Hermeneutika Gadamer: Peleburan Cakrawala
Gadamer menyatakan bahwa dalam kenyataannya cakrawala yang dimiliki seseorang pada masa sekarang terbentuk sebagai akumulasi berbagai cakrawala pada masa lampau dalam gerak melingkar terus- menerus. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa cakrawala seseorang sekarang tidak dapat terbentuk tanpa cakrawala pada masa lampau. Setiap perjumpaan dengan tradisi pemaknaan tertentu terjadilah peleburan cakrawala. Hal itu terjadi dalam kesadaran historis yang mau tidak mau menyertakan dua kutub jagat makna, yaitu teks yang dipahami dan makna dari seorang penafsir yang akan membentuk cakrawalanya.
Tugas hermeneutik (Branick, 1974) tidak untuk menutupi ada ketegangan antara dua kutub makna itu dengan melakukan asimilasi naif, tetapi dengan kesadaran. Kedua cakrawala itu tidak berada dalam posisi vis-à-vis yang hanya dapat dimengerti kalau dilihat hubungan yang ada di antara keduanya. Mencari makna dari setiap per se adalah tindakan sia-sia, yang harus dilakukan adalah dengan memerlawankan satu sama lain.
Peleburan cakrawala dalam konteks hermeneutika Gadamer dengan bersandar pada pendapat Agus Darmaji merupakan kesadaran tradisi dan historisitas. Dia menekankan bahwa penafsir harus memiliki ketelitian dan kehati-hatian dalam menggunakan cakrawalanya (kesadaran historis) meskipun tidak akan pernah ada rekonstruksi historis yang memadai (baik teks maupun penafsir). Proyeksi dari cakrawala historis adalah sekadar suatu tahap dalam proses pemahaman yang tidak menjadi suatu alienasi kesadaran masa lampau seorang penafsir.
Dalam proses memahami teks, pikiran penafsir juga menceburkan diri ke dalam pembangkitan kembali makna teks. Dengan demikian, pemahaman adalah peleburan horizon-horizon. Tindakan pemahaman adalah suatu kehendak yang sejauh mungkin bisa melahirkan proses peleburan antara sekurang-kurangnya dua horizon. Pengarang dan historis dari sebuah teks dipertimbangkan dalam proses interpretatif bersama dengan prasangka penafsir, seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan budaya (Hanif, 2017)
Istilah horizon tersebut pada mulanya dikemukakan oleh Nietzche pada abad ke-19, kemudian ditilik oleh Husserl dalam fenomenologinya, yang kemudian memengaruhi pemikiran Gadamer. Hal tersebut diamini pula oleh Hardiman (2014) dan dijelaskan cukup spesifik. Dia mengatakan:
“... Di dalam konsep yang dibahas di atas “dimainkan” dalam hermeneutika Gadamer. Gadamer bukanlah orang pertama yang mempopulerkan istilah horizon. Istilah itu telah dipakai oleh Nietzsche pada akhir abad ke-19 dan kemudian dikembangkan oleh Husserl. Dalam konteks fenomenologis horizon terkait dengan intensionalitas kesadaran. Gadamer tentu tidak mau mengambil alih filsafat kesadaran yang masih bercokol dalam fenomenologi Husserl karena ia lebih mengikuti Heidegger. Konsep horizon itu adalah penjelasan lebih lanjut untuk apa yang di atas disebut “situasi hermeneutis.”
Boleh juga disebut, mengikuti argumen Schmidt, bahwa horizon adalah prasangka yang terkandung di dalam tradisi, dan prasangka seperti itu dapat diubah hanya dengan prasangka lain sehingga dalam arti ini sebuah horizon melebar (Schmidt, 2006). Oleh sebab itu, karena horizon tradisi dan sejarah penafsir sangat luas, manusia (penafsir) berdiri di dalamnya. Keluasan inilah yang dapat memunculkan banyak perbedaan dan hasil interpretasi.
“Karena horizon pemahaman tidak terisolasi dan dinamis,” kata Hardiman (2015), “tidak ada horizon pemahaman yang ‘steril’, yaitu tanpa pengaruh suatu horizon yang berbeda dari horizon tersebut.” Untuk mengatasi pendapat Schleiermacher dan Dilthey, Gadamer lalu menempatkan proses memahami tidak di luar atau di atas horizon, melainkan tetapi justru bergerak di antara mereka.
Hal senada diungkapkan oleh Warnke dalam Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason (1987). Dia mengatakan peleburan cakrawala itu dimaksudkan sebagai integrasi historisitas kita pada objek pemahaman dalam suatu cara yang menjadikan inetgrasi itu memengaruhi kandungan objek di mata. Jadi, peleburan itu menjadi penengah yang mengantarai masa lalu dan masa kini sebagai bagian dalam usaha memahami.
Argumen Warnke tersebut kemudian dapat dimaknai bahwa hermeneutika Gadamer bergerak secara sirkular, masa lalu dan masa kini, dalam suatu pertemuan ontologis sehingga “ada” menyatakan dirinya sendiri. Itulah sebabnya, Gadamer tidak pernah melegitimasi suatu penafsiran yang benar dalam dirinya sendiri. demikian sebab setiap penafsiran bergantung pada konteks, yaitu tempat penafsiran tersebut muncul.
Konsep peleburan cakrawala dalam hermeneutika juga dikemukakan oleh Jean Grondin (2002). Dia menjelaskan argumennya dalam studi filsafat. Di dalam studi filsafat mahasiswa diminta untuk membaca literatur primer dan literatur sekunder. Literatur primer merupakan pikiraan utama dalam karya seorang filsuf pada masa lalu, misalnya Plato, sedangkan literatur sekunder adalah kajian atas karya itu. Persoalannya, sering ada dosen menyarankan hanya membaca literatur kekinian, alih-alih untuk menggali literatur primernya (sejarah). Mengapa demikian? Menurut Grondin, bukan karena komentar terkini lebih baik dari komentar pada masa lalu, melainkan komentar terkini itu menyajikan apa yang dimukakan oleh Plato dengan cara yang berhubungan dengan kekinian kita sebagai pembacanya.
Dalam ilustrasi yang dicontohkan oleh Grondin jelas bahwa untuk memasuki dan memahami sebuah teks, tidak dengan mengabaikan periode kekinian dan “kedisinian”, meminjam istilah Kuntowijoyo, tetapi menerangi teks masa silam dengan konteks dan pengertian manusia pada masa sekarang. Dari sinilah, kata Sumaryono (1999), akan dimungkinkan muncul “penciptaan kembali” makna dari teks tertentu.
Daftar Bacaan
Branick, Vincent P. 1974. An Ontology of Understanding. Saint Louis: Marianist Com-munications Center.
Grondin, Jean. 2002. “Gadamer’s Basic Understanding of Understanding” dalam Robert Dostal (ed.), The Cambridge Companion to Gadamer. Cambridge: Cambridge University Press, 2002. 43-44.
Hanif, Muh. 2017. “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Signifikansinya terhadap Penafsiran Al-Qur’an”, Jurnal Maghza, Vol. 2, No. 1, Januari-Juni 2017, 99.
Hardiman, F. Budi. 2014. “Gadamer dan Hermeneutika Filosofis”. Makalah untuk kuliah terakhir Kelas Filsafat Seni Memahami: Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Gadamer, Serambi Salihara, 25 Februari 2014, 19:00 WIB.
Seni Memahami Hermeneutik dari Schmeiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius.
Understanding Hermeneutics. Durham: Acumen.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Warnke, Georgia. 1987. Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason. Cambridge: Polity Press.
Wahyu Budiantoro
Wahyu Budiantoro adalah Kepala Sekolah sekaligus pengajar di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto.