Susastra dan Ilmu Susastra: Membongkar Berhala
Jika ada yang disebut susastra, tentu mestinya ada pula yang disebut bukan-susastra. Dalam apa yang untuk sementara ini saya sebutkan saja sebagai wacana dominan, susastra sebagai suatu bentuk tulisan selalu mendapat beban ideologis semacam “indah”, “berbobot”, “bernilai tinggi”, serta tidak pernah ketinggalan diprasyaratkan—dan paling mengerikan—pula “berisi nilai-nilai pendidikan”.
Baiklah kita sebut bahwa “susastra itu indah, berbobot, dan segala macam hewes-hewes lainnya” adalah suatu teori, tepatnya teori susastra, dan adalah teori ini yang menjadi urusan ilmu susastra, yakni memberikan definisi yang sebetulnya cuma syukur-syukur pasti.
Dalam kenyataannya, teori itu selalu berubah.
Mula-mula yang berubah adalah pendapat tentang susastra yang “indah” itu sendiri. Contoh yang paling gampang adalah perbandingan dua kutub ekstrim. Mohon perhatikan kutipan sajak Amir Hamzah (1911-1946) yang oleh A. Teeuw disebut sebagai puncak kesusastraan Melayu ini:
Berdiri Aku
Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang
Angin pulang menyeduk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas
Benang raja mencelup ujung
Naik marak mengerak corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak
Dalam rupa maha sempurna
Rindu-sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju[1]
Sajak semacam ini, jelas memenuhi “ketentuan” susastra dalam wacana estetika Melayu, yang menuntut susastra itu menjadi “indah”.[2] Siapapun yang ketika belajar di sekolah menengah pertama atau umum mendapat “rumus” keindahan bersanjak seperti a-b-a-b tentu akan setuju, sajak Amir Hamzah ini formatnya lebih dari sekadar memenuhi syarat, karena bentuk “maha sempurna” dalam wacana estetika Melayu itu memang “mengharu kalbu”.
Baiklah kini dibandingkan dengan kutipan dari pembukaan Sajak S. L. A yang ditulis Rendra (1935-2009), apakah kiranya teori susastra Melayu itu masih berlaku?
Murid-murid mengobel kelentit ibu gurunya.
Bagaimana itu mungkin?
Itu mungkin,
Karena tidak ada patokan untuk apa saja.
Semua boleh. Semua tidak boleh.
Tergantung pada cuaca.
Tergantung pada amarah dan girangnya sang raja.
Tergantung pada kuku-kuku garuda dalam mengatur kata-kata.
Ibu guru perlu sepeda motor dari Jepang.
Ibu guru ingin hiburan dan cahaya.
Ibu guru ingin atap rumahnya tidak bocor.
Dan juga ingin jaminan pil penenang,
tonikum-tonikum dan obat perangsang yang dianjurkan oleh dokter.
Maka berkatalah ia
Kepada para orang tua murid-muridnya :
“Kita bisa mengubah keadaan.
Anak-anak akan lulus ujian kelasnya,
terpandang di antara tetangga,
boleh dibanggakan pada kakak mereka.
Soalnya adalah kerjasama antara kita.
Jangan sampai kerjaku terganggu,
kerna atap yang bocor.”
Dan papa-papa semua senang.
Dipegang-pegang tangan ibu guru,
Dimasukkan uang ke dalam genggaman,
serta sambil lalu,
di dalam suasana persahabatan,
teteknya disinggung dengan siku. [3]
Kiranya sangat mudah untuk melihat, bahwa ketentuan a-b-a-b sebagai syarat keindahan sajak di sini bukan saja sudah gugur, tetapi juga diksi atawa pilihan kata-kata “puitik”-nya sudah dilakukan dengan orientasi yang bahkan berlawanan. Jika dalam sajak Amir Hamzah terdapat kata-kata seperti berjulang datang, menyeduk bumi, mengempas emas, memuncak sunyi, mengerak corak, dan elang leka, kiranya dapat diterima betapa bahasa sehari-hari di jalanan dalam dunia Melayu sekalipun memang terhindari; sementara dalam sajak Rendra sudah jelas bahwa setiap kata-katanya sangat terhubungkan dengan bahasa jalanan maupun bahasa koran dari kehidupan sehari-hari, tanpa peduli apakah kata-kata itu susastrawi, bersusila, atau sebaliknya jorok dan kurang ajar.
Betapapun, meski orientasi puitiknya sudah beralih dari format a-b-a-b pantun Melayu, sajak Rendra tersebut sangat memenuhi persyaratan lain dalam kesusastraan Melayu, yakni bahwa susastra itu selain mesti “indah”, haruslah juga “berfaedah”.[4] Sajak-sajak Rendra periode pamflet (sajak-sajakku, pamflet masa darurat), yang memang terdorong untuk menjadi kurang ajar dalam situasi tertekan di bawah Orde Baru, dapat dianggap “berfaedah” atas jasanya yang jelas dalam kritik dan penyadaran sosial politik. Namun takberarti dengan begitu sajak-sajak periode pamfletnya “tak-indah”. Dalam ungkapan Teeuw:
Rendra telah berpamit dengan kata-kata susastra yang indah, demi keindahan kata itu sendiri, seperti yang telah demikian lama mendominasi puisi Indonesia; dia tidak pernah mau tahu dengan realisme sosial seperti yang telah dianjurkan oleh LEKRA; dia pun tidak hanyut dalam berbagai eksperimen yang simbolis, imajis, atau surealis seperti kebanyakan rekan-rekan mudanya sezaman di Indonesia. Dia tidak menulis untuk dibaca tetapi untuk didengar; dia tidak menghidangkan teka-teki tetapi menulis untuk dimengerti.[5]
Setidaknya dari kasus perbandingan ini, dapat dinyatakan tidak ada suatu kebenaran tunggal tentang susastra yang “indah”.
Jika tidak ada ketentuan yang sama dan sebangun tentang di sebelah mana indahnya susastra, lantas apakah susastra itu sebenarnya?
Jawabannya jelas terdapat dalam perbendaharaan ilmu susastra yang bisa dibaca sendiri: ya, jawabannya adalah sekian banyak definisi dalam teori susastra dengan segenap wacananya yang kaya. Jadi, dari pertanyaan “apakah susastra itu”, yang akan dijawab oleh teori susastra, saya akan meloncat ke belakangnya: apakah sebenarnya teori itu sendiri? Menurut saya jawabannya penting, karena dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia, di luar prosedur ilmiah dalam ilmu pengetahuan (baca: ilmu susastra), terdapat kecenderungan bahwa teori hadir di dalam kelas sebagai “berhala”.
***
Teori itu mengandung spekulasi—jadi mohon jangan langsung disamakan dengan “kebenaran”. Namun spekulasi betapapun memang bukan tebakan: dalam teori terdapat kompleksitas, yang membuatnya lebih dari sekadar hipotesis, yakni melibatkan hubungan-hubungan kompleks yang sistematik di antara sejumlah faktor, dan pada dasarnya tidak mudah dikonfirmasi maupun ditolak.
Sebetulnya teori di dalam ilmu susastra merupakan suatu genre penulisan juga: yakni suatu karya terencana yang berhasil menantang dan melakukan re-orientasi pemikiran di dalam wilayah yang sebelumnya bukan bidangnya. Karya yang dihargai sebagai teori mempunyai akibat yang melampaui wilayahnya.
Inilah penjelasan paling sederhana tentang teori, yang telah mencakup perkembangan sejak 1960-an: tulisan di luar bidang kajian susastra dimanfaatkan para peneliti susastra, karena analisis atas bahasa, jiwa, sejarah, atau kebudayaan, menawarkan pertimbangan baru dan persuasif atas masalah tekstual dan budaya. Teori dalam hal ini bukanlah perangkat metode bagi kajian susastra, melainkan tulisan-tulisan yang membentuk kelompok tak saling terikat tentang apapun di muka bumi, mulai dari masalah yang paling teknis dalam filsafat akademik sampai cara perbincangan dan pemikiran tentang tubuh yang berubah.
Dalam genre teori termasuklah hasil karya bidang antropologi, sejarah seni, kajian film, kajian gender, linguistik, filsafat, teori politis, psikoanalisis, kajian ilmu pengetahuan, sejarah sosial dan intelektual, dan sosiologi. Karya-karya yang menjadi teori menawarkan pertimbangan lain yang bisa digunakan tentang makna, alam dan kebudayaan, fungsi jiwa, relasi publik kepada pengalaman pribadi, dan relasi tekanan sejarah yang lebih besar kepada pengalaman individual.
***
Adapun jika teori dirumuskan berdasarkan akibat praktisnya, seperti apa yang mengubah pandangan orang banyak, membuat mereka berpikir lain tentang objek kajian mereka dan kegiatan mempelajarinya, jenis akibat macam apakah ini?
Akibat utama teori adalah memperdebatkan “akal sehat”, yakni pandangan akal sehat tentang makna, tulisan, susastra, dan pengalaman. Misalnya teori mempertanyakan konsepsi bahwa (1) makna suatu ujaran atau teks adalah pikiran di dalam kepala pengucapnya; (2) tulisan itu adalah ekspresi yang kebenarannya terletak di suatu tempat, di dalam pengalaman atau peristiwa yang diungkapkannya; (3) realitas “hadir” pada momen yang sedang berlangsung.
Teori sering menjadi kritik ganas atas gagasan-gagasan akal sehat, dan lebih jauh lagi adalah usaha untuk menunjukkan bahwa yang selama ini dianggap “dengan sendirinya benar” (taken for granted) sebagai akal sehat ternyata merupakan konstruksi historis, suatu teori tersendiri yang terlihat begitu alamiah sehingga bahkan takterlihat sebagai teori. Sebagai kritik atas akal sehat dan eksplorasi dari konsepsi alternatif, teori melibatkan pertanyaan atas premis dasar atau asumsi kajian sastra, menggoyang apapun yang selama ini dianggap dengan sendirinya sudah dimengerti, seperti: Apakah makna? Apakah penulis? Apakah yang dibaca? Apakah si “Aku” atau subjek yang menulis, membaca, atau bertindak? Bagaimana teks berhubungan dengan keadaan yang membuatnya tertulis?[6]
Berdasarkan pengamatan atas berbagai contoh[7], bagaimana tulisan-kajian bisa menjadi teori, setidaknya dapat diringkas bahwa (1) teori itu interdisipliner—perbincangannya berakibat kepada bidang di luar disiplin orisinalnya; (2) teori itu analitis dan spekulatif—suatu usaha menggarap apa saja yang terlibat dalam apa saja, apakah itu disebut seks atau bahasa atau tulisan atau makna atau subjek; (3) teori adalah kritik atas akal sehat, atas konsep yang diterima sebagai alamiah; (4) teori itu refleksif, pemikiran tentang pemikiran, penyelidikan atas berbagai kategori yang biasa digunakan untuk menalar segala sesuatu, dalam susastra dan praksis diskursif lain.
Dengan kata lain, teori itu melakukan intimidasi, karena memang tidak ada habisnya. Teori itu bukan sesuatu yang pernah dikuasai, bukan sehimpun teks tersendiri yang bisa dipelajari seperti nantinya akan “tahu teori”. Teori adalah korpus tulisan-tulisan tak saling terikat yang selalu bertambah, ketika mereka yang muda dan takkenal lelah, dalam kritik terhadap konsepsi panduan para tetua, mendorong kontribusi kepada teori para pemikir baru dan menemukan kembali karya lama yang dilupakan. Teori adalah juga sumber intimidasi, suatu sumber peningkatan yang konstan, ketika teori kritis baru yang satu terus mengundang teori kritis baru yang lain.
Begitu banyaknya sumber teori kritis baru sekarang ini, yang dapat membuat seorang calon pengkaji ragu, apakah harus mempelajari semuanya, ataukah melupakannya saja tanpa risiko apapun. Pendekatan terbaik adalah membuat komitmen terbuka yang takpernah berakhir: mendudukkan diri dalam posisi bahwa selalu ada sesuatu yang penting, yang belum kita ketahui.[8]
***
Tiada kriteria “indah” dalam ilmu susastra yang perlu berlaku universal dan abadi, yang karenanya justru telah mengembangkan ilmu susastra itu sendiri, dalam kerendahan hati untuk selalu membongkar berhala teori, agar semakin mengerti, meski setiap kali akan terbongkar kembali …
Salam
SGA 2010/2020
[1]Dari Amir Hamzah, Buah Rindu (1977), h. 51.
[2]Tengok misalnya V. I. Braginsky, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19 (1983/1998), terjemahan Hersri Setiawan, h. 190-200.
[3]Dari Rendra, Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), h. 38
[4]Braginsky, op.cit., h. 204-5.
[5]A. Teeuw, “Pengantar” dalam ibid., h. 20.
[6]Uraian tentang “apakah teori” ini merujuk kepada Jonathan Culler, Literary Theory: A Very Short Introduction (1997), h. 2-5.
[7]Antara lain kajian Derrida, yang berpendapat: semula tulisan hanya dianggap pengganti ucapan, jadi tulisan tidak sepenting ucapan, karena tulisan mudah disalahtafsirkan dibanding ucapan; tetapi justru karena terbuka kepada penafsiran itulah maka tulisan menjadi kompensasi kekurangan atau cacat ucapan, antara lain kemungkinannya untuk menjadi salah paham. Artinya gagasan tentang yang asli dibuat oleh tiruannya, setelah “ucapan” atau “peristiwa”-nya berlalu. Pengalaman selalu melalui perantaraan tanda-tanda dan yang “asli” terproduksi sebagai efek tanda-tanda. Melalui ibid., h. 10-3.
[8]Ibid., h. 14-6.
Seno Gumira Ajidarma
...