Struktur dan Fungsi Kayat Pantun di Kuantan Singingi, Riau

Struktur dan Fungsi Kayat Pantun di Kuantan Singingi, Riau

Pendahuluan

Kayat merupakan salah satu tradisi/sastra lisan yang masih hidup dalam masyarakat Rantau Kuantan Singingi, Kampar, dan Rokan, Provinsi Riau. Secara etimologis kata ‘kayat’ berasal dari kata ‘hikayat’. Kata kayat adalah pengucapan menurut bahasa Melayu Riau dialek Kuantan untuk kata hikayat. Dalam pelaksanaannya, kayat dituturkan dalam bentuk pantun dan/atau syair oleh seorang penutur. Orang yang menuturkan kayat disebut dengan ‘tukang kayat’ atau ‘pengkayat’.

Beberapa macam jenis kayat, antara lain 1) kayat porang, yaitu kayat yang bernuansa Islam dan biasanya menceritakan seluk beluk Hasan dan Husin serta cerita-cerita tentang keagamaan; 2) kayat kanak-kanak, yaitu pantun/syair yang menceritakan gambaran kehidupan sesudah kematian; 3) kayat pantun atau kayat dendang.

Sesuai dengan perkembangan zaman, tradisi kayat juga berkembang. Kayat pun dituturkan sebagai hiburan dalam acara kenduri, perhelatan perkawinan, saat warga kampung bergotong royong, turun mandi anak, dan acara adat. Pantun-pantun yang disampaikan disesuaikan dengan tema yang diminta oleh pihak yang mengundang.

Penelitian atau tulisan tentang sastra lisan kayat di Riau  ditulis, antara lain oleh Elmustian Rahman yang berjudul Kayat Rantau Kuantan (2002) dan Fitri Anjarsari (2012) yang menulis dari sisi sejarah dan nilai budayanya. Dalam tulisannya, Fitri menyebutkan bahwa kayat merupakan tradisi lisan yang sarat seni dan nilai-nilai budaya. Seni dan nilai-nilai budaya itu dapat membawa masyarakat penikmat pada perilaku yang lebih baik. Selanjutnya, Fitri juga menyebutkan bahwa kemampuan kayat bertahan sampai saat ini dikarenakan oleh sifat ke-elastisan-nya yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Sementara itu, pada tulisan ini penulis fokus pada struktur dan fungsi kayat yang berupa pantun. Tulisan ini berawal dari penelitian penulis dan teman-teman tahun 2014 mengenai kayat dalam rangka pelindungan terhadap tradisi lisan di Indonesia. Kayat pantun dikaji dari segi teks, konteks, dan fungsi. Yang dimaksud teks adalah himpunan kalimat yang dapat diuraikan dan menjadi contoh dari perilaku kebahasaan, serta dapat berupa tulisan maupun lisan (Larousse, 1973, dalam Sibarani dan Bachmid TT: 5). Selanjutnya, Sibarani dan Bachmid ( TT: 6-7) mengacu Alain Viala dan M.P. Schmidtt yang menjelaskan bahwa teks memiliki lima aspek, yaitu material, verbal, semantik, pragmatik, dan simbolik. Sibarani dan Bachmid (TT:25) mengatakan bahwa konteks memberikan pemaknaan terhadap di mana dan kapan tradisi lisan itu dipertunjukkan, siapa pelakunya, tujuan dipertunjukkan, dan keyakinan apa yang ada dalam pertunjukan tradisi lisan. Konteks berkaitan dengan konteks situasi, budaya, sosial, dan ideologi. Konteks merupakan situasi yang ada hubungannya dengan suatu peristiwa budaya, baik kejadian pada masa lampau, sekarang, maupun masa yang akan datang.

Mengenai fungsi karya sastra kayat ini, penulis mengacu pada manfaat dari sastra lisan tersebut bagi masyarakat pendukungnya. Danandjaja (1994) menyebutkan bahwa tradisi lisan memiliki kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif.  William R. Bascom dalam Sudikan (2001: 109) berpendapat bahwa sastra lisan mempunyai empat fungsi, yaitu 1) sebagai sebuah bentuk hiburan, 2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, 3) sebagai alat pendidikan anak-anak, dan 4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Dundes dalam Sudikan (2001: 109) berpendapat bahwa ada beberapa fungsi folklore yang bersifat umum, yaitu membantu pendidikan anak muda; meningkatkan perasaan solidaritas suatu kelompok;  memberi sangsi sosial agar orang berperilaku baik atau memberi hukuman; sebagai sarana kritik sosial; memberikan suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan; dan mengubah pekerjaan yang mebosankan menjadi permainan.

 

Sekilas Gambaran Kuantan Singingi

Kabupaten Kuantan Singingi merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Riau. Dahulu daerah Kuantan Singingi berada dalam wilayah Kabupaten Indragiri Hulu sebagai salah satu kecamatan. Setelah dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 53 Tahun 1999, Kabupaten Indragiri Hulu dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Singingi.

Kini, Kuantan Singingi menjadi sebuah kabupaten definitif yang tediri dari 12 kecamatan, yaitu: 1) Kecamatan Kuantan Mudik, 2) Kecamatan Singingi, 3) Kecamatan Kuantan Tengah, 4) Kecamatan Benai, 5) Kecamatan Kuantan Hilir, 6) Kecamatan Cerenti, 7) Kecamatan Hulu Kuantan, 8) Kecamatan Gunung Toar, 9) Kecamatan Singingi Hilir, 10) Kecamatan Pangean, 11) Kecamatan Logas Tanah Darat, dan 12) Kecamatan Inuman. Secara hidrografi ada dua sungai (batang air) yang melintasi wilayah Kabupaten Kuantan Singingi, yaitu Sungai Kuantan/Sungai Indragiri dan Sungai Singingi. Daerah aliran Sungai Kuantan mengaliri sembilan kecamatan yang ada di Kabupaten Kuantan Singingi, yaitu 1) Kecamatan Hulu Kuantan, 2) Kecamatan Kuantan Mudik, 3) Kecamatan Gunung Toar, 4) Kecamatan Kuantan Tengah, 5) Kecamatan Benai, 6) Kecamatan Pangean, 7) Kecamatan Kuantan Hilir, 8) Kecamatan Inuman, dan 9) Kecamatan Cerenti.

 Keberadaan Sungai Kuantan dan Sungai Singingi sangat penting, yaitu sebagai sarana transportasi, sumber air bersih, budi daya perikanan, dan juga dapat dijadikan sumber daya buatan untuk menghasilkan suplai listrik tenaga air. Selain itu, Kota Taluk Kuantan sebagai ibu kota dari Kabupaten Kuantan Singingi juga dinilai sangat strategis karena berada di segitiga emas jalur perhubungan lintas barat, utara, dan timur Pulau Sumatera dan Jawa. Adapun batas-batas Kabupaten Singingi adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kampar dan Pelalawan; sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi; sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat; dan sebelah timur berbatasan dengan Indragiri Hulu.

 

Riwayat Kuantan Singingi dalam Pantun

Kabupaten Kuantan Singingi atau Kabupaten Kuansing disebut juga dengan Rantau Kuantan. Riwayat Rantau Kuantan dalam pernyataan Hamidy (2000: 15) dapat dilihat pada teks yang berbentuk rangkaian pantun dan ada juga yag berbentuk prosa seperti tambo. Riwayat dalam rangkaian pantun yang dimaksud terlihat dalam bait-bait di bawah ini.

Ambiaklah cindai nan pilihan

(Ambillah cindai yang pilihan)

Ambiakkan ado gunonyo

(Ambilkan ada gunanya)

Poti ome cewang di langik

(Peti emas cewang di langit)

Jikok diurai dipaparkan

(Jika diurai dipaparkan)

 

Dibukak tambo nan lamo

(Dibuka tambo yang lama)

Ari pane olang bakulik

(Hari penas elang berkulik)

Nan ulayat Rantau Kuantan

(Yang layat Rantau Kuantan)

Paku paki sibelimbing

(Paku pakis dan belimbing)

 

Maranai Koto Mancabuak

(Maranai Koto Mancabuak)

Sipisak sipisau anyuik

(Sipisak sipisau hanyut)

Sigintiar batu mandi

(Segelintir batu mandi)

Sarosa Balai Rambahan

(Sarosa Balai Rambahan)

 

Kukok titian modang

(Kukok titian medang)

Kandis dulu Kandis pisako

(Kandis dulu Kandis pusaka)

Rajo berdaulat sojak dulu

(Raja berdaulat sejak dulu)

Datang edaran putaran maso

(Datang edaran pusaran masa)

 

Rajo dibuang urang lalu

(Raja dibuang orang berlalu)

Kandis dulu kini Kuantan

(Kandis dulu kini Kuantan)

Kuantan nagori Dusun Tuo

(Kuantan negeri Dusun Tuo)

 

Disenen pusek pamarintahan

(Di sana pusat pemerintahan)

Daulat rakyat saiyo sakato

(Daulat rakyat seiya sekata)

Rantau Kuantan nan tigo jurai

(Rantau Kuantan yang tiga jurai)

Kurang oso dan duo pulua

(Kurang satu dari dua puluh)

 

Elok buektan nan codiak pandai

(Elok buatann yang cerdik pandai)

Bulek kato ka mufokat

(Bulat kata oleh mufakat)

Bulek ayiar kek pembulua

(Bualat air oleh pembuluh)

Pusek jalo pumpunan ikan

(Pusat jala pumpunan ikan)

Pasak kunci urang Kuantan

(Pasak kunci orang Kuantan)

Dari mamak ka kamanakan

(Dari mamak ke kemenakan)

Baitu adat nan bajalan

(Begitu adat yang dijalankan)

 

Selain dalam pantun-pantun tersebut, kita juga dapat melihat riwayat ringkas Rantau Kuantan pada hasil transliterasi Said Mahmud Umar dalam Hukum Adat Tambo yang menyatakan bahwa tempo dulu Kuantan masuk bilangan Minangkabau. Dahulu, bilangan Minangkabau ini terdiri atas dua puluh negeri yang kemudian menjadi sembilan belas negeri. Sembilan belas negeri itu dibagi menjadi empat bagian. Empat bagian tersebut, yaitu 1) Empat Kota Mudik, termasuk di dalamnya Negeri Cerenti, Basrah, dan Pangean; 2) Lima Kota, termasuk di dalamnya Seberakun, Simandolak, Buni, Kufah, Sentayo, Teluk, dan Kari; 3) Empat Kota Hilir, yang turut bagian ini Gerisik, Toar, Gunangringin, Lubuk Jambi dan Sungai Pinang; dan 4) Dua Kota, yaitu Lubuk Ambacang dan Sungai Manu. Negeri ini didatangi oleh Dipertuan untuk mengambil emas manahnya. Sekali didatangi, tiga tahun lamanya Dipertuan tinggal di negeri Minangkabau. Terdapat empat datuk yang memerintah selama empat belas hari di bawah raja di sini, yaitu Datuk Misai, Datuk Godang Julelo, Datu Sinaro Putih, dan Datuk Simarajo. Adapun pangkat itu berasal dari kebesaran di Minangkabau. Ada pula pangkat besar empat balai di Pagaruyung di bawah keempat datuk-datuk itu. Selain itu, ada manti yang sebenarnya adalah penghulu-penghulu di Minangkabau.

Hal ini sesuai dengan pendapat Mochtar Naim (1984: 16) yang menyatakan bahwa rantau merupakan wilayah baru dengan penduduk utamanya berasal dari Luhak nan tigo. Wilayahnya meliputi rantau Pesisir sepanjang pantai barat yang terdiri atas Sekilang-Air Bangis ke utara, Tiku-Pariaman, Padang, Bandar Sepuluh, Air Haji, Indrapura, Kerinci, hingga ke selatan, ke Muko-Muko, dan Bengkulu. Sementara itu, di utara Agam sampai ke perbatasan Mandahiling terdapat rantau Pasaman-Lubuksikaping dan Rao. Di selatan dan tenggara Tanah Datar sampai ke perbatasan Riau dan Jambi terdapat ekor rantau yang wilayahnya meliputi: Solok- Selayo, Muara Panas, Alahan Panjang-Muara Labuh, Alam Surambi-Sungai Pagu dan Sawah Lunto-Sijinjung. Minangkabau yang ada di Provinsi Sumatera Barat atau Minangkabau yang ada di daerah lain, termasuk di Provinsi Riau sekarang, dapat dilihat dalam barih balabeh adat atau yang lebih dikenal dengan sebutan pidato adat Minangkabau yang mengungkapkan daerah Minangkabau secara keseluruhan sebagai berikut.

 

Sipisau-pisau hanyuik Sialang balantak basi Sailiran batang Bangkaweh

Sahinggo aie babaliak mudiak Sampai ka ombak nan badabua

 

Sailiran batang Sikilang Hinggo lauik nan sadidiah

Ka timua ranah Aie Bangih Gunuang mahalintang

Rao jo Hapa Tungga

 

Pasisie Banda Sapuluah

Hinggo Taratak ka aie hitam Sampai ka Tanjuang Simalidu Pucuak Jambi sambilan lurah

 

Idrus Hakimi Datuk Rajo Panghulu menguraikan Kabupaten Kuantan Singingi dalam bentuk larik-larik pidato berikut.

Sipisau-pisau hanyuik

(Sipisau-pisau hanyut)

Sialang balantak basi

(Sialang berpatok besi)

Sailiran batang Bangkaweh

(Sepanjang aliran Sungai Bangkaweh)

Sahinggo aie babaliak mudiak

(Sehingga air berbalik mudik)

Sampai ka ombak nan badabua

(Sampai ke ombak yang berdebur)

Secara rinci, pidato tersebut menyebutkan bahwa Sipisau-pisau hanyuik adalah daerah sekitar Indragiri Hulu sampai ke perbatasan Gunung Sailan. Sialang Balantak Basi adalah daerah yang terletak sekitar Gunung Sailan dan Singingi, sedangkan Sailiran Batang Bangkaweh adalah daerah di pinggiran sungai yang mengalir ke Danau Singkarak dan daerah di pinggir Sungai Batanghari sampai ke daerah Kuantan (Kabupaten Kuantan Singingi sekarang). Adapun aie babaliek mudiak yang dimaksud adalah daerah pesisir di sebelah timur yang airnya berbalik ke hulu waktu pasang naik. Daerah itu disebut dengan istilah bono, sedangkan yang dimaksud sampai ke ombak nan badabua adalah sampai ke daerah pantai Laut India.

 

Kayat Pantun Kuantan Singingi

Perkembangan kayat di Kuantan Singingi dimulai dari kayat porang (perang) sebagai kayat yang pertama kali dikenal orang. Kayat porang (perang), yaitu kayat yang bercerita tentang peperangan dalam Islam di masa dulunya. Elmustian Rahman (2010:15) menyebutkan bahwa pada mulanya kayat porang bernuansa Islam, berisi pandangan dan prilaku hidup sehari-hari, dan dibungkus dengan cerita-cerita tentang kepahlawanan Islam atau gambaran kehidupan sesudah mati.

Hal di atas sesuai dengan data yang diperoleh tim peneliti di lapangan. Dua orang tukang kayat yang masih hidup, yaitu Mohamad Nasir (79 tahun) dan Juharli (67 tahun), menyebutkan bahwa kayat yang pertama adalah kayat porang, yaitu kayat yang bercerita tentang sejarah nabi, Hasan dan Husen. Tukang kayat pada masa ini menggunakan talam (dulang) untuk mengiringi pembacaan kayat. Uraian di bawah ini sedikit membahas kayat talam dimaksud.

Kayat talam adalah pembacaan kayat yang diiringi dengan talam (sejenis dulang). Kayat ini dibawakan oleh dua atau lebih dari dua penutur. Semua penuturnya berjenis kelamin laki-laki. Setiap pelaku kayat, tidak hanya berfungsi sebagai penutur, tetapi juga pemukul talam. Saat itu, fungsi kayat talam di Kuantan Singingi dan sekitarnya sebagai penghibur tamu-tamu yang datang dalam beberapa acara atau keramaian, seperti pada saat acara zakat padi, sunat rasul, turun mandi, turun ke ladang, atau pun dalam acara tahlilan.

Selanjutnya, kayat pantun atau kayat gendang merupakan perkembangan lanjutan dari dua kayat sebelumnya, yaitu kayat porang dan kayat kanak-kanak sehingga kayat pantun ini disebut juga dengan kayat wajah terakhir. Larik-lariknya bukanlah syair yang semua baris merupakan isi, melainkan berbentuk pantun, baris-baris senandung yang diiramakan. Kata pantun memiliki asal-usul yang cukup panjang. Pada mulanya pantun merupakan senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan. Pantun pertama kali muncul dalam sejarah Melayu dan hikayat-hikayat populer yang sezaman dan disisipkan dalam syair-syair seperti Syair Ken Tambuhan.

Pada zaman dahulu pantun memiliki tempat yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Melayu. Pantun banyak digunakan dalam permainan kanak-kanak, dalam percintaan, upacara peminangan dan pernikahan, nyanyian, dan juga dalam upacara adat. Secara umum, setiap tahap kehidupan masyarakat Melayu dihiasi dengan pantun. Pantun merupakan salah satu sastra lisan yang pertama kali dibukukan oleh Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau. Beliau merupakan salah seorang sastrawan yang hidup sezaman dengan Raja Ali Haji.

Rima, panjang lirik, dan diksi adalah unsur-unsur dalam sebuah pantun selain unsur pantun lainnya. Jika dilihat secara keseluruhan, pantun adalah senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan. Pantun berasal dari kata ‘patuntun’. Dalam bahasa Minangkabau ‘patuntun’ berarti ‘petuntun’. Dalam bahasa Jawa, pantun dikenal sebagai parikan, sedangkan dalam bahasa Sunda pantun dikenal sebagai paparikan, dan dalam bahasa Batak dikenal dengan umpasa (upassa).

Dr. R. Brandstetter melalui M. Miftah Fauzi (2002: 7) menyatakan bahwa kata pantun berasal dari akar kata ‘tun’ yang terdapat dalam berbagai bahasa di Nusantara, seperti dalam bahasa Pampanga, ‘tuntun’ berarti ‘teratur’. Sementara itu dalam bahasa Tagalog ada kata ‘tonton’ yang berarti ‘bercakap’ menurut aturan  tertentu. Dalam bahasa Jawa kuno, ‘tuntun’ berarti ‘benang’ atau ‘atuntun’ yang berarti ‘teratur’ dan ‘matuntun’ yang berarti ‘memimpin’, sedangkan dalam bahasa Toba ada kata pantun yang berarti ‘kesopanan, kehormatan.’

Lazimnya pantun terdiri atas empat baris (larik) dan setiap baris terdiri atas delapan atau dua belas suku kata dan bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a. Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan. Namun, sekarang pantun dijumpai pula dalam bentuk tertulis. Seperti yang telah disebut di atas, semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian, yaitu sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama (kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya masyarakat pendukungnya) dan biasanya tidak mempunyai hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima atau sajak. Sementara itu, dua baris terakhir merupakan isi yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.

 

 Sejarah Kayat Pantun

Sebelum ‘tenggelam’nya kayat talam pada sekitar tahun 2000, di Kuantan Singingi telah lahir juga kayat lain yang oleh masyarakat disebut dengan kayat gendang. Bakrison (45 tahun) yang tinggal di Desa Gunung Toar adalah salah seorang generasi penerus tradisi berkayat setelah Mohamad Nasir dan Juharli. Jika Mohamad Nasir dan Juharli mengenal dan berkecimpung dengan kayat talam, Bakrison dalam zamannya mengenal kayat gendang. Orang-orang di Kuantan Singingi menyebut kayat gendang dengan kayat bujang gadis.

Seperti disebutkan sebelumnya, penuturan kayat di Kuantan Singingi awalnya dilakukan oleh laki-laki. Alasan kuat dari hal ini adalah karena pertunjukan kayat itu pada umumnya dilakukan pada malam hari dengan durasi yang sangat lama (dimulai dari selesai salat isya sampai masuknya waktu subuh). Di masa-masa itu, dengan durasi yang begitu lama, bahkan sampai larut malam, terlihat ‘ketidakpantasan’ seorang perempuan untuk berjaga-jaga dan tampil di saat orang-orang tidur nyenyak. Namun, dalam perkembangannya, kayat gendang atau kayat bujang gadis sudah diikuti oleh kaum perempuan sejak 30 tahun yang lalu. Hal ini terbukti dengan adanya seorang perempuan penutur kayat yang sangat terkenal sekitar tahun 1985-an yang bernama Sumiana. Sumiana berasal dari Pulau Kedunduang, Kuantan Tengah. Berdasarkan informasi dari narasumber, latar belakang Sumiana untuk jadi seorang pengkayat adalah karena faktor ekonomi.

Setakat ini, di Kuantan Singingi telah lahir para ‘Sumiana’ lain yang berkecimpung dalam pertunjukan kayat. Para ‘Sumiana’ lain ini begitu piawai dalam melantunkan pantun-pantun kayat. Bahkan, perempuan-perempuan penutur kayat itu sekarang bukan hanya sebagai pelantun pantun-pantun kayat, melainkan juga berperan sebagai pemusiknya sekaligus.

Sementara itu, keterangan lain menyebutkan bahwa sekitar tahun 1990 di daerah Kuantan Singingi terkenal dengan seorang tukang kayat bernama Jumat. Karena hal tersebut, sebagian masyarakat waktu itu menyebut pertunjukan kayat yang dibawakan oleh Jumat dengan sebutan kayat jumat. Jumat disebut juga dengan pengetua atau induk kayat di Rantau Kuantan. Beliau meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 1996. Hal ini sesuai dengan keterangan Elmustian (2010: 12) yang menyatakan bahwa dalam sebuah pertunjukan yang dilakukan pada tanggal 14 Januari 1994 tampil tiga orang seniman kayat, yaitu Jumat, Juman, dan Ramis. Kayat bagi ketiga orang ini dianggap sebagai sesuatu yang fungsional, baik untuk diri mereka sendiri maupun bagi masyarakat pendukung.

Gambaran tentang ketiga ‘sesepuh’ kayat di atas menunjukkan bahwa kayat pantun/gendang sudah lahir sebelum tahun 2000-an. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Elmustian bahwa 1980-an hingga 1990-an pertunjukan kayat ditampilkan dengan memakai alat musik tambahan, yaitu saluang atau soluang (flute). Sementara itu, kayat talam hanya memakai talam (dulang) sebagai musik (alat tradisional) yang mengiringi syair-syair kayat.

Penuturan kayat gendang yang lahir setelah kayat talam ini diiringi dengan alat musik biola, gendang ketobong, dan krincing. Jika dalam kayat talam penutur membawakan cerita kanak-kanak dan kisah-kisah nabi masa dahulu melalui baris-baris syair, kayat gendang yang mengangkat cerita-cerita yang sarat dengan kehidupan sosial, peruntungan, kisah muda mudi, dan lain sebagainya itu dituturkan dalam bentuk pantun. Berhubung pengkayat dalam kayat gendang menuturkan pantun, masyarakat pun menyebut kayat gendang dengan kayat pantun.

 

Struktur Kayat Pantun

Dalam perkembangangannya kayat pantun diisi dengan beberapa unsur kehidupan masa kini. Jika dahulu kita melihat kayat dalam bentuk syair mengenai kisah peperangan dan cerita kanak-kanak, sekarang kayat merupakan gambaran kehidupan sehari-hari yang disampaikan dengan kekuatan daya improvisasi.

Gambaran ini sesuai dengan pendapat Hamidy (2000:130) yang menyebutkan bahwa sekitar sepuluh tahun silam yang menjadi objek kayat hanya dua buah cerita saja, yaitu cerita tentang anak-anak yang menolong ibu bapanya di Padang Mashar pada hari kemudian dan cerita tentang peperangan Hasan dan Husen yang dikenal dengan kayat porang. Namun, beberapa tahun belakangan ini objek kayat sudah bergeser kepada masalah baru yang mengisahkan atau melukiskan keadaan kehidupan masyarakat di daerahnya. Kayat dalam arah baru ini mencoba menyinggung kehidupan, seperti percintaan muda-mudi, pahit getir kehidupan berumah tangga, serta keadaan sosial ekonomi petani karet yang amat parah di Kuantan Singingi. Semuanya ini disampaikan dalam puisi berbentuk pantun.

Adriyetti (2013: 7) menyebutkan bahwa sebuah perwujudan (realisasi) sastra lisan oleh penampil di hadapan khalayak adalah pertunjukannya. Begitu pula halnya dengan kayat yang hidup dan berkembang di daerah Kuantan Singingi, Riau ini. Pantun-pantun (teks) dari kayat sebagai interaksi antara penutur dengan penonton. Kayat disampaikan dalam bentuk nyanyian oleh beberapa penutur laki-laki dan perempuan yang diiringi dengan nyanyian musik. Musik pengiringnya adalah biola, gendang (gondang), ketipung (katipuang), dan car (temburin).  Selain membawakan lagu, biasanya penutur laki-laki ini juga berperan sebagai penabuh gendang dan pemain laki-laki yang lain berfungsi sebagai penggesek biola.

Elmustian Rahman dalam laman www.serampaikata.blogspot.com menyebutkan bahwa penutur kayat merupakan fenomena yang sangat menarik untuk dibicarakan. Seorang penutur kayat dapat menciptakan larik-larik teks kayat yang begitu lancar dengan kecepatan dan ketepatan yang mengagumkan. Larik-larik teks itu tidak diciptakan secara mana suka. Penciptaan larik-larik teks tunduk pada sejumlah ketentuan, seperti rima, panjang lirik, dan pilihan kata (diksi).

Larik-larik pantun kayat disampaikan dengan kekuatan daya improvisasi. Dalam dua kayat awal, yaitu kayat porang dan kayat anak-anak, kekuatannya terletak pada pola syair yang bersajak a-a-a-a dan semua baris merupakan isi, sedangkan kayat pantun  berpola a-b-a-b. Dua baris pertama dalam kayat pantun merupakan sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan pantun-pantun kayat “Malang Tibo di Badan” di bawah ini.

Malang Tibo di Badan

Kombanglah limau diak si limau puruik

Kombang di dalam diak sayang diak sapu tangan

Sayang lah abang oi sayang manuruik

Sayanglah adiak kuniang tingga di jalan

 

Malang tibo di badan Malang tibo di badan

Uranglah baduo awak marando juo

Malang tibo di badan Malang tibo di badan

Urang baduo awak ko surang juo

 

Lai den cubo batanam bawang

Batanam bawang ndek bang di Koto Tuo

Lai den cubo ondek bakasiah sayang

Iyo bakasiah ondek urang nan punyo

 

Malang tibo di badan Malang tibo di badan

Uranglah baduo awak marando juo

Malang tibo di badan Malang tibo di badan

Urang baduo awak ko surang juo

 

 

Aroklah kumbang biar maisok bungo

Bungo lah pindah diak ka urang lain

Urang marando janganlah putuih aso

Alamak badan ondekkan mati angin

 

Malang tibo di badan Malang tibo di badan

Uranglah baduo awak marando juo

Malang tibo di badan Malang tibo di badan

Urang baduo awak ko surang juo

 

Kainlah panjang diak oi lo ba manyelo

Bangun bang oi la ka subarang

Nampaklah adiak darah tasirok

Kironyo badan diak oi sayang urang

 

Malang tibo di badan Malang tibo di badan

Uranglah baduo awak marando juo

Malang tibo di badan Malang tibo di badan

Urang baduo awak ko surang juo

 

Ibo lah hati o bang manobang pisang

Pisang ditobang sayang lai pagi tadi

Ibo lah hati ondek lah tidur surang

Tidur baduo ondek siapo ganti

 

Malang tibo di badan Malang tibo di badan

Uranglah baduo awak marando juo

Malang tibo di badan Malang tibo di badan

Urang baduo awak ko surang juo

 

Cincin banamo ndek biak permato loyang

Taluak Kuantan ndek tampek balinyo

Janganlah ibo diak ka tidur surang

Ikolah badan ndek diak oi kagantinyo

 

Malang tibo di badan Malang tibo di badan

Uranglah baduo awak marando juo

Malang tibo di badan Malang tibo di badan

Urang baduo awak ko surang juo

 

Bait ketiga berbunyi Lai den cubo batanam bawang/Batanam bawang ndek bang di Koto Tuo/Lai den cubo ondek bakasiah sayang/Iyo bakasiah ondek urang nan punyo. Pada bait ketiga itu, dua baris pertama yang berbunyi Lai den cubo batanam bawang/Batanam bawang ndek bang di Koto Tuo merupakan sampiran.

Contoh kayat di atas menunjukkan bahwa sampiran yang dibuat oleh penutur atau tukang kayat adalah keadaan sosial masyarakat dan toponimi (nama- nama tempat) yang ada di daerah penutur dan daerah sekitarnya. Diksi untuk toponimi terlihat pada kayat tersebut, seperti nama tempat Koto Tuo yang ada pada larik kedua (dalam sampiran) atau nama tempat Taluak Kuantan dalam larik kedua pada bait Cincin banamo ndek biak permato loyang/Taluak Kuantan ndek tampek balinyo/Janganlah ibo diak ka tidur surang/Ikolah badan ndek diak oi kagantinyo.

Begitu juga dengan kayat pantun lain yang ada di Kuantan Singingi. Terdapat banyak toponimi dalam sampiran-sampiran pantunnya, seperti pilihan- pilihan kata yang diciptakan oleh penutur dalam lagu pantun Lomak Di Awak Katuju Pulo dek Urang di bawah ini.

Lomak Di Awak Katuju Pulo Dek Urang

 

Ka hilir jalur di Rawa Godang

Ditonton anak nagari nan Simandolak

Poyahlah bona di rantau urang

Urang bapacu lah kini awak ndak baliak

 

Lomak di awak katuju dek urang

Lomak di urang katuju pulo dek awak

Lomak di awak katuju dek urang

Lomak di urang katuju pulo dek awak

 

Desa banamo nan Pulau Godang

Iyo badokek ondek bang jo Kampuang Toar

Kok iyo abang sayang ka adiak

Tunggulah adiak sudah bapacu jalur bang

 

Lomak di awak katuju dek urang

Lomak di urang katuju pulo dek awak

Lomak di awak katuju dek urang

Lomak di urang katuju pulo dek awak

 

Pada bait pertama dalam kayat pantun Lomak Diawak Katuju Pulo dek Urang yang berbunyi Ka ilir jalur di Rawa Godang/Ditonton anak nagari nan Simandolak/Poyahlah bona di rantau urang/Urang bapacu lah kini awak ndak baliak, sampiran dua baris pertama menunjukkan pilihan kata terhadap toponomi (nama tempat) yang disuguhkan oleh penutur, yaitu Rawa Godang dalam larik pertama, dan Simandolak dalam larik kedua.

Berkaitan dengan toponomi (nama tempat) ini, Ruchiat (2011: xi) menyatakan bahwa pemberian nama pada suatu tempat biasanya mengandung sebab atau maksud tertentu, seperti nama berdasarkan topografi atau keadaan alam tempat itu. Hal ini berarti bahwa dalam penulisan nama tempat, pencipta pantun/penutur pantun berangkat dari toponomi atau pengetahuan tentang nama tempat, terutama nama tempat yang diketahuinya.

Selain itu, pada bait ketiga yang berbunyi Desa banamo nan Pulau Godang/Iyo badokek ondek bang jo Kampuang Toar/Kok iyo abang sayang ka adiak/ Tunggulah adiak sudah bapacu jalur bang juga ditemukan toponomi, yakni Pulau Godang pada larik pertama dan Kampung Toar. Pulau Godang pada larik kedua.

Foto 5    : Pertunjukan kayat pantun Grup Dendang Maimbau Dokumen Badan Bahasa

Kayat pantun disebut juga dengan kayat bujang gadis. Sebagian besar kayat pantun yang ditemui di Kuantan Singingi disuguhkan untuk bujang gadis (kaum remaja). Pantun-pantun dalam kayat pantun ini menyiratkan ungkapan perasaan seseorang kepada kekasih hatinya. Ungkapan-ungkapan perasaan seseorang itu dapat kita lihat dalam baris-baris kayat berikut ini.

Si Abu kobaunyo banyak

(Si Abu kerbaunya banyak)

Item kubalo di tangah podang

(Hitam gembala di tengah padang)

Minta ampun kami ka urang bonyak

(Minta ampun kami kepada orang banyak)

Kami mulai kabadendang

(Kami mulai berdendang)

 

Dari Jopu nak lah ka Japan

(Dari Jopu hendak ke Japan)

Dari Japan ka Pulau Tifak

(Dari japan ke Pulau Tifak)

Minta ampun ka urang banyak

(Minta ampun kepada orang banyak)

Andai ado kato yang tak enak

(Jika ada kata yang tak enak)

 

Dua bait pantun di atas merupakan pantun pembuka dalam sebuah kayat pantun. Pengkayat dalam menuturkan pantun pembuka ini pada umumnya memakai irama padang pulai. Selanjutnya, setelah dua atau tiga bait pantun pembuka pada kayat pantun (bujang gadis) ini langsung disampaikan pantun isi seperti pada bait berikut ini.

 

Simandolak Tanjuang Baliku

(Simandolak Tanjung Berliku)

Sinan pokok deyen ampaikan

(Di sana pokok saya hamparkan)

Adiak rancak carilah jodoh

(Adik cantik carilah jodoh)

Den buruak siso pangiraian

(Saya buruk sisa pengiraian)

 

Lah mandaki ka Padang Tarok

(Sudah mendaki ke Padang Tarok)

Abihlah mangombang buango jo lalang

(Habislah mengembang bunga dan ilalang)

Lah nak mati dehen dek arok

(Sudah hendak mati saya karena harap)

Kironyo adiak lapeh ka tangan urang

(Kiranya adik lepas ke tangan orang).

 

Setelah penutur kayat membawakan beberapa bait yang menjadi pantun isi, di akhir pertunjukan penutur akan menyampaikan pantun penutup. Contoh pantun kayat Simandolak Tanjuang Baliku ini menunjukkan bahwa pada hakikatnya sebuah kayat (kayat pantun) terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama adalah pantun pembuka. Bagian ini diawali dengan bunyi alat musik biola. Biasanya alunan bunyi biola berirama lambat dan mendayu-dayu. Setelah itu diikuti oleh bunyian gendang (gondang), dan ketipung (katipuang). Bagian kedua adalah isi kayat, yaitu menyanyikan lagu-lagu pantun yang diringi dengan alunan gesekan biola, tabuhan gendang dan ketipung serta temburin. Pantun- pantun yang dimaksud berisi kisah orang yang meninggalkan kampung halaman. Pada bagian ketiga (bagian penutup) adalah cerita pantun palayaran, yaitu pantun-pantun yang bertemakan keluh kesah dan penderitaan yang disampaikan dengan irama pelan dan mendayu-dayu.

 

Peran dan Fungsi Pantun dalam Kayat Pantun

Pantun menjadi objek tuturan pengkayat dalam kayat pantun. Pantun itu sendiri memiliki peran sebagai penjaga fungsi kata dan meningkatkan kemampuan menjaga alur berpikir. Pantun melatih seseorang untuk berpikir tentang makna dari kata yang ada sebelum mengucapkan atau pun menuliskannya. Pantun juga melatih seseorang untuk berpikir secara asosiatif, bahwa suatu kata dapat memiliki kaitan dengan kata yang lain.

Secara sosial, pantun mempunyai fungsi pergaulan yang sangat kuat hingga saat kini. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya merupakan sebuah kemampuan yang dihargai. Secara umum, peran pantun adalah sebagai alat penguat dalam penyampaian pesan. Pantun dapat menunjukkan kecepatan seseorang dalam berpikir dan bermain-main dengan kata.

 

Peran dan Fungsi Kayat Pantun dalam Masyarakat

Kayat pantun memiliki peran dan fungsi sebagai alat penguat untuk menyampaikan pesan. Pesan dimaksud dapat ditujukan kepada masyarakat umum atau pun pemerintah. Namun, pada konteks pertunjukan/performan kayat pantun secara utuh, kita dapat melihat peran dan fungsi kayat pantun secara luas.

Awalnya kayat ditampilkan pada saat warga kampung bergotong royong, menaiki rumah baru, dan acara pacu jalur (lomba mendayung). Kegiatan pacu jalur dilakukan di sepanjang sungai Kuantan (di Taluk Kuantan). Biasanya sebelum mulai acara puncak festival pacu jalur diadakan beragam seni dan budaya daerah Kuantan. Salah satu seni yang ditampilkan adalah tradisi lisan berkayat, khususnya kayat pantun.

Sesuai perkembangan zaman, kayat pun berfungsi sebagai hiburan yang ditampilkan dalam acara-acara pesta, seperti pesta pernikahan, pesta adat, penerimaan tamu kehormatan, sunatan, panen, dan lain sebagainya. Teks-teks pantun yang dituturkan tukang kayat dalam acara-acara hiburan ini berfungsi sebagai media atau informasi untuk menyampaikan pesan-pesan, pituah, ajaran, dan alat kontrol sosial. Sementara itu, ada beberapa jenis pantun dalam kayat, yaitu pantun jenaka, pantun nasehat, pantun agama, dan lain sebagainya.

Melalui teks pantun yang dituturkan sesuai irama tertentu dan diiringi beberapa alat musik tradisional, kayat telah menawarkan rasa dan suasana yang indah bagi penonton, seperti dalam acara pacu jalur, gotong royong, pesta, sunatan, penerimaan tamu kehormatan, panen, dan lain sebagainya. Bahkan, tidak jarang dalam suatu pertunjukan kayat pantun/gendang, penonton akan memberikan tepuk tangan, sorak sorai atau berbagai ucapan sebagai reaksi jika larik-larik dalam kayat pantun tersebut bernada jenaka/lucu. Reaksi yang datang dari penonton ini disebut dengan fungsi fatik. Fungsi fatik berfungsi untuk menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan solidaritas atau bersahabat.

 

Ketahanan Kayat

Sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan tradisi, saat ini kayat dapat dikatakan mulai kurang diminati terutama oleh kaum muda sebagai generasi penerus. Jika dilihat di lapangan, seni tradisi yang sering ditanggap di Kuantan Singingi sekarang ini adalah pertunjukan randai (sebagian kecil masyarakat di Kuantan Singingi menyebut tradisi bermain randai ini dengan kayat randai). Namun, peminat randai ini tidak sebanding banyaknya dengan peminat hiburan modern. Meskipun berkurangnya minat masyarakat terhadap kayat, sekarang ini di Kuantan Singingi dan sekitarnya masih ditemukan adanya beberapa kelompok seni kayat yang hingga kini masih hidup. Kelompok-kelompok yang mengusung tradisi lisan ini diharapkan akan tetap eksis di tengah masyarakat Kuantan Singingi dan daerah-daerah lain di Riau.

 

Penutup

Kayat yang masih terus hidup sampai sekarang adalah kayat pantun (kayat gendang). Keberadaan kayat pantun ini tersebar di beberapa daerah, antara lain di Desa Toar, Kecamatan Gunung Toar, Benai, dan Kuantan Hilir, Kabupaten Kuantan Singingi. Kayat pantun mempunyai peran sebagai penjaga fungsi kata dan meningkatkan kemampuan menjaga alur berpikir, baik bagi penutur maupun penikmatnya. Sebagai sebuah senandung, kayat pantun mempunyai fungsi pergaulan yang sangat kuat. Di kalangan pemuda sekarang, misalnya, kemampuan berkayat biasanya merupakan sebuah kemampuan yang dihargai dan perlu diapresiasi. Pada kenyataannya kayat merupakan media edukasi yang sarat pesan moral, sindiran, atau luapan perasaan yang tersirat dari setiap larik-lariknya.

 

Daftar Pustaka

Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.

Danandjaya, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. PT Grafiti Pers. Jakarta.

_______________. 2003. Folklor Amerika: Cermin Multikultural yang Manunggal. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra – Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Fauzi, M. Miftah. 2002. Kamus Lengkap Pantun Indonesia. Jakarta. Publishing Langit

Hamidy, UU. 2000. Masyarakat Adat Kuantan Singingi. Pekanbaru: UIR Press.

Koentjaraningrat. 1984. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.

Naim, Mochtar. 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Rahman, Elmustian. 2010. “Unsur Jati Melayu dalam Tradisi Kayat Rantau Kuantan” dalam Majalah Budaya Sagang. Pekanbaru.

Ratna et al. 2012. Perjuangan Sultan Sulaiman Shariful Alamsyah dari Serdang (1865—1946). Medan: Sinar Budaya Grup.

Ruchiat Rachmat. 2011. Asal Usul NamaTempat di Jakarta. Jakarta: Masup.

Sudikan, Setya Yuwana. 2013. Kearifan Budaya Lokal. Sidoarjo: Damar Ilmu.

Thohir, Mudjahirin. 2007. Memahami Kebudayaan: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Semarang: Fasindo.

 

 

Referensi Lain

www.kuansing.go.id (diunduh tanggal 8 November 2016)

www.serampaikata.blogspot (diunduh tanggal 3 September 2016)

www.wikipedia.org/wiki/oral_tradition (diunduh tanggal 24 September 2016)

https://id.m.wikipedia.org (diunduh 5 September 2016)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa