Menakar Teori Poskolonial dalam Mengkaji Karya Sastra

Ada dua pertanyaan penting yang muncul ketika  teori poskolonial digunakan sebagai “pisau bedah” untuk mengkaji karya sastra Indonesia.  Pertama, sudahkah paradigma poskolonial membentuk sebuah wacana sastra yang menguak masalah kolonialisme dan apa yang telah ditinggalkannya dalam struktur masyarakat, baik dalam aspek. Ideologi, politik maupun sosial-budaya masyarakat poskolonial?  Kedua, adakah teori-sastra alternatif yang bisa dikembangkan untuk problem sastra di Indonesia sekarang dalam paradigma poskolonial? 

Pertanyaan pertama berkorelasi dengan konstruksi yang masih tersisa dari proses reproduksi kerendahdirian (inferioritas) dalam wujud mental inlander yang dibentuk kolonialis melalui orientalisme.  Hal ini tentunya berkaitan dengan kolonialis yang menggunakan “aparat-aparat negara ideologis” (ideological state aparatus) untuk menundukkan warga pribumi.  Mereka memreproduksi pengetahuan dan perilaku yang layak dan mengkonstruksi nalar pribumi dalam waktu yang panjang. 

Korelasi reproduksi dan konstruksi ini pernah dibongkar oleh Edward Said—yang dianggap sebagai pelopor kajian poskolonial. Said, yang terkenal melalui buku pelarap (best seller) berjudul Orientalism pada tahun 1978, menguak hegemoni teori Barat yang ternyata tidak pernah netral; memuat struktur-struktur  ideologi tertentu yang disusupkan dengan data-data ilmiah yang dianggap semu.  Menurutnya, orientalisme adalah cara Barat menundukkan Timur dan melalui kekuatan wacananya para sejarawan, antropolog, sosiolog, sastrawan, dan ilmuwan Barat mengonstruksi Timur sebagai makhluk inferior.

Dalam kajiannya, Edward Said mengungkapkan adanya relasi antara pengetahuan kolonial, yang dilahirkan oleh orientalisme, dengan kekuasaannya di negara-negara koloninya. Orientalisme menjadi identik dengan kolonialisme atau imperialisme itu sendiri.  Memang, pada awalnya orientalisme ini seperti gerakan ilmu pengetahuan yang mengkaji budaya, struktur bahasa, atau bahkan religinya masyarakat, tetapi dalam praktiknya pengetahuan ini digunakan untuk melanggengkan kolonialisme (Ratna, 2008: 27—32).

Sehubungan dengan itu, pertanyaan kedua patut dimunculkan. Secara teoretis, pendekatan poskolonial banyak dipengaruhi oleh pemikiran pos-strukturalisme dengan kata kunci: “dekonstruksi”.  Melalui konsep dekonstruksi ini, poskolonialis ditempatkan sebagai kritik terhadap pandangan kolonialisme, yakni kerangka pikiran (state of mind) yang menganggap bahwa dunia non-Barat adalah dunia yang tidak beradab dan perlu “dicerahkan” menurut standar humanisme Barat itu sendiri.  Pendekatan ini berusaha menemukan teks marginal dan membongkar hal-hal negatif akibat kolonialisasi.  Pendekatan ini pun membalikkan hierarki yang ada agar dapat mengganti dan membangun kembali apa yang telah tertulis  (Sarup, 2004: 85—86).  Jika sastra poskolonial telah berhasil menyediakan dirinya untuk mendekontruksi teks-teks “negeri poskolonial”, operasional “pisau bedah” teorinya harus mampu memberi jawaban problem sastra dan ideologi di Indonesia sekarang, baik dalam politik maupun sosial-budaya. 

Dari dua pertanyaan tersebut, setidaknya kita mendapat gambaran cara menafsirkan studi poskolonial sebagai kajian yang konsisten dan memperhatikan konteks historis bangsa Indonesia yang merasakan dampak penjajahan—yang tidak begitu saja selesai ketika diproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan. Bagaimana pun ada anggapan umum: masyarakat bekas “jajahan” dianggap memiliki luka sejarah yang membelenggu pembentukan jati diri bangsanya dan cenderung berusaha lepas dari luka tersebut dengan melupakan masa lalu yang menyakitkan itu. Mereka seolah mengalami amnesia sejarah.  Masyarakatnya tercerabut dari identitasnya semula dan tidak pernah bisa kembali, yakni identitas sebelum mengalami penjajahan. Sedemikian besar pengaruh penjajahan, sehingga mempengaruhi pola pikir, pola penghayatan hidup, serta pola perilaku masyarakat poskolonial.

Sehubungan dengan itu, tidak berlebihan jika melalui studi poskolonial ada upaya menafsirkan teks sastra untuk menemukan dekolonisasi dan upaya melepaskan diri dari penyakit kerendahdirian yang kompleks (inferiority complex).  Misalnya, di dalam tertralogi Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer dapat ditelusuri ekspresi Pram yang mengungkapkan secara tajam perlawanan terhadap strategi feodal budaya Jawa dan kolonialisme yang memperbudak bangsa Indonesia sehingga menjadi bangsa yang kerdil. Dapat juga diarahkan pada teks-teks yang dibuat Pram itu untuk mengungkapkan perlawanan terhadap kultur yang menindas agar kemerdekaan diri dan kemerdekaan bangsalah yang dimenangkan.

Atau sebaliknya, ketika mengkaji karya kontemporer tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, selain memahami jejak mental inlander dalam diri tokoh-tokohnya, dapat ditelusuri teks-teks yang memperlihatkan penyakit kerendahdirian dalam pola pikirnya: menafsirkan  ideologi inlander  dalam diri kita.  Menafsir krisis identitas atau kepercayaan diri  sehingga mudah digoyahkan dan diombang-ambingkan oleh pesona “kemegahan” Barat. Pada titik itu, pengkaji bisa saja sampai pada penafsiran bahwa teks-teks tetralogi tersebut mengungkapkan kenyataan tentang “kita”  yang “tidak akan bisa” dan “tidak akan jadi apa-apa”,  kecuali “bisa dan jadi” bagian dari dunia Barat—menjadi bagian dari modernitas yang ada di Eropa, di desa Edensor, atau di kampus Sorbonne,  Paris. 

 

Rujukan

Madison, G.B. 1988. The Hermeneutics of Postmodernity: Figures and Themes. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.

Newton, K.M.  1990.  Menafsirkan Teks, Pengantar Kritis kepada Teori dan Praktik Penafsiran Sastra (terjemahan Soelistia).  Semarang: IKIP Semarang Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra.  Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Said, Edward.  2010. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Menundukkan Timur sebagai Subjek  (terjemahan Achmad Fawaid). Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Sarup, Madhan. 2004. Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, Yogyakarta: Jendela.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa