Kacau Bahasa, Kacau Pikiran: Studi Kasus pada Penggunaan Istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kembali memperpanjang pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi selama dua minggu atau 14 hari.
Perpanjangan dimulai Jumat (28/8/2020) ini hingga 10 September mendatang (Kompas.com, 28 Agustus 2020).

 

Kota Bogor ditetapkan sebagai zona merah penyebaran Covid-19 oleh Gugus Tugas Nasional, kemarin.
Sebagai langkah untuk menekan penyebaran virus Corona, Pemerintah Kota Bogor akan memberlakukan
PSBB Skala Mikro dan Komunitas selama dua pekan (Detiknews.com, 28 Agustus 2020).

 

Pandemik Covid-19 masih terus berlangsung dan belum dapat dipastikan kapan akan berakhir. Yang terjadi saat ini justru kasus positif terinfeksi virus korona semakin hari semakin meningkat. Pada Maret 2020, setelah dinyatakan pandemik, bersamaan itu pula muncul istilah-istilah yang saat ini menjadi sangat familier di indera dengar kita, seperti lockdown, karantina wilayah, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun, pada tulisan ini penulis tidak akan membahas hal tersebut satu per satu. Yang menjadi ketertarikan penulis justru pada terminologi PSBB.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19 untuk mencegah penyebarannya. Penerapan PSBB merupakan pembatasan beberapa aktivitas sosial yang biasanya dilakukan, seperti aktivitas belajar-mengajar, perkantoran, kegiatan keagamaan, dan kegiatan di tempat umum lainnya. Meskipun memiliki unsur skala besar, tetap saja ada pengecualian untuk 11 sektor usaha yang sama sekali tidak masuk dalam kategori pembatasan. Sekali lagi, secara linguistik sebuah makna akan mengandung pengertian secara menyeluruh, tetapi realitasnya akan terjadi pengecualian-pengecualian.

Berbahasa tidak hanya berkaitan dengan persoalan mekanistik, tetapi juga mentalistik. Artinya, kegiatan berbahasa juga berkaitan dengan kegiatan mental atau otak. Pemunculan terminologi atau istilah pada masa pandemik Covid-19 ini luar biasa maraknya. Selain contoh kutipan media di awal tulisan ini, kita mungkin juga pernah membaca atau mendengar istilah PSBB proporsional, PSBB komunitas yang dilontarkan oleh Walikota Depok. Apa yang menarik dengan istilah-istilah tersebut?

Pertama, ketika sebuah istilah PSBB di dalamnya sudah mencakup frasa berskala besar, maka jelas bahwa yang digunakan untuk membatasi gerak sosial masyarakat adalah dalam skala yang besar atau luas, baik durasi maupun ranahnya. Akan menjadi aneh dalam minda kita ketika istilah PSBB kemudian diberi “tambahan” seperti PSBB skala mikro, PSBB proporsional, PSBB komunitas, dan sebagainya. Hal itu akan menimbulkan pemaknaan yang kontradiktif. Apabila istilah-istilah tersebut benar-benar kita pahami, kita harus menyadari bahwa pada sisi semantis ada dua kondisi yang bertentangan. Sebagai contoh, PSBB skala mikro. Kita tahu bahwa dalam istilah PSBB sangat jelas mengandung makna berskala besar. Kemudian ditambah frasa skala mikro menjadi PSBB skala mikro. Terdapat dua konsep makna yang berlawanan, yaitu skala besar berantonim dengan skala mikro dalam satu pemakaian yang bersamaan. Hal yang sama juga dapat ditemukan pada istilah PSBB proporsional. Secara maknawi proporsional dapat dimaknakan sebanding atau secara bebas dapat dimaknakan tidak lebih dan tidak kurang (ideal/ sebanding). Pertanyaan kita selanjutnya yaitu ketika kata proporsional harus mengikuti PSBB, apa yang ingin diperoleh dengan hal tersebut? Demikian halnya dengan istilah PSBB transisi. Kata transisi menunjukkan adanya peralihan (waktu) dari durasi waktu tertentu ke durasi yang lain yang dicirikan dengan kondisi yang diharapkan berbeda. Perbedaan kondisi ini tentu saja bermula dari kondisi yang buruk atau tidak baik menjadi kondisi yang relatif baik. Secara kronologis, ketika muncul istilah PSBB transisi, seharusnya akan muncul istilah PSBB setelah masa transisi berlalu. Sekali lagi, makna transisi mengindikasikan adanya perpindahan/ perubahan. Secara sederhana, kronologis tersebut idealnya bermula dengan PSBB, kemudian PSBB transisi, lalu ditutup dengan PSBB harapan. Ketiga istilah tersebut dibentuk apabila para pembuat istilah ingin menyampaikan informasi secara runtut dan runut mengikuti kaidah makna yang tidak sembarangan dipasang-pasangkan.

Kedua, secara awam istilah PSBB telah dimaknai tersendiri oleh masyarakat bahasa kita. Ketika muncul persoalan seperti pada poin pertama, masyarakat menganggap bahwa istilah PSBB sudah menjadi kesatuan makna yang utuh dan dapat disandingkan dengan kata atau frasa apa pun. Sebagai analogi, hal tersebut penulis contohkan dengan istilah Alat Tulis Kantor (ATK). Secara gramatikal, ATK dimaknai sebagai alat tulis kantor dalam pengertian yang terbatas dan mengacu pada beberapa referensi benda, seperti bolpoin dan kertas. Seiring perkembangan pemakaian istilah ATK tersebut, terjadi pula perubahan referensi yang diacunya. Referensi acuan tidak hanya terbatas pada dua jenis benda itu saja, tetapi telah mencakup semua benda yang berkaitan dengan urusan perkantoran. Kondisi saat ini istilah PSBB telah dimaknai sebagai sebuah kata yang berdiri sendiri sehingga dapat dimodifikasi dengan menambahkan kata lain, seperti skala mikro yang hal itu sebetulnya secara semantis bertabrakan. Cara pandang dan cara membaca masyarakat ini menjadi kelaziman ketika media massa secara sporadis menggunakan istilah ini dalam intensitas yang tinggi. Yang terjadi pada masyarakat yaitu sesuatu yang dianggap benar dan lazim untuk digunakan dalam berbahasa sehari-hari.

Berbahasa tidak melulu hanya mendasarkan pada aspek linguistik artikulatoris maupun auditoris. Lebih dalam lagi dalam setiap berbahasa, baik ragam lisan maupun ragam tulisan, pelibatan faktor mental sangat penting. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Thomson (2000) dalam karyanya Critical reasoning: a practical introduction yang menjelaskan bahwa berpikir atau bernalar adalah proses yang bersandar pada aturan dalam memutuskan secara logis apa yang diyakini dan proses penarikan simpulan dari sejumlah fakta, bukti, dan data. Apabila dalam realitas berbahasa seseorang mengandung kekacauan, hampir dapat dipastikan pola pikir orang tersebut juga kacau.

Teguh Santoso

Penulis adalah Perencana Ahli Madya PPPPTK Penjas dan BK, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa