Ternate dalam Cerita Lisan Alor-Pantar
Pendahuluan
UNESCO dalam Taum (2011) telah memberikan batasan mengenai tradisi lisan sebagai ”those tradition which have been transmited in time and space by the word and act” (tradisi-tradisi yang diwariskan dalam ruang dan waktu dengan ujaran dan tindakan). Dengan kata lain, tradisi lisan adalah segala macam wacana yang disampaikan secara lisan secara turun-temurun sehingga memiliki suatu pola tertentu. Jauh sebelum itu, Vansina (1985: 27—28) telah pula merumuskan batasan sastra lisan (oral literature). Menurut Vansina, sastra lisan atau sastra yang dikembangkan dalam kebudayaan lisan (oral culture) biasanya mengandung pesan-pesan, cerita-cerita, atau kesaksian-kesaksian yang diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Sastra lisan dapat dijadikan sebagai sumber sejarah asal-usul yang sudah dikenal secara umum atau secara universal di kebudayaan tertentu. Henige (1982) kemudian menekankan bahwa tradisi lisan melambangkan kesadaran sejarah yang umum. Pendapat Henige tersebut didukung oleh Vansina (2014: 43) yang menjelaskan bahwa tradisi lisan dapat dipandang sebagai pesan-pesan verbal yang disampaikan secara lisan, baik dalam bentuk cerita maupun dalam bentuk nyanyian. Cerita atau nyanyian tersebut dapat disampaikan dengan menggunakan alat musik maupun hanya berupa cerita yang disampaikan paling tidak oleh satu generasi. Demikianlah dalam tulisan ini akan dijelaskan bahwa melalui cerita lisan masyarakat Alor dapat diketahui sejarah lisan kedatangan penyebar agama Islam dari Ternate ke Pulau Alor dan Pantar pada masa lalu. Cerita itu disampaikan dalam bentuk nyanyian rakyat yang disebut Lego-Lego (Katubi, 2008) atau Beku (Sunarti, 2018).
Gambaran Geografis Kabupaten Alor
Kabupaten Alor merupakan salah satu kabupaten terluar di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia. Perjalanan ke Kabupaten Alor dapat ditempuh melalui perjalanan udara dari Bandara El Tari, Kupang selama kurang lebih satu jam menuju Bandara Mali di Kalabahi, Alor. Kabupaten Alor terdiri atas 175 desa/kelurahan, 17 kecamatan, 3 pulau besar (Alor, Pura, dan Pantar), serta 8 pulau kecil (Ternate, Buaya/Muaya, Kura, Kangge, Nuha Kefa, Rusa, dan Tereweng). Berdasarkan batas wilayah, di sebelah timur Alor berbatasan dengan Pulau Maluku Tenggara, sebelah barat dengan dengan Selat Lomblen (Kabupaten Lembata), sebelah utara dengan Laut Flores, dan sebelah selatan dengan Selat Ombay. Luas keseluruhan wilayah Alor adalah 2.864,64 km2.
Gambaran Kultural Alor
Masyarakat Alor secara kultural terbagi atas dua wilayah kultural, yakni masyarakat Nuh Mate (Gunung Besar) yang mayoritas beragama Kristen atau Katolik dan masyarakat Nuh Atinang (Gunung Kecil) atau pesisir yang mayoritas beragama Islam. Masyarakat Nuh Atinang umumnya menggunakan bahasa daerah Alurung yang dipakai di Alor Besar, Alor Kecil, dan sebagian Pulau Pantar. Agama Islam yang dipeluk oleh mayoritas penduduk di wilayah Nuh Atinang ini berasal dari pendatang, terutama dari Kerajaan Ternate yang akan dibicarakan pada bagian selanjutnya.
Cerita Lima Bersaudara dari Ternate Sebagai Penyebar Agama Islam
di Alor-Pantar
Terdapat beberapa versi cerita lisan mengenai penyebaran agama Islam dari Kerajaan Ternate ke Pulau Alor-Pantar. Berdasarkan versi cerita orang Alor Besar yang disampaikan oleh Sulaiman Tulimau (58 tahun, raja dari Alor Besar), Islam dibawa dan disebarluaskan oleh lima bersaudara dari Kerajaan Ternate pada abad ke-14 di masa Sultan Babullah (1535--1570) yang merupakan sultan ke-26 dari Kesultanan Ternate dengan kutipan cerita berikut ini.
Adapun kelima bersaudara itu masing-masing bernama Ilyas Gogo, Jang Gogo, Djou Gogo, Boi Gogo, dan Kimales Gogo. Mereka berlayar dari Ternate dengan sebuah perahu layar yang bernama Tuma’ninah, artinya berhenti atau singgah sebentar. Mereka menyinggahi daratan Alor pertama kali di daerah Yetelei (Tanjung Bota, Desa Alila). Ketika merasa haus mereka mencari sumber mata air di sekitar pantai, tetapi tidak menemukannya. Oleh karena itu, Bapak Jang Gogo menusukkan tongkatnya ke pasir yang kemudian memancarkan air tawar dan bisa memuaskan dahaga mereka. Hingga saat ini mata air itu masih ada yang terletak di Bota, Desa Alila, Kecamatan Alor Barat Laut dan diberi nama Mata Air Banda. Setelah itu mereka berlima meneruskan perjalanan dan kembali singgah di suatu tempat bernama Tang-Tang (sekarang Desa Aimoli) kemudian bertemu dengan Raja Baololong (raja di Kerajaan Bunga Bali). Dalam pertemuan itu mereka saling bertukar cendera mata. Kelima Gogo bersaudara memberikan sebuah nekara dan Raja Baololong memberikan pisau khitan kepada kelimanya. Dari Tang-Tang kemudian mereka berpisah dan berjanji akan bertemu kembali di Pusung Rebong (pusat Kerajaan Bunga Bali). Pada saat di Bunga Bali terjadi kesepakatan antar kedua belah pihak, yakni salah seorang dari kelima Gogo bersaudara tersebut harus tinggal di Bunga Bali untuk menyebarkan Islam yang kemudian dilaksanakan oleh Bapak Jang Gogo dengan berbekal sebuah Al-Qur’an kulit kayu dan sebuah pisau khitan. Akhirnya, keempat saudaranya berlayar kembali dan menunaikan tugas penyebaran Islam di beberapa tempat.”
Versi lain dari kedatangan penyebar Islam dari Ternate ini disampaikan oleh Arif Panara (60 tahun). Ia menuturkan bahwa Islam masuk ke Alor pertama kali di Desa Gelubala—yang sekarang dikenal dengan Baranusa—di Pulau Pantar. Pada tahun 1522 seorang mubalig dari Maluku Utara bernama Mohtar Likur sampai di Gelubala. Ia datang dengan membawa Al-Qur’an dari kulit kayu dan seperangkat alat khitan. Ia menetap di sana dan menyebarkan agama Islam.
Informasi tentang penyebaran agama Islam di wilayah Galiau (Pantar) pada masa lalu juga diperkuat melalui catatan Pigafetta yang mengikuti rombongan Magelhaens pada tahun 1480--1521 ke wilayah Hindia Belanda. Pigafetta singgah di Alor pada tahun 1522 ketika mereka akan berangkat kembali ke Eropa. Ia mencatat bahwa di Pulau Pantar terdapat bangsa Moor (Muslim) yang berdiam di kampung bernama Moloku. Islam kemudian menyebar ke wilayah timur dan mulai masuk ke desa-desa di Pulau Alor, seperti di Bunga Bali, Alor Besar sekarang, kemudian Alor Kecil, Dulolong, dan Pulau Ternate di Kabupaten Alor. Setahun setelah kedatangan Mohtar Likur di Bunga Bali, datang juga lima bersaudara Gogo dari Ternate ke Alor dengan tujuan yang sama, yakni mengembangkan agama Islam. Kelima bersaudara itu masing-masing bernama (1) Iang Gogo, (2) Ima Gogo, (3) Karim Gogo, (4) Sulaiman Gogo, dan (5) Yunus Gogo. Selain itu, juga terdapat seorang mubalig bernama Abdullah. Mereka meninggalkan Maluku Utara karena tidak mau dijajah oleh Portugis.
Kelima Gogo bersaudara itu menetap di tempat yang berbeda supaya misi dakwahnya menyebar. Iang Gogo di Alor Besar atau Bunga Bali, Ima Gogo menetap di Kui (Alor Barat Daya), Karim Gogo di Malaga (Pantar), Sulaiman Gogo di Pandai, desa paling utara di Pulau Pantar, sementara Yunus Gogo dan Abdullah menetap di Baranusa. Iang Gogo menyebarkan agama Islam di Alor Besar. Sedikit demi sedikit masyarakat di pesisir Alor mulai meninggalkan animisme dan dinamisme mereka. Hingga saat ini wilayah pesisir Alor menjadi pusat persebaran muslim terbesar di Kabupaten Alor, agama kedua terbesar setelah Kristen Protestan.
Setelah berhasil mengembangkan Islam di Alor Besar, Iang Gogo kemudian melakukan syiar agama ke Alor Kecil atau Lefo Kisu kemudian dilanjutkan hingga ke wilayah timur, yakni ke Dulolong. Ketiga wilayah ini kemudian ditetapkan sebagai tiga desa yang saling bersaudara dan disebut dalam pantun adat Alurung dengan istilah dan didirikan oleh Saku Baladuli. Saku Baladuli ini kemudian menjadi nenek moyang suku Bourae. Dalam versi Arif Panara, Iang Gogo kemudian menikah dengan perempuan Alor Besar bernama Bui Haki. Hasil dari pernikahan keduanya melahirkan silsilah keturunan, yaitu (1) Tahi Onong Gogo, (2) Boi Raja Tahi, (3) Ramanehe Boi, (4) Pati Raja Boi, (5) Salama Kae Pati, (6) Aboi Jaga Salama, (7) Taluti Aboi, (8) Nae Rae Taluti, (9) Gati Angin Nae, (10) Ola Gati, (11) Panggo Ola, (12) Salim Panggo Gogo, dan (13) Nurdin Gogo.
Karim Gogo memilih menyebarkan Islam di Malaga sebagai tempat domisili. Malaga sekarang disebut Belagar, Pantar Timur. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan sebuah ceret atau kendi untuk wudu dan tongkat yang pernah ditinggalkan di Blagar. Mereka juga mendirikan musala dan masjid. Sejak itu Islam mendapat tempat di tengah masyarakat setempat dan menjadi desa Islam hingga kini.
Jejak Ternate di Kabupaten Alor
Jejak peninggalan Islam yang dibawa oleh penyebar agama Islam dari Ternate pada masa lalu masih tersimpan hingga saat ini di Alor Besar. Jejak itu berupa peninggalan Al-Qur’an tua dari kulit kayu dan berangka tahun 1252 H. Al-Qur’an kulit kayu tersebut tersimpan dengan baik di rumah keturunan Iang Gogo yang berada dalam lingkungan Istana Pusung Rebong di Alor Besar.
Foto 1. Al-Qur’an dari Kulit Kayu Peninggalan Ternate di Alor Besar
Jejak orang Ternate di Pulau Alor juga ditandai dengan penamaan salah satu pulau di Alor dengan nama Ternate. Pulau ini berhadap-hadapan dengan wilayah Alor Besar dan saat ini menjadi salah satu sentra kain tenun di Kabupaten Alor. Diceritakan bahwa di pulau ini para pelaut dari Ternate menggali sebuah sumur di Pantai Ternate, tepatnya di Desa Uma Pura. Penyebar agama Islam dari Ternate juga mewariskan imam masjid pertama di Pulau Alor, yang bernama Abdullah Dailang. Ia kemudian menyerahkan jabatannya kepada Muktar Likur, orang Alor asli. Mereka kemudian membentuk sistem pemerintahan yang mengadopsi sistem kabilah (kafilah), seperti di Arab. Oleh sebab itu, sistem pemerintahan adat di Alor juga mengenal dualisme kepemimpinan, yakni Raja Langit sebagai pemimpin agama dan Raja Bumi sebagai pemimpin sipil. Demikian juga dalam kepengurusan agama di Alor yang menerapkan tiga model kepemimpinan dalam agama Islam, yakni imam, khatib, dan sumpit. Sistem pemerintahan secara Islam ini berkembang hanya di wilayah pesisir, yakni di wilayah mayoritas Muslim, seperti di Alor Kecil, Alor Besar, Kumbang Futung, dan pesisir Pulau Pantar.
Cerita Lisan Sebagai Sumber Sejarah Lisan
Tentu saja cerita lisan mengenai kedatangan orang Ternate ke Alor-Pantar pada abad ke-14 silam itu tidak pernah masuk dalam catatan buku sejarah resmi. Cerita ini hanya diketahui oleh para tetua adat yang kadangkala dinyanyikan sepotong-sepotong dalam tarian Lego-Lego atau Beku. Semakin lama semakin sedikit yang menguasai cerita ini secara utuh, kecuali para tetua adat yang masih mengingatnya dengan baik dan masih mampu menyampaikannya kepada generasi muda Alor. Tidak dapat disangkal bahwa melalui cerita lisan ini kedatangan para penyebar agama Islam dari Ternate dapat ditelusuri. Sejarah lisan orang Ternate di Alor dan ilmu pengetahuan lisan ini telah disampaikan dari generasi ke generasi dengan suatu pola tertentu, yaitu dalam bentuk syair dalam pertunjukan Lego-Lego (tarian melingkar yang melibatkan banyak penari). Fenomena ini yang menurut Henige (1982) dan Vansina (2014) dapat ditetapkan sebagai sejarah lisan.
Penutup
Islam dibawa oleh penyebar agama dari Ternate ke Alor-Pantar hingga saat ini menjadi agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Alor-Pantar di wilayah pesisir (Nuh Atinang). Sebaliknya, agama Kristen dianut oleh masyarakat di wilayah Nuh Mate. Islam dibawa oleh lima orang bersaudara dari Ternate yang disebut dengan lima Gogo bersaudara. Kisah kedatangan para penyebar agama Islam dari Ternate ini hingga saat ini masih disampaikan dalam nyanyian atau syair dalam pertunjukan Lego-Lego (di Alor Besar dan Alor Kecil) atau Beku (Pulau Pantar). Jejak para penyebar Islam dari Ternate ini tidak hanya tersimpan dalam ingatan kolektif masyarakat muslim di Alor-Pantar, melainkan juga dapat dilihat dari penamaan Pulau Ternate, keberadaan Al-Qur’an tua dari kulit kayu, masjid tua, ceret, dan jabatan imam masjid yang berasal dari keturunan para penyebar agama dari Ternate. Masing-masing daerah di Alor-Pantar memiliki versi cerita berbeda tentang kedatangan orang Ternate yang dipercayai oleh masyarakat di wilayah ini.
Daftar Pustaka
Henige, D. 1982. Oral Historiography. London: Oxford.
Katubi. 2008. “Lego Lego of Alor People in East Nusa Tenggara, Indonesia: The Expression of Ancestors Experience and Language Maintenance”. Research for Center for Society and Culture Indonesia Institute of Sciences.
Sunarti, Sastri. 2018. Mendengar Nenek Moyang Turun dari Langit: Motif Cerita Asal-Usul Suku dari Alor, Pura, dan Pantar. Jakarta: LIPI Press dan Badan Bahasa.
Taum, Yosep Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan:Sejarah, Teori, Metode, dan Disertai Contoh
Penerapannya. Penerbit Lamalera.
Vansina, Jan. 1965. Oral Tradition A Study in Historical Methodology. Routledge and Kegan Paul.
-----------------2014.Tradisi Lisan Sebagai Sejarah (Terjemahan). Jogyakarta: Ombak.
Dr. Sastri Sunarti
...