Kritik Sastra Ramah Lingkungan

1/

Sudah sama-sama kita ketahui, ada tiga unsur penting di dalam sastra: pengarang, karya, dan pembaca. Pengarang adalah orang yang membuat karangan (puisi, prosa, atau drama);  karya adalah karangan yang dibuat pengarang; dan pembaca adalah orang yang membaca karangan yang dibuat si pengarang.

Juga sudah sama-sama kita ketahui, karya dibuat untuk dibaca. Setelah jadi, karya tadi disiarkan lewat media tertentu, dalam wujud tertentu. Sejak disiarkan, karya itu lepas dari pengarangnya. Ia berdiri sendiri, berjalan sendiri, menjalani hidup dan nasibnya sendiri.

Kita bayangkan, karya tadi—misalnya dalam wujud buku—menempuh perjalanan panjang sampai akhirnya  singgah di toko buku. Ada orang yang tertarik dan ingin membaca, kemudian membeli buku itu. Orang itulah yang kita sebut pembaca. Tentu, tidak semua orang mendapat buku dengan cara membeli; ada juga yang mendapatkannya sebagai hadiah.

Setelah karya sampai ke tangan pembaca, tiga unsur yang tadi disebut sekarang tinggal dua: karya dan pembaca.

Karya dalam wujud buku bisa tampil dalam format berbeda-beda: hard cover atau soft cover dengan isi kertas fotokopi atau kertas koran. Buat sebagian orang, wujud fisik yang bermacam-macam itu tidak menjadi masalah besar; yang penting isinya. Format yang bermacam-macam tadi dianggap satu.

Adapun pembaca tidak satu, tapi bermacam-macam. Ada pembaca yang hanya ingin membaca, ada yang setelah membaca ingin atau harus membuat tanggapan atas apa yang dibacanya. Meskipun jumlahnya pasti lebih banyak, kita tinggalkan pembaca yang hanya ingin membaca—yang sering disebut pembaca pasif. Yang akan kita bicarakan adalah pembaca aktif, pembaca yang setelah membaca ingin atau harus membuat tanggapan.

Tanggapan pembaca terhadap bacaan sekurang-kurangnya ada dua macam: lisan dan tulisan. Yang lisan bisa berupa ceramah, pembicaraana dalam seminar atau konferensi (mungkin dilengkapi salindia teks dalam format Word atau Power Point); sedangkan yang tulisan bisa berupa resensi, pengantar atau penutup buku, skripsi, telaah jurnal, penilaian sayembara, atau artikel media massa. 

Resensi biasanya berkaitan dengan buku yang baru terbit. Resensi ditulis oleh orang yang membeli buku dan terkesan pada isinya, lalu menulis komentar terhadap buku itu. Sering juga terjadi, resensi ditulis sebagai permintaan penerbit atau pengarang. Tujuannya agar terbitnya buku itu diketahui pembaca sehingga kemudian dibeli. Semacam iklan, begitu. Oleh karena itu, kebanyakan resensi berisi puji-pujian, baik terhadap buku atau pengarangnya, kadang juga terhadap penerbitnya.

Pengantar atau penutup buku biasanya ditulis oleh pembaca ahli atas pemintaan pengarang atau penerbit dan dijadikan bagian buku yang bersangkutan. Isinya bisa berupa tanggapan kritis yang tidak hanya memuji-muji.

Skripsi adalah karya tulis mahasiswa S-1 di akhir masa kuliah yang dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan. Mirip dengan itu adalah tesis dan disertasi mahasiswa S-2 dan S-3—dengan tingkat kesulitan dan mutu di atas skripsi.

Telaah jurnal adalah tulisan hasil penelitian (tugas atau obsesi pribadi) yang dipublikasikan melalui jurnal atau majalah ilmiah untuk mencari angka kredit atau untuk pengembangan ilmu. Adapun artikel media massa biasanya disusun seorang penulis (bisa akademisi, sastrawan, atau bahkan awam) yang merupakan tanggapan atau telaah populer terhadap satu atau beberapa karya. Lebih dari resensi, artikel media massa (terutama cetak) semacam ini biasanya lebih mendalam.

Tanggapan-tanggapan tadi, baik yang lisan atau tulisan, bisa bernilai apresiasi, bisa juga bernilai kritik, tergantung pada maksud penulisnya. Dalam pembicaraan ini kita abaikan penjenisan itu; kita anggap semua tanggapan itu sebagai kritik.

Yang jelas, kritik ada karena dibuat setelah orang membaca karya. Kritik sastra tidak diciptakan dari ketiadaan, tapi diilhami oleh karya sastra yang lahir sebelumnya. Dengan kata lain, ia karya juga. Jadi, yang semula tiga jadi dua, sekarang jadi tiga lagi, tapi dengan komposisi yang berbeda. Kalau semula pengarang—karya—pembaca, sekarang karya—pembaca—karya. Yang pertama karya sastra, yang kedua karya kritik: yang dibahas dan yang membahas.

 

2/

Kritik bagai pisau bermata dua. Ia menolong pembaca sekaligus membantu pengarang. Bagi pembaca, terutama pembaca awam, kritik berguna karena bisa menolong membangun pemahaman yang lebih baik daripada hanya membaca karya sastranya. Pertolongan semacam itu tidak hanya dirasakan oleh pembaca awam, tapi juga oleh pembaca yang—karena minat atau keharusan menekuni karya sastra, misalnya mahasiswa dan dosen program studi sastra.

Bagi pengarang, kritik membantu untuk memperoleh pengetahuan bagaimana orang membaca dan memaknai karya mereka. Apakah pembaca menangkap apa yang ingin dia sampaikan atau justru melebihi harapan yang dibayangkan. Bisa jadi, kritik sastra bukan saja menangkap, tetapi bahkan memberi pemahaman yang sama sekali lain dari yang dipikirkan atau dimaksudkan oleh si pengarang. Hasil pembacaan si pembaca yang dituliskan itu ternyata lebih kaya dari maksud pengarangnya.

Kalau kritik itu juga membahas hal-hal teknis menyangkut cara penulisan karya yang bersangkutan, si pengarang seperti diberi tahu bahwa teknik menulis yang digunakannya mengandung kelemahan atau kekuatan tertentu. Hal ini penting untuk bekal penulisan karya berikutnya.

 

3/

Menurut sebagian ahli, kritik adalah penilaian baik atau buruk (bisa juga kuat atau lemah) karya sastra—dari segi isi maupun gaya penyajiannya. Sebagai penilaian baik-buruk atau lemah kuat karya sastra, kritik sastra pasti (atau seyogyanya) ditulis oleh orang yang paham tentang apa yang dikritik. Lalu, siapa yang boleh atau harus menulis kritik sastra?

Ada tiga pihak yang bisa kita curigai paham karya sastra: pengarang, akademisi sastra, dan pembaca yang bukan sastrawan dan bukan akademisi—yang kita sebut saja pembaca kritis. Masalahnya sekarang, siapa di antara pihak-pihak itu yang harus menulis kritik?

Siapa saja boleh menulis kritik sastra: sastrawan, akademisi sastra, atau pembaca kritis.

Dengan pengalaman proses kreatif dan pengenalan yang baik atas apa yang digelutinya, sastrawan bisa menghasikan kritik sastra yang bisa mencerahkan. Sastrawan tentu paham peranti sastra yang biasa dia gunakan ketika menulis. Dengan pemahaman itu, dia bisa menjelaskan bagaimana peranti itu digunakan dalam karya yang dibahasnya, bagaimana peranti itu telah begitu menghidupkan karya yang dibahasnya, dan seterusnya.

Sementara itu, dengan penguasaan dan pemahaman yang baik terhadap teori yang digunakan untuk membedah karya sastra yang dihadapinya, seorang akademisi sastra bisa menunjukkan banyak hal teknis dalam karya sastra yang dibahasnya yang kemudian mengantarkan dia pada kesimpulan tertentu tentang karya itu.

Adapun pembaca kritis, dalam kritiknya juga bisa menunjukkan hal-hal menarik dari karya yang dibicarakannya—bergantung pada modal yang dimilikinya. Yang bermodal psikologi mungkin menemukan persoalan-persoalan kejiwaan pada objek bahasannya. Hal yang sama mungkin terjadi pada pembaca yang bermodal filsafat, sosiologi, atau ilmu lain.

Modal yang dimiliki dan digunakan untuk membahas karya oleh sastrawan, akademisi, atau pembaca kritis tadi bisalah kita sebut pendekatan. Pendekatan yang berbeda-beda menghasilkan hasil telaah yang berbeda pula.

Pendekatan menjadi penting, tapi tidak untuk merumitkan pembahasan, apalagi sekadar untuk dipamerkan. Yang penting bukanlah pendekatan yang digunakan, tapi hasil yang disajikan.

Dalam sebuah karangannya, Ignas Kleden menyatakan bahwa kritik sastra diukur dari keberhasilannya memahami karya, bukan dari klaim kritik tersebut kritik akademis dengan metode dan teori ilmu pengetahuan atau kritik tersebut kritik kreatif yang diandaikan mengandung sifat seni dan sifat sastra dalam dirinya.

 

4/

Selain pendekatan yang digunakan, yang tak kalah penting dalam tulisan kritik adalah bagaimana tulisan itu disajikan kepada pembaca. Baik kritik yang ditulis sastrawan, akademisi, atau pembaca kritis, semua bisa ditaburi istilah teknis sehingga mungkin tidak dengan cepat bisa dipahami pembaca. Bahkan, kemungkinan besar kritik semacam itu hanya bisa dipahami oleh orang-orang dari kalangannya sendiri.

Meskipun bukan karya kreatif seperti karya sastra yang dibahas, kritik sastra seharusnya tidak hanya mengutamakan isinya, tapi juga memperhitungkan gayanya. Lepas dari objek bahasannya, kritik sastra harus enak dibaca.

Dari sinilah kita perlu kritik sastra yang ramah lingkungan, bukan karena dia dibaca di bawah pohon yang menyediakan oksigen untuk dihirup—yang kesemuanya bersifat jasmani. Akan tetapi tidak membuat marah yang membaca karena dipenuhi istilah teknis yang bikin senewen atau disesaki kutipan yang dibiarkan dalam bahasa asing tanpa diterjemahkan atau disarikan intinya.

Kritik harus ramah lingkungan dalam arti enak dibaca, gampang ditangkap maksudnya, dan disampaikan dengan bahasa yang tidak membuat bingung pembaca awam. Kritik harus menjelaskan.

 

Bacaan:

Ignas Kleden. 2004. Sastra dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Sapardi Djoko Damono. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta: Penerbit Gramedia

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa