Gambaran Kritik atau Esai Sastra pada Zaman Jepang dalam Majalah Panji Pustaka

1.    Pendahuluan

Dunia kritik atau esai sastra penting diperhatikan. Sapardi Djoko Damono (1983: 38) mengatakan bahwa tanpa kritik kita cenderung berbuat hal yang tidak semestinya. Kritik yang baik akan sangat bermanfaat, baik bagi sastrawan maupun pembaca. Kritik juga diperlukan untuk kelanjutan perkembangan sastra.

Mengenai kritik atau esai sastra telah banyak dibicarakan, misalnya Kritik Atas Kritik Atas Kritik karangan M.S. Hutagalung, Kesusasteraan Indonesia dalam Kritik dan Essay dan Analisa: Sorotan Atas Cerita Pendek karangan H.B. Jassin,  dan “Kritik Sastra Pujangga Baru” karangan Utjen Djusen Ranabrata.

Tulisan ini menyajikan hasil penelitian yang ditujukan untuk  mengetahui gambaran kritik atau esai sastra pada masa Jepang tahun 1942—1945 (2602—2605 tahun Syowa).  dalam majalah Panji Pustaka yang pada masa itu diduga hanya “mengangkat”  karya yang bersifat propaganda Pemerintah Jepang. Propaganda di sini diartikan sebagai penerangan (paham, pendapat, dsb) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu (KBBI Daring). Dari kritik atau esai sastra yang mengangkat karya yang bersifat propaganda itu  akan dilihat dukungan atas otoritas Pemerintah Jepang.

Yang dimaksud kritik sastra adalah mempertimbangkan baik buruk karya sastra (KBBI Daring),  sedangkan esai  merupakan karangan pendek bersifat subjektif tentang tema/topik tertentu, biasanya dalam bentuk  prosa  yang bersifat interpretatif (Zaidan dkk., 1991: 41).

Berkaitan dengan itu, untuk memberi gambaran atas telaah kritik atau esai sastra dalam majalah Panji Pustaka tersebut, pendekatan Abrams digunakan untuk menjelaskanempat orientasi kritik sastra, yaitu 1) kritik mimetik yang menekankan pada ketepatan/kebenaran karya sastra dalam membayangkan/melukiskan objek yang bersangkutan atau kritik ini berkaitan dengan universe/dunia nyata/realitas, 2) kritik pragmatik yang memandang makna karya sastra ditentukan oleh pembacanya. Kritik ini menekankan pada manfaat tertentu dari karya sastra bagi pembacanya, 3) kritik ekspresif yang menekankan pada hubungan karya sastra dengan keadaan jiwa pengarang. Dan penilaian sastra tertuju pada emosi atau keadaan jiwa pengarang sehingga karya sastra merupakan sarana untuk memahami keadaan jiwa si pengarang, dan  4) kritik objektif yang menekankan pada struktur karya itu sendiri. Kritik ini memandang karya sastra sebagai dunia otonom yang terlepas dari siapa pengarang dan lingkungan sosial budaya zamannya sehingga karya sastra dapat dianalisis strukturnya sendiri  (Yudiono, K.S. 1986: 31—35 dan A. Teeuw 1984: 49—52) .

 

2.    Gambaran Umum Politik kebudayaan Jepang Pada Masa 1942—1945

Tiga setengah tahun bangsa Indonesia berada dalam genggaman penjajahan Jepang merupakan masa yang sangat penting dalam perjalanan sejarah bangsa.  Berkaitan dengan keberadaan sastra pada masa itu, seniman/sastrawan dihimpun dalam wadah yang dinamakan Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan Jepang).  Seniman/sastrawan masa itu berkarya sesuai dengan pesanan Pemerintah.

Majalah Panji Pustaka merupakan majalah umum yang diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka.  Penerbit Balai Pustaka merupakan penerbit  milik  Pemerintah (Belanda). Pada waktu Jepang masuk ke Hindia Belanda penerbit itu pun diambil alih oleh Pemerintah Jepang, kemudian diganti namanya menjadi Kokoemin Tosjokjokoe.

Pada 9 Maret 1942 mulai pendudukan Jepang di Indonesia. Mula-mula kedatangan Jepang di Indonesia disambut gembira oleh rakyat Indonesia. Purwanto mengatakan (1994: 89) simpati bangsa Indonesia dapat dipahami dengan alasan karena 1) Jepang merupakan bangsa Asia pertama yang mampu mengalahkan Barat pada awal abad 20. Kemenangan Jepang atas Barat itu menimbulkan kekaguman pada bangsa Indonesia. Kenyataan itu membawa kesadaran akan harga diri bangsa Indonesia sebagai bagian dari bangsa Timur, yakni kebudayaan Timur tidak kalah jika dibandingkan dengan kebudayaan Barat. Alasan kedua karena gagasan tentang persemakmuran Asia Timur Raya merupakan cara yang cukup realistis untuk menghadapi Barat karena bangsa Indonesia sudah cukup lama berjuang mengusir penjajah, tetapi tidak berhasil.  Politik nonkooperatif yang dijalankan oleh organisasi pergerakan justru membawa pemimpinnya pada hukum pembuangan. Oleh karena itu, kehadiran Jepang yang menawarkan perjuangan bersama di antara bangsa Asia untuk melawan Barat merupakan gagasan yang menarik dan wajar untuk diterima.  Alasan ketiga karena percaya pada ramalan Jayabaya.

Berkaitan dengan itu, mobilisasi politik melalui kebudayaan merupakan hal yang tepat dilakukan oleh Jepang.  Menurut Budi Susanto, tidak mudah berpropaganda untuk memobilisasi dan menguasai massa rakyat di wilayah Hindia Belanda  (Nederland Oost Indies/NOI) yang sangat beragam latar belakang budayanya. Untuk itu, pendekatan budaya, khususnya bahasa sangat penting karena selain bahasa daerah setempat yang banyak juga terdapat bahasa asing, misalnya Belanda, Inggris, dan Perancis (Susanto, 1994:10, 11).     

Ajip Rosidi (1969: 80) berpendapat bahwa bahasa Indonesia dijadikan seluruh bidang kehidupan. Di samping itu, ‘membangkitkan’ hal yang berbau Indonesia, seperti menyanyikan lagu Indonesia Raya dan pengibaran Bendera Merah Putih, merupakan awal pilihan politik Jepang yang mengena bagi psikologis rakyat Indonesia meskipun pada akhirnya hal itu dilarang sebab selama penjajahan Belanda hal itu tidak diperbolehkan. Akan tetapi, akhirnya bangsa Indonesia menyadari bahwa tampaknya bangsa Indonesia hanya berganti tuan saja, seperti kata Pringgodigdo, Goeuverneur General diganti dengan Gunsireikan (Panglima Besar Jepang), bendera triwarna diganti dengan matahari terbit, Wihelmus diganti dengan Kimigayo, lang leve de Koningin diganti dengan Tenno Heika Banzai!  (dalam Darmodihardjo, 1978: 142)

Selain bahasa, mobilisasi dilakukan oleh Jepang juga dalam masalah kesenian. Masa itu, ada sebuah badan, Jawa Eiga Kosya yang bertugas mengumpulkan dan menyusun lakon/sandiwara yang berisi semangat zaman. Jawa Eiga Kosya juga mempunyai rombongan sandiwara yang dipimpin oleh Anjar Asmara. Rombongan sandiwara tesebut mengadakan pertunjukkan keliling Jawa—Madura.

 

3.    Kondisi Kritik atau Esai Sastra Indonesia

Pada kurun waktu  tiga tahun 1942—1945,  majalah Panji Pustaka memuat kritik atau esai sastra Indonesia, Melayu, dan Nippon (Jepang) dan artikel tentang kebudayaan. Secara kuantitas jumlah kritik atau esai sastra dan kebudayaan tidak banyak,  kira-kira 40-an buah selama tiga tahun.

Penulis kritik atau esai sastra cukup beragam, seperti H.B. Jasin, M.R. Dayoh, Armijn Pane, Achdiat K. Mihardja, Darmawidjaja, A.R. (Ajip Rosidi?), I.D., S.M.A.,  Karim Halim, M.R. Dayoh, M. Koesrin, T.D. Situmorang,  Airani Molito, R.M. Setjipto, Dr. Prijohoetomo, M. Koesrin, Aidid, Rinto Alwi, Soewandi,  Poliama, St. Hasjimah, Miyamori Asataro, Prof. K. Uyehara.

Kritik atau esai sastra yang tidak banyak itu dapat dimaklumi dengan alasan bahwa majalah Panji Pustaka adalah majalah umum bukan majalah khusus sastra. Meskipun demikian, bisa saja diinterpretasikan bahwa kehidupan kritik atau esai sastra Indonesia pada masa itu memang tidak subur.  Kritik atau esai sastra yang membicarakan/membahas karya sastra sebagai berikut.

  1. “Beberapa Pengarang dan Penyair Islam Indonesia” ditulis oleh H.B. Jassin.
  2. “Beberapa Sajak Ekspresionistis” ditulis oleh H.B. Jassin.
  3. “Amir Hamzah” (dua esai) ditulis oleh Airani Molito/L.K. Bohang.
  4. “Syair dan Semangat Perang” ditulis oleh Darmawidjaja.
  5. “Tertawa dalam kesusasteraan” ditulis oleh A.R.
  6. “Ketahuilah Kesusasteraan Pusaka dari Nenek Moyang Kita” ditulis oleh Soewandi.
  7. “Dongeng-Dongeng Nippon dan Dongeng-Dongeng Indonesia” ditulis oleh R.M. Setjipto.
  8. “Tinjauan Cerita Dewata Indonesia” ditulis oleh R.M. Soetjipto Wirjosoeparto.
  9. “Hang Tuah  Dalam Sejarah dan Dalam Kesusastraan Melayu ditulis oleh Dr. Prijohoetomo.
  10. “Kalilah dan Dimnah “ ditulis oleh I.D.
  11. “Untuk Kemajuan Kesusasteraan Indonesia” ditulis oleh H.B. Jassin
  12. “Sandiwara Indonesia” ditulis oleh P.P.
  13. “Keadaan Sandiwara Sekarang” (dua artikel) ditulis oleh Armijn Pane.
  14. “Kesenian Sandiwara Radio” ditulis oleh Achdiat Karta Mihardja.
  15. “Membangun Kebudayaan Baru” ditulis oleh Rinto Alwi.
  16. “Keritik Kesusasteraan” ditulis oleh A.R.
  17. “Kesusasteraan dan Kebudayaan” ditulis oleh M. Koesrin.

Penulis kritik atau esai sastra umumnya sastrawan atau pakar sastra seperti H.B. Jassin, Darmawidjaja, Achdiat Karta Mihardja, Armijn Pane,  dan A.R. (Ajip Rosidi?).Secara umum para penulis kritik atau esai sastra mengedepankan tema yang mendukung perjuangan atau menimbulkan semangat. Jenis kritik yang banyak muncul adalah kritik pragmatik. Secara kuantitas, dari jumlah kritik yang muncul  dapat dikelompokkan ke dalam kritik pragmatis berjumlah tujuh buah, kritik objektif berjumlah enam buah, kritik ekspresif berjumlah empat buah, dan kritik mimesis berjumlah tiga buah. Dengan catatan, pengelompokkan ini pun dilakukan tidak secara ketat (artinya kira-kira yang “mengarah”).

Penulis kritik atau esai sastra pada saat itu tidak hanya membicarakan hal yang bersifat lokal, tetapi sudah membicarakan masalah internasional, misalnya dalam artikel “Semangat Jerman Baru di Dalam Hasil Kesusastraannya” dan “Kesusasteraan Arab di Antara Seni dan Budi”.  Selain itu, penulis kritik atau esai sastra   dalam artikelnya  sudah mengadakan kajian bandingan, misalnya dalam artikel “Dongeng-dongeng Nippon dan Dongeng-dongeng Indonesia”.   

Konsep seni  yang bermanfaat untuk masyarakat banyak dimunculkan, seperti dalam artikel “ “Membangun Kebudayaan Baru”, “Kesenian Sandiwara Radio”, dan “Keadaan Sandiwara Sekarang”.

Penulis kritik atau esai sastra memberi anjuran bagi pengarang supaya menambah wawasannya, yakni dengan cara meningkatkan ilmu pengetahuan dan terjun ke lapangan untuk mengakrabi lingkungan. Hal itu dimaksudkan agar karya sastra yang dihasilkan para sastrawan itu bermutu sehingga sastra Indonesia bisa lebih maju, seperti yang dapat dicermati dari “Untuk Kemajuan Kesusasteraan Indonesia” yang ditulis oleh H.b. Jassin.  

4.    Dukungan pada Otoritas Pemerintah

Pada majalah Panji Pustaka terdapat  artikel yang memperkenalkan kebudayaan Jepang “Sedikit Tentang Seni Nippon”, “Tari No Sumber Kebudayaan Nippon” (dimuat  tujuh kali), “Perajurit Nippon dan Syair”, dan “Tonil Nippon” (dimuat empat kali). 

Dengan memperkenalkan budaya pemerintah (penjajah), bisakah itu disebut sebuah dukungan atas otoritas pemerintah? Tentunya perlu pencermatan yang jeli dan mendalam atas hal tersebut.  Meski demikian, penulis berinterpretasi bahwa minimal terdapat sedikit simpati, di sisi lain justru sebagai sebuah piranti supaya majalah itu tetap hidup, sehingga cinta tanah air Indonesia sedikit-demi sedikit di kemudian hari bisa ditanamkan (hal-hal yang berbau Indonesia bisa dimunculkan). Hal itu  misalnya terkait dengan munculnya artikel “Sandiwara Indonesia”, “Menuju Seni Rupa Indonesia”, dan “Untuk Kemajuan Kesusastraan Indonesia”.

 

5.    Penutup

Dalam majalah Panji Pustaka tidak banyak ditemukan kritik atau esai sastra. Hal itu dapat dimaklumi karena majalah tersebut majalah umum bukan majalah khusus sastra. Jenis kritik yang muncul umumnya kritik pragmatik. Penulis kritik tidak sampai pada penghakiman (menentukan sebuah itu karya yang baik atau karya yang tidak baik/jelek).

Isi kritik atau esai sastra cukup beragam, tidak semuanya mendukung otoritas Pemerintah Jepang. Ada penulis kritik atau esai sastra yang bersikap dualisme: di satu sisi mendukung bahwa karya harus bermanfaat bagi masyarakat dan menimbulkan semangat, di sisi lain mengacu pada pandangan Barat yang diantipati oleh Pemerintah Jepang. Selain itu, ada penulis kritik yang memunculkan “nuansa nasionalisme” meski secara samar, tidak terang-terangan.  Artinya, meskipun ada pengarang yang berkooperatif dengan sang penguasa (penjajah) , dia masih memiliki prinsip memunculkan hal-hal yang berbau Indonesia (karya sastra Indonesia).

Memunculkan rasa nasionalisme pada masa penjajahan tentu tidak mudah. Hal ini tergantung pada kepiawaian pengarangnya, apakah mungkin  dengan menyingkat nama  (A.R., I.D., S.M.A.) atau menulis  tentang kesusastraan dengan menggunakan nama samaran ( Airani Molito ) sebagai salah satu cara supaya tidak diketahui secara jelas oleh badan sensor Jepang.


DAFTAR BACAAN

Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta: Gramedia

Darmodihardjo, Dardji dkk. 1978. Santiaji Pancasila. Jakarta: Geka.

Hutagalung, M.S. 1975. Kritik Atas Kritik Atas Kritik. Jakarta: Tulila.

Jassin, H.B. 1955 (Cet. II). Kesusasteraan Indonesia dalam Kritik dan Essay. Jakarta: Gunung Agung.

Jassin, H.B. 1965. Analisa: Sorotan Atas Cerita Pendek. Jakarta: Gunung Agung.

Jassin, H.B. 1969.  Kesusasteraan Indonesia Dimasa Jepang. Jakarta: Balai Pustaka.

K.S., Yudiono. 1986. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.

Rosidi, Ajip. 1969. Ichtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.

Susanto, Budi dkk. (ed.). 1994. Politik Penguasa dan Siasat Pemuda (Nasionalisme dan Pendudukan Jepang di Indonesia). Yogyakarta: Kanisius.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa