Cabai, Cabe, dan Cabe-Cabean
CABAI, CABE, DAN CABE-CABEAN
Atikah Solihah
Dalam hikayat lisan masyarakat urban, tersebutlah seorang ibu yang mendapat kunjungan sepasukan anak balita tetangganya. Anak-anak itu tampak sukses membongkar kapal-kapalan yang terpajang di lemari etalase. Si ibu membiarkannya karena kapal-kapalan itu memang mainan bongkar pasang. Tiba-tiba salah seorang anak menceletuk,’’Yuk, kita main cabe-cabean.” Ajakan itu langsung disambut teman-temannya dengan penuh semangat. “Ayo, ayo.!” Dalam sekejap, anak-anak itu berlarian meninggalkan bangkai kapal-kapalan di atas sofa.
Mendengar hal itu, sebenarnya si ibu penasaran apa yang dimaksud anak-anak itu tentang cabe-cabean. Akan tetapi, karena saat itu momentum bekerja dari rumah, ada hal yang membuatnya tidak dapat meninggalkan meja komputernya.
Si Ibu bangkit ketika mendengar keributan di depan rumah. Terdengar suara tinggi dari salah satu anak. “Aku mau main kapal-kapalan lagi.” Ibundanya menjawab dengan ketus. “Ayo, ah. Pulang. Kamu nakal, masa cabe-nya dipetik semua.” Wajah ibundanya cemberut. Tangan ibunda salah satu balita itu penuh dengan cabai segar lengkap dengan daun-daunnya!
Kisah tersebut mungkin tidak sebagaimana yang diharapkan kaum muda perkotaan saat mendengar kata cabe-cabean. Hal itu pun tidak sebagaimana yang diingat perempuan dewasa dari masa kecilnya tentang kata cabe-cabean yang merujuk pada tanaman liar yang dianggap seperti cabai. Dalam konteks hikayat si anak balita tersebut, cabe-cabean ternyata mengacu pada cabai betulan atau cabai asli, berbeda dengan makna reduplikasi dan pengafiksan pada kata kapal-kapalan.
Referen suatu kata memang bisa berkembang, meluas atau menyempit, bergantung pada pemaknaan penutur. Pengembangan kata tersebut tidak hanya berkaitan dengan referen, tetapi juga dapat berupa peluasan bentuk. Setidaknya dalam konteks ini kita mengenal tiga bentuk, cabai, cabe, dan cabe-cabean. Tanpa disadari oleh si balita, mereka telah mengenal pola bentuk dasar yang bereduplikasi dan berafiks dengan dua pemaknaan yang berbeda terlepas dari masalah kebakuan kata.
Pemahaman dan kekayaan kosakata merupakan bagian dari kemahiran berbahasa. Pemahaman ini termasuk dalam membedakan beragam bentuk kata yang merujuk pada dua makna, makna yang terdapat dalam kamus dan makna kontekstual dalam tuturan lisan. Makin kaya seseorang dengan pemahaman berbagai kosakata, makin mudah ia memahami teks lisan dan teks tulis dari beragam disiplin ilmu dan pengetahuan.
Pemahaman kosakata masih tersimpan secara pasif di otak kala takpernah diungkapkan secara lisan atau tulis. Bahkan, perlahan tapi pasti, kata baru yang pernah didengar atau dibaca akan menguap pergi dari memori saat tidak pernah didengar atau diucapkannya lagi.
Sebagai suatu contoh ketika seseorang mendengar kata xenomania dalam suatu seminar. Kalau orang tersebut melewatkan penjelasan pembicara tentang kata itu atau ia tidak segera membuka kamus untuk mengetahui maknanya, kata itu tidak akan bermukim di memorinya. Jika ada salah satu bentuk saja dari kemahiran berbahasa, misalnya dengan membaca penjelasan pada kamus atau mendengarnya kembali dari pembicara lain, atau mengulang kata ini dalam tuturan, kata tersebut sudah mampir dalam memorinya.
Hal yang ingin dijelaskan tentang fenomena tersebut adalah bahwa kemahiran membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara merupakan jalan bagi kita untuk mengabadikan ilmu dan pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa pemahaman kosakata berhubungan erat dengan kemahiran berbahasa seseorang. Cain dan Oakhill (2006) menyampaikan bahwa keterampilan berbahasa yang rendah secara umum juga menunjukkan penguasaan kosakata yang terbatas. Dalam konteks tersebut kosakata menjadi sangat penting dalam pembelajaran berbahasa. Dalam penelitian lain disebutkan bahwa terdapat dua hal mendasar yang memengaruhi seberapa cepat suatu kata dikenali selama seseorang melakukan kemahiran berbahasa tertentu, yaitu kemahiran membaca. Dua hal itu adalah frekuensi kemunculan kosakata dan prediktabilitasnya dari konteks sebelumnya (Rayner dan Sereno: 1994).
Tentu saja ihwal kosakata bukan satu-satunya yang tergambarkan dari kemahiran berbahasa seseorang. Struktur kalimat, pemahaman fonetis bahasa Indonesia, serta kaidah bahasa Indonesia adalah hal lain yang akan tergambarkan dalam kemahiran membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara.
Mari kita bicarakan kembali kata cabai. Dimensi pengetahuan apa yang tergali dari kata cabai? Jika informasi yang dimaksud adalah tentang harga cabai di pasar atau di warung, hal itu merupakan informasi yang dibutuhkan dalam berkomunikasi tataran sintas atau untuk kebertahanan hidup. Pengungkapannya biasanya dengan kaidah yang sederhana. Jika informasi yang dimaksud adalah tentang ungkapan simpati kepada petani cabai yang terkena puso atau gagal panen, hal itu merupakan informasi yang dibutuhkan dalam berkomunikasi tataran sosial. Jika informasi yang dimaksud adalah tentang sistem hidroponik untuk tanaman cabai, hal itu berkaitan dengan informasi yang dibutuhkan dalam berkomunikasi tataran vokasional. Jika informasi yang dimaksud adalah tentang analisis berbagai hasil penelitian tanaman cabai, hal itu merupakan informasi yang dibutuhkan dalam berkomunikasi tataran akademik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa satu topik tertentu diungkapkan dalam berbagai ranah komunikasi. Kalangan masyarakat dari golongan apa pun dapat memperbincangkan cabai sesuai dengan ranah komunikasi yang dipahaminya dan kemahiran berbahasa yang dikuasainya, bahkan bagi seorang balita.
Keragaman topik dan keragaman ranah komunikasi itulah yang terdapat dalam teks instrumen Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Keragaman itu pula yang akan membuka cakrawala pengetahuan seseorang sesuai dengan dunia yang digelutinya. Hal yang diuji bukan tentang pengetahuannya, tetapi bagaimana pengetahuan tersebut dipahami dan direfleksikan dalam kemahiran mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara sesuai dengan penguasaan kebahasaannya. Hal itu selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Widdowson (1978) yang membedakan antara penguasaan aturan atau teori tentang bahasa yang disebut usage dan penggunaan bahasa yang disebut use. Hal itu selaras pula dengan apa yang diungkapkan oleh Saussure yang membedakan istilah langue dan parole dan Chomsky yang membedakannya dengan istilah competence dan performance.
UKBI merupakan instrumen sahih dan standar untuk mengetahui kemahiran berbahasa Indonesia penutur bahasa Indonesia yang meliputi kemahiran mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara serta diiringi dengan pemahaman terhadap kaidah. Dalam nomenklatur UKBI terdapat kata uji. Kata ini mungkin dapat menimbulkan resistensi pada siapa pun. Siapa yang akan dengan senang hati diuji atau dites? Tes atau uji dalam bentuk apa pun biasanya dilakukan karena terdapat pihak lain yang mengharuskannya. Mengapa tes bahasa asing tertentu demikian dikenal oleh pelajar dan mahasiswa Indonesia, bahkan secara umum oleh penutur bahasa Indonesia? Sebuah asumsi menyatakan bahwa hal itu semata-mata karena ada pihak yang mengharuskannya.
Ujian memang identik dengan pengungkapan ketidakmampuan diri yang dianggap sebagai aib bagi peuji. Padahal, jika perspektif itu diubah, orang akan penuh semangat menguji diri, apalagi dalam hal uji kemahiran berbahasa. Setidaknya kita akan mendapat dua kebaikan saat diuji UKBI. Pertama, melalui UKBI seseorang akan mengetahui hal-hal baik tentang kemahiran berbahasanya. Kedua, melalui UKBI seseorang akan mengetahui hal-hal baik yang harus ditingkatkan dalam kemahiran berbahasanya. Penskoran dan pemeringkatan UKBI akan menggambarkan hal itu. Hasil UKBI terpetakan dalam peringkat Terbatas, Marginal, Semenjana, Madya, Unggul, Sangat Unggul, hingga Istimewa. Dengan demikian, hasil uji yang diperoleh dalam UKBI semata-mata berkaitan dengan hal-hal baik bagi kemahiran berbahasa peuji. Tautan yang menginformasikan banyak hal tentang UKBI, tes yang dikembangkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayan, adalah ukbi.kemdikbud.go.id.
Jika pelajar, mahasiswa, guru, dosen, kalangan profesional, pejabat fungsional, pejabat publik, atau masyarakat umum memahami hakikat ini, UKBI akan diposisikan sebagai sesuatu yang harus ada dalam sistem yang berkaitan dengan belajar, kegiatan kebahasaan, peningkatan potensi diri, peningkatan ilmu pengetahuan, pengembangan teknologi, bahkan peningkatan kualitas diri sebagai anak negeri! Teruji lebih terpuji. Teruji UKBI bukti cinta NKRI.
*(Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta dan Pengembang Teknologi Pembelajaran Ahli Muda di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa)
Atikah Solihah
(Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta dan Pengembang Teknologi Pembelajaran Ahli Muda di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa)