Pendokumentasian Dulmuluk, Sastra Lisan Sumatera Selatan
Tulisan ini merupakan hasil penelitian tahun 2015 bertajuk struktur sastra lisan Dulmuluk. Pada laporan penelitian, saya memulainya dengan sebuah pengantar tentang sesuatu yang lebih besar dari persoalan hilangnya sastra lisan, yaitu kapitalisme yang telah gila-gilaan membentuk selera pasar. Selera masyarakat terhadap berbagai jenis pertunjukan dikendalikan oleh sekelompok pemodal. Hal itu berpengaruh sampai ke dalam ranah keluarga melalui media atau teknologi, padahal ranah keluarga adalah ranah kekerabatan yang tidak saja sebatas hubungan genealogis, tetapi juga menunjukkan praktik budaya lokal. Ketika industri pertunjukan belum masif, praktik budaya lokal masih sangat bergantung pada pertunjukan tradisi secara lisan atau pembacaan teks yang digelar secara guyub.
Pasar yang menawarkan pertunjukan modern, seperti dangdut organ tunggal, mendominasi pertunjukan-pertunjukan langsung di daerah termasuk Palembang. Televisi juga sudah menyamankan mata keluarga untuk duduk diam di kamar dan melupakan pertunjukan rakyat yang pada masa lalu digelar di lapangan. Akan tetapi, tidak semua orang melupakan begitu saja pertunjukan rakyat ini. Pengalaman mendokumentasikan pertunjukan Dulmuluk membuka mata saya bahwa pertunjukan tradisional yang telah mengalami pembaharuan sekecil apa pun akan tetap memiliki penggemar tersendiri. Penyesuaian-penyesuaian seperti ini tetap dipicu oleh kesenangan pasar, meskipun untuk Dulmuluk, pasar yang dimaksud bukan pasar yang di belakangnya terdapat invisible hand. Selera konsumen Dulmuluk juga sudah dipengaruhi oleh pertunjukan modern di televisi dan mereka mengharapkan ada yang sama. Inilah cerita tentang pertunjukan rakyat yang digelar masyarakat untuk publik.
Dulmuluk adalah salah satu pertunjukan rakyat di Palembang yang berasal dari pembacaan syair Abdul Muluk yang kemudian berubah menjadi seni teater tradisi. Seorang pedagang keliling keturunan Arab yang bernama Wan Bakar atau Shecj Ahmad Bakar membawa kesenian ini ketika ia berdagang ke Palembang, Singapura, Negri Johor Malaysia, Kepulauan Riau, dan Pulau Bangka. Dengan cara membacakan syair Dulmuluk dari mulut ke mulut yang berupa pembacaan kitab – kitab berisi hikayat, baik dalam bentuk syair maupun cerita, ia menyebarkan cerita tersebut. Abdul Muluk kemudian digemari oleh masyarakat yang tersebar di beberapa tempat. Pada tahun 1910 hingga 1930, pagelaran Dulmuluk pertama kali dipertunjukkan dalam bentuk teater. Setelah tahun 1930 sandiwara melalui bangsawan yang masuk dari Jawa, sedikit demi sedikit mempengaruhi pertumbuhan teater Dulmuluk di Palembang. Karena ketenarannya di dalam masyarakat yang sering menanggap Dulmuluk pada acara kenduri, pemerintah pernah memanfaatkan teater ini untuk propaganda dalam bentuk pementasan atau panggung. Pertunjukan teater ini biasanya digelar semalam suntuk, mulai dari pukul 20.30 hingga pukul 04.00 dini hari.
Gambaran di atas merupakan situasi dan kondisi Dulmuluk di era 1900-an. Pada masa kini dialog yang digunakan tetap menggunakan syair. Namun, syairnya terkadang diplesetkan dengan humor hingga memunculkan suasana yang lebih akrab bersama penonton. Peranan wanita pun dimainkan oleh wanita. Di awal dan di akhir pementasan Dulmuluk tetap ada Beremas. Namun, saat ini Beremas lebih dikreasikan dengan gerakan yang lebih menarik. Kuda Dulmuluk yang ditampilkan lebih dibuat menarik dengan hiasan manik - manik dan hiasan menarik lainnya.
Robert Martin Dumas (2000) dalam disertasi yang dipertahankan di Universitas Leiden dengan judul “Teater Abdulmuluk' in Zuid-Sumatra: op de drempel van een nieuw tijdperk” mengangkat sejarah perkembangan sandiwara berkaitan dengan terbentuknya kota-kota multikultural di bagian barat Semenanjung Melayu termasuk Palembang hingga lahirnya Dulmuluk. Bermula dari teater bangsawan di Penang yang kemudian menyebrang hingga ke Indonesia dengan sejumlah grup sandiwara, muncul kelompok sandiwara lain yang mengalahkan pementasan sandiwara sebelumnya dengan menggunakan bentuk seni baru. Masyarakat pun menilai bahwa kelompok perhimpunan sandiwara lokal yang didirikan menjadi contoh dan digunakan oleh masyarakat Sumatera dengan nama yang berbeda, seperti tonil Melayu atau “Maleis toneel” (sandiwara Melayu) dan Wayang / Teater Abdul Muluk atau “Abdulmuluk-theater”. Seiring dengan berjalannya waktu, perkumpulan tersebut mendapatkan kategori “Abdulmuluk” karena kisah Abdul Muluk (berdasarkan Syair Abdul Muluk) yang populer untuk waktu cukup lama di masyarakat Melayu. Ada sebuah bagian tetap yang terbentuk dari repertoar sandiwara selain karya-karya lain dari kesusastraan Melayu yang di dalamnya mewakili syair dan hikayat berlimpah. Selain sejarah perjalanan kelompok-kelompok teater Melayu dan persebaran Dulmuluk di seluruh Sumatra Selatan yang dimainkan oleh masyarakat setempat, Dumas juga menjelaskan struktur Dulmuluk yang terdiri atas 1) sebuah repertoar terbatas dari dua karya sandiwara, yakni cerita Abdul Muluk dan Siti Zubaidah (Syair Siti Zubaidah); 2) struktur episodik dari pertunjukan sandiwara. Artinya, hanya satu episode atau lebih dari karya yang dipilih dimainkan dalam sebuah pertunjukan, dan struktur pertunjukan itu sendiri, yaitu a) pengaturan podium yang spesifik dengan layar sebagai dekorasi latar belakang dan teritis yang dipasang lengkap dengan atap dari terpal di tempat terbuka; b) permainan sandiwara dari figur-figur lucu Khadam dan Mak Dayang yang biasanya menjadi intermeso di layar depan; c) repertoar musik yang berbeda (lain dari pada yang lain).
Pada perkembangan masa kini Dumas juga mencatat bahwa teater Abdulmuluk modern pada masa sekarang berada di fase keempat dari Southerns “Tujuh Fase” Theorie: Pementasan teater Abdulmuluk. Pementasan ini biasanya berlangsung di tempat terbuka dengan podium yang tertutup oleh atap dari terpal. Pertunjukan tersebut selalu gratis dan terbuka untuk semua orang. Khusus untuk acara-acara resmi, pementasan Abdulmuluk dilaksanakan di aula lembaga pemerintahan, stasiun radio (RRI Palembang), atau di studio stasiun televisi lokal di Palembang (TVRI Palembang). Biaya pementasan dibayar oleh organisator atau sponsor kegiatan dan semua yang mendukung acara tersebut (keluarga, instansi atau perusahaan komersil).
Linny Octovianny (2009) membahas Dulmuluk dalam penelitian yang berjudul “Teater Tradisional Dulmuluk: Transformasi Syair Abdul Muluk”. Penelitian ini mengangkat model seni pertunjukan Dulmuluk untuk pemertahanan seni budaya lokal. Octovianny menjelaskan bahwa untuk memperoleh informasi kelayakan model seni pertunjukan Dulmuluk dan untuk pemertahanan seni budaya lokal dilakukan validasi oleh seniman Dulmuluk dan seniman Teater Modern. Validasi dilakukan terhadap unsur-unsur pementasan, yaitu naskah drama, pemain, tata rias, tata busana, tata lampu, tata suara, tata panggung, sutradara, dan penonton. Hasil validasi tersebut menurutnya dikategorikan baik dan layak digunakan oleh berbagai khalayak, generasi muda, serta pelaku teater tradisional dan modern.
Teks, Konteks dan Koteks Dulmuluk
Struktur pertunjukan Dulmuluk terdiri dari keseluruhan pertunjukan yang dibuka dengan Beremas atau nyanyian salam pembuka, kemudian Bekisah atau bekiso ketika salah seorang pemain duduk di samping para pemusik dan melantunkan kisah dengan suara yang tinggi. Permainan dimulai hingga selesai, lalu ditutup dengan beremas.
Teks Dulmuluk
Pada pertunjukan Dulmuluk yang berjudul “Istri Setia” pada tanggal 9 Agustus 2015 menghadirkan pertunjukan mulai dari pukul 7.00 hingga pukul 00.00 dini hari di sebuah acara pernikahan di Kecamatan Sungki. Teks yang hadir di dalam penelitian ini adalah teks berdasarkan rekaman video yang dilakukan pada tanggal yang sama meskipun telah mengalami pengeditan yang sangat banyak sehingga memotong banyak adegan inti dari pertunjukan “Istri Setia”.
Beremas merupakan salam pembuka berbentuk lagu yang dinyanyikan. Iringan musik Beremas dan nyanyian pembuka ini diperuntukkan bagi para penonton.
Assalamualaikum wr.wb, penonton sekalian. Jangan tak dapat ketahuan. Cerita Abdul Muluk, akan kami permainkan. Jika salah dan khilaf mohon dimaafkan. Karena manusia di dunia ini tak luput dari kekhilafan. Sekalian baiklah kita sekarang menonton
Kisah tentang “istri setia” menekankan perjuangan Siti Rofiah dalam membebaskan suaminya, Sultan Abdul Muluk Jauhari dari penahanan yang dilakukan Sultan Hindi setelah kerajaan Berbari yang dipimpin Abdul Muluk diserang oleh kerajaan Hindi dan mengalami kekalahan. Pertunjukan yang ditonton secara langsung tersebut dapat diingat dan disekuelkan sebagai berikut.
1. Sultan Abdul Muluk Jauhari pulang dari berlayar dan menanyakan keadaaan negerinya kepada pamanda Wazir Mansyur. Ia mendapat laporan bahwa keadaan negeri makmur dan tidak kekurangan.
2. Sultan juga memanggil dua orang perdana menteri (Duli Kholifan) dan meminta laporan tentang negeri Barbari. Laporan perdana menteri tersebut juga mengatakan negeri aman sentosa.
3. Sultan kedatangan tamu pedagang pasar yang melaporkan huru hara, yaitu pembakaran pasar yang dilakukan oleh orang-orang dari negeri Hindi.
4. Sultan kedatangan utusan dari kerajaan Hindi yang mengantar surat tantangan perang untuk membalas dendam atas kematian perdana menteri Hindi yang sedang berdagang. Bahai dan Jauhari dari Hindi berada dalam penjara Sultan Barbari pada masa pemerintahan ayah Abdul Muluk. Perdana menteri Hindi tersebut masih sekerabat dengan Sultan Hindi (versi pertunjukan lain mengatakan bukan perdana menteri, melainkan saudagar yang sekerabat dengan sultan Hindi).
5. Sultan menemui dua istrinya, yaitu Siti Rafiah dan siti Rahmah, dan mengabarkan akan berperang.
6. Pertemuan tersebut dihibur oleh kemunculan Khadam atau juru hibur dan dayang-dayang.
7. Sultan Hindi memanggil para pengikutnya untuk membahas rencana penyerangan ke Kerajaan Barbari.
8. Pertempuran terjadi antara pihak Sultan Abdul Muluk dan pihak Sultan Hindi. Keduanya menggunakan kuda dalam pertempuran itu. Sultan Abdul Muluk menggunakan kuda putih, sedangkan Sultan Hindi menggunakan kuda hitam.
9. Sultan Abdul Muluk mengalami kekalahan dan ditawan oleh Sultan Hindi.
10. Siti Rahmah juga berhasil ditawan dan dirayu oleh Sultan Hindi.
11. Siti Rafiah sempat bertemu Siti Rahmah untuk memberitahu akan membebaskan Sultan Abdul Muluk.
Plot tersebut masih belum memberikan gambaran tentang kesetiaan seorang istri seperti dalam tema. Perjuangan Siti Rafiah tidak terpresentasikan pada pertunjukan berdurasi sekitar lima jam tersebut. Plot di atas menunjukkan pengenalan tokoh-tokoh protagonis, yaitu Sultan Abdul Muluk dan istri-istrinya serta para pengikutnya dan tokoh antagonis, yaitu Sultan Hindi dan pengikutnya. Selain itu, plot di atas juga menunjukkan permasalahan atau pembalasan dendam negeri Hindi dan klimaks peperangan dua belah negeri yang berakhir dengan penahanan dan kekalutan istri-istri Abdul Muluk Jauhari. Kalau pertunjukan tersebut dapat diselesaikan sesuai tema akan tampak tokoh mana yang paling berperan dan mendapat porsi utama dari keseluruhan cerita, yaitu Siti Rafiah. Kesetiaan Siti Rahma yang tidak mau diperistri oleh Sultan Hindi ketika suaminya ditangkap juga hanya tergambar sedikit pada bagian akhir perekaman ini.
Dul Muluk berasal dari syair sehingga tipografi teks berbentuk syair yang terikat rima, meskipun jumlah kata dalam satu baris dan jumlah bait berbeda antara satu dengan yang lain. Tipologi teks ini menjadi tipe Dulmuluk, seperti dalam kutipan berikut.
Sultan Abdul Muluk:
“Wahai mamandaku antara bedua,
Sudah berapa lama di negeri berbari ini saya duduk merintah,
Akan tetapi belum mendapat habar nyata dan pasti”.
“Nah di sini..
Sayalah tidak berpanjang peri.
Apalah habar bicara negeri.
Ramai tiada engkau habari.
Mamandaku bilang dengan pasti,
barulah saya dapat ketahui”
Wazir Mansyur:
“Anandaku Sultan Abdul Muluk.
Di sini pun saya tidak berpanjang peri.
Kalau kau bertanya bicara negeri.
Negeri kita ramai setiap hari.
Begitu saja saya berperi.
Kepada Tuanku Abdul Hadi
Adapun percakapan-percakapan bebas ada di luar teks pakem, seperti dalam improvisasi-improvisasi yang dilakukan oleh pemain-pemain tertentu. Hanya tokoh Khadam dan dayang-dayang yang dapat melakukan adegan dan dialog improvisasi. Di dalam transkripsi teks di atas tidak disebutkan contoh improvisasinya, tetapi di bagian video perekaman ada kalimat humor Khadam yang mengomentari fisik dayang-dayang .
“Kok, bulu-bulunya panjang, Dek.” Selain itu juga terdapat perkataan Khadam yang berbincang dengan Sultan Hindi. Sultan Hindi menceritakan maksud kedatangannya pada Khadam bahwa ia ingin membalas dendam pada negeri Barbari. Khadam menjawab dengan sesuka hati.
“Ohh iya”..
“Ohh begitu”..
Meskipun Khadam kemudian juga memberi nasehat dalam bentuk nyanyian bahwa hendaknya Sultan Hindi bertemu Sultan barbari dengan cara yang baik karena perkataan amarah tiada guna.
Pemimpin yang mulia
Kamulah pemimpin saya 2x
Ya pemimpin ya saya orang yang minang 2x
Ku persembahkan patek 2x
Ya pemimpin ya saya kami adalah orang-orang yang hina 2x
Bicara pemimpinku dengarlah pemimpinku 2x
Bicara pemimpinku tiada berguna 2x
Kepada kami ya pemimpin ya saya 2x
Kepada kami berdua 2x
Wanita kenalkan
Pemimpin minta kenalkan adat yang lama 2x
Wanita kenalkan
Terkirimlah surat ya pemimpin ya saya
Berilah ujaran
Dikalau tidak diberi 2x
Anda adalah seorang pemimpin ya pemimpin ya saya
Kemunculan tokoh Khadam sebenarnya tidak hanya sebagai penghibur, tetapi memiliki peran yang penting dalam membawa nilai yang ditawarkan Dul Muluk, meskipun dengan gaya humor. Khadam yang tidak memiliki batasan pakem menjadi bagian yang dapat ditarik ulur dan disesuaikan dengan kebutuhan.
Konteks Sejarah dan Situasi Lahirnya Dulmuluk
A. Sejarah Teater Tradisi Dulmuluk di Masyarakat Sumatra Selatan
Teater tradisi Dulmuluk di Sumatera Selatan pertama kali muncul di kota Palembang dalam bentuk pembacaan syair-syair Abdul Muluk yang dikarang oleh Saleha, adik dari raja Ali Haji Ibn Raja Achmad Ibn Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fisabilillah, raja di pulau Penyengat Idra Sakti pada abad 19 (Philipus Pieter Roorda Van Eisjsinga, 1996:17 dalam Anwar Putra Bayu, 1999). Pembacaan syair-syair ini dilakukan oleh seorang pedagang keturunan Arab bernama Shecj Ahmad Bakar atau dikenal dengan Wan Bakar yang tinggal di kampung Tanggatakat atau sekarang disebut 16 Ulu. Menurut Abdullah Saleh dan R. Dalyono dalam Bayu, kitab Abdul Muluk yang dibacakan oleh Wan Bakar ini sebelumnya berjudul Kejayaan Kerajaan Melayu. Pertistiwa seni hiburan pada tahun 1854 ini menjadi bibit kelahiran teater tradisional Dulmuluk yang kemudian bergenre seni pertunjukan.
Saleh dan Dalyono (1996) mencatat bahwa Wan Bakar adalah seorang pedagang yang menjelajah Singapura, Negeri Johor Malaysia, Kepulauan Riau dan Pulau Bangka. Barang-barang yang diperdagangkan dari Sumatera Selatan berupa rempah-rempah dan hasil hutan yang kemudian ditukar dengan tekstil, keramik antik, dan barang-barang lain.
Pembacaan syair-syair ini dilakukan untuk menarik perhatian orang terhadap barang-barang yang didagangkan oleh Wan Bakar. Syair yang berisi kehidupan kesultanan Abdul Muluk Jauhari dan hubungan dengan luar negeri melalui perdagangan ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Wan Bakar. Sebagai pedagang, Wan Bakar nampak menyepakati prinsip-prinsip perdagangan yang anti kecurangan. Menurutnya, kejahatan harus dihukum. Sambil membacakan syair tersebut, Wan Bakar menanamkan nilai-nilai etika perdagangan dan nilai-nilai islam yang lain kepada khalayaknya.
Peminat pembacaan syair Abdul Muluk oleh Wan Bakar semakin banyak terlihat dari animo masyarakat mengundag Wan Bakar pada acara perkawinan, khitanan, dan syukuran kelahiran bayi. Tahun 1854, menurut Saleh dan Dalyono (1996) dibentuk perkumpulan pembacaan syair yang dipimpin oleh Wan Bakar di rumahnya di Tangga Takat 16 Ulu Palembang. Wan Bakar mulai bekerja dengan murid-muridnya, yaitu kamaludin dari Pamulutan dan Pasirah Nurhasan yang membuat pembacaan syair tersebut dalam bentuk drama teatrikal dengan tokoh-tokoh yang diperankan serta diiringi musik, antara lain gambus dan terbangan. Semakin banyak jumlah pemain yang dilibatkan dalam pertunjukan, semakin kuat Dulmuluk ditetapkan menjadi seni pertunjukan pada sekitar tahun 1910.
Grup seni pertunjukan yang pertama adalah Perkumpulan Pembacaan Syair Abdul Muluk yang beranggotakan murid-murid Wan Bakar yang berasal dari Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir, Lahat, Muara Enim, Palembang, Bangka/Belitung dan Kalimantan. Murid-murid ini kemudian pulang ke kampung dan mendirikan grup, yaitu
1. Perkumpulan Dulmuluk di 7 Ulu Tangga Panjang Sungai Kademangan Palembang tahun 1910 dengan salah satu anggotanya adalah Kamaludin;
2. Perkumpulan Dulmuluk di Pamulutan Kabupaten Ogan Komering Ilir tahun 1916 yang didirikan oleh Kamaludin;
3. Perkumpulan Dulmuluk di Tebing Abang, Kabupaten Musi Banyuasin yang dipimpin oleh Nuhasan; dan
4. Perkumpulan Dulmuluk di Muara Kuang Kabupaten Ogan Komering Ilir yang diketuai oleh Burhanan.
Perkembangan berikutnya adalah kostum mulai digunakan oleh para pelaku dan mulai ditambahkan tata rias serta properti pertunjukan. Perangkat musik semakin kaya dengan biola, gendang, gong, dan jidur. Menurut Nurhayati (2013) dan Rob Dumas (2000), pertunjukan Dulmuluk mencapai kejayaannya pada tahun 1960-an dan 1970-an. Pada saat itu puluhan grup tersebar di Sumatera Selatan, sedangkan pada saat Saleh dan Dalyono melakukan penelitian tahun 1996, grup Dulmuluk di kotamadya Palembang baik yang aktif maupun yang pasif masih berjumlah sekitar 38 grup.
Kehidupan Dulmuluk pada Konteks Situasi Sosial Budaya Palembang Masa Kini
Palembang masa kini adalah kota metropolitan yang berbenah untuk memiliki sarana fisik, seperti Kompleks olahraga Jakabaring yang menjadi tempat utama Sea Games XXVI pada tanggal 11-22 November 2011 dengan segala kotroversinya. Palembang menjadi kota industri yang bergerak pada sektor jasa dengan wisata kuliner dan wisata air yang menjadi andalannya.
Seperti kota-kota besar lain, Palembang merupakan kota yang setiap hari memproduksi informasi, baik dari berbagai media cetak maupun elektronik. Media cetak yang ada di Palembang antara lain Tribun Sumsel, Sriwijaya Post, Sumatera Ekspress, Sumsel Pos, palembang Pos, Palembang Ekspres, Radar Palembang, dan lain-lain. Adapun Media televisi di Palembang, yaitu
1. TVRI Palembang
2. Palembang TV - 42 UHF - JPMC – Palembang
3. Sky TV Palembang - 44 UHF - SINDO TV – Palembang
4. Sriwijaya TV - 48 UHF - Indonesia Network – Palembang
5. MOS TV - 52 UHF - Kompas TV - Ogan Ilir dan Palembang
6. Kompas TV Palembang - 54 UHF - Kompas TV – Palembang
7. MNC News Palembang - 47 UHF - MNC – Palembang
8. NET. Palembang - 59 UHF - NET. – Palembang
9. Palembang Channel - 60 UHF – Palembang
10. Candaradimuka TV - 62 UHF – Palembang
11. BeritaSatu TV Palembang - UHF – Berita Satu TV – Palembang
12. Radar Palembang TV - UHF - JPMC - Palembang
Fasilitas media tersebut diberikan kepada penduduk Palembang yang berjumlah 1.535.900 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 769.000 jiwa dan perempuan sebesar 766.900 jiwa berdasarkan data BPS 2013 pada pertengahan tahun 2012 sehingga rata-rata kepadatan per kilometer segi sebanyak 3.834 jiwa.
Koteks Pertunjukan “Istri Setia” di Sungki
Dalam sebuah pertunjukan unsur-unsur material yang menyertai pertunjukan disebut dengan koteks. Koteks akan dijelaskan dalam subbab ini. Koteks tidak hanya mencakup unsur material, tetapi juga gerak isyarat (gestur), penjagaan jarak atau prosemik, dan paralinguistik, seperti intonasi, nada, dan intensitas yang tampak dalam sebuah pertunjukan.
Kostum dalam Pertunjukan Dulmuluk “Istri Setia”
Kostum untuk tokoh-tokoh negeri Barbari didominasi warna merah, sedangkan tokoh-tokoh dari negeri Hindi berwarna hitam. Sultan Abdul Muluk menggunakan jas panjang warna merah, baju atasan berwarna kuning, celana panjang hitam, kain batik yang diikatkan pada pinggang, dan penutup kepala berwarna merah. Siti Rohmah menggunakan baju kurung berwarna coklat, kain batik, selendang ala kadarnya, dan menggunakan penutup kepala seperti pengantin, tetapi sangat sederhana. Siti Rafiah mengenakan kain songket, baju kurung warna merah muda pudar dan mengenakan kerudung seadanya. Baik Siti Rafiah maupun Siti Rohmah, keduanya menggunakan sabuk yang ujungnya diikat dengan tali rafia. Tokoh-tokoh dari negeri Hindi menggunakan baju serba hitam, mulai dari jas, celana panjang hingga penutup kepala. Khadam menggunakan kemeja koko putih, peci hitam, dan celana batik. Di pundaknya diselempangkan kain sarung.
Properti Penunjang
Properti penunjang merupakan benda-benda simbolik yang memiliki makna budaya dalam pertunjukan tradisi. Pementasan “Istri Setia” menggunakan properti penunjang kuda putih untuk kerajaan Barbari yang melambangkan kebaikan dan kesucian yang bertahan, sedangkan kuda hitam negeri Hindi menggambarkan agresivitas dan kemarahan. Kuda-kuda tersebut muncul pada saat perang antara Sultan Abdul Muluk dan Sultan Hindi. Properti lain yang digunakan adalah kursi singgasana Sultan dan Permasuri. Dalam pertunjukan “Istri Setia” properti kursi ini tidak memadai sebagaimana layaknya pertunjukan realis yang menggambarkan kursi kebesaran raja. Kursi yang digunakan seadanya dipinjam dari tuan rumah hajatan, yaitu kursi plastik biasa yang maknanya sama dengan kursi penonton. Spanduk bergambar istana yang menjadi latar dalam pertunjukan “Istri Setia” ini juga sangat sederhana, yaitu berupa kain lusuh dan cetakan gambar istana yang mulai pudar.
Gestur dan Paralinguistik
Selain menggunakan properti yang apa adanya, kualitas akting pada permainan Dulmuluk yang membawakan lakon “istri setia” juga tidak dapat membangun imajinasi penonton pada latar istana sentris yang dibangun dalam cerita. Properti kursi plastik yang sama dengan kursi penonton tidak dimaknai oleh tokoh-tokoh panggung sebagai kursi yang lebih berharga dari sekedar kursi biasa. Kursi yang diduduki, baik oleh Sultan Barbari maupun Sultan Hindi, dan kursi yang diduduki oleh dua permaisuri Sultan Barbari juga tidak berbeda dengan kursi yang digunakan oleh Khadam atau dayang-dayang. Pada adegan menit ke-27, tampak dayang-dayang dan Khadam duduk di kursi yang sama digunakan oleh Siti rafiah dan Siti Rahma. Ini bukan saja soal teknik penjagaan jarak sesama pemain, melainkan pendalaman karakter tokoh-tokoh dalam merespon properti yang tidak membangun imajinasi suatu cerita berlatar istana dengan raja yang sangat berwibawa dan memiliki hak-hak sendiri pada tahta, para putri, dan para istrinya.
Satu sisi tanpa dihubungkan dengan properti, gerak tubuh Siti Rafiah dan Dulmuluk dengan kostum yang apa adanya menunjukkan pendalaman peran pada dialog-dialog bersyair yang diucapkan. Meskipun intonasi tidak jelas karena faktor usia pemain, tetapi mimik wajah sedih saat hendak melepas Dulmuluk berperang tampak dari wajah Siti Rafiah. Namun, tidak demikian halnya dengan pemeran Siti Rahmah. Secara umum syair yang sudah dihapal mengalami pendangkalan makna karena kurang pendalaman pemeran. Syair indah yang didialogkan dengan rima-rima tidak dibantu dengan kualitas penghayatan peran sehingga memudarkan bangunan imajinasi cerita, kecuali pada tokoh-tokoh seperti Siti rafiah, Sultan Hindi, dan Dulmuluk. Ketiga pemeran itu pada saat tertentu mempu menghayati peran dengan baik. Akan tetapi, pada saat yang lain tampak kosong terutama pada saat pergantian dialog dan pergantian mikrofon. Saat diam mimik tokoh-tokoh tersebut (tidak pada tokoh Sultan Hindi) tidak memiliki motif apa-apa dan terlihat seperti tidak sedang memerankan tokoh di atas panggung. Salah satunya adalah saat adegan menit ke-34. Pemain di atas panggung banyak diam dengan mimik wajah yang lepas dari Siti Rafiah dan Siti Rahmah. Penonton melempari saweran. Khadam dan Dayang-dayang memperhatikan lemparan-lemparan kertas tersebut.
Proksemik/Penjagaan Jarak
Performa Dulmuluk di Sungki memiliki kelonggaran dalam penjagaan jarak yang berhubungan dengan kurangnya pendalaman karakter tokohnya. Penjagaan jarak antarpemain yang memerankan tokoh dayang-dayang dan Khadam yang sangat dekat dengan tokoh Siti Rafiah dan Siti Rahma sebagai permaisuri dan Sultan Dulmuluk tidak membawa kesadaran dalam panggung bahwa tokoh-tokoh tersebut adalah junjungan mereka (dayang-dayang dan Khadam). Dalam hal ini tidak ada penonton yang protes. Artinya, penonton juga tidak terlibat dalam situasi emosional yang meluhurkan raja. Situasi emosional yang diperhatikan penonton adalah saat tokoh-tokoh di atas panggung bereaksi terhadap lemparan sawer. Penonton tertawa terbahak menyaksikan gerak tubuh dayang-dayang yang berpenampilan seksi saat berebut saweran dengan Khadam. Apalagi saat dayang-dayang tersebut turun dari panggung dan membawa kotak yang diulur-ulurkan ke hadapan penonton secara langsung untuk menerima saweran. Penonton mendapat kepuasan bukan pada jalan cerita, melainkan pada tingkah tokoh-tokoh di panggung yang terlihat sangat terbuka dan bersikap sangat menikmati perebutan saweran. Pada adegan menit ke-37 tampak bloking Khadam dan dayang tidak mempedulikan junjungan mereka, yaitu Siti Rafiah dan Rahma. Khadam dan dayang mencari-cari saweran yang dilempar di atas panggung.
Di dalam alur cerita terdapat penjagaan jarak antara Siti Rafiah, Siti Rahma, dan Sultan Dulmuluk sebagaimana pakem hubungan antara raja yang dipertuan dengan permaisurinya. Begitu juga penjagaan jarak antara Wazir dan Sultan serta Sultan Hindi dan Sultan Dulmuluk dalam peperangan yang menggambarkan hubungan-hubungan subordinatif dan setara sebagai sesama penguasa. Dalam adegan menit ke-40, saat terjadi percakapan serius antara Sultan dan Siti Rafiah, seorang penonton anak-anak muncul dari arah panggung melewati kedua tokoh tersebut. Artinya, situasi dalam alur cerita dapat tiba-tiba diganggu oleh polah penonton. Hal ini menunjukkan keterbukaan hubungan atau jarak antara penonton dengan pemain terutama pada pertunjukan “istri setia”.
Simpulan
Dulmuluk, seni pertunjukan yang berasal dari pembacaan naskah Abdul Muluk merupakan kesenian yang muncul di Palembang kemudian menyebar ke daerah Sumatera Selatan lainnya. Penelitian ini mencatat pertunjukan Dulmuluk yang menekankan perubahan struktur sebagai akibat dari strategi pemertahanan kesenian ini dari kepunahan. Dengan demikian, aspek vitalitas menjadi tema utama yang melingkupi studi, baik terhadap pertunjukan Dulmuluk sendiri maupun pengetahuan masyarakat sebagai pasar atau konsumen yang menghadirkan Dulmuluk.
Pertunjukan Dulmuluk beserta komunitas yang diteliti adalah kelompok-kelompok kesenian yang berada di Palembang dan di Kabupaten Ogan Ilir selama sepuluh hari. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa pengamatan dan wawancara terhadap para seniman dan pengembang kesenian Dulmuluk. Selain itu, dokumentasi juga dilakukan terhadap pertunjukan Dulmuluk, baik secara alamiah atau yang berada di tengah masyarakat maupun yang digelar atas inisiatif peneliti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Hasil dari penelitian yang menggunakan kerangka teori vitalitas secara kuantitatif dan kualitatif (pascakolonial) serta tafsir struktur teks, konteks, dan koteks ini menghasilkan temuan bahwa pertunjukan Dulmuluk masih taat pada pakem yang ditetapkan sejak kesenian pembacaan naskah ini berubah menjadi seni pertunjukan. Akan tetapi, perubahan-perubahan terjadi pada alur cerita berdasarkan waktu pertunjukan yang ditentukan oleh harga yang sanggup dibayar oleh penanggap. Hal ini diketahui dari pengamatan peneliti pada pertunjukan yang berlangsung selama hampir lima jam di Kecamatan Sungki dan pertunjukan di Pamulutan, Kabupaten Ogan Ilir yang diselenggarakan oleh peneliti yang hanya berdurasi satu jam sesuai harga yang disepakati antara penanggap dan kelompok grup tersebut.
Hitung-hitungan perdagangan ini bagian dari strategi kebertahanan kelompok Dulmuluk, terutama kelompok yang dipimpin oleh Ilyas yang berasal dari Pamulutan. Dunia perdagangan seni pertunjukan adalah hal yang tidak bisa dihindari oleh kelompok-kelompok kesenian mengingat tingginya angka persaingan berbagai jenis pertunjukan. Strategi lainnya adalah penokohan Dulmuluk yang khas terdapat Khadam, yakni tokoh yang menjadi penasihat sekaligus penghibur keluarga Raja Dulmuluk. Khadam merupakan tokoh yang kemunculannya ditunggu-tunggu oleh penonton karena kelucuannya. Sebagian dialog Khadam mengikuti dialog khas Dulmuluk, yaitu bersyair. Akan tetapi, sebagian besar dialognya merupakan percakapan bebas sehingga suasana dapat menjadi lebih cair. Khadam menjadi bagian yang sering dijadikan komoditas dalam pertunjukan Dulmuluk sesuai dengan permintaan konsumen. Khadam dapat membawa isu-isu masa kini. Oleh karena itu, Dulmuluk menjadi sangat populer dan mampu menaikkan minat penonton pada kesenian ini. Selain Khadam, terdapat pula tokoh dayang-dayang istana yang sering dibawakan oleh pemain bencong dengan dandanan yang seronok. Dulmuluk adalah seni pertunjukan yang sejak awal dimainkan oleh laki-laki, meskipun beberapa tokoh di dalam drama adalah perempuan. Pemeran karakter dayang-dayang di atas panggung tidak menunjukkan ia sebagai dayang perempuan, tetapi terlihat sebagai laki-laki yang membawakan perempuan. Tokoh dayang-dayang ini tidak hanya tampil dengan dandanan, tetapi juga dengan gestur atau gerak tubuh yang mengeskplorasi kegenitan. Letak kelucuan yang dibawakan dayang-dayang tersebut terlihat slapstic dan penonton menikmati hal tersebut.
Keberadaan tokoh-tokoh tersebut satu sisi tidak terlihat keluar pakem, tetapi satu sisi merusak orisinalitas Dulmuluk terutama pada alur cerita yang tertunda. Pertunjukan berjam-jam dapat terpaku pada pertunjukan humor antara dayang dan Khadam. Humor tersebut semakin seru saat Khadam dan dayang-dayang mendapat reaksi dari penonton dalam bentuk saweran uang. Ini merupakan bentuk apresiasi yang dengan jujur ditunggu oleh para pemain di atas panggung.
Sebagian besar seniman-seniman Dulmuluk tidak mengandalkan hidup dari seni pertunjukan ini. Di Kabupaten Ogan Ilir, sebagian besar masyarakat adalah para petani, sedangkan di Palembang sebagian besar masyarakatnya adalah pedagang dan sebagian lain adalah seniman dari bentuk kesenian lain, seperti bangsawan. Pada masa lampau Dulmuluk identik dengan kesenian masyarakat menengah ke bawah karena latar belakang para pemainnya. Perubahan terjadi ketika kesenian Dulmuluk dibawakan oleh orang-orang dari kalangan akademisi yang berusaha merevitalisasi Dulmuluk. Pemain lebih muda, yang sebagian besar adalah mahasiswa, membuat kesenian ini memiliki pamor yang tinggi dengan kehadirannya tampil di perhelatan acara pemerintahan hingga ulang tahun universitas. Bahkan, di rumah sakit-rumah sakit. Akan tetapi, kelompok-kelompok pembaharu ini mengubah beberapa hal yang tidak terlalu mendasar ketika tampil di acara pada tingkat internasional, seperti kostum dan penggunaan bahasa. Sementara itu, sebagian kelompok yang lain mengubah Dulmuluk secara total menjadi tidak sesuai pakem dan hanya diambil nama-nama tokoh saja. Perubahan ini mengganggu sebagian besar seniman Dulmuluk dengan mengatakan bahwa jenis tersebut bukan Dulmuluk, melainkan bangsawan atau teater biasa.
Daftar Pustaka
Octoviany, Linny. 2009. “Teater tradisional Dul Muluk:Transformasi Syair Abdul Muluk”. SEMIOTIKA: Jurnal Ilmu Sastra & Linguistik, Vol. 10, No.1, Januari-Juni 2009, No Klas SER 800.05 SEM s, hlm:24-34.
Dumas, Robert Martin. 2000. “Teater Abdulmuluk” in Zuid-Sumatra op de drempel van een nieuw tijdperk”. Leiden: Research School for Asian, African and American Studies, Leiden University,
Nurhayati, Subandiyono, Didi Suhendi. 2013. Revitalisasi Seni Pertunjukan Dulmuluk. Palembang: Leutikaprio.
Saleh, Abdullah, dan Dalyono. 1996. Kesenian Tradisional Palembang Teater Dulmuluk. Proyek Pembinaan dan Pengembangan Kesenian Tradisional Palembang.
Krauss, Michael dalam Tasaku Tsunoda. 2005. Language Engdangerment and Language Revitalization. Berlin dan New York: Mouton de Gruyter.
Bhaba, Hommi. 1995. “Signs Taken For Wonder”, d alam Aschroft Bill, Gareth Griffiths, and Helen Tiffin. The Postcolonial Studies Reader. London dan New York: Routlegde.
Ridgway dalam Tasaku Tsunoda. 2005. Language Engdangerment and Language Revitalization. Berlin dan New York: Mouton de Gruyter.
H.T., Faruk. 2007. Belenggu Paska-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Badan Pusat Statistik Kota Palembang. 2014. Palembang dalam Angka. Palembang: BPS Palembang.
Van Eisinga, Philipus Pieter Roorda. dalam Saleh, Abdullah, dan Dalyono, 1996. Kesenian Tradisional Palembang Teater Dulmuluk. Proyek Pembinaan dan Pengembangan Kesenian Tradisional Palembang.
Halle, Ken. dalam Tasaku Tsunoda. 2005. Language Engdangerment and Language Revitalization. Berlin dan New York: Mouton de Gruyter.
Ushino. Dalam Susan Rodger, Anne Summerfield, Jhon Summerfield. 2007. Gold Cloth of Sumatra, Indonesia’s Songket from Ceremony to Commodity. Woncester dan Masschussets: KITLV Press.
Wargadalem, Farida R. 2014. Sumatera Selatan dalam Pusara Konflik: Studi Kesultanan Palembang.
Rujukan lain
https://petatematikindo.files.wordpress.com/2015/02/administrasi-kota-palembang
Dina Amalia Susamto
...