Relevansi dan Konsep Dasar Hermeneutika
Relevansi dan Konsep Dasar Hermeneutika
oleh Abdul Wachid B.S. [1]
Salah seorang sastrawan sekaligus akademisi di Indonesia yang mengkritisi pandangan etnosentrik dan hegemonik ilmu-ilmu positivistik dan rasionalistik adalah Abdul Hadi W.M. Dia menyatakan bahwa
“Di bawah pengaruh kuat teori-teori neopositivisme dan juga belakangan sebagai dampak dari pandangan negatif posmodernisme, teks-teks klasik itu dianggap kurang relevan karena merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan semangat zaman baru. Apalagi teks-teks Asia yang lahir di luar tradisi Aufklaerung (pencerahan) dan neopositivisme. Namun, dengan bangunnya kembali hermeneutika dari mati surinya yang cukup lama, bangkit kembali minat dan semangat untuk meneliti teks-teks yang memiliki signifikansi tersendiri dalam sejarah peradaban manusia” (2014: 2).
Selanjutnya, Abdul Hadi W.M. (2014: 11—12) menjelaskan bahwa neopositivisme adalah aliran filsafat keilmuan yang lahir pada abad ke-19 sebagai kelanjutan dari aliran positivisme yang diasaskan oleh August Comte lebih kurang setengah abad sebelumnya. Aliran pemikiran yang dominan pada abad ke-20 ini berakar pada rasionalisme Cartesian, saintisme Newtonian, dan empirisme abad ke-18, serta semangat abad pencerahan (aufklaerung). Narasi besar yang dibawakannya ialah pembebasan manusia dari belenggu mitologi dan agama. Rasionalisme berpendirian bahwa satu-satunya subjek yang berpikir di alam semesta dan mampu bebas dari arahan Tuhan ialah manusia. Di sisi lain, saintisme meneruskan proyeksi rasionalisme Cartesian seraya meramunya dengan konsep fisika Isaac Newton yang memandang alam sebagai tatanan sempurna dengan hukum-hukum dan aturan yang pasti serta tidak bisa diubah. Positivisme menerima pandangan rasionalisme dan pandangan Immanuel Kant tentang keunggulan akal rasional dan penalaran kritis serta pandangan empirisme tentang persepsi indra, tetapi menolak pendirian Immanuel Kant mengenai subjek transendental. Berdasarkan pandangan tersebut, August Comte berpendirian bahwa penelitian atas kegiatan jiwa dan kehidupan spiritual manusia merupakan kerja yang sia-sia.
Tentang positivisme dan neopositivisme, Abdul Hadi W.M. merumuskan pokok-pokok pendiriannya sebagai berikut.
Pertama, Tuhan atau Realitas Hakiki itu tidak ada, setidak-tidaknya keberadaannya itu disangsikan. Kedua, alam semesta bergerak secara mekanistik, teratur, dan dengan hukumnya sendiri. Kehidupan manusia juga demikian. Yang menggerakkan ialah ketentuan-ketentuan masyarakat yang hadir sebagai hukum besi yang tidak terelakkan berupa norma-norma, pandangan hidup yang telah terkemas rapi, nilai-nilai yang tumbuh secara alami, dan lain sebagainya. Dalam estetika atau sastra, ia berupa norma-norma sastra, konvensi estetik, kode budaya, selera (taste), dan lain sebagainya. Ketiga, akal pikiran dan pengalaman empiris diyakini dapat membantu manusia memahami gejala-gejala kehidupan dalam alam, masyarakat, dan teks (Md. Salleh Yaapar, 2002; Hadi W.M., 2014: 13).
Berbeda dengan pandangan etnosentrik dan hegemonik ilmu-ilmu positivistik dan rasionalistik sebagaimana diungkapkan Abdul Hadi W.M. (2014: 3), para sarjana hermeneutika memandang bahwa kebenaran dapat dicapai oleh manusia di mana pun. Menurut mereka, di luar tradisi pemikiran Barat terdapat pula tradisi-tradisi besar pemikiran lain yang tidak kalah luas cakrawalanya dibandingkan cakrawala pemikiran Barat. Di samping itu, kita juga menyadari kenyataan bahwa kebenaran tidak dapat dimonopoli selamanya oleh tradisi pemikiran tertentu yang berkembang di suatu wilayah yang diaku sebagai tempat kelahiran pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan, yaitu Barat. Bangunnya kembali hermeneutika memberikan petunjuk bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat modern yang berasaskan empirisme dan rasionalisme mengandung banyak kelemahan. Hal itu khususnya dalam memberikan pemahaman yang benar tentang kebenaran yang terdapat dalam segala sesuatu, termasuk kearifan dan teks-teks yang berasal dari bagian dunia mana pun.
Di Cina hermeneutika telah muncul pada sekitar abad ke-5 s.d. ke-3 SM, bersamaan dengan munculnya para filsuf yang juga ahli hermeneutika, seperti Lao Tze, Kon Fu Tze, Meng Tze, dan Chuang Tze. Pemikiran mereka tumbuh dan berkembang menjadi bentuk-bentuk kearifan yang lahir dari proses hermeneutika tertentu. Di India tradisi hermeneutika sudah dikenal sejak abad ke-8 SM dalam kegiatan penafsiran terhadap Kitab Veda dan Brahmakandha sampai munculnya aliran-aliran filsafat Hindu, seperti Samkhya, Mimamsaka, dan Vedanda. Kitab karangan Nirukta, penulis abad ke-8 SM, merupakan bukti bahwa benih-benih hermeneutika telah berkembang beberapa abad sebelum lahirnya hermeneutika klasik Yunani. Bahkan, penerapannya sebagai bentuk hermeneutika estetik dan sastra telah tampak sejak abad ke-1 M dengan munculnya kitab Natyasastra karya Bharata. Padahal, di Eropa hingga abad ke-18 M hermeneutika cuma berkutat sebagai teori penafsiran teks kitab keagamaan (Hadi W.M., 2014: 4).
Begitu pula hermeneutika dalam tradisi intelektual besar lain, yaitu Islam. Sejak awal perkembangan agama tersebut, beberapa bentuk teori penafsiran dan asas-asas universal pemahaman teks telah muncul dan berkembang dengan subur. Teori penafsiran yang berkembang itu melahirkan ilmu tafsir yang beragam coraknya, sedangkan asas-asas pemahaman melahirkan bentuk hermeneutika yang lazim disebut ta’wil. Menurut Abdul Hadi W.M., “Ta’wil sering diartikan sebagai tafsir spiritual yang simbolik dan merupakan bentuk penafsiran yang lebih intensif serta ditujukan pada makna batin teks.” Ta’wil lahir dari kegiatan memahami ayat-ayat mutasyabihat (simbolik) Al-Qur’an dan hadis, terutama Hadis Qudsi, kemudian diterapkan juga untuk memahami teks sastra, khususnya puisi sufi. Kesejarahan ta’wil menurut Abdul Hadi W.M. mulai diperkenalkan sebagai bentuknya yang definitif pada abad ke-9 dan ke-10 M oleh seorang sufi Sahl al-Tustari dan Sulami. Pada abad ke-12 s.d. ke-15 penggunaannya kian meluas di kalangan filsuf, sufi, dan ahli sastra, sebagaimana termuat di dalam karya Imam al-Ghazali, Ruzbihan al-Baqli, Ibn ‘Arabi, Jalaluddin Rumi, Fakhrudin ‘Iraqi, Sadrudin al-Qunawi, Abdul Karim al-Jili, dan Abdul Rahman al-Jami (2014: 4).
Ada relevansi yang universal di antara asas-asas pemahaman dalam tiap-tiap hermeneutika sehingga dengan munculnya kembali hermeneutika modern menurut Abdul Hadi W.M. (2014: 5) membangkitkan minat para sarjana Asia untuk merevitalisasi bentuk-bentuk hermeneutika klasik warisan intelektual bangsa mereka. Hal itu serupa dengan model pemahaman dan penafsiran atau ta’wil Ibn ‘Arabi, sufi sekaligus ahli ta’wil terkemuka dari Andalusia yang hidup pada abad ke-12 M. Model tersebut telah banyak digunakan oleh sarjana modern, baik di Eropa maupun di Asia karena relevansinya. Salah satu contohnya adalah Creative Imajination in Sufism of Ibn ‘Arabi (edisi bahasa Inggris, 1969) karya Henry Corbin.
Di samping relevansi universal hermeneutika yang telah dikemukakan sebelumnya, teks yang dijadikan objek bahasan ahli-ahli hermeneutika juga berbeda-beda sehingga melahirkan corak ragam hermeneutika yang berbeda-beda pula.
Hermeneutika pada awal perkembangannya dikenal sebagai gerakan eksegesis di kalangan gereja yang kemudian berkembang menjadi “filsafat penafsiran”. Peran hermeneutika yang paling besar adalah dalam bidang ilmu sejarah dan kritik teks, khususnya kitab suci. Sebagaimana dikemukakan oleh Roger Trig (via Hidayat, 1996: 161), “The Paradigm for hermeneutics is the interpretation of traditional text, where the problem must always be how we can come to understand in our own context something wich was written in a radically different situation.” Hal senada diungkapkan oleh Mircea Eliade (via Hadi W.M., 2014: 23), “Hermeneutika sebagai seni menafsir, yang di dalamnya terdapat tiga komponen penting yang tidak bisa dipisahkan, yaitu teks, penafsir, dan pembaca. Namun, karena terdapat banyak teks yang pada mulanya satu, seperti teks Bibel, pekerjaan menafsir dan menafsir kembali teks menjadi tugas yang berat dan rumit.” Richard E. Palmer (2003: 4) dengan mengutip Webster’s Third New International Dictionary mendefinisikan hermeneutika juga sebagai “studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi, khususnya tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bibel.
Sejarah mencatat bahwa istilah hermeneutika dalam pengertian sebagai “ilmu tafsir” mulai muncul pada abad ke-17. Istilah tersebut dipahami dalam dua pengertian, yaitu hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan hermenutika sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami (Palmer, Terj. Hery, 2003: 8).
Hermeneutika sesuai dengan arti etimologisnya disebut sebagai teori penafsiran, baik terhadap semua ekspresi kebahasaan maupun bukan. Stanford Encyclopedia (2004) mendefinisikannya sebagai teori umum penafsiran yang sejarahnya dapat ditelusuri ke zaman Yunani Kuno. Namun, sejak abad pertengahan di Eropa hingga pertengahan abad ke-18 M hermeneutika dipersempit hanya sebagai cabang kajian Bibel.
Hingga abad ke-18 tokoh-tokoh hermeneutika di Eropa kurang memberikan perhatian pada persoalan estetika dan sastra. Filsuf yang mulai mengemukakan pentingnya sastra sebagai pokok penelitian hermeneutika adalah Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (selanjutnya disebut F.E.D. Schleiermacher, 1768-1834). Pemikirannya menandai babak baru sejarah hermeneutika sekaligus awal kemunculan hermeneutika filsafat. Karena itu, dia dianggap sebagai Bapak Hermeneutika Modern sebab membakukan hermeneutika menjadi metode umum interpretasi yang tidak terbatas pada kitab suci. Kemudian, Wilhelm Dilthey mengembangkan hermeneutika sebagai landasan bagi ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Lalu, Hans-Georg Gadamer mengembangkan hermeneutika menjadi metode filsafat, terutama dalam bukunya yang terkenal Truth and Method. Selanjutnya, hermeneutika lebih jauh dikembangkan oleh para filsuf, seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas, dan Jacques Derrida. Perkembangan hermeneutika ini merambah ke berbagai kajian keilmuan. Ilmu yang terkait erat dengan kajian hermeneutika adalah sejarah, filsafat, hukum, kesusastraan, dan ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan.
Kata hermeneutika (hermeneutics) berasal dari bahasa Yunani, yaitu hermeneutice atau hermeneutikos. Kata hermeneutikos dibentuk dari perkataan hermeneuin yang berarti ‘menafsirkan’. Kata bendanya adalah hermeneia yang berarti ‘penafsiran’ atau ‘interpretasi’ dan hermeneutes yang berarti ‘interpreter’ atau ‘penafsir’. (Webster, 1979: 851).
Kata hermeneuin dihubungkan dengan nama tokoh dalam mitologi Yunani, yaitu Hermes, yang dititahkan oleh Yupiter atau Zeus untuk menyampaikan pesan dari para dewa di kayangan kepada manusia di bumi. Hermes digambarkan sebagai makhluk seperti manusia dengan kaki bersayap. Hal itu melambangkan pesan yang ingin disampaikan, dalam arti sebagai sarana manusia untuk melakukan penerbangan menuju kebenaran yang tempatnya di alam metafisik. Nama Hermes dalam bahasa Latin ialah Mercurius. Dia dipadankan dengan Nabi Enoch dalam tradisi Kristen, sedangkan Sayyid Husein Nasr (1981) menyamakan perannya dengan Nabi Adris, nabi dalam Islam yang pertama kali diperkenankan mi’raj ke langit lapis keempat untuk menerima pesan ketuhanan yang harus disampaikan kepada manusia di bumi (Sumaryono, 1999: 23; Hadi W.M., 2014: 26).
Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari Dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Fungsi Hermes menjadi penting sebab jika terjadi kesalahpahaman dalam menginterpretasikan pesan dewa, akibatnya akan fatal bagi umat manusia. Jika salah mengartikannya, hal itu akan menyebabkan manusia hidup di jalan kesesatan. Untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik, Hermes dituntut menguasai pesan para dewa, terutama berkaitan dengan maksud dan tujuan dari pesan itu, untuk keperluan apa pesan itu disampaikan, serta dalam situasi apa. Agar dapat menyampaikan pesan dewa dengan baik, Hermes harus menguasai bahasa manusia dan mampu mengurai pesan yang harus disampaikan secara artikulatif melalui bahasa yang dikuasainya. Dalam kaitan tersebut, dikatakan pentingnya seorang ahli hermeneutika untuk memperhatikan aspek kesejarahan dan bahasa dari teks atau wacana yang ditafsirkan (Sumaryono, 1999: 24; Hadi W.M., 2014: 27).
Pada masa Yunani Kuno, Aristoteles pun sudah berminat pada penafsiran (interpretasi) dan pernah mengatakan dalam tulisannya Peri Hermeneias (De Interpretatione) bahwa
“Kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak memiliki kesamaan bahasa ucapan dengan yang lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara langsung itu adalah sama untuk semua orang, sebagaimana pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu” (via Sumaryono, 1999: 24).
Istilah hermeneutika berasal dari kata bahasa Inggris hermeneutics dengan huruf s yang merupakan bentuk singular. Dalam transliterasi Indonesia disertakan huruf a sehingga menjadi hermeneutika. Pemilihan istilah hermeneutika, menurut Richard E. Palmer (Terj. Herry, 2003: vii), memiliki keuntungan, antara lain, dapat merujuk pada bidang hermeneutika secara umum; untuk membedakan spesifikasinya, misalnya hermeneutik Hans-Georg Gadamer; untuk membedakannya dengan bentuk adjektif hermeneutik (hermeneutic tanpa huruf s) atau hermeneutis (hermeneutical). Karena “hermeneutik” cenderung terdengar sebagai adjektif, kecuali kalau disertai the atau dengan beberapa modifikasi lain dan karena huruf s (a) memberi kesan “aturan” dan “teori”, Richard E. Palmer menggunakannya pada bentuk yang standar.
Dengan begitu, ada perbedaan penggunaan antara kata hermeneutic (tanpa s menjadi hermeneutik) dan hermeneutics (dengan huruf s menjadi hermeneutika). Istilah pertama dimaksudkan sebagai bentuk kata sifat. jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘ketafsiran’, yaitu menunjuk pada “keadaan” atau sifat yang terdapat dalam satu penafsiran. Istilah kedua (hermeneutics, hermeneutika) merupakan kata benda. Kata tersebut mengandung tiga arti, yaitu 1) ilmu penafsiran; 2) ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan penulis; dan 3) penafsiran yang secara khusus menunjuk pada penafsiran kitab suci (Faiz, 2003: 20).
Hermeneutika selalu berurusan dengan tiga unsur dalam aktivitas penafsirannya, yaitu
(1) tanda, pesan, atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa oleh Hermes; (2) perantara atau penafsir (Hermes); (3) penyampaian pesan itu oleh sang Perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima (Faiz, 2003: 21).
Ketiga unsur tersebut menjadi hal utama dalam hermeneutika, yaitu sifat-sifat teks, alat yang dipakai untuk memahami teks, dan bagaimana pemahaman dan penafsiran itu ditentukan oleh anggapan-anggapan dan kepercayaan-kepercayaan mereka yang menerima dan menafsirkan teks.
Sementara itu, menurut Richard E. Palmer (Terj. Hery, 2003: 15—36), dengan menelusuri kata herme>neuein, orisinalitas kata modern dari hermeneutika dan hermeneutis, mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama proses ini melibatkan bahasa karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses. Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Dewa Hermes itu terkandung dalam tiga bentuk makna dasar dari herme>neuein dan herme>neia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk tersebut menggunakan verba dari herme>neuein sebagai berikut.
Pertama, herme>neuein sebagai to express ‘mengungkapkan’,“to assert ‘menegaskan’, atau to say ‘menyatakan’ terkait dengan fungsi “pemberitahuan” dari Hermes.
Kedua, herme>neuein sebagai to explain ‘menjelaskan’ terkait dengan interpretasi sebagai penjelasan yang menekankan pada aspek pemahaman diskursif. Interpretasi lebih menitikberatkan pada penjelasan daripada dimensi interpretasi ekspresif. Hal yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu, menjelaskan sesuatu, merasionalisasikannya, membuatnya jelas. Seseorang dapat mengekspresikan situasi tanpa menjelaskannya sehingga mengekspresikannya juga merupakan interpretasi serta menjelaskannya merupakan bentuk interpretasi.
Ketiga, herme>neuein sebagai to translate atau to interpret ‘menafsirkan’ merupakan bentuk khusus dari proses interpretatif dasar, yaitu membawa sesuatu untuk dipahami. Dalam konteks ini, seseorang membawa apa yang asing, jauh, dan tak dapat dipahami ke dalam media bahasa seseorang itu sendiri, seperti Dewa Hermes yang menjadi penerjemah atau media antara satu dunia dan dunia yang lain. “Penerjemahan” membuat kita sadar bahwa kata-kata sebenarnya membentuk pandangan dunia, bahkan persepsi-persepsi kita bahwa bahasa adalah perbendaharaan nyata dari pengalaman kultural. Kita eksis di dalam dan melalui media ini sehingga kita dapat melihat melalui penglihatannya.
Ketiga makna tersebut bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja Inggris to interpret. Namun, tiap-tiap makna itu membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi. Tugas interpretasi menurut Richard E. Palmer “harus membuat sesuatu yang kabur jauh dan gelap maknanya menjadi sesuatu yang jelas, dekat, dan dapat dipahami” (Terj. Hery, 2003: 16). Dengan begitu, hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi kemengertian, dengan dua fokus perhatian yang berbeda dan saling berinteraksi, yaitu (1) peristiwa pemahaman teks dan (2) persoalan yang lebih mengarah pada apa pemahaman dan interpretasi itu (Palmer, Terj. Hery, 2003: 8).
Secara lebih luas, hermeneutika didefinisikan oleh Zygmunt Bauman (1978: 7) sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiktif, yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Secara lebih aplikatif, terminologi kata “hermeneutika” ini, menurut F. Budi Hardiman, bisa didefinisikan dalam tiga hal, yaitu
(1) mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan, dan bertindak sebagai penafsir; (2) usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh pembaca; dan (3) pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi ungkapan yang jelas (via Faiz, 2003:22).
Sebagai metode penafsiran, hermeneutika tidak saja berurusan dengan teks yang dihadapi secara tertutup, tetapi juga penafsiran teks itu membuka diri terhadap teks-teks yang melingkupinya. Richard E. Palmer menyebutnya sebagai “mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut”, yakni horison teks, horison pengarang, dan horison pembaca. Alasannya sependapat dengan Fakhruddin Faiz (2003: 11—12) sebagai berikut.
Dengan mempertimbangkan tiga horison tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman ataupun penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang di samping melacak bagaimana suatu teks itu dimunculkan oleh pengarangnya, dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks yang dibuatnya; juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi.
Dalam perkembangannya, hermeneutika mengalami perubahan-perubahan. Kronologi perkembangan pengertian dan pendifinisiannya dengan lengkap diungkapkan oleh Richard E. Palmer dalam bukunya Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heiddeger, and Gadamer (1969), yang diterjemahkan oleh Musnur Hery menjadi Hermeneutika Teori Baru mengenai Interpretasi (2003). Dalam buku tersebut Richard E. Palmer membagi perkembangan hermeneutika menjadi enam kategori, yakni (1) hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, (2) hermeneutika sebagai metode filologi, (3) hermeneutika sebagai pemahaman linguistik, (4) hermeneutika sebagai fondasi dari ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), (5) hermeneutika sebagai fenomenologi dasein, dan (6) hermeneutika sebagai sistem interpretasi.*****
Daftar Pustaka
Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Terj. Ahmad Norma Permata. Yogyakarta: Fajar Pustaka.
Chittick, William C. 2001. Hermeneutika Al-Qur’an Ibnu Al-‘Araby. Yogyakarta: Qalam.
Faiz, Fakhruddin. 2002. Hermeneutika Al-Qur’an. Yogyakarta: Qolam.
________. 2003. Hermeneutika Qur’ani. Cet.III. Yogyakarta: Penerbit Qalam.
Hadi W.M., Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari.
________. 2014. Hermeneutika Sastra Barat & Timur. Jakarta: Sadra Press.
Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj. Musnur Hery. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Permata, Ahmad Norma, dalam Paul Ricoeur. 2003. Filsafat Wacana, Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa, Terj. Musnur Hery. Yogyakarta: Ircisod, Cet.II.
Ricoeur, Paul. 1976. The Interpretation Theori: Discourse and The Surplus Meaning. Forthworth, Texas: The Texas Christian University Press.
________. 1978. The Rule of Metaphore: Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language. Tranlated by Robert Czermy. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
________. 1982. Hermeneutics and the Human Science: Essays on Language, Action, and Interpretation. Editor John B. Thompson. Cambridge: Cambridge University Press.
_________. 2003. dalam Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, Terj. Ahmad Norma Permata. Yogyakarta: Fajar Pustaka.
________. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. Terj. Muhammad Syukri. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Teeuw, A. 1981. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wachid B.S., Abdul. 2008. Gandrung Cinta Tafsir terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdul Wachid B.S.
Penulis adalah penyair yang lulus pendidikan doktoral dari Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Sebelas Maret (UNS) dan menjadi dosen negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Purwokerto.