Hermeneutika dalam Sistem Interpretasi Paul Ricoeur

Paul Ricoeur termasuk tokoh terdepan hermeneutika modern selain Hans-Georg Gadamer. Dia dilahirkan di Valance, Prancis Selatan pada tahun 1913. Di “Lycee” dia mengenal  filsafat untuk pertama kalinya melalui R. Dalbiez, seorang filosof aliran pemikiran Thomistis. Pada tahun 1933 Paul Ricoeur memperoleh gelar “Licence de Philosophie”. Selanjutnya, pada tahun 1935 ia memperoleh “Agregation de Philosophie” dari Universitas Sorbonne dan gelar “Docteur des Letters” (Doktor Bidang Kesusastraan) di tahun 1950. Paul Ricoeur diangkat menjadi profesor filsafat di Universitas Sorbonne pada tahun 1956, tetapi pada tahun 1966 dia memilih menjadi dosen di Nanterre, perluasan dari Universitas Sorbonne. Selain itu, Paul Ricoeur juga menjadi profesor tamu pada Universitas Chicago di tahun 1973. Pada periode ini dia banyak menggeluti masalah filsafat bahasa dan masuk lebih dalam pada dialog tentang hermeneutika. La Metaphore Vive adalah buku karya Paul Ricoeur yang terbit tahun 1975. Dalam buku itu dia banyak menganalisis tentang “pengoperasian” metafora sehingga menjadi lebih hidup (Sumaryono, 2003:103—104).

Hermeneutika modern yang diasaskan oleh Paul Ricoeur merupakan kelanjutan dari proyeksi F.E.D. Schleiermacher tentang bahasa. Dia menyatakan bahwa bahasa identik dengan pikiran. Anthony Thiselton berpendapat bahwa bahasa pertama-tama adalah the locus of meaning alias wadah makna-makna. Setiap makna yang dijumpai dalam wacana tulis senantiasa memiliki konteks dengan kenyataan di luar bahasa. Pandangan ini merujuk pada hermeneutika Paul Ricoeur. Dalam bukunya The Rule of Metaphore (1978) Paul Ricoeur sendiri memandang bahwa pemahaman dan penafsiran bukanlah semata kegiatan yang berkenaan dengan bahasa, melainkan juga sebagai tindakan pemaknaan dan penafsiran. Tidak ada orang membaca sebuah teks dengan maksud memahami isinya yang tidak melakukan penafsiran dan pemaknaan selama proses pembacaan berlangsung (Hadi W.M., 2014:55-56).

Dengan mengutip Nietzsche, Paul Ricoeur menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi. Bila terdapat pluralitas makna, maka di situ interpretasi dibutuhkan. Apalagi jika simbol-simbol dilibatkan, interpretasi menjadi penting sebab terdapat makna yang multilapis. Paul Ricoeur mengatakan bahwa keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi terhadap interpretasi. Oleh karena itu, filsafat pada dasarnya adalah sebuah hermeneutik, yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna. Setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam makna kesusastraan (Sumaryono, 2003:105).

Simbol membuat kita sebagai pembaca berpikir sehingga simbol itu sendiri menjadi kaya makna dan kembali kepada maknanya yang asli. Demikian pandangan Paul Ricoeur yang kemudian mengarahkan filsafatnya kepada hermeneutika, terutama pada interpretasi, yaitu penafsiran dan pemahaman terhadap teks (textual exegesis).

Dalam perspektif kedua tokoh hermeneutika kontemporer, Paul Ricoeur dan Emilio Betti yang mewakili tradisi hermeneutika metodologis,hermeneutika adalah kajian untuk menyingkap makna objektif dari teks-teks yang memiliki jarak, ruang, dan waktu dari pembaca. Namun, sebagaimana Hans-Georg Gadamer yang mewakili tradisi hermeneutika filosofis, Paul Ricoeur juga menganggap bahwa seiring perjalanan waktu niat awal dari penulis sudah tidak lagi digunakan sebagai acuan utama dalam memahami teks. (Permata, dalam Ricoeur, Terj. Hery, 2003:203).

Melalui bukunya yang berjudul De l’interpretation (1965), Paul Ricoeur mendefinisikan hermeneutika bukan saja sebagai interpretasi terhadap simbol-simbol, melainkan memperluasnya menjadi perhatian kepada teks. Dalam pemikiran Paul Ricoeur, hermeneutika merupakan teori mengenai aturan-aturan penafsiran, yaitu penafsiran terhadap teks tertentu, tanda, atau simbol yang dianggap sebagai teks (Ricoeur, Terj. Syukri, 2006:57). Apa yang kita ucap atau tulis mempunyai makna lebih dari satu bila kita hubungkan dengan konteks yang berbeda Karakter ini oleh Paul Ricoeur disebut sebagai “polisemi”.

Menurut Paul Ricoeur, tugas utama hermeneutik , ialah di satu pihak mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks dan di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar serta memungkinkan ‘hal’-nya teks itu muncul ke permukaan ( Sumaryono, 1999:107). Untuk keperluan tersebut, hermeneutika merangkum banyak disiplin ilmu yang berkaitan dengan penafsiran dan pemahaman.

Sebagai bangunan teori, hermeneutika Paul Ricoeur dibangun berdasarkan tiga pilar penting, yaitu

Pertama, filsafat eksistensialisme Gabriel Marcel, Karl Jaspers, dan Martin Heidegger, hermeneutika dikaitkan dengan dorongan kodrati manusia untuk meng-“ada” atau bereksistensi melalui bahasa yang terjelma menjadi filsafat, ilmu pengetahuan, agama, seni, kebudayaan, sastra, dan lainnya. Kedua, dasar-dasar filsafat tentang eksistensialisme itu dipadukan oleh Paul Ricoeur dengan fenomenologi Edmund Gustav Albrecht Husserl. Ketiga, panduan dua arus besar pemikiran modern itu diperkuat oleh pemikiran Paul Ricoeur sendiri tentang arkeologi dan eskatologi. Jika hermeneutika Martin Heidegger dibangun atas prinsip artikulasi dasein (ada di sana) dan das sein (wujud), hermeneutika Paul Ricoeur dibangun atas pemikiran bagaimana “aku yang berpikir” (cogito) harus meng-“ada” untuk mengatasi pemikiran yang idealistik, subjektif, dan solipsistik (Hadi W.M., 2014:57).

Salah satu modus meng-“ada” manusia ialah mencari penjelasan dan pandangan yang memuaskan tentang segala sesuatu melalui bahasa. Melalui bahasa, manusia dapat menemukan pandangan-pandangan dan penjelasan-penjelasan tentang semua bentuk realitas yang seringkali berbahaya jika tidak disikapi dengan benar dan arif. Untuk keperluan itu, simbol-simbol yang hadir dalam kehidupan tempat kita berpartisipasi di dalamnya, seperti ilmu, pemikiran, keagamaan, mitologi, adat, seni, dan sastra harus dapat ditafsirkan kembali untuk memperoleh makna baru yang lebih segar. Tanpa penafsiran dan pemahaman yang segar, simbol-simbol dan kebudayaan akan mengalami proses pendangkalan dan penyempitan arti. Karena itu, Paul Ricoeur menyatakan bahwa hermeneutika yang sebenarnya ialah penafsiran untuk menyingkap makna batin simbol-simbol dengan menyebrangi makna lahir atau formalnya (Hadi W.M., 2014:60).

Paul Ricoeur mengalamatkan penafsiran kepada tanda atau simbol yang dianggap sebagai teks. Yang dimaksud dalam hal ini adalah interpretasi atas ekspresi-ekspresi kehidupan yang ditentukan secara linguistik (Bleicher, Terj. Permata, 2003:347). Hal itu karena seluruh aktivitas kehidupan manusia berurusan dengan bahasa, bahkan semua bentuk seni yang ditampilkan secara visual pun diinterpretasi dengan menggunakan bahasa. Paul Ricoeur menyatakan bahwa manusia pada dasarnya merupakan bahasa dan bahasa itu sendiri merupakan syarat utama bagi pengalaman manusia (Sumaryono, 1999:107). Oleh karena itu, hermeneutika adalah cara baru bergaul dengan bahasa dan penafsir bertugas untuk mengurai keseluruhan rantai kehidupan dan sejarah yang bersifat laten di dalam bahasa.

Sumaryono (1999:108) berpendapat bahwa bahasa dinyatakan dalam bentuk simbol dan pengalaman yang dibaca melalui pernyataan atau ungkapan simbol-simbol. Paul Ricoeur memaknai simbol secara lebih luas daripada para pengarang yang bertolak dari retorika Latin atau tradisi neo-Platonik yang mereduksi simbol menjadi analogi. Kata Paul Ricoeur:

“Saya mendifinisikan ‘simbol’ sebagai struktur penandaan yang di dalamnya sebuah makna langsung, pokok atau literer menunjuk kepada, sebagai tambahan, makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif dan yang dapat dipahami hanya melalui yang pertama” (Bleicher, 2003: 376).

Paul Ricoeur dalam Sumaryono (1999: 106) menegaskan bahwa setiap kata adalah sebuah simbol. Kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Tidak hanya kata-kata di dalam karya sastra, tetapi kata-kata dalam bahasa keseharian juga merupakan simbol-simbol. Hal itu menggambarkan makna lain yang sifatnya tidak langsung karena terkadang ada yang berupa bahasa kiasan yang semuanya itu hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol. Simbol dan interpretasi merupakan konsep yang mempunyai pluralitas makna yang terkandung di dalam simbol atau kata-kata dalam bahasa. Setiap interpretasi adalah upaya untuk membongkar makna yang terselubung. Dalam konteks karya sastra, setiap interpretasi ialah usaha membuka lipatan makna yang terkandung di dalam karya sastra. Oleh sebab itu, hermeneutik bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut. Hal itu senada dengan pendapat Paul Ricoeur yang mengatakan bahwa hermeneutik membuka makna yang sesungguhnya sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol-simbol (Sumaryono, 1999:105; Bleicher, 2003: 376; Montefiore, 1983:192).

Paul Ricoeur juga merasa penting meletakkan peranan metafora dan simbol di tempat sentral dalam penafsiran sastra karena pemahaman tentang dua konsep kunci penuturan puitis itu berkaitan dengan perluasan teori penafsiran dan konsep pemahaman. Metafora seringkali hanya dipandang sebagai ornamentasi, tetapi Paul Ricoeur memandangnya lebih dari sekadar ornamentasi. Paul Ricoeur dalam Hadi W.M. (2014:62) berpendapat bahwa metafora dalam dirinya memiliki nilai lain, yaitu nilai emotif yang memungkinkan ia mengatakan “sesuatu yang baru” tentang realitas. Meskipun memiliki nilai tambah, metafora cenderung mati dan tidak segar lagi dalam penuturan yang disebabkan oleh proses seperti pendangkalan dan pemiskinan arti.

Simbol berbeda dari metafora. Simbol lebih kompleks dan kaya muatan nilainya. Menurut Paul Ricoeur, simbol mengandung dua dimensi, yaitu dimensi yang terikat pada aturan linguistik dan dimensi yang tidak terikat pada aturan kebahasaan. Yang pertama, simbol dapat dikaji melalui semantik. Yang kedua,  simbol cenderung asimilatif berakar dalam pengalaman kita yang terbuka terhadap berbagai metode yang berbeda bagi penyingkapan makna. Simbol dapat dikaji melalui berbagai disiplin, seperti psikoanalisis, arkeologi, eskatologi, sejarah perbandingan agama, dan mistisisme (Hadi W.M., 2014:63).

Simbol menanam akarnya sedemikian dalam pada konstelasi kehidupan. Simbol juga dapat membimbing kita untuk berpikir bahwa dia tidak pernah mati. Simbol bisa ditransformasikan dengan berbagai cara sehingga selamanya terasa segar, apalagi di tangan seorang sastrawan dan seniman yang kreatif, kaya gagasan, pengalaman batin, dan imajinasi.

Penafsiran terhadap teks tertentu, tanda, atau simbol yang dianggap sebagai teks ini menempatkan kita harus memahami “What is a text?”. Dalam sebuah artikelnya, Paul Ricoeur mengatakan bahwa teks adalah “any discourse fixed by writing” (Ed. Thomson, 1982:145; Terj. Syukri, 2006:196). Dengan istilah “discourse” ini, Paul Ricoeur merujuk kepada bahasa sebagai event, yaitu bahasa yang membicarakan sesuatu, bahasa yang di saat ia digunakan untuk berkomunikasi. Sementara itu, teks merupakan sebuah korpus yang otonom yang dicirikan oleh empat hal berikut ini (Permata dalam Ricoeur, 2003:217-220)..

Pertama, dalam sebuah teks makna yang terdapat pada apa yang dikatakan (what is said) terlepas dari proses pengungkapannya (the act of saying), sedangkan dalam bahasa lisan kedua proses itu tidak dapat dipisahkan.

Kedua, dengan demikian makna sebuah teks juga tidak lagi terikat kepada pembicara, sebagaimana bahasa lisan. Apa yang dimaksud teks tidak lagi terkait dengan apa yang awalnya dimaksudkan oleh penulisnya. Bukan berarti bahwa penulis tidak lagi diperlukan. Akan tetapi, maksud penulis sudah terhalang oleh teks yang sudah membaku.

Ketiga, karena tidak terikat pada sebuah sistem dialog, maka sebuah teks tidak lagi terikat kepada konteks semula (ostensive reference). Ia tidak terikat pada konteks asli dari pembicaraan. Apa yang ditunjuk oleh teks, dengan demikian adalah dunia imajiner yang dibangun oleh teks itu sendiri, dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungannya dengan teks-teks yang lain.

Keempat, dengan demikian juga tidak lagi terikat kepada audiens awal, sebagaimana bahasa lisan terikat kepada pendengarya. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu, melainkan kepada siapa pun yang bisa membaca dan tidak terbatas pada ruang dan waktu. Sebuah teks membangun hidupnya sendiri karena sebuah teks adalah sebuah monolog.

Lalu, bagaimanakah interpretasi itu dapat dilakukan? Interpretasi dalam perspektif Paul Ricoeur adalah karya pemikiran yang terdiri atas penguraian makna tersembunyi (sens cache) dari makna yang terlihat (sens apparent) pada tingkat makna yang tersirat di dalam makna literer. Simbol dan interpretasi menjadi konsep yang saling berkaitan. Interpretasi muncul di saat makna jamak berada dan di dalam interpretasilah pluralitas makna termanifestasikan (Bleicher, 2003: 376).

Menurut Paul Ricoeur, interpretasi dilakukan dengan perjuangan melawan distansi kultural, yaitu penafsir harus mengambil jarak agar dia dapat melakukan interpretasi dengan baik. Namun, yang dimaksud Paul Ricoeur dengan “distansi kultural” itu tidaklah steril dari “anggapan-anggapan”. Selain itu, yang dimaksud dengan “mengambil jarak terhadap peristiwa sejarah dan budaya” tidak berarti seseorang bekerja dengan “tangan kosong” (Sumaryono, 1999:106). Posisi pembaca bekerja tidak dengan “tangan kosong” ini seperti halnya posisi karya sastra itu sendiri yang tidak dicipta dalam keadaan kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11). Akan tetapi, seorang pembaca atau penafsir itu masih membawa sesuatu yang oleh  Martin Heidegger disebut vorhabe (apa yang dia miliki), vorsicht (apa yang dia lihat), dan vorgriff (apa yang akan menjadi konsepnya kemudian). Hal itu artinya, seseorang dalam interpretasi tidaklah dapat menghindarkan diri dari prasangka (Sumaryono, 1999:107).

Memang setiap kali kita membaca suatu teks, kita tidak dapat menghindar dari prasangka yang dipengaruhi oleh kultur masyarakat, tradisi yang hidup dari berbagai gagasan. Walaupun begitu, menurut Paul Ricoeur, sebuah teks harus kita tafsirkan dalam bahasa yang tidak pernah tanpa pengandaian dan diwarnai dengan situasi kita sendiri dalam kerangka waktu yang khusus (Sumaryono, 1999:108). Oleh karena itu, sebuah teks selalu berdiri di antara penjelasan struktural dan pemahaman hermeneutika yang saling berhadapan. Penjelasan struktural bersifat objektif, sedangkan pemahaman hermeneutika memberi kesan kita subjektif.

Dikotomi antara objektivitas dan subjektivitas ini oleh Paul Ricoeur diselesaikan dengan sistem bolak-balik, yakni penafsir melakukan pembebasan teks (dekontekstualisasi) dengan maksud untuk menjaga otonomi teks ketika penafsir melakukan pemahaman terhadap teks; kemudian melakukan langkah kembali ke konteks (rekontekstualisasi) untuk melihat latar belakang terjadinya teks, atau semacamnya. Dalam perspektif Paul Ricoeur, dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi itu bertumpu pada otonomi teks. Sementara itu, otonomi teks ini ada tiga macam, yaitu (1) intensi atau maksud pengarang (teks), (2) situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks (konteks), dan (3) untuk siapa teks itu dimaksud (kontekstualisasi) (Sumaryono, 1999:109; Faiz, 2003:12). Atas dasar otonomi teks itu, dekontekstualisasi yang dimaksud adalah bahwa materi teks melepaskan diri dari cakrawala yang terbatas dari pengarangnya. Selanjutnya, teks tersebut membuka diri terhadap kemungkinan dibaca dan ditafsirkan secara luas oleh pembaca yang berbeda-beda. Inilah yang dimaksud dengan rekontekstualisasi (Faiz, 2003:12).

Dengan “sistem bolak-balik” itu, seorang hermeneut harus melakukan pembacaan dari dalam teks, tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Oleh karena itu, menurut Paul Ricoeur, untuk berhasil melakukan pembacaan dari dalam, dia harus dapat menyingkirkan distansi yang asing, harus dapat mengatasi situasi dikotomis, serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam antara aspek-aspek subjektif dan objektif. Hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan cara membuka diri terhadap teks. Hal ini berarti kita mengizinkan teks memberikan kepercayaan kepada diri kita (Sumaryono, 1999:110). Yang dimaksud dengan “membuka diri terhadap teks” adalah proses meringankan dan mempermudah isi teks dengan cara menghayatinya. Mengapa demikian? Hal itu disebabkan oleh hal berikut ini.

Dalam interpretasi terhadap teks, kita tidak perlu bersitegang dan bersikap seakan-akan menghadapi teks yang beku, tetapi kita harus dapat ‘membaca ke dalam’ teks itu. Kita juga harus mempunyai konsep-konsep yang kita ambil dari pengalaman-pengalaman kita sendiri yang tidak mungkin kita hindarkan keterlibatannya sebab konsep-konsep ini dapat kita ubah atau disesuaikan tergantung pada kebutuhan teks. Namun, di sini kita juga masih berkisar pada teks sekali pun dalam interpretasi kita juga membawa segala kekhususan ruang dan waktu kita (Sumaryono, 1999:110).

Cara-cara tersebut sesungguhnya berujung kepada tugas utama hermeneutika, yakni memahami teks. Pada umumnya, para hermeneut membedakan antara pemahamanpenjelasan, dan interpretasi, sekaligus ada sirkularitas antara ketiganya. Tentang sirkularitas ini, Paul Ricoeur mengatakan

“Engkau harus memahami untuk percaya dan percaya untuk memahami.” Namun, buru-buru Paul Ricoeur menegaskan bahwa

“... lingkaran tersebut hanya semu saja sebab tidak ada satu pun  hermeneut yang pada kenyataannya mau mendekatkan diri pada apa yang dikatakan oleh teks jika ia tidak menghayati sendiri suasana makna yang ia cari. Hermeneut harus menggumuli interpretasinya sendiri, ia harus mulai dengan pengertian yang seakan-akan ‘masih mentah’ sebab jika tidak demikian ia tidak akan mulai melakukan interpretasi” (Sumaryono, 1999:111).

Bagaimanakah langkah-langkah pemahaman terhadap teks? Melalui bukunya, The Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (1976), Paul Ricoeur menjelaskan bahwa langkah pemahaman yang berlangsung mulai dari penghayatan terhadap simbol-simbol sampai ke tingkat gagasan tentang berpikir dari simbol-simbol itu ada tiga, yaitu (1) langkah simbolik atau pemahaman dari simbol-simbol; (2) pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna; (3) langkah filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik-tolaknya (Ricoeur, Terj. Hery, 2003:162-164; Sumaryono, 1999:111; Faiz, 2003:36).

Ketiga langkah tersebut erat hubungannya dengan langkah pemahaman bahasa, yakni langkah semantik, refleksif, dan eksistensial atau ontologis. Langkah semantik merupakan pemahaman pada tingkat bahasa yang murni; pemahaman refleksif setingkat lebih tinggi, mendekati ontologis; sedangkan pemahaman eksisitensial atau ontologis adalah pemahaman pada tingkat keberadaan makna itu sendiri. Paul Ricoeur menegaskan bahwa pemahaman itu pada dasarnya terdiri atas cara berada (mode of being) atau cara menjadi (Bleicher, 2003:374-393; Sumaryono, 1999:111). Namun, bagaimana pernyataan Paul Ricoeur ini dapat diterima sebab pemahaman hanya dapat terjadi pada tingkat pengetahuan dan cara pemahaman selalu mendapat bantuan dari pengetahuan?

Tentang pendapat Paul Ricoeur yang menyatakan bahwa pemahaman merupakan cara berada atau cara menjadi dan bukan cara mengetahui atau cara memperoleh pengetahuan ini, Paul Ricoeur hanya ingin menyentakkan kesadaran kita bahwa hermeneutika adalah sebuah metode yang sejajar dengan metode di dalam sains. Dia tidak berkehendak memperlakukan metode hermeneutika ini dengan kaku dan terstruktur sebagaimana terdapat dalam ilmu ilmiah lainnya. Mengapa demikian? Bagi Paul Ricoeur, sebab pemahaman adalah salah satu aspek ‘proyeksi Dasein’ (proyeksi manusia seutuhnya) dan keterbukaannya terhadap being. Dengan begitu, pertanyaan tentang kebenaran bukan lagi menjadi pertanyaan tentang metode, melainkan pertanyaan tentang pengejawantahan being untuk being yang eksistensinya terkandung di dalam pemahaman terhadap being. Hal itu disebabkan oleh kita memahami manusia dari segala aspek yang dia miliki, manusia seutuhnya, manusia sebagai Dasein: sejarahnya, cara hidupnya, cita-citanya, gaya penampilan, keburukannya, serta segala sesuatu yang membuatnya menjadi khas. Oleh sebab itu, kita memahami manusia sebagaimana dia menjadi (Sumaryono, 1999:111-112; Bleicher, 2003:365-374).

Dalam hal ini, hermeneutika tatkala memahami manusia dan hasil kerja budayanya, termasuk di dalamnya kesusastraan dilakukan melalui jalan interpretasi. Namun, apakah setiap orang dapat mencapai pemahaman pada tingkat tertinggi sebagaimana korespondensi satu lawan satu antara penafsir dan sasarannya? Pemahaman tersebut memang terlalu ideal dan sulit dijangkau oleh ilmu-ilmu alamiah sekali pun. Ada perbedaan antara seorang pakar bidang sains dan seorang hermeneut dalam memahami sesuatu. Seorang pakar bidang sains berhenti pada kasus yang dia terangkan sebagai suatu fakta atau peristiwa dan dia bergantung kepada diagram ilmiah untuk memberikan penjelasannya. Sementara itu, seorang hermeneut memahami sesuatu tanpa harus ada penjelasan yang terikat kepada diagram ilmiah tertentu sebab dia mempergunakan metode interpretasi (Sumaryono, 1999:111-112).

Bagaimanakah langkah pemahaman terhadap teks itu diimplemantasikan kepada teks sastra? Dalam buku Paul Ricoeur lain yang berjudul The Rule of Mataphor(1977), dia menegaskan bahwa setiap teks berbeda komponen dan struktur bahasa atau semantiknya. Oleh karena itu, dalam memahami teks diperlukan proses hermeneutik yang berbeda pula. Apalagi yang dihadapi adalah teks sastra, hermeneut harus mampu membedakan antara bahasa puitik yang bersifat simbolik dan metaforikal dibandingkan dengan bahasa diskursif nonsastra yang tidak simbolik. Perlakuan pemaknaan teks sastra yang berbeda dengan teks lainnya itu diakibatkan oleh bahasa sastra yang memiliki kekhasan dan ciri utamanya dapat dikenali pada kutipan berikut ini (Hadi W.M., 2004:91; dan 2014:60-61).

Pertama, bahasa sastra dan uraian falsafah bersifat simbolik, puitik, dan konseptual. Di dalamnya berpadu makna dan kesadaran. Kita tidak dapat memberi makna referensial terhadap karya sastra dan falsafah sebagaimana dilakukan terhadap teks yang menggunakan bahasa penuturan biasa. Bahasa  sastra menyampaikan makna secara simbolik melalui citraan-citraan dan metafora yang diserap oleh indra. Sementara itu, bahasa bukan sastra yang berusaha menjauhkan bahasa atau kata-kata dari dunia makna yang luas.

Kedua, dalam bahasa sastra pasangan rasa dan kesadaran menghasilkan objek estetik yang terikat pada dirinya. Penandaan harus dilakukan dan tanda harus diselami maknanya, tidak dapat dibaca secara sekilas lintas. Tanda dalam bahasa simbolik sastra mesti dipahami sebagai sesuatu yang mempunyai peran konotatif, metaforikal, dan sugestif.

Ketiga, bahasa sastra dalam kodratnya memberikan pengalaman fictionalsuatu pengalaman yang pada hakikatnya lebih kuat dalam menggambarkan ekspresi kehidupan. Oleh karena itu, bahasa sastra yang puitis tidak memberi kemungkinan bagi pembaca untuk mengalami dan memahami secara langsung apa yang disajikan. Berdasarkan kenyataan ini, kegiatan hermeneutik diperlukan.

Setiap teks memiliki komponen, struktur bahasa, dan semantik yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam upaya interpretasi teks diperlukan proses hermeneutik yang berbeda-beda pula. Namun demikian, menurut Paul Ricoeur prosedur hermeneutikanya secara garis-besar dapat diberikan sebagai berikut (Hadi W.M., 2014:61-62).

Pertama, teks harus dibaca dengan kesungguhan, menggunakan symphatic imagination (imajinasi yang penuh rasa simpati).

Kedua, penta’wil mesti terlibat dalam analisis struktural mengenai maksud penyajian teks, menentukan tanda-tanda (dilal) yang terdapat di dalamnya sebelum dapat menyingkap makna terdalam dan sebelum menentukan rujukan serta konteks dari tanda-tanda signifikan dalam teks. Barulah kemudian penta’wil memberikan beberapa pengandaian atau hipotesis.

Ketiga, penta’wil mesti melihat bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan makna dan gagasan dalam teks itu merupakan pengalaman tentang kenyataan nonbahasa.

Akhirnya, apakah interpretasi mempunyai titik akhir? Paul Ricoeur dalam Sumaryono (1999:113-114) menjawabnya bahwa interpretasi selalu bersifat open-ended sebab jika kita memperoleh titik akhir dari suatu interpretasi, hal ini berarti ‘pemerkosaan’ terhadap interpretasi. Hermeneutika harus menempatkan peristiwa yang tersituasi beserta cakrawalanya dalam konteks yang semestinya. Hermeneutika harus mampu memisahkan mana yang seharusnya masuk dalam cara pemahamannya dan mana yang seharusnya disingkirkan dari konsep-konsep yang populer atau yang hanya khayalan saja. Penafsir harus waspada terhadap berbagai macam prasangka atau pendewaan terhadap akal pikiran.


Daftar Pustaka

Bauman, Zygmunt. 1978. Hermeneutics and Social Science. New York: Columbia University Press.

Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Terj. Ahmad Norma Permata. Yogyakarta: Fajar Pustaka.

Chittick, William C. 2001. Hermeneutika Al-Qur’an Ibnu Al-“Araby. Yogyakarta: Qalam.

Faiz, Fakhruddin. 2002. Hermeneutika Al-Qur’an. Yogyakarta: Qolam.

________. 2003. Hermeneutika Qur’ani. Cet.III. Yogyakarta: Qalam.

Hadi W.M., Abdul. 2001. Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Penerbit Paramadina.

________. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari.

________. 2014. Hermeneutika Sastra Barat & Timur. Jakarta: Sadra Press.

Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terj. Musnur Hery. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ricoeur, Paul. 2003. Filsafat Wacana, Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Terj. Musnur Hery. Yogyakarta: Ircisod.

Ricoeur, Paul. 1976. The Interpretation Theory: Discourse and The Surplus Meaning. Forthworth, Texas: The Texas Christian University Press.

________. 1978. The Rule of Metaphore: Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language. Tranlated by Robert Czermy. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.

________. 1982. Hermeneutics and The Human Science: Essays on Language, Action, and Interpretation. Editor John B. Thompson. Cambridge: Cambridge University Press.

________. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. Terj. Muhammad Syukri. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Seung, T.K. 1982. Semiotics and The Thematics in Hermeneutics. New York: Columbia University Press.

Sumaryono, E. 1999. HermeneutikaSebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Teeuw, A. 1983. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wachid B.S., 2008. Gandrung Cinta Tafsir terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah penyair, lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS), dan menjadi dosen negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa