Membaca dan Menilai Sastra dalam Pandangan A.Teeuw

Prof. Dr. Andries Hans Teeuw yang lebih dikenal sebagai A. Teeuw (1921—2012) adalah pakar sastra dan budaya Indonesia asal Belanda. Buku-bukunya memiliki pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan ilmu sastra di Indonesia.  Buku-buku itu antara lain Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (1954), Sastra Baru Indonesia (1980), Tergantung pada Kata (1980), Membaca dan Menilai Sastra (1983), dan Sastra dan Ilmu Sastra (1984). 

Bagi Teeuw, sastra bukanlah hal yang remeh-temeh. Di dalam sastra terungkap hakikat pandangan manusia terhadap eksistensinya. Melalui kritik sastra, hakikat ideologi mengenai kemanusiaan yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan dapat diungkap. Kritik sastra menjadi penting karena mengeksplisitkan masalah-masalah eksistensi manusia dalam masyarakat beserta keyakinannya yang paling mendalam.

Berikut ini pandangan Teeuw tentang kritik sastra dari bukunya yang berjudul Membaca dan Menilai Sastra (1983).

 

Membaca dan menilai karya sastra bukanlah sesuatu yang mudah. Setiap pembaca karya sastra pasti pernah mengalami kesulitan, merasa seakan-akan tidak memahami apa yang dimaksud oleh pengarangnya. Proses memaknai sastra memerlukan pengetahuan sistem kode yang cukup rumit, kompleks, dan beraneka ragam.

Kode pertama yang harus kita kuasai adalah kode bahasa yang dipakai di dalam teks itu. Sebagai contoh, “ngkane srngga nikang wukir nghulun amujamrih madewasraya dhyayi prapta bhathara Wisynu hinidhep munggweng sekar pangkaja”. Teks ini adalah awal sebuah sajak panjang “Hariwangsa” dalam bahasa Jawa Kuno. Syarat mutlak untuk memahami teks tersebut adalah kemampuan membaca Jawa Kuno yang sebaik-baiknya melalui tata bahasa dan kosakata. Berdasarkan pengetahuan kode bahasa, kita dapat memahami isi teks. Seperti kutipan, “Di sana, di puncak gunung aku memuja-muja sekuat tenaga mencari keakraban Tuhan, menatapi turunnya batara Wisynu yang dibayangkan duduk di atas bunga teratai.”

Memahami kode bahasa saja ternyata belum cukup. Diperlukan pengetahuan kode budaya Jawa Kuno. Kita harus tahu tentang sistem agama Wisynu, tentang kebiasaan bertapa di puncak gunung, dan kepercayaan orang Jawa pada abad ke-12 bahwa manusia dapat menyeru kepada Tuhan agar turun ke dunia, jika manusia tahu aturannya. Kita harus tahu citra orang Jawa mengenai dewa yang duduk di atas bunga teratai, perlambang, dan maknanya.

Di samping kode bahasa dan kode budaya, kode sastra yang lebih khas juga tidak kurang penting. Misalnya, dalam hal Serat Wedhatama, kita harus mengetahui kode tembang Jawa agar kita dapat memberi makna sepenuhnya pada kutipan teks di atas. Dalam tulisan tembang, urutan kata, pilihan kata, struktur kalimat, pemakaian bunyi, dan unsur tata bahasa tidak hanya ditentukan oleh kode bahasa, tidak pula ditentukan oleh konvensi budaya, tetapi merupakan kode khas sastra Jawa (Kutipan buku Membaca dan Menilai Sastra karya A. Teeuw (1983: 12--14). 

Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa