau. Salah satudi antaranya n ialah teater/sandiwara bangsawan.
Bentuk kesenian bangsawan terkadang disebut dengan istilah teater bangsawan, tetapi bagi masyarakat Lingga lebih akrab disebut sandiwara bangsawan. Berbagai istilah atau nama pertunjukan bangsawan yang berbeda-beda memang tidak terjadi saat ini, tetapi telah menjadi serpihan sejarah sejak awal kemunculan. Untuk itu, misalnya, ada yang menyebutnya sebagai wayang bangsawan, tonil, stambul, dan opera (Zulkifli Harto dan Suarman, 2015).
Satu tradisi pertunjukan teater dalam perkembangannya, yang merupakan salah satu warisan budaya tak benda dalam khazanah masyarakat Melayu di Kepulauan Riau, khususnya di Kepulauan Lingga, adalah kesenian teater bangsawan. Dari perkembangan tersebut, konon Pulau Pinang di Semenanjung Tanah Melayu dahulu merupakan sebuah kota yang banyak dihuni oleh penduduk yang berasal dari India (bagian selatan). Setelah itu, tersiar kabar (dalam Tusiran Suseno, dkk.)[1] bahwa suatu rombongan wayang dari India cukup lama menetap di situ. Karena corak seni pertunjukan mereka belum pernah dikenal sebelumnya oleh masyarakat setempat, perkumpulan atas koloni India tersebut mudah/cepat terkenal dan menjadi anutan masyarakat. Kala itu penduduk menamakan kelompok kesenian tersebut Wayang Indra Sabor. Meski pertunjukan dilakukan dalam bahasa India, yang notabene penonton tidak mengerti bahasanya, mereka menyenangi pertunjukan tersebut. Namun, disayangkan, kelompok tersebut tidak bertahan lama.
Dalam menyoal tradisi pertunjukan teater, dalam hal ini khususnya teater bangsawan, Direktorat Interanalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya (Zulkifli Harto dan Suarman, 2015) mengatakan bahwa tradisi tersebut merupakan seni pertunjukan tradisional yang masih diminati oleh masyarakat pemiliknya sekalipun dalam perkembangannya mengalami pasang-surut. Berkat kecintaan masyarakat serta peran aktif pemerintah daerah, kesenian tradisi tersebut masih dapat disaksikan. Tentunya juga berangkat dari suatu harapan bahwa kesenian tradisional, khususnya teater bangsawan dapat menjadi bagian dari sumber nilai dalam rangka membentuk karakter dan martabat masyarakat, khususnya generasi muda.
Penegasan selanjutnya ditambahkan oleh Khamarul Zaman[2] bahwa gambaran umum cerita bangsawan—kalau boleh dikatakan asumsi pemikiran secara keseluruhan—merupakan penggambaran situasi Kerajaan Daik Lingga Riau. Tepatnya ialah seorang panglima yang bergelar guru, yang senantiasa mencurahkan seluruh “keilmuannya” hingga tuntas kepada anak buahnya. Guru tersebut bersama anak buahnya yang berprinsip keberanian “bersama-sama mati”, yang selanjutnya menjadi sumber cerita yang mengacu pada Sumpah Melayu Riau.
Khamarul Zaman, salah seorang narasumber di lapangan, menambahkan bahwa tradisi kesenian bangsawan di Kecamatan Lingga, khususnya Daik, cukup lama dikenal. Ada menyebut panggung bangsawan dan ada juga menyebutnya tonil, keduanya serupa dan memiliki kesamaan bentuk. Dalam perkembangan berikutnya seni bangsawan merupakan seni panggung yang dimainkan oleh “ramai orang”.
Berbicara menyoal Tradisi sandiwara bangsawan tradisi tersebut tidak hanya di Kabupaten Lingga, tetapi persebarannya juga terdapat di Pinang, Dabo Singkep, Sungai Buluh, serta Merawang. Tradisi bangsawan, sebagai tradisi yang berkembang dengan pesat, juga tersebar melalui drama radio. Hal tersebut tampak dari keantusiasan masyarakat menanti setiap pertunjukan bangsawan, selain juga bagian dari ekstrakurikuler di beberapa sekolah di Kabupaten Lingga.
Tulisan ini difokuskan pada keberpengaruhan tradisi sandiwara/teater tradisional bangsawan dalam perkembangannya. Tulisan ini juga akan mendeskripsikan jejak sandiwara bangsawan yang dapat terus bertahan dan berkembang di Kepulauan Riau, tepatnya Kabupaten Lingga. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan Sanggar Sri Mahkota masih bertahan dan berkembang sampai sekarang.
Dukungan dan Keberlangsungan Kesenian Bangsawan
Satu versi sejarah menceritakan bahwa tradisi kesenian bangsawan berasal dari negeri Parsi (Iran). Selanjutnya, seni tradisi ini menjadi kesenian wayang Parsi Sabor yang tersebar melalui India dan hingga ke Kesultanan Melayu[3]. Perihal itu telah dikupas dalam satu tulisan dalam sebuah buku[4] terbitan Malaysia. Dalam tulisan tersebut sulit dipercayai bahwa kesenian bangsawan berasal dari negeri Parsi karena kesenian wayang Parsi telah punah dan dalam perkembangan selanjutnya muncul kesenian wayang bangsawan. Jenis cerita yang dibawakan, bahasa, dan tampilan busana yang dipakai oleh para pemain dan lainnya telah berubah dan berbeda. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kesenian bangsawan tidak berasal dari wayang Parsi.
Pemberian nama bangsawan ada beberapa versi, di antaranya ada mengatakan bahwa kemunculan nama bangsawan bermula dari Mohammad Puisi yang tinggal di Pulau Penang. Ia menamakan kelompok keseniannya itu Pushi Indra Bangsawan of Penang. Nama kelompok kesenian tersebut bukan bangsawan, melainkan mendu. Penyebaran nama bangsawan justeru berasal dari kumpulan seni drama yang berasal dari masyarakat Melayu yang berdiam di Kesultanan Melayu, wilayah pesisir timur Sumatra, seperti Deli, Langkat, dan daerah Kalimantan Barat, Riau, hingga Kepulauan Riau. Pendapat lain mengatakan bahwa nama bangsawan itu dipakai karena hampir semua ceritanya mengenai raja-raja. Mungkin karena itulah seni pertunjukan tersebut dipelihara oleh hampir di semua istana Kerajaan Melayu[5].
Persebaran kesenian bangsawan di wilayah pesisir timur Sumatra dan beberapa daerah Kesultanan Melayu selalu mengalami pasang surut dan sering dalam pertumbuhan dan sejarah perkembangannya hingga saat ini meredup, bahkan sudah banyak punah dari dunia pentas/ pertunjukan masyarakat Melayu. Lain halnya dengan perkembangan kesenian ini di wilayah Kepulauan Riau, khususnya Kabupaten Lingga, kesenian bangsawan tumbuh subur walaupun tetap mengalami pasang surut. Kesenian bangsawan tetap menjadi salah satu khazanah tradisional di Kabupaten Lingga.
Kesenian bangsawan lebih dikenal dengan nama sandiwara bangsawan yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten Lingga Ada beberapa kelompok seni/sanggar yang mengkhususkan kelompok mereka bergerak dalam bidang kesenian bangsawan. Pemerintah Pusat, melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, juga memberikan perhatian khusus terhadap kehidupan sanggar di daerah Lingga serta melestarikan budaya yang tumbuh dan berkembang di daerah tersebut[6].
Kesenian bangsawan sebagai seni pertunjukan tradisional dalam masyarakat Melayu memiliki karakteristik dengan seni pertunjukan lainnya. Di antaranya tampak dari kemampuan para pemainnya melakukan improvisasi dalam setiap dialog dan adegan. Akan tetapi alur cerita tetap pada ketertiban “napas naskah” atau tidak menyimpang dari tema (pemikiran) yang disampaikan. Selain itu, kemampuan para pemain dalam melakukan “olah kata dan rasa” dan dialog yang bernuansakan Melayu sarat akan pantun, syair, serta banyolan yang menghibur khalayak penonton.
Dukungan Sarana dan Prasarana
Dalam mengembalikan nilai-nilai kesenian Melayu yang terendam supaya tidak tergeser di arus modernisasi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Balai Pelestarian Nilai Budaya Kota Tanjungpinang, pernah melaksanakan Workshop Teater Tradisional pada 28 Agustus 2015[7]. Kegiatan itu terlaksana atas kerja sama dengan Disbudpar Kabupaten Lingga, Lembaga Adat Melayu, dan Dewan Kesenian Kabupaten Lingga[8]. Peserta workshop terdiri atas para pelaku seni, baik yang diundang sebagai perwakilan sanggar maupun guru sekolah se-Kepulauan Riau dan siswa, agar lebih mengenal lebih dekat seni peran Melayu itu.
Kegiatan workshop teater tradisional ini diharapkan bisa menghidupkan kembali pertunjukan seni, baik seni peran maupun pertujukan lainnya, untuk mengangkat Bunda Tanah Melayu hingga ke kancah Internasional lewat kebudayaannya.
Menurut Said Parman, kesenian bangsawan adalah identitas Kabupaten Lingga meskipun banyak yang tidak mengetahui secara detail baik pertunjukan, konsep, fungsi, maupun perannya terhadap sosial masyarakat. Kesenian bangsawan memang tidak lahir dari Lingga, tetapi lewat budaya adopsi dan adaptasi dan telah “mendarah daging” dalam kehidupan masyarakat Lingga.
Kesenian bangsawan di Kabupaten Lingga bekembang di Daik Lingga dan di Dabo Singkep. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi informasi, kesenian bangsawan dan kesenian lokal lain yang mentradisi terkesan mengendur. Oleh sebab itu, menurut Said, perlu diadakan workshop agar penanaman nilai kesenian tradisi dapat tertanam pada diri generasi muda. Kegiatan tersebut juga menjadi langkah awal pengembangan kesenian bangsawan, juga seni pertunjukann seperti seni peran, musik, tari, sastra, pantun, dan puisi.
Lewat kegiatan workshop ini, Said berharap terbit angin segar bagi para pelaku seni. Agar warisan kebudayaan dapat disejajarkan dengan kemajuan saat ini, ia juga berharap agar pendidikan seni tradisi dapat dimasukkan dalam muatan lokal di sekolah.
Pemodelan Revitalisasi Kesenian Bangsawan
Cerita yang dibawakan dalam pementasan bangsawan cenderung karya cipta sutradara/penulis berbasis kisah masa lalu, sejarah/legenda, dan/atau kisah tentang kebesaran Melayu pada masa kerajaan, termasuk syair dan hikayat yang gelar dalam bentuk drama[9].
Dalam sandiwara bangsawan cerita yang sering diangkat ke atas pentas adalah sosok tokoh Hang Tuah, Sultan Mahmud Mangkat di Dulang, Apek Wangtai, Panglima Elang Laot, dan Laksamane Elang Laot[10], Dalam perkembangan berikutnya cerita bangsawan mulai memuat cerita kontemporer dari berbagai daerah di luar dunia Melayu, misalnya, cerita dari Tanah Karo (Batak), Minangkabau, Kalimantan, dan Jawa. Hal tersebut secara langsung memperlihatkan bahwa panggung bangsawan sesungguhnya dirasa “dinamis”, akomodatif dan mudah menerima cerita dari luar komunitasnya. Selama ini karakteristik panggung bangsawan diwarnai oleh cerita-cerita yang berparas istana dan selalu mengesankan “raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah”. Perlu diketahui bahwa masyarakat masih mendambakan konsep “pencitraan” bahwa wayang bangsawan dapat dianggap atau merupakan representasi kebudayaan leluhur mereka.
Pementasan Sandiwara Bangsawan
Dalam sandiwara bangsawan kesuksesan tidak hanya berbicara saat pertunjukan berlangsung, tetapi juga tahap persiapan perlu dikerjakan dengan baik Proses latihan adalah tahapan penting yang tidak dapat dilupakan, termasuk hal yang berkaitan dengan properti pendukung pertunjukan, busana, tata panggung, pemusik, pentas, lampu (penerangan), hingga perizinan.
Hal terpenting yang tidak boleh dilupakan dalam pementasan sandiwara bangsawan selalu didahului dengan “doa selamat atau kenduri tolak bala” agar tiada halang merintang dalam pementasan tersebut.
Pementasan sandiwara bangsawan diawali dengan kata sekapur sirih pengantar yang disampaikan oleh seorang pembawa acara untuk (MC) yang membuka acara atau sekapur sirih kalau boleh disebut semacam prolog yang menginformasikan kepada penonton tentang judul cerita yang hendak disampaikan dipentaskan serta nama para . Pada acara pembuka tersebut juga memperkenalkan para pemain yang akan memerankan tokoh cerita. Ada kalanya perkenalan para pemain dilakukan pada sesi akhir cerita.
Setelah sesi acara pembuka, dimulailah pertunjukan bangsawan. Sambil menunggu layar/taber panggung dibuka, para penonton digiring melalui suatu cerita oleh pemandu acara atau melalui senandung syair yang berisikan pengantar cerita pada babak pertama.
Setelah selesainya iringan syair atau cerita sebagai pengantar, kemudian layar/taber biasanya berwarna polos tanpa gambar, dibuka secara perlahan sebagai tanda dimulainya cerita babak pertama. Setiap babak menampilkan layar latar belakang (disebut dengan taber) sesuai dengan lokasi cerita yang ditampilkan. Jumlah layar/taber latar belakang bergantung pada jenis cerita, biasanya terdapat lima hingga tujuh layar/taber sebagai latar belakang bergambar suasana tertentu, seperti latar/taber istana, taman/hutan, pantai, rumah Datok, rumah Dayang Suri, gua, gunung, atau laut. bergantung pada kebutuhan penceritaan yang akan ditampilkan.
Setelah selesai satu babak, layar/taber depan diturunkan/ditutup. Pada babak berikutnya kembali disampaikan pengantar lewat syair atau cerita tentang isi cerita, Selanjutnya, layar/taber depan akan dibuka secara perlahan, demikian pula latar belakang (taber) telah berganti gambar sesuai dengan jalan cerita. Demikianlah tahapan yang berlaku pada setiap babak cerita dalam kesenian sandiwara Bangsawn hingga berakhirnya pementasan.
Pelengkapan Sandiwara Bangsawan
Pada setiap pementasan bangsawan ada properti yang disebut seben, yang berdiri tegak sedikit miring yang berada di bagian sisi kiri dan kanan pentas. Keberadaan seben tidak hanya sebatas pelengkap dekorasi, tetapi memiliki fungsi sebagai pintu masuk dan keluar para pemain.
Tokoh yang diperankan dalam pementasan bangsawan bermacam-macam. Dalam setiap pementasan terdapat peran tokoh raja dan permaisuri karena cerita yang dikemas berkisah tentang raja dan kerajaan. Oleh karena itu, pastilah ada peran raja dan permaisuri, perangkat jabatan dalam istana, seperti tokoh menteri, hulubalang, inang, dan dayang. Selain itu, ada pula peran sri panggung (peran yang dibawakan oleh seorang wanita cantik), saudagar, anak muda, dan berbagai peran lainnya.
Orang-orang yang terlibat di Dalam pementasan bangsawan (di atas pentas) banyak orang yang terlibat di luar tokoh untuk mendukung keberhasilan pertunjukan, seperti sutradara, penarik layar/taber, pengganti busana pemain, dan pemusik, Secara keseluruhan para pendukung Jika dihitung orang yang terlibat dalam proses sebuah pertunjukan sandiwara Bangsawan kurang lebih 40 hingga 50 orang.
Busana yang digunakan para pemain sandiwara bangsawan pada umumnya adalah busana Melayu, yang kelayakannya disesuaikan dengan peran tokoh, seperti -raja, permaisuri, nelayan, petani, dan hulubalang dan sebagainya—umumnya menyesuaikan pada tokoh yang diperankan.
Alat musik yang digunakan dalam sandiwara bangsawan biola, gong, gendang, seruling, akordeon, dan lainnya. Para pemainnya adalah orang-orang yang pada umumnya sudah terbiasa dan mahir memainkan alat musik Melayu dan sangat hapal berbagai melodi lagu. Bunyi-bunyian yang dikeluarkan oleh kelompok musik tentu harus sesuai dengan suasana dan arahan sutradara.
Dalam perjalanan waktu sandiwara bangsawan juga mengikuti perkembangan zaman, termasuk pemanfaatan tata lampu atau perlengkapan penerangan. Walau tidak secanggih tata cahaya dalam teater modern, penataan lampu dan panggung telah menjadi perhatian khusus bagi pengelola sandiwara bangsawan agar pertunjukan lebih menarik. Pada masa lalu perlengkapan penerangan hanya didukung seadanya, seperti lampu petromak atau strongkeng (mentol) dengan menggunakan minyak tanah.
Selain penataan cahaya, dukungan sound system yang baik juga menjadi penentu kesuksesan penampilan sandiwara bangsawan. Dikatakan demikian karena pementasan sandiwara bangsawan tidak di dalam gedung, tetapi selalu ditampilkan di lapangan terbuka.
Bermain Sandiwara Bangsawan
Dalam sandiwara bangsawan terdapat unsur yang memberi bentuk terhadap seni pentas tradisonal tersebut[11]. Bentuk struktur sandiwara bangsawan yang dimaksud dalam konteks ini adalah sebagai berikut.
- Tempat pertunjukan bangsawan berupa pentas proscenium, yang penontonnya dari satu arah. Terdapat layar depan yang membuka dan menutup. Di belakang juga terdapat backdrop atau layar situasi (membawa situasi tertentu) yang menggambarkan keadaan alam, istana, dan sebagainya. Dalam kesenian bangsawan biasanya terdapat tujuh buah layar situasi. Layar situasi yang wajib dimiliki ialah istana, hutan, taman, pantai, interior (lanskap) rumah penduduk, alun-alun disertakan gerbang istana. Pada kiri dan kanan terdapat sebeng yang berfungsi melindungi para pemain supaya tidak terlihat penonton dari bawah.
- Cara pementasan dalam menggunakan sistem babakan. Setiap babak menggambarkan kejadian sesuai dengan alur cerita yang ingin disampaikan, begitu seterusnya hingga selesailah semua babak ditampilkan.
- (3) Tata rias dan busana dalam menggunakan rias karakter dan rias cantik natural. Busana yang dikenakan oleh pemain/pelakon
sesuai dengan karakter yang diperankan. Pada umumnya pemeran di istana selalu memakai baju kurung Melayu. Para raja dan pembesar kerajaan selalu memakai baju kurung cekak musang. Para pengawal memakai baju kurung teluk belanga, sedangkan warga masyarakat biasa menggunakan pakaian sehari-hari. - Tata cahaya lebih banyak menggunakan lampu penerangan umum, setidaknya terang untuk menyampaikan situasi siang dan gelap untuk menyampaikan situasi malam.
- Musik lebih banyak dipakai saat pergantian babak dan mengiringi biduan dalam bernyanyi. Terkadang dalam adegan para pelaku harus bernyanyi dan memerlukan dukungan properti (kelengkapan) yang baik serta alami.
- Properti yang digunakan berupa set panggung dan peralatan persenjataan yang bercorak tradisi, seperti keris, tombak, dan pedang, peran (penokohan) yang dibawakan.
- Dialog selalu menggunakan bahasa Melayu Lama atau bahasa Indonesia bercorak dialek setempat, seperti contoh berikut.
Raja : Wahai Mamak Mentri
Mamak Mentri: Ampun Tuanku
Raja : Bagaimana pendapat Mamak Mentri tentang Kerajaan beta?
Mamak Mentri : Menurut pendapat patik semua dalam keadaan aman, Tuanku - Para pemain harus sesuai dengan jenis kelamin. Jika peran pelaku sebagai seorang raja (laki-laki), ia haruslah laki-laki dan permaisuri haruslah perempuan. Tidak diperkenankan laki-laki berdandan seperti perempuan, begitu juga sebaliknya, kecuali dalam lakon tertentu yang dikondisikan adegan penyamaran.
Naskah dan Sutradara dalam Sandiwara Bangsawan
Dalam pementasan sandiwara Bangsawan ada seorang sutradara yang mengatur laku pemain di atas panggung. Untuk memudahkan pementasan, sutradara dilengkapi dengan naskah. Pada masa lalu naskah biasanya berupa catatan pembabakan[12], lalu para pemain menterjemahkannya. Berikut contoh sandiwara Bangsawan dalam naskah cerita “Seruling Sakti”.
Babak I : Istana Kerajaan Pasir Melintang
Raja Pasir Melintang bersama pegawai Istana berada di Balai Rung Sri untuk membicarakan keadaan negeri yang sedang berperang dengan Kerajaan Gunung berkabut.
Babak II : Kerajaan Gunung Berkabut
Raja Gunung Berkabut sedang berunding dengan para pembesar istana untuk menyerang kerajaan Pasir melintang. Putra Mahkota juga hadir, tetapi tidak terlalu senang dengan rencana ayahnya.
Babak III : Taman Istana Kerajaan Pasir Melintang
Putri Raja Pasir Melintang sedang bermain-main di Taman Istana. Dia menceritakan pada Inang Dayang akan sebuah mimpinya tadi malam. Putri bermimpi menaiki kuda putih sembrani bersama seorang pangeran.
Babak IV : Hutan di Pinggir Kerajaan Gunung Berkabut
Di dekat sebuah hutan Raja Gunung Berkabut sedang menyusun taktik menyerang Kerajaan Pasir Melintang. Tiba-tiba dari kejauhanterdengar sorak dan gendering perang dari Kerajaan Pasir Melintang. Akhirnya terjadi perang. Kerajaan Gunung Berkabut kalah, lalu melarikan diri. Pasukan Kerajaan Pasir Melintang meninggalkan medan perang kembali ke kerajaan.
Babak V : Kerajaan Gunung Berkabut
Raja Gunung Berkabut nampak muram. Lalu memerintahkan pengawal menjemput Datuk Bomo. Kepada Datuk Bomo diminta agar mengerjai Putri Kerajaan Pasir Melintang. Keinginan Raja dipenuhi dan yang dapat mengobati adalah siapa saja yang mengambil buluh perindu di Goa Gunung Berkabut yang dijaga Jin Raksasa. Hal ini didengar oleh pangeran.
Babak VI : Kerajaan Pasir Melintang
Raja dan seisi istana sedang bergembira ria merayakan kemenangan. Tiba-tiba dari dalam istana terdengar jeritan putri yang berlari-lari ketakutan kemudian jatuh pingsan. Bomo kerajaan mencoba menilik, lalu menyampaikan bahwa putri “diguna-guna”. Raja memerintahkan kepada hulubalang untuk mengumumkan keadaan putri yang sedang gering. Dan menyampaikan sayembara, sesiapa dapat mengobati putri, jika dia perempuan maka akan dijadikan saudara, jika lelaki akan dikawinkan dengan putri.
Babak VII : Goa di Hutan dekat Gunung Berkabut
Tampak seseorang mengendap-endap. Dia adalah pangeran kerajaan Gunung Berkabut. Dia mencoba mencari buluh perindu. Tiba-tiba dari goa muncul makhluk menakutkan dan menyerang Pangeran. Setelah terjadi perkelahian keluarlah cermin gemala hikmat yang menguasai jin tersebut. Lalu jin itu tunduk pada Pangeran. Lalu buluh tersebutdijadikan seruling. Setelah selesai, Pangeran pun bergerak ke Istana Pasir Melintang.
Babak VIII : Di Kamar Putri Istana Pasir melintang
Penghuni istana dalam keadaan berduka karena putri raja sedang sakit. Berbagai orang datang ingin mengobatinya. Namun tidak berhasil. Kemudian datang Pangeran dengan menyamar sebagai orang biasa. Kemudian dipersilakan untuk mengobati tuan putri. Lalu pangeran meniup serulingnya. Serta-merta putri terbangun dan memeluk ayahnandanya. Sesuai janji, maka putri akan dinikahkan dengan orang yang dapat mengobatinya. Tetapi pangeran minta agar dia diizinkan menjemput ayahnya di kampung. Lalu pangeran berangkat pulang.
Babak IX : Kerajaan Pasir Melintang
Kesibukan di Kerajaan Pasir Melintang mempersiapkan pesta perkawinan. Setelah selesai tiba-tiba datang pengawal melaporkan ada pasukan musuh di tembok istana. Semua pengawal siap siaga. Lalu muncullah Pangeran dengan pakaian kebesarannya. Raja Pasir Melintang Bingung. Lalu dijelaskanlah semua duduk perkaranya. Raja Gunung Berkabut muncul lalu marah-marah melihat anaknandanya tidak menyerang, tapi berpelukan dengan calon mertuanya. Perdamaian pun tercipta dan semua merasa bahagia. Lalu pernikahan pun dilangsungjkan dengan meriahnya.
Strategi/ Cara Pementasan dalam Sandiwara Bangsawan
Pada bagian awal pementasan adalah layar utama dibuka. Pertunjukan diawali dengan memperkenalkan para pemain satu per satu yang disebut tablo. Pada saat diperkenalkan, sang pemain biasanya melakukan sebuah adegan singkat untuk menggambarkan wataknya. Setelah itu, layar utama ditutup, dilanjutkan dengan prolog atau dapat juga dengan membacakan syair. Gunanya adalah untuk menjelaskan kepada penonton tentang lakon yang akan tampil.
Pada bagian tengah/isi, babak demi babak ditampilkan hingga selesai. Antarbabak biasanya diselingi dengan nyanyian. Sebelum babak terakhir, biasanya dibacakan epilog atau penutup dari cerita oleh sutradara.
Pada bagian akhir/penutup dari pertunjukan selalu disampaikan pesan pada penonton, lalu para pemain berjejer memberi hormat.
Kaidah dalam Sandiwara Bangsawan
Beberapa kaidah dalam sandiwara bangsawan sangatlah dibutuhkan. Adapun kaidah yang dimaksudkan bagi pengembangan serta perkembangan sandiwara itu sendiri, di antaranya bentuk adegan dalam pembabakan. Dalam adegan dibuat beberapa pengisahan dalam satu babak dengan minimal dua kejadian. Babak seperti ini dibatasi dengan menutup layar utama. Sebagai contoh, pada babak satu cerita “Seruling Sakti”, adegan pertama para pembesar istana sedang berbincang-bincang; adegan kedua raja masuk bersama permaisuri, kemudian memeriksa keadaan negeri; adegan ketiga, pengawal masuk dan melaporkan kesiapan balatentara untuk menghadapi serangan mendadak dari pasukan musuh.
Dalam sebuah kerajaan juga terdapat perangkat kerajaan yang terdiri atas raja, mamak mentri (perdana mentri), datuk bendahara, wazir menteri, dan pahlawan (pengawal) dapat juga dihadirkan permaisuri, tuan putri, dan kadam.
Hal lain yang menjadi pedoman/kaidah dalam sandiwara bangsawan adalah ada suguhan tarian dan nyanyian pada adegan tertentu. Untuk itu, primadona harus mampu menyanyi, tidak boleh membelakangi penonton, kecuali memang diperlukan dalam adegan (dan dilakukan hanya sebentar saja). Jika terdapat adegan singkat, biasanya tidak perlu menutup layar utama, cukup dengan menurunkan layar. Secara umum, cerita yang dibawakan dalam sandiwara Bangsawan selalu menampilkan “istanasentris” atau cerita kerajaan, mambang, jin, dan/atau makhluk halus lainnya.
Sanggar Sri Mahkota
Sanggar Sri Mahkota berlokasi di Kota Daik Lingga, berdiri Juni 2002, dan pementasannya berfokus pada kisah berlatar kerajaan. Sanggar Sri Mahkota diketuai oleh Bapak Khamarul Zaman, . ketua harian Bapak Ramlan, sekretaris Bapak M. Yamin, dan bendahara dipercakan kepada Bapak Agustiar.
Sanggar Sri Mahkota pada 2015 telah menampilkan lebih kurang lima belas pementasan, di antaranya naskah “Laksamana Elang Laut”. Naskah tersebut bercerita tentang seorang anak yang lupa terhadap budi pekerti orang tua tatkala ia telah diangkat menjadi Laksamana Elang Laut. Ia menjadi anak yang durhaka (berkhianat pada cinta dan kasih orang tuanya). Karena Elang Laut telah menjadi anak yang hebat, ia juga pernah marah kepada orang-orang tua lainnya. Hal tersebut terjadi lantaran Embon, kekasihnya, menolak pinangannya karena telah menjalin hubungan dengan saudaranya sendiri, adik dari Elang Laut. Embun adalah anak dari datuk serta pembesar istana. Ketika pinangan Elang Laut ditolak, mulailah ia mengatur siasat untuk berbuat onar pada Embun Malam. Karena tidak berhasil memperistri Embun, Elang Laut sangat kecewa dan sakit hati. Berikut ditampilkan beberapa aktivitas Sanggar Sri Mahkota.
Latihan Sandiwara Bangsawan di Sanggar Sri Mahkota, Lingga
Diskusi Menyoal Sandiwara Bangsawan
Topi “Tanjak” dalam Penokohan Sandiwara Bangsawan
Adegan dalam Laksamana Elang Laut
Adegan dalam Laksamana Elang Laut
Adegan dalam Laksamana Elang Laut
Adegan dalam Laksamana Elang Laut
Adegan dalam Laksamana Elang Laut
Sejak 1960-an wilayah Lingga yang bermoto “Tanah Bunda Melayu” dan dari tahun ke tahun selalu melakukan pementasan dengan mengangkat keragaman latar “istanasentris”; Kisah-kisah berlatar kerajaan secara langsung mengkritik serta membawa isu seputar konflik dalam tubuh dan kubu Kerajaan Melayu, seperti pandangan hidup raja yang bijak dan adil. Kecenderungan tema juga seputar profil Raja Melayu yang baik bahwa raja adalah penganut ajaran agama yang taat dan membawa kemakmuran rakyat.
Dalam rentang waktu 1960—1980-an tidak ditemukan dokumentasi lengkap tentang sejarah keberadaan sandiwara bangsawan. Barulah pada tahun 2000-an Juni 2002), sekumpulan orang membentuk Sanggar Sri Mahkota yang punya kepedulian dan secara konsisten mementaskan sebanyak lima belas naskah. Jumlah tersebut terbilang produktif bagi sebuah sanggar mengingat Lingga merupakan daerah terpencil.
Sandiwara bangsawan masih dirasa perlu dijaga kelestariannya. Sandiwara bangsawan adalah suatu keniscayaan dalam menyajikan kesaksian seputar lekuk-liku Kerajaan Melayu dan kehidupan masayarakat pada masa lalu.
PUSTAKA
[1] Buku “Butang Emas” Warisan Budaya Melayu Kepulauan Riau (Muchtat Zam) disusun kembali oleh Tusiran Suseno, Drs. Amirudin, dan Teja Al-Habd
[2] Seorang narasumber, pendiri sanggar sekaligus pemain (pengrajin serta pemikir “Bangsawan” di Daik Lingga). Khamarul Zaman 2001 mendirikan Sanggar Sri Mahkota yang berfokus pada teater bangsawan.
[3] Menurut catatan Zulkifli Harto dalam Teater Bangsawan Kabupaten Lingga, hlm. 7
[4] Ditulis oleh Bujang R. dalam Sejarah Perkembangan Drama di Tanah Melayu dan Singapura terbit Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia. Kuala Lumpur.
[5] Dalam Suseno (2006), “Butang Emas” Warisan Budaya Melayu Kepulauan Riau
[6] Sebagaimana dikatakan oleh Zulkifli Harto
[7] Catatan dalam website Kabupaten Lingga; pelaksanaan workshop sebagai langkah awal untuk memajukan kesenian lokal
[8] Pemakalah dalam acara workshop teater tradisional tersebut ialah Said Parman, salah seorang penggiat seni Kepri, Junaidi Adjam, Kadisbudpar Lingga, Hamzah (Ketua Dewan Kesenian Lingga) dan Raja Ruslan (Ketua LAM Kabupaten Lingga).
[9] Menurut Suseno (2006), seorang penulis; Ch. E. P. van Kerchkhof, pada tahun 1986 dalam sebuah tulisannya.
[10] Naskah yang dipentaskan (2015) bercerita tentang seorang anak yang lupa terhadap budi orang tua ketika dia telah diangkat menjadi Laksamana Elang
[11] Adaptasi atas wawancara terhadap Syafaruddin, S.Sn., M.M.
[12] Contoh naskah pembabakan dari Syarifuddin, S.Sn, M.M
Ferdinandus Moses
...