Bergaul dengan Sapardi Djoko Damono

I

Sapardi Djoko Damono telah meninggalkan kita, tetapi bait-bait sajaknya masih menggelayut di relung-relung hati kita. Tidak hanya lembaran sajak, cerpen, novel,  dan juga berbagai tulisan lainnya telah menginspirasi banyak orang untuk juga menulis, menggeluti, dan menikmati sastra. Sastra bukan lagi menjadi barang yang mewah bagi kita semua salah satunya adalah berkat celoteh Sapardi Djoko Damono.

Beliau juga yang dengan tanpa lelah mengingatkan, memberi pemahaman, dan juga menyadarkan kepada kita semua bahwa di luar sastra-sastra yang selama ini dianggap adiluhung ada juga sastra-sastra yang dianggap remeh-temeh, tetapi ternyata penting. Pada tahun 1979 beliau menulis tentang “bacaan liar”. Di dalam tulisannya yang berjudul “Bacaan Liar dan Berdirinya Balai Pustaka” itu—yang diperbanyak oleh Biro Studi Ikatan Keluarga Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1979/1980, beliau mengatakan, “Ditinjau dari beberapa unsur formal penting seperti penokohan, alur, dan latar, sebenarnya nilai novel-novel Melayu Rendah ini tidak berbeda jauh dari terbitan Balai Pustaka. Yang jelas berbeda adalah bahasanya”. Melalui tulisannya itu, pembaca diajak berkenalan dengan karya-karya keturunan Cina dan karya-karya penulis pribumi lainnya yang diterbitkan oleh swasta. Sapardi memang tidak pernah menghujat orang lain. Beliau adalah orang yang sangat menghargai pendapat orang lain. Ketika kami menulis acak-acakan pun, beliau masih dengan sabar merapikan tulisan kami.

          Penyadaran yang dilakukan Sapardi Djoko Damono bahwa di luar karya sastra terbitan Balai Pustaka masih banyak terbitan lain yang juga berharga kemudian ternyata dapat mengangkat karya-karya tersebut ke permukaan. Salah satunya adalah diangkatnya pembicaraan mengenai “roman picisan”. Dasar-dasar pemikiran Sapardi Djoko Damono inilah yang kemudian menginspirasi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) dulu Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk mulai meneliti Sejarah Sastra Indonesia. Tahun 1992 dimulailah berbagai penataran yang secara khusus dilakukan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk melatih pegawai-pegawai di lingkungan lembaga ini dan di luar lembaga untuk memahami penelitian Sejarah Sastra Indonesia. Kerja sama lembaga ini dengan Sapardi Djoko Damono sebenarnya sudah dilakukan jauh sebelum waktu itu. Pada tahun 1978, Sapardi Djoko Damono sudah menulis  buku Sosiologi Sastra sebagai salah satu naskah hasil Proyek Penelitian Bahasa dan Indonesia dan Daerah. Buku ini kemudian menjadi salah satu acuan yang penting untuk penelitian sastra di Indonesia.

 

II

          Perhatian beliau terhadap Sejarah Sastra Indonesia terus berlangsung di tengah kesibukan beliau di kampus sebagai Dekan Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, pada 1996—1999. Beliau pada waktu itu dengan Melani Budianta, rekan sejawatnya di kampus, merintis dan membimbing pegawai-pegawai di Badan Bahasa untuk melakukan penelitian Sejarah Sastra Indonesia. Kegiatan ini pada masa itu menjadi muara untuk penelitian-penelitian yang dilakukan di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sampai akhirnya menghasilkan beberapa terbitan, antara lain, Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan (2003), Revolusi, Nasionalisme, dan Banjir Roman (2005), Sastra Indonesia Tahun 1970-an:Kajian Tematis (2009), dan Nona Koelit Koetjing:Antologi Cerita Pendek Periode Awal (1870-an—1910-an) yang terbit 2005. Terbitan ini menjadi bukti konsentrasi yang tinggi beliau pada penelitian Sejarah Sastra Indonesia. Tidak hanya itu, beliau juga aktif memberikan saran dan pendapat terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan di lembaga ini. Beliau pernah menjadi juri, pembimbing penelitian, dan secara konsisten menjadi pengajar di berbagai penataran yang dilaksanakan di Badan Bahasa. Bahkan, beliau juga menjadi tempat “keluhan” bagi pegawai-pegawai di Badan Bahasa dan itu terus dilakukannya sampai hampir di akhir hayatnya. Di awal tahun 2020, ini pun (2020) beliau masih datang dan memberi bimbingan. Hal ini menandai bahwa Badan Bahasa tampaknya sudah menjadi “rumah kedua” bagi beliau.

 

III

Banyak hal yang disampaikannya. Tidak hanya yang berkaitan dengan sastra Indonesia, tetapi juga menyangkut sastra-sastra dunia. Sapardi Djoko Damono juga adalah seorang penerjemah andal. Beliau dulu menamatkan sarjana strata 1 di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada.

          Karya-karya beliau sebagai penerjemah, antara lainLelaki Tua dan Laut (The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway), Daisy Manis (Daisy Milles karya Henry James), Afrika yang Resah (Song of Lowino dan Song of Cool karya Okot p’Bitek), Duka Cita bagi Elektra (Mourning Becomes Electra karya Eugene O’Neill), dan Amarah I dan II (The Grapes of Wrath karya John Steinbeck).

Sebagai seorang penerjemah, beliau berpendapat bahwa ketika sebuah karya sastra yang diterjemahkan itu akan menjadi milik masyarakat bahasa yang diterjemahkan. Ketika Ramayana dan Mahabarata diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, kedua karya tersebut akan menjadi milik masyarakat yang memakai bahasa Jawa, tidak lagi menjadi milik masyarakat asalnya. Karena, hasil terjemahan tersebut pastilah akan berbeda dengan karya yang mendahuluinya yang berasal dari bahasa berbeda. Beliau juga berpendapat mungkin saja hasil terjemahan jauh lebih baik daripada aslinya.

          Beliau juga adalah pelaku sejarah. Sebagai seorang penyair karya beliau sudah terbit dan dimuat di majalah sastra nomor 7 tahun ke 1 tahun 1961, salah satunya adalah sajak “Kidung Senandung Seorang Biyung”.

 

 “Kidung Senandung Seorang Biyung”

II

Sayang tenang, tidurlah sayang

mimpilah kembang

sateria kecil mungil

menggeliat dalam pelukanku

 

tak lain anakku lanang

rembulan

bocah bagus sayang putraku

abimanyu

abimanyu

tidur, pejam tidur

dunia berangkat libur

 

Potongan sajak ini memperlihatkan warna Jawa dengan dominan, terutama dalam hal pemilihan kata. Perhatikan pemakaian kata “biyung” untuk judul puisi tersebut. Kata ini merupakan sebutan “saying” yang khas yang digunakan oleh seorang Jawa kepada ibunya. Kata “biyung” terdapat dalam bahasa Jawa Baru yang menunjuk kepada orang tua perempuan (Mangunsuwito melalui M. Dwi Cahyono dalam “Sosio Historis Keutamaan Ibu dalam Kultur Jawa Lintas Masa” dalam  https://www.terakota.id/sosio-historis-keutamaan-ibu-dalam-kultur-jawa-lintas-masa/ diunduh 20 Juli 2020). Juga penyebutan salah satu tokoh wayang Abimanyu yang menambah kental suasana Jawa dalam sajak ini. Abimanyu adalah anak Arjuna dan Dewi Subadra. Kisah yang mengiringi tokoh ini adalah kisah ketika masih di rahim sang ibu dia sudah dapat mempelajari formasi mematikan Chakawyuha yang dimiliki ayahnya, Arjuna. Dia dapat menguping pembicaraan Kresna dan Subadra mengenai hal tersebut (Wong Urip dalam “Tokoh Abimanyu” dari https://bisauntukmencari.blogspot.com/2011/02/tokoh-abimanyu.html). Buku karya beliau yang terakhir terbit tahun 2005 dan dicetak ulang tahun 2020, Mantra Orang Jawa menunjukkan kedekatan beliau pada budaya Jawa. Desertasi yang ditulisnya pun adalah tentang sastra Jawa, yakni Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur.

Sapardi Djoko Damono yang lahir di Solo 20 Maret 1940 berbahasa ibu bahasa Jawa. Beliau tentu sangat dekat dengan kebudayaan Jawa. Persoalan penguasaan bahasa seorang penyair juga menjadi tumpuan perhatian Sapardi. Baginya seorang penyair haruslah menguasai dengan baik bahasa yang digunakan. Sebagai contoh saja, Sapardi menjelaskan bahwa mengapa Kirdjomuljo perlu dibicarakan salah satunya adalah karena penguasaan bahasa Indonesia sang penyair. Menurut beliau, Kirdjomuljo merupakan salah satu penyair yang berbahasa ibu bahasa Jawa, tetapi berusaha sedemikian rupa untuk dapat menguasai bahasa Indonesia dengan baik dalam menulis puisinya. Kirdjomuljo merupakan salah satu penyair yang akan dibicarakan dalam salah satu buku Sejarah Sastra Indonesia Tahun 1950-an yang sedang disusun oleh peneliti di Badan Bahasa.

          Sapardi Djoko Damono ketika membimbing selalu menekankan bahwa ketika kita bergaul dengan sastra janganlah terlalu menuntut karya sastra tersebut. Kita harus menikmati karya tersebut. Sapardi juga adalah seseorang yang dapat bergaul lintas generasi. Beliau sudah menghasilkan satu karya kolaborasi dengan generasi milenial di saat-saat terakhir beliau. Ini merupakan pencapaian tersendiri bagi beliau.

          Sapardi Djoko Damono telah pergi. Terima kasih Bapak. Jasa Bapak untuk Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tidak akan pernah terlupakan. Rumah kedua Bapak sangat kehilangan Bapak.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa