Perspektif Kritik Sastra

Jika antara ayam dan telur kadang menjadi debat kusir mana yang terlebih dahulu ada, relasi antara karya sastra dan kritik sastra tampaknya sangat jelas: suatu kritik sastra hadir karena suatu karya sastra yang terlebih dahulu lahir. Sebagaimana tidak tiap telur menjelma menjadi seekor ayam, demikian pula halnya dengan suatu karya sastra: belum tentu kelahiran suatu karya sastra akan diikuti oleh kelahiran kritik sastra yang mengupas, menelaah, dan membahas karya tersebut. Namun, berbeda dengan nasib sebutir telur yang maksimal hanya bisa menghasilkan seekor ayam, suatu karya sastra mungkin saja merangsang lahirnya puluhan atau ratusan kritik sastra yang mengupas dan membahas karya tersebut, bahkan setelah puluhan atau ratusan tahun sang sastrawan yang melahirkan karya itu wafat sebagaimana bisa kita saksikan pada karya-karya Shakespeare atau Chairil Anwar.

            Pada hakikatnya kritik sastra ditulis dalam suatu perspektif tertentu saat membahas suatu karya. Sementara itu, suatu karya sastra dapat dikatakan merupakan suatu karya estetik yang bermediumkan bahasa. Sebagai suatu konstruksi estetik yang bermediumkan bahasa, karya sastra kadang-kadang menggunakan ironi, paradoks, parodi, metafor, atau imaji sebagai sarana ekspresi estetiknya; suatu karya sastra juga membuka peluang hadirnya ruang tafsir yang sangat beragam, yang mungkin tersembunyi dan tersirat di balik teks karya tersebut. Hal itulah yang menyebabkan suatu karya sastra yang berhasil akan mengundang belasan atau puluhan kritik sastra yang mengulas karya itu karena pada suatu karya sastra yang istimewa biasanya pada dirinya telah melekat ekspresi estetik dan gagasan yang sangat kaya sehingga membuka ruang interpretasi yang panjang dan tak habis-habisnya. Sebaliknya, jika suatu karya miskin secara estetik dan gagasan, maka yang terjadi tidak akan merangsang orang untuk membicarakannya: sekali baca selesai dan mungkin langsung dilupakan atau dicampakkan.

            Suatu karya sastra tidak hanya berurusan dengan estetika karena suatu karya ditulis oleh seseorang yang memiliki lingkungan sosial, ideologi dan pandangan hidup, pengalaman hidup tertentu, dan sebagainya. Semua itu akan mempengaruhi dan mewarnai karya yang ditulisnya. Demikian pula dengan tokoh rekaan yang hadir dalam suatu karya fiktif, mungkin saja tokoh rekaan tersebut merepresentasikan ideologi dan kepentingan tertentu. Oleh karena itu, tugas kritik sastra adalah mengangkat representasi sosiokultural yang mungkin muncul secara samar dalam suatu teks karya sastra: kritik sastra menggamblangkan yang samar dan tersembunyi dalam suatu teks karya. “Representasi Kaum Pinggiran dan Kapitalisme” yang ditulis Melani Budianta (dalam Keith Foulcher dan Tony Day [editor], Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial, Edisi Revisi Clearing A Space, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta, 2008) adalah contoh bagaimana kritik sastra bisa mengungkap perubahan sosiokultural yang dilukiskan dalam karya sastra: Aman Dt. Madjoindo dengan dua novel yang ditulis pada tahun yang berbeda menghadirkan tokoh rekaan yang berbeda pula dalam menyikapi dominasi uang. Dalam novel Tjerita Boedjang Bingoeng (1936) dikisahkan seorang anak desa yang naif menolak memakai uang di tengah masyarakat yang makin materialistis, sementara dalam novel Madjoindo yang terbit kemudian Si Doel Anak Betawi (1940-an) seorang anak kampung dari masyarakat Betawi pinggiran berusaha masuk dalam persaingan pasar yang semakin tergantung pada uang.

            Tulisan Melani Budianta tersebut adalah kritik sastra dengan perspektif poskolonial saat menelaah karya sastra yang dibahasnya. Untuk satu karya sastra yang sama—sepadan dengan perkembangan ilmu humaniora—tersedia berbagai macam perspektif untuk membahasnya. Karena itulah, kadang-kadang suatu karya dibahas  dalam sekian kritik sastra yang ditulis sekian kritikus.

            Walaupun kritik sastra secara langsung dan tidak langsung berkaitan dengan penilaian terhadap suatu karya sastra, kritik sastra yang bijak biasanya menghindari untuk mencela dan menghakimi suatu karya. Suatu karya sastra yang tidak pernah disentuh kritik sastra dapat menjadi ukuran keistimewaan karya tersebut. Jadi, tanpa kritik sastra menghujat ataupun menghakimi suatu karya, posisi dan keistimewaan suatu karya dapat diukur dari banyak sedikitnya kritik sastra yang membicarakan karya itu. Semakin sering suatu karya dibicarakan oleh kritikus berarti karya itu istimewa, unik, dan barangkali mengandung kebaruan (entah ekspresi estetiknya, entah gagasan yang diusungnya).

            Kritik sastra dalam wujudnya yang paling sederhana adalah respon seorang pembaca terhadap suatu karya sastra yang dibacanya tanpa harus menarasikannya dalam bentuk esai, jadi mungkin saja hanya berwujud catatan sepanjang satu kalimat atau satu alinea. Seorang kritikus pemula kadang-kadang terjebak dalam pola pikir yang normatif, sebagaimana tampak dalam suatu penelitian yang melibatkan responden siswa SMA. Ketika responden itu diminta memberikan alasan mengapa ia suka atau tidak suka terhadap cerpen Kuntowijoyo berjudul “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan” yang dibacanya, ia menyatakan tidak suka terhadap cerpen Kuntowijoyo itu dengan alasan cerpen tersebut mengandung musyrik. Cerpen Kuntowijoyo tersebut memang mengandung adegan musyrik, yakni ketika tengah malam si protagonis cerpen ini menggali kuburan dan kemudian bersaing dengan gerombolan anjing memperebutkan jenazah yang telah dikubur beberapa saat sebelumnya untuk memenuhi syarat memperoleh kekayaan dengan cara mistik. Namun, konteks adegan musyrik itu adalah seseorang yang putus asa karena terbelit kemiskinan dan terposisi sebagai korban dalam relasinya dengan kekuasaan uang yang begitu dominan. Ada aspek sosiokultural dalam cerpen Kuntowijoyo itu, yakni bagaimana sesorang yang kalah dalam kompetisi sosial akhirnya lari ke dunia mistik yang untuk sementara orang adalah “penyelamat” secara kultural. Dengan kata lain, dari pembacaan cermat dan kritis terhadap teks cerpen Kuntowijoyo itu, protagonis cerpen ini bisa terposisikan ke berbagai situasi yang berbeda: dia seorang korban, dia seorang penyelamat (yang berusaha menyelamatkan hidupnya yang terpuruk secara sosial ekonomi), atau bisa jadi juga dia seorang kriminal yang mengacak-acak kuburan orang. Dengan demikian, jika cerpen “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan” hanya dilihat adegan musyriknya saja akan melahirkan interpretasi yang terpenggal, tidak utuh, dan tidak komprehensif. Dalam hal ini terlihat bagaimana perspektif yang normatif hanya akan menghasilkan interpretasi yang sesat dan tidak tepat.

            Hal yang kurang lebih sama juga terbaca pada tokoh Datuk Maringgih dalam novel Marah Roesli Sitti Nurbaya: Datuk Maringgih bisa dipandang sebagai seorang kriminal yang telah membunuh Sitti Nurbaya dengan meracunnya. Akan tetapi, di sisi lain Datuk Maringgih bisa juga dipandang sebagai seorang pahlawan dalam relasinya dengan kolonialisme Belanda: Datuk Maringgih melakukan perlawanan terhadap Belanda sebagai protes atas kenaikan pajak dan pada akhirnya Datuk Maringgih tewas ditumpas oleh Samsulbahri (semula kekasih Sitti Nurbaya) yang berperan sebagai prajurit kolonial. Kritik sastra berperspektif poskolonial akan memungkinkan suatu reinterpretasi terhadap novel Sitti Nurbaya yang terbit pertama kali tahun 1922, meletakkannya dalam relasi dominasi—subordinasi politis sosiokultural dalam peta kolonialisme Hindia Belanda yang melatari novel ini.

            Ambiguitas interpretasi karena bergesernya perspektif—atau karena diimplementasikannya suatu perspektif—dalam kritik sastra juga terbaca pada novel Mas Marco Kartodikromo Student Hidjo. Dalam novel Student Hidjo ini dalam dialog antartokoh sering diselipkan kosakata bahasa Belanda. Pemakaian kosakata bahasa Belanda dalam dialog antartokoh ini di satu sisi bisa dipandang sebagai mimesis, tetapi di sisi lain bisa juga dipandang sebagai kritik terhadap perilaku bangsa pribumi yang merasa inferior di hadapan bangsa Belanda lalu mengadopsi bahasa Belanda sebagai bagian dari bahasa pergaulan mereka sekaligus identitas kultural mereka. Dalam novel Mas Marco Kartodikromo ini tidak hanya bahasa Belanda yang diadopsi untuk mengatasi rasa inferior kultural, tetapi juga sisi kultural lain seperti tata busana dan gaya hidup. Dengan perspektif poskolonial, pesan yang tersimpan dalam novel Student Hidjo ini menjadi lebih transparan: bagaimana bangsa pribumi akan merdeka jika merasa inferior di hadapan bangsa kolonial Belanda dan malah mengimitasi beberapa sisi dan identitas kultural bangsa kolonial karena pada hakikatnya identitas kultural adalah hal yang utama bagi suatu bangsa sebelum mencapai kemerdekaan politis.

            Selanjutnya, suatu kritik sastra mungkin saja menggunakan lebih dari satu perspektif ketika membicarakan suatu karya. Sebagai misal, prosa liris Linus Suryadi Ag. yang berjudul Pengakuan Pariyem bisa dipandang dari perspektif feminisme dan perspektif hegemoni Gramsci. Perspektif feminisme bermanfaat untuk menjelaskan ketimpangan gender yang hadir dalam Pengakuan Pariyem, sementara perspektif hegemoni Gramsci bisa menjelaskan mengapa konstruksi sosiokultural yang (seperti) melanggengkan ketimpangan gender bisa terjadi. Hal yang sama bisa diterapkan ketika membicarakan novel-novel Nh. Dini yang mempersoalkan ketimpangan gender, antara lain Namaku Hiroko. Novel Namaku Hiroko yang berlatar Jepang dengan budaya patriarki yang sangat kuat (misal perempuan diwajibkan melayani laki-laki, termasuk memakaikan dan melepas sepatunya) akan menjelaskan bagaimana konstruksi sosiokultural yang seperti itu pada akhirnya menyuburkan ketimpangan gender, termasuk terjadinya kekerasan seksual sebagaimana dialami Hiroko dalam novel Nh. Dini itu. Cerpen Hamsad Rangkuti yang berjudul “Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah” juga sangat menarik jika dibicarakan dalam perspektif feminisme bersamaan dengan perspektif hegemoni Gramsci: akan terlihat bagaimana hegemoni kapitalisme pada akhirnya akan mengkomodifikasi (tubuh) perempuan.

            Dapat dikatakan, perspektif yang sesuai dan tepat dalam penulisan kritik sastra seperti ukuran lensa kaca mata. Oleh karena itu, perspektif kritik sastra yang tidak sesuai dan tidak tepat ketika membicarakan suatu karya hanya akan melahirkan pembacaan dan interpretasi yang samar, kabur, dan mungkin buram. Sebaliknya, perspektif kritik sastra yang tepat dan sesuai akan menghasilkan pembacaan dan interpretasi yang jernih dan mencerahkan.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa