Kritik Sastra dan Gerakan Estetika Sastra
Gerakan Estetik
Dalam sejarah sastra dunia dan nasional ada beberapa peristiwa sastra atau seni yang menjadi tempat sekelompok pengarang berkumpul dan mengeluarkan pernyataan bersama, yang tidak jarang disebut ‘manifesto’, untuk mendeklarasikan bermula atau berdirinya suatu gerakan estetik baru sebagai respon terhadap apapun mazhab yang dominan pada saat itu. Deklarasi seperti ini biasanya menjadi sarana untuk membaptis lahirnya sebuah “angkatan” sastra atau seni yang baru, walaupun tidak selalu kelahiran sebuah angkatan dinyatakan dengan manifesto. Tidak jarang, kemunculan sebuah karya sastra atau seni yang unik dan secara gamblang berbeda dari kecenderungan dominan pada masanya berdampak sama pentingnya dengan suatu menifesto dalam menandai lahirnya suatu mazhab baru.
Di Eropa, salah satu proklamasi kelahiran gerakan estetik yang paling keras gaungnya adalah Manifesto Surealisme pada 1924 di Paris, yang dipelopori oleh para tokoh seperti penyair André Breton, perupa René Margritte, pelukis Max Ernst, dan juga Salvador Dali. Mereka bereaksi terhadap pengungkapan gagasan yang terbelenggu oleh sensor-sensor moral, norma, dan saringan lainnya. Sebagai gantinya, mereka menawarkan “otomatisme psikis”, yang memungkinkan isi pikiran tersampaikan secara langsung dan “murni” dalam ekspresi sastra atau seni sehingga dihasilkan suatu “realitas yang absolut” dan unggul untuk melawan realitas yang telah tersaring oleh moralitas.[1]
Gerakan ini lahir sebagai akibat dari Perang Dunia I yang sarat kekerasan dan merupakan bentuk lebih halus dari Dadaisme, yang secara esktrem memprotes perang dan menjadikan dirinya sebagai seni yang anti-seni. Meskipun pada awalnya mengalami penolakan, surealisme dengan cepat berkembang bahkan hingga ke Amerika Serikat dan Amerika Tengah. Di dalam sastra, Surrealisme ditandai dengan “penulisan spontan” yang menuangkan proses-proses yang sedang terjadi di dalam pikiran langsung ke dalam bentuk verbal dan tidak memberi kesempatan kepada rasio, logika ataupun sensor-sensor lain untuk mengintervensi proses.
Di Indonesia, sejarah mencatat beberapa momen pernyataan lahirnya suatu gerakan, yang lalu di dalam sejarah perkembangan estetika nasional dicatat sebagai angkatan. Surat Kepercayaan Gelanggang muncul dalam majalah Siasat pada 22 Oktober 1950 sebagai pernyataan para sastrawan dan seniman yang tergabung dalam kelompok Gelanggang Seniman Merdeka, yang pendiriannya dipelopori oleh Rivai Apin, Asrul Sani, dan Chairil Anwar pada 1946. Selain pengarang tersebut terdapat pengarang lain, seperti Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan Sitor Situmorang, serta beberapa pelukis seperti Henk Ngantung dan Basuki Resobowo.
Melalui surat mereka, para seniman “memproklamasikan” kedaulatan mereka di bidang seni dengan menyatakan bahwa mereka adalah ahli waris kebudayaan dunia, dan sebagai ahli waris, mereka melanjutkan kebudayaan dunia dengan cara-cara mereka sendiri tanpa didikte oleh siapapun. Lewat manifesto mereka, kelompok Gelanggang ini secara tegas mengklaim bahwa proyek kebudayaan Indonesia adalah bagian melekat dari kebudayaan internasional alih-alih sebagai anak haramnya, sebagaimana ditulis oleh Jennifer Lindsay dalam pengantar buku suntingannya.[2] Surat Kepercayaan Gelanggang, dengan demikian, membebaskan kebudayaan Indonesia dari belenggu warisan sekaligus menutup lembar-lembar perdebatan Polemik Kebudayaan yang sudah berlangsung sejak 1930an tentang apakah kebudayaan Indonesia harus berkiblat ke modernitas Barat ataukah berpegang erat pada tradisi.[3]
Para penandatangan Surat Kepercayaan Gelanggang seringkali dikaitkan dengan Angkatan ’45 oleh para kritikus sastra, termasuk oleh Paus Sastra Indonesia H.B. Jassin, meskipun penyebutan ini bisa menimbulkan salah kaprah karena menjadikan gerakan ini seolah-olah monolitik. Kendati demikian, kelahiran Angkatan ’45 sebagai sebuah gerakan sastra tidak bisa dilepaskan lagi dari manifesto para seniman kelompok Gelanggang ini, dengan karya-karya yang berbentuk lebih bebas serta ekspresi- ekspresi kebahasaan yang lebih lugas dan langsung apabila dibandingkan dengan karya-karya para pengarang dari era-era sebelumnya.
Momen manifesto lain yang tak kalah dampaknya dalam perjalanan sastra Indonesia pasca-kemerdekaan adalah Manifesto Kebudayaan, yang muncul pada Agustus 1963 dan dimuat dalam Majalah Sastra nomor 9/10 tahun ke-3 pada tahun itu. Manifesto Kebudayaan digagas oleh para tokoh seperti, Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, H.B. Jassin, Soe Hok Djin, Taufiq Ismail, dan Trisno Soemardjo sebagai respon terhadap aksi-aksi intoleran para seniman kiri yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Para penandatangan manifesto ini menyatakan bahwa prioritas mereka adalah membangun kemanusiaan melalui kebudayaan nasional yang berbasis pada Pancasila sebagai falsafah kebudayaannya, dan penegasan ini sekaligus berfungsi sebagai penolakan terhadap ideologi komunis yang diusung LEKRA.[4]
Sebagian tokoh Manifesto Kebudayaan masih hidup dan berkiprah. Mereka memainkan peran sentral dalam membentuk serta memberi warna kepada perkembangan seni dan sastra Indonesia sampai hari ini. Kelompok ini juga kerap dihubung-hubungkan dengan Angkatan ’66 dalam sejarah sastra Indonesia, yang lagi-lagi berisiko membekukan atau memiskinkan kemajemukan pemikiran serta keragaman bentuk sastra yang dihasilkan para tokohnya. Hal itu memperlihatkan bahwa Manifesto Kebudayaan bukanlah sekadar respon politik sesaat yang bersifat reaktif terhadap lawan-lawan ideologis mereka, tetapi terus bertumbuh sebagai sebuah mazhab kebudayaan yang menentukan arah pergerakan seni dan sastra Indonesia lama sesudah konfrontasi ideologis berakhir.
Selain kedua ilustrasi gerakan estetik yang diwujudkan dalam menifesto, tahun-tahun 1970-an juga merekam beberapa peristiwa estetik lain yang cukup menghebohkan pada saat terjadi, walaupun riwayat hidupnya tidak panjang dan apa yang digagas tidak sungguh-sungguh menjadi sebuah mazhab dominan di kemudian hari. Misalnya, ‘gerakan puisi mbeling’ yang muncul pada akhir 1971 di majalah Aktuil, dipelopori oleh Remy Silado. Tidak lama sesudah itu, pada 1973 penyair Sutardji Calzoum Bachri mengumumkan Kredo Puisi-nya, yang dimuat dalam majalah Horison nomor 12 tahun ke-9, yang terbit pada 1974. Kurang lebih bersamaan waktunya dengan kredo puisi Sutardji, pada 8 Maret 1974, terjadi persitiwa “pengadilan puisi” di Universitas Padjadjaran Bandung, pada waktu itu perpuisian Indonesia mutakhir didakwa oleh sejumlah penyair muda sebagai tidak lagi “sehat” dan tumbuh dengan tidak “wajar”. Pengadilan “tandingan” dilakukan di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, pada September tahun yang sama sebagai jawaban atas gugatan di atas.[5]
Belum ada cukup banyak literatur yang ditulis untuk menilai dan menyimpulkan seberapa besar dampak atau sumbangan peristiwa-peristiwa ini bagi perkembangan sastra Indonesia selanjutnya. Akan tetapi, yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa pemikiran-pemikiran, gaya penulisan, dan bentul-bentuk baru dalam seni dan sastra pada umumnya lahir sebagai sebuah gerakan yang diprakarsai sekelompok seniman atau pengarang sebagai respon terhadap fenomena dominan yang dinilai tidak lagi memadai atau mengakomodasi perkembangan-perkembangan baru. Di luar negeri, gerakan-gerakan seperti ini tidak jarang melahirkan mazhab-mazhab atau isme baru, sementara di Indonesia polanya adalah menghasilkan penyebutan angkatan-angkatan oleh para kritikus dalam arena kritik sastra.
Kritik Sastra
Sampai saat ini belum ada kesepakatan jelas tentang apa sebetulnya peranan yang dimainkan oleh kritik sastra dan seberapa besar dampaknya terhadap karya ataupun pengarang yang menjadi sasaran sebuah kritik sastra. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab ketidakjelasan ini. Pertama, sebagian besar, jika bisa dikatakan, kritikus sastra pada saat yang sama adalah juga pengarang. H.B. Jassin, Subagio Sastrowardoyo, Gunawan Mohamad adalah pengarang sekaligus kritikus sastra. Apakah mereka menulis kritik sastra berdasarkan refleksi pribadi mereka sebagai pengarang ataukah kritik yang mereka tulis merupakan hasil telaah berjarak antara mereka sebagai kritikus dan karya sastra sebagai objek kritik? Apakah kritik yang mereka hasilkan menjadi pendorong bagi lahirnya gagasan-gagasan baru dalam bersastra ataukah kritik mereka berfungsi untuk mengabarkan saja gagasan-gagasan baru yang sudah lahir dalam karya-karya sastra? Persoalannya bukanlah pada mana yang benar dari dualitas pertanyaan-pertanyaan ini melainkan dualisme sosok dan peran pengarang sebagai kritikus. Dengan kata lain, apakah kritik sastra melahirkan gerakan perubahan dalam sastra atau berperan mengembangkan sastra ataukah hanya berfungsi mendiseminasikan saja karya-karya dan pengarang-pengarang yang muncul dengan berbagai pemikiran mereka kepada khalayak luas?
Penyebab ketidakjelasan yang kedua adalah cukup kuatnya pandangan umum di kalangan sastra di Indonesia bahwa pada saat ini kiprah kritik sastra dan para pegiatnya tidak sesemarak tahun-tahun 1960-an dan 1970-an. Selain itu, kritik sastra dipandang tidak mampu mengimbangi kegairahan yang terus memuncak dalam penerbitan karya-karya sastra, sampai-sampai ada dugaan bahwa jangan-jangan kritik sastra di Indonesia sedang menghadapi lonceng kematiannya. Kritik sastra yang ada jauh kurang memadai kuantitas, frekuensi, dan intensitasnya dibandingkan dengan banyaknya pengarang baru yang lahir, karya yang dihasilkan, dan gagasan-gagasan segar yang mereka tawarkan. Adanya berbagai sayembara penulisan kritik sastra rupa-rupanya dinilai tidak cukup ampuh untuk menggairahkan kembali dunia kritik sastra yang memudar.
Ketiga, lalu bagaimana persisnya hubungan antara kritik sastra dan gerakan estetika di bidang sastra? Apakah keduanya hanya sekadar berjalan paralel sebagai dua aktivitas yang tidak saling berkaitan ataukah ada hubungan yang tidak bisa dilepaskan antara satu dengan yang lain, tetapi kita masih kesulitan untuk menetahui dengan pasti sifat atau jenis hubungan tersebut? Jika banyak kritikus sastra yang adalah juga pengarang, maka semestinya tidak terlalu sulit membayangkan adanya sebentuk hubungan antara kritik sastra di satu pihak dan gerakan pemikiran sastra di lain pihak. Keduanya menjadi motor penggerak bagi satu sama lain, dan yang terjadi bukanlah sekadar paralelisme, tetapi konvergensi: kedua aktivitas yang tampaknya berbeda itu sesungguhnya adalah satu proses terpadu yang membuat sastra terus berkembang dan berubah. Namun, ini tidak menjelaskan mengapa kiprah kritik sastra selalu dinilai keteteran dalam mengimbangi gerak langkah perkembangan sastra.
Jawaban untuk persoalan pertama terkait peran ganda kritikus sastra sekaligus pengarang dapat didekati dari aktivitas kritik sastra itu sendiri. Tidak jarang cara orang memecahkan persoalan ini adalah dengan semakin membuatnya keruh. Ada upaya membuat kategori-kategori kritik sastra akademik, kritik sastra popular, kritik sastra awam, dan lain-lain, yang sama sekali tidak ada manfaatnya. A. Teeuw adalah seorang kritikus sastra akademik dan bukan pengarang, sementara Seno Gumira Ajidarma atau Sapardi Djoko Damono adalah kritikus sastra akademik yang mampu menulis kritik sastra non-akademik, dan ia juga seorang pengarang. Gunawan Mohamad bukan akademisi, tetapi mampu menghasilkan kritik sastra akademik dan ia adalah juga seorang pengarang.
Tidak menjadi soal ketika pergulatan para pengarang yang tidak berasal dari dunia akademik tidak hanya tertuang secara estetik dalam karya-karya sastra yang mereka hasilkan tetapi juga dalam wujud evaluasi secara analitik atas berbagai cara dan bentuk curahan kegelisahan tersebut. Demikian pula, seorang kritikus sastra yang bukan pengarang, tetapi berkecimpung di dunia akademik dan bukan pengarang wajar saja jika memiliki kemampuan analitik untuk menelaah karya sastra, meskipun ia tidak menghasilkan karya-karya sastra sendiri. Seorang kritikus sastra yang tidak berasal dari latar belakang akademik dan bukan pengarang tidak harus menanggung label sebagai seorang kritikus sastra “awam” atau “popular” hanya karena kondisi tersebut. Yang jelas, ia tetap mampu melahirkan kritik sastra, yang berarti juga bahwa ia memiliki kemampuan untuk melakukan telaah analitik dan juga kemampuan untuk menghayati karya sastra secara lebih subjektif sebagaimana seorang pengarang.
Memahami kritik sastra dengan pendekatan ini berarti tidak mengotak-kotakkan aktivitas kritik sastra dan aktivitas penciptaan sastra. Keduanya saling berdampak atas satu dengan yang lain, dan kita tidak perlu membayangkan adanya kompetisi antara kritik sastra dan produksi karya sastra, mana yang lebih penting, dan mana yang berdampak atas yang mana. Perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam jagad sastra di mana-mana adalah hasil dari keterpaduan antara kritik sastra dan sastra itu sendiri, sebagaimana jelas terlihat dalam kelahiran gerakan Surrealisme di Eropa, serta Surat Kepercayaan Gelanggang dan Manifesto Kebudayaan di Indonesia. Sama halnya dengan fenomena gerakan puisi mbeling, kredo puisi, pengadilan puisi, dan lain-lain. Pengarang tidak hanya sibuk mencipta, dan kritikus tidak hanya sibuk sebagai wasit di pinggir lapangan. Semuanya terlibat secara sama intens dan seriusnya dalam proses terjadinya perubahan-perubahan sastra.
Persoalan kedua, yaitu sinyalemen bahwa kiprah kritikus sastra kini tidak segencar seperti para kritikus pada masa lalu. Benarkah ini? Barangkali, kita perlu mempertimbangkan hal-hal ini untuk bisa memutuskan apakah sinyalemen itu betul. Sesudah 1998, dengan dimulainya babak awal Reformasi, dunia sastra Indonesia secara cepat dan pasti mengalami kebanjiran sastra. Sangat banyak pengarang baru bermunculan, sementara yang lama pun menjadi kembali bergairah untuk menulis karena kencangnya tiupan angin perubahan. Jenis-jenis sastra yang diterbitkan pun variasinya luar biasa. Pada tahun-tahun 1950an sampai 1990an, tidak dikenal adanya sastra islami, teenlit, sastra cyber, dan pengarangnya adalah tokoh yang itu itu juga. Ada kelompok perempuan pengarang yang produktif, seperti Nh. Dini, Marga T. Mira W. Pada 1970-an dan 1980an, kelompok pengarang senior seperti Mangunwijaya, Danarto, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Motinggo Busye, dll., dan juga ada pengarang-pengarang muda seperti Yudhistira A.M. Massardi, Ashadi Siregar, dan V. Lestari. Meski mereka tergolong produktif pada masanya, tetapi ukuran produktivitasnya jauh berbeda dengan pengarang-pengarang masa kini seperti Tere Liye.
Para kritikus pada era tersebut punya waktu dan kesempatan untuk memfokuskan kerja kritik mereka pada pengarang-pengarang yang jumlahnya tidak cepat bertambah sehingga tampaknya aktivitas kritik sastra dan penciptaan sastra masih bisa berkejaran tanpa ada yang tertinggal terlalu jauh. Kini, jumlah pengarangnya tumbuh dengan sangat pesat, demikian pula jumlah karya yang mereka hasilkan. Jumlah kritikus sastra pada saat ini tidak lebih sedikit daripada tahun-tahun silam, tetapi tetap mustahil untuk bisa membagi perhatian secara sama besar kepada semua pengarang yang saat ini ada. Sudah ada jauh lebih banyak sarjana sastra yang mampu menulis telaah sastra, dan sudah ada pula banyak kritikus sastra yang tidak berasal dari latar belakang akademik. Semua ini tidak dapat dibandingkan dengan pertambahan jumlah karya sastra yang dihasilkan bahkan jika kita hanya berbicara tentang Jakarta dan Pulau Jawa saja. Maka, jangan-jangan aktivitas kritik sastra tidak mati ataupun surut, tetapi kerja para kritikus sastra tetap saja terdengar sepi apabila dibandingkan dengan banyaknya karya yang menuntut perhatian para kritikus itu.
Terakhir, jadi bagaimana seyogyanya bentuk hubungan antara kritik sastra dan penciptaan sastra? Dunia penciptaan sastra misinya haruslah mendorong pertumbuhan sastra sepesat dan sebesar mungkin melalui penciptaan ekosistem yang kondusif bagi tujuan tersebut. Dalam kondisi demikian itu, kritikus sastra tidak bisa tidak harus bersikap lebih selektif karena kapasitasnya untukmampu melipit dan mengakomodasi semuanya sangat terbatas. Maka, tanpa menghambat atau menghalangi pertumbuhan sastra tersebut, fungsi kritikus adalah mengidentifikasi mana karya-karya sastra yang bisa diunggulkan dari segi estetik, gagasan, dan kebaruan. Fungsi mereka bukan menghambat tetapi mendorong yang baik untuk terus tumbuh menjadi lebih baik sehingga memperoleh pengakuan yang semestinya dari khalayak pembaca sastra. Bagaimana dengan karya-karya yang terluput dari perhatian kritikus? Pada zaman teknologi ini, para pengarang tidak kekurangan sarana dan medium untuk mendiseminasikan karya-karya mereka sendiri dengan rasa percaya diri. Justru, yang akan menjadi semakin mengecil dan tidak penting adalah ketergantungan pengarang pada kritikus karena mereka tetap mampu melakukan swapromosi dan mengukuhkan nama mereka sebagai pengarang ke berbagai forum sastra.
Apakah sikap selektif kritikus ini disebabkan oleh sifat kerja kritik sastra? Jawabannya adalah tidak mesti demikian. Paling tidak dalam konteks Indonesia, sikap selektif itu terpaksa ada karena Indonesia sedang kebanjiran karya sastra. Kesan kekurangan kritikus menjadi terasa seolah-olah nyata akibat banjir tersebut karena mestinya pada saat ini jumlah kritikus sastra di Indonesia semestinya jauh lebih banyak daripada di era H.B. Jassin dulu. Tidak boleh dilupakan juga bahwa stok kritikus sastra tidak hanya berasal dari dunia akademi. Dengan semakin banyaknya pengarang dan karya, jumlah kritikus pun lebih banyak, mengingat banyaknya pengarang sastra yang juga menekuni kritik sastra atau sebaliknya, mulai banyaknya kritikus sastra yang kini juga menghasilkan karya-karya sastra mereka sendiri, seperti Nirwan Dewanto, Ayu Utami, Yoseph Yapi Taum, Arif Bagus Prasetyo, Gunawan Maryanto, sekadar menyebut beberapa.
Kesemuanya ini semakin memperlihatkan bahwa dunia kritik sastra bukanlah dunia yang berdiri sendiri di luar dunia penciptaan sastra dan sebaliknya. Tulisan ini mengajak kita untuk mulai mempertimbangkan kemungkinan untuk melihat kedua aktivitas ini sebagai satu proses yang terjadi bersama dan hanya bisa eksis dalam kesatuan ini. Oleh karena itu, jika kritik sastra sampai betul mati, maka itu juga berarti kematian bagi penciptaan sastra, dan keringnya penciptaan sastra juga dengan sendirinya menyebabkan gersangnya aktivitas kritik sastra. Sinyalemen bahwa kritik sastra di Indonesia sedang sekarat hanya benar dan berterima jika sastra Indonesia sendiri sedang sekarat. Jika tidak, maka mungkin sekali kita memiliki sinyalemen atau kesan yang keliru tentang keadaan kritik sastra di Indonesia pada saat ini.
Oleh karena hubungan yang unik dan tidak bisa saling dilepaskan ini, tidak sulit untuk menerima bahwa kritik sastra dan gerakan perubahan sastra juga merupakan dua hal yang pada hakikatnya adalah tunggal. Kritikus sastra tidak akan mampu menahan dirinya untuk tetap bersikap pasif ketika mereka melihat bahwa sedang terjadi suatu gerakan estetika baru yang dirintis oleh beberapa pengarang melalui sejumlah karya sastra. Ada satu contoh meskipun negatif mengenai hal ini, yaitu saat fenomena sastra perempuan muncul pada awal reformasi dan yang oleh para kritikus disebut sastrawangi. Baik atau buruk penilaian orang ataupun konotasi yang dibawa oleh istilah ini, para perempuan pengarang jelas telah membawa angin perubahan pada sastra Indonesia sampai dengan hari ini. Para pengarang dan karyanya pun mendapat perhatian tiada habis-habisnya dari para kritikus dalam berbagai forum dan kajian. Hal yang sama kurang lebih terjadi pada fenomena sastra islami yang kini memenuhi rak-rak toko buku di mana-mana. Ada banyak kajian dan karya kritik yang dihasilkan menyangkut sastra jenis ini.
Kemeriahan kritik sastra dan semarak aktivitasnya tidak terjadi untuk semua dan segala macam karya, tetapi pada sebagian karya yang kemudian menjadi semacam klaster tersendiri dan berkembang menjadi sebuah gerakan baru dalam sastra. Di tengah-tengahnya, gegap gempita penciptaan berbagai jenis karya sastra terus terjadi setiap hari dan tidak surut walaupun tidak sempat tertangkap oleh perhatian para kritikus. Pada saat yang sama, seringkali pola-pola baru yang mulai muncul pada beberapa karya pada awalnya hanya tertangkap oleh kejelian para kritikus yang kemudian menunjukkannya kepada khalayak yang lebih besar sehingga kelahiran sebuah gerakan pun terjadi lebih jelas dan lebih cepat sebagai akibatnya. Para kritikus inilah yang melakukan klasterisasi dan memetakan pola-pola pemikiran yang segaris, meski para pengarang bekerja sendiri-sendiri dan menuangkannya dalam karya-karya yang berbeda gaya maupun bentuknya. Akan tetapi, satu hal yang penting adalah kritikus sastra baru dengan efektif mampu menarik perhatian khalayak pada sebuah karya sastra atau pengarang tertentu apabila ia bisa melihat dan menempatkan pengarang atau karya tersebut dalam sebuah gerak perubahan yang kian lama akan kian membesar.
Sebuah karya kritik yang sangat baik pun akan sulit mengangkat sebuah karya ke permukaan apabila karya tersebut muncul secara acak sebagai suatu kebetulan tanpa bisa dihubungkan dengan karya-karya lain yang bergerak bersamanya. Pengarang yang lebih suka berasyik-ria dengan keunikan individualnya sendiri tanpa hirau pada apa yang terjadi di dunia sastra di sekeliling dirinya akan sulit untuk dapat dibesarkan bahkan oleh seorang kritikus sastra yang sangat piawai sekalipun. Kalaupun ia menghasilkan karya yang setiap kali berubah dan baru, itu adalah bagian dari eksentrisitas dirinya sendiri yang pada akhirnya tetap akan tenggelam dalam arus perubahan meskipun ia berteriak sekeras-kerasnya.
[1] Disarikan dari Moffat, C. 2011. The Origins of Surrealism: Historical origins of the Surrealist art movement. URL: arthistoryarchive.com/arthistory/surrealism/Origins-of-Surrealism.html.
[2] Lindsay, J. dan Liem, M.H.T. (ed.). (2011). Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965. Pustaka Larasan.
[3] Teguh, I. (2019). Surat Kepercayaan Gelanggang: Suara dan elan seniman kosmopolitan. tirto.id, 22 Oktober. URL: https://tirto.id/surat-kepercayaan-gelanggang-suara-dan-elan-seniman-kosmopolitan-ekaa.
[4] Perdana, R. (2017). Menggali Kembali Manifes Kebudayaan. geotimes.co.id, 29 September. URL: https://geotimes.co.id/opini/menggali-kembali-manifes-kebudayaan.
[5] Bouceu, R. (2018). Ketika Puisi Diadili. Gelanggang, Himpunan Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran, 12 Maret. URL: http://www.gelanggang.id/2018/03/pengadilan-puisi.html.
Manneke Budiman
...