Nyala-Kenang Pengembaraan Umar Junus

Menurunnya ketahanan tubuh lantaran saraf dan otot terganggu kian merapuhkan lelaki kelahiran Silungkang, Sumatra Barat, Indonesia, 2 Mei 1934. Satu dasawarsa lalu, ia menghembuskan nafas terakhir pada pukul 09.15[1] waktu Kuala Lumpur, Malaysia, Senin, 8 Maret 2010. Ia dikenal sebagai kritikus bagi Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Di kampungnya, konon, ia justru lebih dikenal ketimbang para pedagang kaya di negeri tersebut[2]. Ya, barangkali tubuh boleh saja melemah hingga pada akhirnya selesai, tetapi Umar Junus melaju dalam kenang jagat kritik sastra di Indonesia.

Kekhusyukan lelaki berjuluk “tak pernah diam” lantaran semangat tinggi terhadap kesusastraan Indonesia dan Melayu sejak 1960-an tersebut, konsisten membuatnya terdepan di bidangnya; fokus terhadap kampung halaman menjadikannya sepakat menempuh pendidikan sastra di Universitas Indonesia dan selesai pada 1959. Lebih dari itu, ia seperti paham betul, kencangnya kedalaman ilmu sastra menjadikannya bergelar doktor falsafah dari Universitas Malaya pada 1982—bersama H.B. Jassin, ibarat perahu melancar bulan memancar[3], semakin dibunyikannya dunia kritik sastra. Sekalipun, segalanya diartikulasikan dari jalan tempuh pengembaraan.  

Karya sosiologisnya bak bagian dari sinyal, bahwa penelitian saja tak cukup tanpa usaha penyelamatan kelokalan atas ujud cinta tanah bundanya, yakni kepeduliannya terhadap kaba  dalam Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau (1984)—itu sebab bagian kecintaan literernya menjadi dosen tamu di Universitas Andalas (1985), selain juga di Universitas Kyoto, Jepang (1993). Sebelum itu semua, ia juga pernah mengajar di IKIP Malang hingga penghujung 1967 dan di Universitas Yale, Amerika Serikat, antara tahun 1963—1964. Pada 1967 itu pula, ia ke Malaysia untuk menjadi pensyarah (dosen) di Universitas Malaya sembari melapangkan studinya. Di situlah sebermula disertasi sosiologi sastranya kembali berbunyi Persoalan Teori dan Metode di sekitar sastra Melayu dan Indonesia (1986). Atas usaha keras, hasil terbaik tak mengkhianati hasil, ia dianugerahi gelar profesor madya dari Universitas Malaya.

Menyoal lelaki yang begitu militan terhadap sastra sebab usai pensiun tetap membimbing[4] atau sekadar bertukar-pikiran kepada siapa saja (mahasiswa), kalau tak keliru, kurang lebihnya 64-an dari judul buku (terbit di Indonesia dan Malaysia) dikhatamkannya menjadi buku teks, seperti Karya Sebagai Sumber Makna: Pengantar Strukturalisme (1988) dengan ketebalan 228 halaman, Kaidah dan Latihan: Pemakaian Kalimat Bahasa Indonesia (Penerbit Bharata, 1967), Mitos dan Komunikasi (Sinar Harapan, 1981), Perkembangan Novel-Novel Indonesia (Universitas Malaya 1974) Manusia Jang Aneh[5] (Penerbit Toko Mawar, Surabaya, 1965), Dari Peristiwa Ke ImajinasiWajah Sastra dan Budaya Indonesia (Gramedia, 1985) Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar (Gramedia, 1985), Stilistik: Pendekatan dan Penerapan (1990), Puisi Indonesia dan Melayu Modern (Bhatara Karya Aksara, 1981)—beberapa contoh yang dapat disebutkan. Belum ditambah dari buku-buku lain yang tetap merindukan untuk ditelusuri; artikel-artikel tersebar di jurnal ilmiah, serta esai-esai sastra di media cetak seperti Dewan Bahasa, Dewan Sastra, Budaya Jaya, dan Horison.

Menyoal esai-esainya, ia tampak memiliki garis bawah tersendiri untuk diingat; esai jadi semacam pribadi subjektif tatkala persoalan puisi apakah harus bertaruh sekaligus bertarung demi capaian bunyi-bunyian paling intrinsik sekalipun—segala lapis makna, lapis bunyi, dan renik lapis lainnya. Padahal, menyoal maksud tersebut, cara lain juga paling terpenting adalah saat menjalin sekaligus menjaring kebermaknaan yang jauh dari kefakiran.

Kebermaknaan cara lain pernah ia tampilkan ketika menyoal puisi Muhamad Yamin[6]—bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan syair yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu. “Puisi Yamin itu dapat dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair,” katanya. Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu pembaruan syair ketimbang bentuk puisi baru. Akan tetapi, pada puisi Yamin seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam[7], yang membawa pembaca kepada suasana pantun. Maka membaca puisi Yamin, bukan sekadar membaca syair baru begitu saja.

Ia juga menduga bahwa dalam penulisan sajak-sajaknya, Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber. Perpaduan ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi terjadi pada awal perkembangan puisi modern di Indonesia. Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan Yamin dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari tradisi sastra yang melingkungi Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya menyentuh Yamin pada segi isi dan semangatnya saja. Karena itu, Umar Junus menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu terpancar sifat melankolik, yang kebetulan merupakan sifat dan pembawaan soneta. Sifat soneta yang melankolik dan kecenderungan berkisah yang terdapat di dalamnya tidak berbeda jauh dengan yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua hal yang disebut terakhir, menyoal sifat melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak perasaan emosional Yamin pada masa remajanya.

**

Saya seperti kian tenggelam—sekadar menelusuri demi nyala-kenang kritikus dalam  pengembaraannya. Barangkali ini perkara suatu alasan menyoal mengapa pemikiran kritikus dominan termaktub pada esai. Maka, apabila subjektif diperbolehkan demi kedalaman esai, mungkin objektif boleh “ditunda” sementara waktu. Apabila peristiwa dirasa cukup-cukup saja, imajinasi  mutlak dipersilakan menjadikannya lebih.

 Ada banyak peristiwa terpanggil, tetapi (barangkali) sedikit yang menjadi untuk diimajinasikan. Mungkin dirinya lembut membatin begini saat membeberkan atas peristiwa ke imajnasinya itu, “Pada akhirnya, tantangan para penulis (entah prosais, penyair, esais, atau apapun itu, bukan lagi sekadar menulis atau bercerita, melainkan cara/strategi dalam bercerita.” Umar Junus, seperti  ketika berjuang untuk menghubungkan ceritanya dengan suatu peristiwa nyata, semata berkeinginan supaya horison harapan pembacanya seakan dihadapkan dalam realitas konkret jauh dari abstraksi. Meski dirinya pernah mengalami tentang ada kaba yang berkata bahwa ceritanya fiksi belaka. Imajinasi belaka. Tanpa kait-kelindan dengan peristiwa nyata. Begitulah, lain soal tatkala kembara teoretiknya mempersatukan kebulatan pemikiran para pemikir.

Menyoal kebulatan para pemikir[8] itu, saat dirinya berjuang menuju pendasaran sastra berkonteks sosiologis, ia menyatukan lintas gagas-pemikiran Alan Swingewood, R. Escarpit, Le Lowenthal, H. Taine, G. Plekhanov, Lucien Goldmann, J.L. Peacock, Dick Hebdige, J.S.R. Goodlad, Zima, dan J. Duvignaud—pada akhirnya, pendasaran bersemangatkan teori itu, berujung tak sekadar menerangkan pengertian bernama sosiologi sastra, tetapi langsung pada menyoal serta prinsip-prinsip bangunan teori dengan segenap problematikanya.

Ya, begitulah, barangkali kritik sastra dan studi sastra mempunyai persamaan yang hakiki dengan penciptaan dan pencitraan karya sastra itu sendiri—keduanya, penciptaan dan studi atau kritik sastra, bersifat kreatif. Kalau penciptaan sastra bermula dari proses penghadapan diri yang kreatif dari sastrawan dengan realitas diri dan sekitarnya, studi atau kritik sastra bertolak dari sikap kreatif si kritikus terhadap dunia yang "diciptakan" sastrawan. Lebih dari itu, seorang ahli sastra semestinyalah mencoba mencari hubungan antara "dunia" yang diciptakan dengan realitas yang "telanjang[9].

Umar Junus memang tak sekadar melarut-ratakan peristiwa ke imajinasi. Ia mengkompromikan keterikatan kepada suatu realitas atau kepada suatu peristiwa—yang juga merupakan fakta pada perkembangan proses kreatif sastra (di) Indonesia dari berbagai kemungkinannya. Seperti hal pernah dicontohkannya, orang tak dapat melepaskan diri secara sempurna dari tradisi karena keduanya hanya dibatasi oleh kaca bening dan bukan oleh dinding timah yang tebal.

Ya, mungkin itulah capaian ideal di antara wajah sastra dan budaya Indonesia, berawal dari peristiwa kemudian ke imajinasi. Bukan sekadar prinsip kebetulan, melainkan proses “batiniah humaniora” (semoga boleh dibilang begitu) dari waktu ke waktu—bernama pengembaraan.


[1] Waktu—atas cerita Prof. Dr. Suryadi ketika menerima pesan pendek tentang berpulangnya Umar Junus. Prof. Dr. Suryadi adalah ilmuwan filologi yang tengah mengabdi di Leiden University. 

[2] Pemiuhan atas putra bungsu Umar Junus yang mengatakan tentang keanehan ayahnya atas jalur akademik kepada Prof. Dr. Suryadi

[3] Selarik puisi Chairil Anwar “Cintaku Jauh di Pulau”, 1946

[4] Istilah membimbing sudah dicek juga kepada Mashuri (Peneliti Balai Bahasa Jawa Timur) yang pernah dituliskannya untuk jurnal Atavisme. Juga kepada Prof. Dr. Suryadi (Leiden University) atas catatannya. 

[5] Saya temukan di instagram; kolektor sekaligus penjual buku

[6] Pembacaan ulang penulis atas tanggapan terhadap Muhammad Yamin oleh Umar Junus

[7] Menyoal alam tersebut pernah disinggung oleh Nirwan Dewanto dalam diskusi di Salihara, 2019, tentang realisme dan autobiografi

[8] Kebulatan tersebut diintisarikan sekaligus eksplorasi dari kritik sastra dalam Rahmat Djoko Pradopo (2003)

[9] Dari Peristiwa Ke Imajinasi (Umar Junus, 1985)

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa