Sastra Profetik Perspektif Kuntowijoyo

Sastra profetik diawali oleh gagasan Kuntowijoyo tentang perlunya ilmu sosial profetik yang ia kemukakan pada acara Temu Budaya di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada tahun 1986 (1991:286-291). Sebelumnya, Kuntowijoyo mengemukakan gagasan tentang perlunya sastra transendental dalam kesempatan “Temu Sastra 6-8 Desember 1982” di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Gagasan tersebut dapat menjadi rujukan, baik untuk ilmu sosial profetik maupun sastra profetik.

Kuntowijoyo adalah seorang sastrawan sekaligus sejarawan dan budayawan yang lahir di Yogyakarta, 18 September 1943 dan wafat di usia 62 tahun pada tanggal 22 Februari 2005. Dia menjadi guru besar di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Kuntowijoyo meraih gelar doktor (Ph.D.) pada tahun 1980 dari Universitas Columbia dengan disertasi yang berjudul Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940. Sebagai sastrawan, dia mendapatkan sejumlah penghargaan, antara lain Penghargaan Kebudayaan dari ICMI (1995) dan SAE Write Award dari pemerintah Thailand (1999). Dia menulis puisi, cerpen, novel, naskah drama, dan telaah-telaah kritis terhadap masalah sosial, budaya, dan sejarah. Selain sastrawan, Kuntowijoyo adalah cendekiawan muslim yang sangat diperhitungkan keberadaannya.

Hal yang mendasari Kuntowijoyo menganjurkan perlunya ilmu-ilmu sosial profetik adalah ilmu sosial yang ada mengalami kemandegan dan hanya menjelaskan fenomena sosial, tetapi tidak berusaha untuk mentranformasikannya. Sementara itu, realitas sosial yang berkembang menurut Kuntowijoyo (1991:289):

Kita tahu bahwa kita sekarang mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial kita menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Kita mengalami objektivasi ketika berada di tengah-tengah mesin politik dan mesin-mesin pasar. Ilmu dan teknologi juga telah membantu kecenderungan reduksionistik yang melihat manusia dengan cara parsial.

 

Dari latar realitas sosial yang demikian itu, Kuntowijoyo menyatakan (1991:288):

bahwa yang kita butuhkan sekarang adalah ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Oleh karena itulah, ilmu sosial profetik tidak sekadar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.

 

Hal tersebut mendasari paradigma profetik yang digagas oleh Kuntowijoyo. Sebelumnya, paradigma profetik yang sama diilustrasikan dengan tepat oleh seorang penyair filosof dari Pakistan, Muhammad Iqbal, untuk mengidentifikasi perbedaan antara kesadaran profetik dan kesadaran mistik. Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab, 22 Februari 1873 dan wafat di Lahore, 21 April 1938 pada usia 65 tahun. Kuntowijoyo mengaku bahwa ia diilhami oleh gagasan Muhammad Iqbal ketika berbicara tentang peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad SAW berikut ini.

“Muhammad telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku yang telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi”. Inilah kata-kata yang telah diucapkan oleh Abdul Quddus, seorang sufi besar Islam dari Ganggoh. Dalam semua rangkaian sumber-sumber sufi, agaknya sukarlah kita bisa mendapat kata-kata yang dalam satu kalimat saja dapat menyimpulkan sebuah tanggapan yang begitu tajam mengenai perbedaan psikologis antara kesadaran dunia rasul dan dunia mistik. Mistik sudah tidak ingin kembali lagi dari suasana tentramnya “pengalaman tunggal” itu dan kalau pun ia kembali karena mesti demikian, maka kembalinya itu pun tidaklah memberi arti yang besar bagi umat manusia. Akan tetapi, kembalinya seorang nabi memberi arti kreatif. Ia kembali akan menyisipkan diri ke dalam kancah zaman dengan maksud mengawasi kekuatan-kekuatan sejarah dan dengan itu pula ia ingin menciptakan suatu dunia ide baru (Terj. Audah, dkk., 1982:136).

 

Muhammad Iqbal tidak menafikan kesadaran sufi tersebut. Pengalaman tunggal sebagai bentuk kesadaran sufi itu ditujukan untuk melampaui perbatasan-perbatasan dalam mencari kesempatan pembentukan kembali kekuatan-kekuatan hidup yang bersifat kolektif. Menurutnya, pusat hidup yang terbatas itu hanyut ke dalam pusat hidup yang tak terbatas, hanya sekadar persiapan untuk melompat lagi dengan tenaga baru dan dapat menghancurkan yang lama serta membukakan tujuan-tujuan hidup baru (Terj. Audah, dkk., 1982:137). Demikian pula Kuntowijoyo (2013:9) memiliki persepsi bahwa kesadaran ketuhanan barulah sepertiga dari kebenaran sastra profetik. Kalau Tuhan itu Maha Kuasa, mengapa menggugah kesadaran ketuhanan saja tidak cukup? Kuntowijoyo menjawab:

Justru Tuhanlah yang menginginkan supaya manusia bekerja untuk manusia, tidak hanya mengabdi pada Tuhan. Bagi-Nya kesadaran ketuhanan belum berarti kaffah kalau tidak disertai kesadaran kemanusiaan. Sastra profetik menghendaki keduanya, kesadaran ketuhanan dan kesadaran kemanusiaan (2013:14).

 

Ajaran Islam memang mengharuskan adanya hablum minallah wa hablum minannas (Q.S., 3:112). Sekali pun Kuntowijoyo tidak pernah menyebut hasil sastranya sebagai sastra Islam karena selama ini orang mendefinisikan sastra Islam terlalu sempit, yaitu sastra yang hanya diposisikan sebagai seni yang menggugah kesadaran ketuhanan saja. Dalam hal kaffah, Kuntowijoyo meniatkan sastranya sebagai ibadah dan sastra yang murni dengan penjelasan sebagai berikut.

Sastra ibadah saya adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi dari tangkapan saya atas realitas, objektif dan universal. Demikianlah, sastra ibadah saya sama dan sebangun dengan sastra murni. Sastra ibadah adalah sastra. Tidak kurang dan tidak lebih (2013:9).

 

Bagaimanakah tangkapan sastra profetik terhadap realitas? Sastra profetik tidak hanya menyerap dan mengekspresikan sesuatu, tetapi juga memberi arah realitas. Untuk hal itu, sastra profetik merupakan sastra dialektik karena berhadap-hadapan dengan realitas, melakukan penilaian dan kritik sosial-budaya secara beradab, dan terlibat dalam sejarah kemanusiaan. Akan tetapi, sastra hanya bisa berfungsi sepenuhnya jika dia sanggup memandang realitas dari suatu jarak. Dengan begitu, sastra membawa manusia dari belenggu realitas dan membangun realitasnya sendiri. Realitas sastra adalah realitas simbolik, bukan realitas aktual dan historis. Melalui simbol itulah, sastra memberi arah dan melakukan kritik terhadap realitas sebagai bagian dari collective intelligence (2013:10).

Dalam memberi arah realitas itu, Kuntowijoyo mengatakan bahwa sastra profetik mempunyai kaidah-kaidah yang memberi dasar kegiatannya. Kaidah-kaidah itu sebagai berikut.

Kaidah pertama, Epistemologi Strukturalisme Transendental.

Sastra profetik bermaksud melampaui keterbatasan akal-pikiran manusia dan mencapai pengetahuan yang lebih tinggi. Untuk keperluan itu sastra profetik merujuk pada pemahaman dan penafsiran kitab-kitab suci atas realitas dan memilih epistemologi strukturalisme transendental karena dua hal. Pertama, kitab-kitab suci itu transendental karena merupakan wahyu dari Yang Maha Transenden, Yang Abadi, al-Baqi. Kitab-kitab suci juga melampaui zaman karena meskipun sudah tua umurnya, tetapi masih dipergunakan sebagai petunjuk bagi orang beriman. Kedua, kitab-kitab suci itu adalah struktur dan agama-agama yang diajarkan juga merupakan struktur. Struktur kitab-kitab suci dan agama-agama itu selalu koheren (utuh) ke dalam dan konsisten ke luar. Utuh ke dalam, artinya struktur itu merupakan sebuah kesatuan. Konsisten (taat asas) ke luar, artinya struktur yang satu tidak bertentangan dengan struktur lain. Selanjutnya, kitab suci yang satu juga tidak lebih tinggi daripada kitab suci lainnya. Mereka sejajar. Islam mengajarkan (Q.S. 3:64) tentang adanya kalimah sawa’ (titik temu, konsensus, common denominator). Tidak ada pertentangan tentang hal-hal yang fundamental, meskipun ada perbedaan dalam detailnya ... (2013:11).

 

Kaidah Kedua, Sastra sebagai Ibadah.

Al-Qur’an adalah struktur. Islam adalah struktur. Struktur adalah keutuhan (wholeness), sebagaimana dikatakan oleh Jean Piaget dalam Structuralism. Dalam Islam, utuh adalah kaffah (Q.S. 2:208). Keutuhan Islam itu tak dapat disusutkan ke dalam unsur-unsurnya yang disebut rukun (syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji). Islam yang utuh itu harus juga meliputi seluruh mu’amalahnya. Pengarang yang shalat dengan rajin, zakat dengan ajeg, haji dengan uang halal, Islamnya tidaklah kaffah kalau pekerjaan sastranya tidak diniatkan sebagai ibadah... (2013:12).

 

Kaidah Ketiga, Katerkaitan Antar-Kesadaran.

Dari Tuhan ke manusia. Suatu loncatan? Tidak. Sebab memang ajaran agama mengharuskan adanya hablun minallah wa hablun minannas (Q.S. 3:112), hubungan dengan Tuhan, dan hubungan dengan manusia. Lagi pula keterkaitan (inter-connectedness) adalah salah satu ciri dari strukturalisme, maka kesadaran ketuhanan harus mempunyai continuum kesadaran kemanusiaan, dan sebaliknya ... (2013:14-15).

 

Sekalipun sastra profetik memiliki tiga kaidah tersebut, tetapi dalam pandangan Kuntowijoyo, sastra profetik tetap sebagai sastra yang demokratis, tidak otoriter dengan memilih satu premis, tema, teknik, dan gaya (style), baik yang bersifat pribadi maupun yang baku. Keinginan sastra profetik hanya sebatas bidang etika dan sukarela, tidak memaksa.

Kuntowijoyo menyebut etika itu adalah profetik karena ingin meniru perbuatan Nabi, Sang Prophet. Adapun etika profetik itu bersumber dari Alquran (3:110):

“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan di lingkungan manusia, memerintah kepada yang baik dan mencegah dari yang mungkar serta beriman kepada Allah.”

 

Setelah menyatakan keterlibatan manusia dalam sejarah (ukhrijat linnas), ayat tersebut berisi tiga hal, yaitu ‘amar ma’ruf yang berarti menyuruh manusia untuk berbuat kebaikan atau humanisasi, nahi munkar yang berarti mencegah kemungkaran atau liberasi, dan tu’minuna billah yang berarti beriman kepada Tuhan atau transendensi. Ketiga etika profetik tersebut menjadi pelayan bagi seluruh umat manusia, rahmatan lil ‘alamin. Jika liberalisme akan memilih humanisasi, marxisme memilih liberasi, dan kebanyakan agama memilih transendensi, menurut Kuntowijoyo, etika profetik menginginkan ketiganya (2013:16-17).

Humanisasi sangat diperlukan karena ada tanda-tanda bahwa masyarakat kita sedang menuju ke arah dehumanisasi. Dalam hal ini Kuntowijoyo menjelaskan bahwa dehumanisasi ialah objektivikasi manusia (teologis, budaya, massa, negara), agresivitas (kolektif, perorangan, kriminalitas), loneliness (privatisasi, individualisasi), dan spiritual alienation (keterasingan spiritual). Dalam dehumanisasi perilaku manusia lebih dikuasai oleh bawah sadarnya daripada oleh kesadarannya. Tanpa kita sadari dehumanisasi sudah menggerogoti masyarakat Indonesia, yaitu terbentuknya manusia mesin, manusia dan masyarakat massa, dan budaya massa (2013:17).

 

Sementara itu, liberasi dapat diidentifikasi dari apa yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai kekuatan eksternal dan kekuatan internal. Dalam Maklumat Sastra Profetik, Kuntowijoyo tidak membicarakan liberasi dari kekuatan eksternal, seperti kolonialisme, agresi oleh negara adikuasa, dan kapitalisme yang menyerbu negara berkambang. Akan tetapi, Kuntowijoyo membicarakan penindasan dan ketidakadilan internal yang ada atau pernah ada di Indonesia, seperti penindasan politik atas kebebasan seni sebelum tahun 1965, penindasan negara atas rakyatnya yang dilakukan oleh rezim orde Baru, ketidakadilan ekonomi, dan ketidakadilan gender (2013:22).

Bagi Kuntowijoyo, semua karya sastra yang dia tulis adalah transendensi karena baginya hidup adalah misteri yang mengagumkan. Dengan mengutip Alquran (7:172), Kuntowijoyo menjelaskan bahwa sebelum diturunkan ke dunia, ruh-ruh dimintai kesaksian mereka atas eksistensi Tuhan. Ruh-ruh itu menjawab, “Betul ya Tuhan, kami menjadi saksi”. Oleh karena itu, seorang sastrawan mempunyai kewajiban ganda. Sebagai manusia, sastrawan harus menjadi saksi eksistensi Tuhan dan saksi rahasia Tuhan Yang Maha Rahasia, al-Bathin. Hal itulah yang menjadi alasan Kuntowijoyo memunculkan transendensi dalam seluruh karya sastranya (2013:33).

Transendensi tidaklah harus berarti kesadaran ketuhanan melalui agama saja, tetapi bisa kesadaran terhadap makna apa saja yang melampaui batas kemanusiaan. Namun demikian, Kuntowijoyo meyakini bahwa hanya di tangan orang beragamalah transendensi itu efektif bagi kemanusiaan. Transendensi teistik merupakan konsekuensi dari postmodernisme yang menghendaki penggabungan kembali institusi agama dan institusi dunia, setelah Renaissance dahulu melakukan pemisahan keduanya. (2013:30). Akan tetapi, sampai zaman postmodernisme ini pun peradaban Barat tetap melakukan sekularisme walaupun reaksi agama-agama terhadap sekularisme berbeda-beda. Dalam hal ini, Roger Garaudy (Cet.II, 1984:109) menyatakan bahwa sampai saat ini pun filsafat barat terombang-ambing antara kubu idealis dan kubu materialis. Oleh karena itu, dia menganjurkan supaya Barat yang telah membunuh Tuhan itu kembali kepada filsafat kenabian dan mengakui wahyu.

Semua agama setuju bila dikatakan bahwa peradaban Barat, peradaban dunia, termasuk Indonesia sedang mengalami krisis. Menurut Muhammad Iqbal (Terj. 1982), Roger Garaudy (Terj. 1982), Seyyed Hosein Nasr (Terj. 1994), Kuntowijoyo (1991 dan 2013), dan Abdul Hadi W.M. (1999 dan 2004), krisis peradaban itu dapat diatasi melalui transendensi. Menurut Roger Garaudy dalam buku Mencari Agama Abad XX (Terj. H.M. Rasjidi, 1986:256-261), unsur transendensi ada tiga, yaitu (1) pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan, (2) ada perbedaan yang mutlak antara Tuhan dan manusia, dan (3) pengakuan akan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan yang tak berasal dari akal manusia.

Ketiga unsur kesadaran transendensi tersebut dalam perspektif etika sastra profetik Kuntowijoyo dipertegas, harus mempunyai continuum kesadaran kemanusian, dan sebaliknya. Karena etika sastra profetik bersumber dari kitab-kitab suci, maka sastra profetik bisa menjadi senjata budaya orang beragama untuk melawan musuh-musuhnya, yaitu materialisme dan sekularisme.

Di mana letak konsep-konsep etika profetik ini sebagai tema-tema dalam sebuah karya sastra? Pertanyaan ini dilontarkan oleh Kuntowijoyo. Ia menyadari bahwa dengan memakai konsep-konsep, sastra bukan lagi konstruksi imajiner tentang realitas, melainkan pemikiran sosial budaya. Hal lain yang menjadi kegelisahan Kuntowijoyo ialah etika profetik telah melupakan tema-tema penting yang khas Indonesia, seperti perubahan sosial-budaya, adat-istiadat dan kedaerahan, keresahan sosial-ekonomi, masyarakat pedesaan, dan kesejarahan masa lalu. Dengan maklumat sastra profetik, Kuntowijoyo hanya menginginkan supaya sastra Indonesia lebih cendekia dalam ekspresinya sehingga sastra mendapat pengakuan sejajar dengan ilmu dan teknologi. Apa pun penyebab sastra yang seolah menjadi beban masyarakat tanpa sumbangan apa-apa, bagi Kuntowijoyo, kandungan sastra tetaplah harus adiluhung sehingga tidak terjebak ke dalam budaya massa (2013:34). Oleh karena itu, dimengerti orang atau tidak, kandungan sastra perlu ditingkatkan dan menurut Kuntowijoyo, etika profetik yang menyuguhkan tema-tema sosial-budaya adalah salah satu cara untuk meningkatkan hal itu.

Konsep-konsep etika profetik yang telah dipaparkan itu memang analitis, seperti halnya mesin politik, marjinalisasi, kelas sosial, dan spiritual alienation. Akan tetapi, bagi Kuntowijoyo, sastra harus tetap deskriptif-naratif dan tidak analitis. Hal itu karena sastra bukanlah reportase jurnalistik, bukanlah tulisan ilmiah, dan bukan pula buku filsafat. Dalam konteks sastra profetik Kuntowijoyo, sastra tetaplah sastra.

Kuntowijoyo menawarkan dua cara yang dapat dikerjakan agar sastra tetap deskriptif-naratif sekaligus mengekspresikan konsep-konsep etika profetik. Pertama, menulis sastra dari dalam dan kedua, menulis sastra dari bawah. Menurut Kuntowijoyo, yang dimaksud sastra dari dalam adalah peristiwa-peristiwa dipahami sebagaimana tokoh-tokohnya memahami dunianya sendiri dan bukan sebagaimana konsep etika profetik. Pengarang harus membiarkan tokoh-tokoh imajinernya mereaksi peristiwa-peristiwanya sendiri. Dengan kata lain, the I tokoh imajinerlah yang berpikir, berbicara, dan berbuat, bukan sang pengarang. Pengarang harus menjauh dari tokoh-tokohnya, melakukan detachment. Kalau tokoh-tokoh imajiner itu orang sederhana, pikiran, perkataan, dan perbuatannya juga harus sederhana (2013:35).

Sementara itu, menulis sastra dari bawah artinya pengarang tidak berangkat dengan teori dan konsep etika profetik, seperti teori konflik dan konsep kelas yang merangkai karya sastra. Pengarang hanya dituntut untuk konsisten dalam pelukisannya dan koheren dengan tema pada konsep etika profetik serta plotnya (penuturan yang runtut, jalan cerita yang masuk akal). Intuisilah yang akan membimbing pengarang menuju koherensi itu. Hal ini sangat berbeda dengan ilmuwan yang dituntut menulis berdasarkan teori dan konsep yang dapat menuntun penelitiannya. Misalnya, teori collective behavior dan konsep structural conduciveness dari sosiologi Nell J. Smelser untuk tulisan tentang revolusi (2013:36).

 

Baik menulis sastra dari dalam maupun menulis sastra dari bawah, keduanya tampak cocok untuk penulisan prosa fiksi, seperti cerpen, novel, roman, naskah drama, dan naskah film karena keduanya berhubungan dengan tokoh dan penokohannya, peristiwa-peristiwanya, pelukisannya, tema, dan plotnya. Setidaknya, substansi dari sudut pandang menulis sastra dari dalam dan menulis sastra dari bawah juga menjadi jiwa bagi penulisan puisi. Kedua sudut pandang tersebut menjadi perspektif aku-lirik dalam puisi liris melalui tokoh dan penokohannya dalam puisi balada, walaupun tidak setajam pelukisannya dalam prosa fiksi.

Dengan demikian, konsep-konsep etika profetik dalam sebuah karya sastra yang dimaksud oleh Kuntowijoyo dilihat dari struktur sastra. Dengan mengutip Webster’s New World College Dictionary, struktur adalah “manner of organizing.” Bagi Kuntowijoyo, sastra adalah strukturalisasi dari pengalaman, imajinasi, dan nilai. Kuntowijoyo menjelaskan tiga hal tersebut sebagai berikut.

Imajinasi selalu ada dalam setiap struktur sastra sehingga struktur itu terdiri dari dua atau tiga unsur. Pengalaman dapat berupa pengalaman sendiri, pengalaman orang lain, dan hasil riset. Imajinasi ialah kemampuan mental untuk membayangkan sesuatu secara unit, sadar, dan aktif, tidak seperti bayangan dalam mimpi yang tak runtut, tak sadar, dan pasif. Nilai itu dapat apa saja: agama, filsafat, ilmu, adat, dan gugon-tuhon. Letakkan konsep-konsep etika profetik (tema) sebagai nilai yang akan dikerjakan (2013:38).

 

Nilai yang akan dikerjakan itulah partisipasi sastra profetik untuk meningkatkan kualitas sastra Indonesia supaya lebih berperan dalam kehidupan bangsa. Krisis peradaban yang bersifat global dan universal yang juga dialami oleh bangsa Indonesia modern tidak mungkin diselesaikan oleh politik. Mengutip Martin Heidegger, Kuntowijoyo mengatakan bahwa penyebab krisis itu adalah karena manusia sudah kehilangan makna hidup. Tugas sastrawan yang sangat relevan dan fungsional ialah mengambangkan makna hidup pada kemanusiaan. Akhirnya, Kuntowijoyo setuju dengan ungkapan Paul Goodman tentang puisi, yaitu “Inilah cara bagi saya untuk mengabdi kepada Tuhan dan tanah air” (2013:40).*****


Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan Terjemahannya. 1983/1984. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama RI.

Dewan Kesenian Jakarta. 1984. Dua Puluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan.

Garaudy, Roger. 1984. Janji-janji Islam. Cet.II. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

________. 1986. Mencari Agama Abad XX, Wasiat Filsafat Roger Garaudy, Terj. H.M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.

Hadi W.M., Abdul. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus.

________. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari.

Iqbal, Muhammad. 1982. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Terj. Ali Audah, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad. Jakarta: Tintamas.

_________. 2008. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam. Yogyakarta: Jalasutra.

Kuntowijoyo. 1991.Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

_______. 1995. Makrifat Daun Daun Makrifat. Jakarta: Gema Insani Press.

_______. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Penerbit Mizan.

_______. 2005. Islam sebagai Ilmu. Cet.II. Jakarta: Teraju.

_______. 2013. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Multi Presindo bekerjasama dengan Lembaga Seni, Budaya, dan Olahraga Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

_______. 2018. Muslim Tanpa Masjid. Cet.I-2001. Yogyakarta: MataBangsa.

Marcuse, Herbert. 2000. Manusia Satu Dimensi. Terj. Silvester G Sukur dan Yusup Priyasudiarja. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Nasr, Sayyid Husein. 1994. Tasauf Dulu dan Sekarang. Terj. Abdul Hadi W.M. Jakarta: Pustaka Firdaus.

_________. 2004. Intelegensi dan Spiritualitas Agama-agama. Yogyakarta: Inisiasi Press.

Tillich, Paul. "Dimensi Kedalaman yang Hilang dalam Agama", Terj. Soe Hok Djin. Horison. Jakarta. No. 2 Juli 1966.

Wachid B.S., 2015. “Puisi Sufi A. Mustofa Bisri”, dalam Jurnal Ibda’, Vol. 13, No. 1, Januari – Juni 2015. Purwokerto: Lembaga Kajian Kebudayaan AKAR Indonesia bekerja sama dengan P3M STAIN Purwokerto.


Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa