Puisi Imajis
Goenawan Mohamad merujuk pada perpuisian Chairil Anwar dalam penjelasannya tentang “Puisi Suasana” dan “Puisi Ide” (dalam Hoerip, 1982: 159—171). Demikian pula halnya dengan Sapardi Djoko Damono (1983: 107—108) yang merujuk pada perpuisian Goenawan Mohamad ketika menjelaskan gejala ironi yang tidak melalui pernyataan, tetapi naratif dan dramatik dalam perpuisian Indonesia. Begitu juga ketika Sapardi Djoko Damono menjelaskan tentang “Keremang-remangan: Suatu Gaya, Pembicaraan atas sajak-sajak Abdul Hadi W.M.” (1983: 75—83), secara khusus ia membicarakan perpuisian Abdul Hadi W.M.
Tidak ada yang salah ketika ketiga penyair Indonesia tersebut saling membicarakan puisi di antara mereka sendiri sebagaimana dikatakan H.B. Jassin (1983: 25) sebagai berikut.
“Dan pastilah antara Goenawan Mohamad, Abdul Hadi, dan Sapardi Djoko Damono di samping persamaan-persamaan ada pula perbedaan-perbedaan. Dan apabila para penyair saling membicarakan sajak-sajaknya, bukanlah harus berarti bahwa mereka saling masturbasi, tapi karena memang ada saling simpati karena saling mengenali dan saling menyenangi oleh adanya persamaan alam pikiran. Demikianlah Goenawan Mohamad pernah membicarakan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dan sebaliknya, ....”
Berkaitan dengan kajian teori tentang puisi ini, penulis sengaja hanya membicarakan persamaan antara ketiga penyair Indonesia tersebut berkenaan dengan karakter umum puisi imajis dan tidak mengidentifikasi perbedaan atau kekhasan masing-masing. Di manakah letak persamaan antara perpuisian Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M.?
Pertama, ketiga penyair tersebut memiliki kesamaan dalam hal menghindari penulisan sajak-sajak yang merupakan pernyataan. Bagi Goenawan Mohamad, sajak yang merupakan pernyataan itu “Pertama-tama hadir sebagai keutuhan dan dalam keutuhan itu puisinya tampil sebagai puisi ide atau pernyataan” (dalam Hoerip, 1982: 163) sebagaimana dicontohkan dalam sajak “Bercerai” karya Chairil Anwar berikut ini.
Sajak Chairil Anwar
BERCERAI
Kita musti bercerai
Sebelum kicau murai berderai.
Terlalu kita minta pada malam ini.
Benar belum puas serah menyerah
Darah masih berbasah-basah.
Terlalu kita minta pada malam ini.
Kita musti bercerai
Biar surya 'kan menembus oleh malam di perisai.
Dua benua bakal bentur-membentur.
Merah kesumba jadi putih kapur.
Bagaimana?
Kalau IDA, mau turut mengabur
Tidak samudra caya tempatmu menghambur.
7 Juni 1943
(Ed. Eneste, Cet. Ke-21, Juni 2009: 28)
Sajak Chairil Anwar
SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
1946
(Ed. Eneste, Cet. Ke-21, Juni 2009: 58)
Sajak "Bercerai" pertama kali menghadirkan ide, sedangkan "Senja di Pelabuhan Kecil" secara simultan menghadirkan latar dan suasana hati yang berdesakan langsung ke kesadaran, gudang, camar, dan kemuraman. Goenawan Mohamad sesungguhnya ingin menjelaskan posisi perpuisiannya bahwa ia mengakarkan tradisi perpuisiannya dari "percampuran" antara perpuisian Amir Hamzah (sajak “Berdiri Aku”, Buah Rindu, Cet. VII, 1985: 51) dan Chairil Anwar (sajak “Senja di Pelabuhan Kecil”), yakni melalui eksplorasi “sajak suasana”. Menurut Goenawan Mohamad, dalam puisi macam ini, makna kalimat demi kalimat terkadang tak sepenuhnya kita pahami. Akan tetapi, keutuhan suasananya, total merasuk ke dalam diri kita, langsung dan sekaligus (dalam Hoerip, 1982: 164).
Sementara itu, sajak “Bercerai” karya Chairil Anwar oleh Goenawan Mohamad dipahami sebagai “bersifat platonik serta berisi ide, konsep, atau pengertian yang sangat pokok baginya: aku beride, baru aku berpuisi” (dalam Hoerip, 1982: 166).
Kedua, sajak Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. menyikapi benda-benda dan peristiwa dengan cara yang sama di dalam sajak. Goenawan Mohamad tidak menggunakan istilah “puisi imajis” dengan alasan bahwa jika dia menggunakan istilah tersebut, belum tentu hal itu sesuai dengan yang lazim dipakai dalam sejarah kesusastraan lain. Sekalipun demikian, dia menegaskan bahwa
“Dalam sajak-sajak “imajis”, yang sering berupa puisi “suasana”, imaji muncul atau bermunculan bebas-- mereka dibebaskan dari konsep, dari tertib yang diatur oleh rencana pikiran. Mereka tidak berperan sebagai lambang. Mereka itu “mandiri”, bagian yang hidup dari latar (set) yang memberi aksen pada suasana, bukan diambil dari alam benda dengan disengaja sebagai bahan perbandingan bagi suatu gagasan.” (Hoerip, 1982: 167).
Sapardi Djoko Damono (1983: 66) berposisi sama ketika menyikapi bahasa sajak.
“Kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan dunia intuisi penyair. Meskipun perannya sebagai penghubung itu tak bisa dilenyapkan, namun yang utama ialah sebagai obyek pendukung imaji.”
Abdul Hadi W.M. (dalam Dewan Kesenian Jakarta, 1984: 78) juga bersikap serupa dalam memandang bahasa sajak.
“Bagi penyair bahasa harus merupakan media ekspresi... dalam puisi, di mana bahasa merupakan bahasa ekspresi atau penghubung pengalaman intuisi penyair, mawar mungkin imaji atau simbol yang melukiskan kehidupan. Di situ keotomatisan arti sebuah kata dipreteli dan diganti dengan arti lain yang unik dan segar, serta hidup. Atau arti kata diperluas agar mampu menampung kebenaran kreatif yang bersegi-segi.”
Sementara itu, dari manakah tradisi puisi imajisme ini? Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1986: 63) merunut jejaknya sebagai berikut.
“Gerakan Imajisme dalam puisi dan kritik sastra di Inggris dan Amerika Serikat menjelang Perang Dunia I, dipengaruhi oleh T.E. Hulme, dan dikembangkan oleh Ezra Pound. Reaksi terhadap kesamar-samaran romantik dan emosionalitas pada puisi waktu itu. Ada pengaruh dari Simbolisme Prancis dan puisi China klasik (haiku). Puisi hendaknya merupakan “a direct treatment of thing”. Gambaran (image) hendaknya bersifat tajam, tepat dan mampu menimbulkan kontak dengan the thing. Bahasa yang dipakai oleh penyair supaya biasa saja dan bebas dari paksaan metrum. Apa saja, dapat digarap dan dijadikan sastra oleh seorang penyair. Gerakan ini membuka jalan bagi para pembaharu dalam puisi di Inggris seperti TS. Eliot, WB. Yeats, J. Joyce dan DH. Lawrence.”
Gaya imajisme dalam perpuisian Indonesia telah menjadi fenomena sejak munculnya sajak “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah (Pujangga Baru). Kemudian, muncul tanggapan melalui sajak yang tipikal imajistik, yaitu “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar (Angkatan ’45) yang selanjutnya dikembangkan oleh Goenawan Mohamad (sejak buku puisi pertamanya, Parikesit, Cet. I-1969, Cet. II-1971, dan puisi selanjutnya), oleh Sapardi Djoko Damono (sejak buku puisi pertamanya, Duka-Mu Abadi, 1968, dan puisi selanjutnya), dan oleh Abdul Hadi W.M. (sejak buku puisi pertamanya, Laut Belum Pasang, 1971, dan puisi selanjutnya). Pengembangan dari gaya ungkap sajak imajis itu sampai pula pada perpuisian A. Mustofa Bisri, tentu saja dengan kekhasan masing-masing.
Kita bandingkan cikal-bakal puisi imajis yang oleh Goenawan Mohamad disebut sebagai puisi suasana, yang menjadi bagian dari perkembangan perpuisian Indonesia, berikut ini.
Sajak Amir Hamzah
BERDIRI AKU
Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur berkembang.
Angin pulang menyeduk bumi
Menepuk teluk menghempas emas
Lari ke gubung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas.
Benang raja mencelup ujung
Naik marak mengerak corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warn berarak-arak.
Dalam rupa maha sempurna
Rindu-sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju.
(Buah Rindu, 1959: 51)
Sajak Chairil Anwar
SENJA DI PELABUHAN KECIL
-- Buat Sri Ajati
Ini kali tak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap.
1946
(Ed. Eneste, Cet. ke-21, Juni 2009: 58)
Sajak Goenawan Mohamad
DI BERANDA INI ANGIN TAK KEDENGARAN LAGI
Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata : Pergilah sebelum malam tiba
Kudengar musim mendesak ke arah kita
Di piano bernyanyi baris dari Rubayat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba
Aku pun tahu : sepi kita semula
Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
Mengekalkan yang esok mungkin tak ada
1966
(Pariksit, 1971: 9)
Sajak Sapardi Djoko Damono
JARAK
Dan Adam turun di hutan-hutan
Mengabur dalam dongengan
Dan kita tiba-tiba di sini
Tengadah ke langit: kosong sepi.....
(Duka-Mu Abadi, diambil dari Linus Suryadi Ag., Tonggak Jilid 2, 1987 : 410)
Sajak Abdul Hadi W.M.
FRAGMEN
Belumkah ada lindap sebelum
kau kembali ke kamar
yang suram dan kutandai musik beku?
Bayangan itu jadi gerimis
dan meleleh di kebun rumah yang gelap
Aku jadi garang pada malam seperti ini
dan ingin kukecup bibirmu semutlak mungkin
seperti juga hujan di padang-padang
dengan ringkik kuda yang memburu mega terbit
Rampungkan sepimu dan matangkan dagingmu
sampai jadi lengkap perjalanan kita nanti
pelancongan menuju dunia tanpa penyesalan
hingga pada suatu hari nanti
aku tak lagi bermimpi
tentang gua di rimba perburuan
(Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, 1975: 30)
Baik sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar, maupun sajak yang ditulis penyair sebelumnya, yaitu “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah, keduanya sama bercerita soal pantai, laut. Akan tetapi, sajak Amir Hamzah, dengan ritme yang lebih teratur, baris lebih pendek, dengan begitu irama bunyi terasa lebih efektif dan musikal, mengisahkan secara hampir berurutan. Sementara itu, pada sajak Chairil Anwar dihadirkan secara berurutan latar laut, pantai, dan suasana hati aku-lirik yang terasa ada desakan dari pikiran dan perasaan dalam wujud kata-kata yang menggambarkan suasana.
Begitu pula dengan sajak “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” karya Goenawan Mohamad, aku-lirik menjadi bagian dari suasana yang diciptakan oleh penyair. Bahkan, pada sajak “Jarak” karya Sapardi Djoko Damono, aku-lirik menghilang dan hanya mengabarkan dunia lelaki Adam yang tinggal dalam dongengan sehingga aku-lirik menjadi bagian dari “kita” tengadah ke langit: kosong sepi. Begitu pula halnya dengan sajak “Fragmen” karya Abdul Hadi W.M., gambaran pikiran dan perasaan melalui aku-lirik tidak dinyatakan melalui verbalitas aku-lirik, tetapi dihadirkan melalui sejumlah suasana.
Kesamaan pola pencitraan yang dikembangkan dari sajak Amir Hamzah sampai ke sajak Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi WM merupakan suatu keruntutan dari gambaran pikiran dan perasaan penyair, yang boleh jadi menyertakan aku-lirik atau tidak, untuk secara berurutan memperhitungkan setting atau peristiwa tidak dramatik yang justru dalam kedatarannya bisa menggambarkan dunia dalam aku-lirik melalui kata dan kalimat.
Ketiga, dalam semua sajak yang dicontohkan tersebut, baik karya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, maupun Abdul Hadi W.M., sama dalam hal menggunakan bahasa sederhana di dalam puisinya. Mengapa kesederhanaan menjadi pilihan pengucapan puisi imajis? Ezra Pound (via Wachid B.S., 2002: 134), seorang tokoh imajisme, menjawab persoalan itu: “Kami beranggapan bahwa puisi harus menggambarkan hal-hal yang khusus dengan jelas, dan tidak berurusan dengan hal-hal yang umum dan kabur, bagaimanapun enak kedengarannya.” Hal itulah yang menyebabkan Herman J. Waluyo (2010: 52) mengungkapkan dengan bagus aliran imajis dalam puisi tentang realitas sebagai berikut.
“Kenyataan harus dilukiskan dalam imaji visual yang jernih dan jelas. Kata-kata dipilih secara cermat dan efisien... Bahasa yang dipilih adalah bahasa sehari-hari dengan ritme yang tidak mengikat. Kata-kata dipandang segala-galanya. Di samping mengungkapkan gagasan penyair, kata-kata itu mendukung imaji penyair yang hendak diungkapkan... Puisi kaum imajis sering mirip prosa.”
Contoh kesederhanaan bahasa sajak imajis itu dapat disimak dalam sajak “Bola Lampu” karya Sapardi Djoko Damono (Cet. VI, Desember 2015: 74) berikut ini.
Sajak Sapardi Djoko Damono
BOLA LAMPU
Sebuah bola lampu menyala tergantung dalam kamar. Lelaki itu
menyusun jari-jarinya dan bayang-bayangnya nampak
bergerak di dinding; “Itu kijang,” katanya. “Hore!” teriak
anak-anaknya, “sekarang harimau!”
“Itu harimau.” Hore! “Itu gajah, itu babi, itu kera ...”
Sebuah bola lampu ingin memejamkan dirinya. Ia merasa berada
di tengah hutan. Ia bising mendengar hingar-bingar kawanan
binatang buas itu. Ia tiba-tiba merasa asing dan tak diperhatikan.
(1973)
Namun, berkenaan dengan imajisme sebagai aliran seni, penerimaannya di Indonesia sama sebagaimana terhadap aliran seni lainnya, yakni disikapi secara mendua. Sikap mendua menyikapi pengaruh aliran seni dari luar Indonesia ini pernah jadi bagian kajian penulis dalam penelitian Sarjana Strata Satu (S-1) di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul Religiositas Alam: Dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron (2002). Sikap mendua tersebut, antara diterima sebagian dan ditolak sebagian, mengandung perpaduan dalam menyerap suatu pengaruh. Demikian halnya dengan sikap terhadap pengaruh imajisme yang semula dari Inggris dan Amerika Serikat menjelang Perang Dunia I yang dipengaruhi oleh T.E. Hulme dan dikembangkan oleh Ezra Pound ini. Di Indonesia pengaruh imajisme hanya sebatas sebagai gaya ungkap puisi, tetapi pemikirannya berpijak pada pandangan hidup yang bersendikan religiositas, baik yang berangkat dari agama maupun nonagama. *****
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta: PT Gramedia.
________. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Dewan Kesenian Jakarta. 1984. Dua Puluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan.
Eneste, Pamusuk (Ed.). 2009. Chairil Anwar: Yang Terampas dan Yang Putus. Jakarta: Gramedia.
Hamzah, Amir. 1985-a. Nyanyi Sunyi. Cet. X. Jakarta: Dian Rakyat.
_______. 1985-b. Buah Rindu. Cet. VII. Jakarta: Dian Rakyat.
Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Hoerip, Satyagraha (Ed.). 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.
Ismail, Taufiq. 1993. Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan Ananda.
_______. dkk. 2002. Horison Sastra Indonesia Jilid 1, Kitab Puisi. Jakarta: Horison.
Jassin, H.B. 1983. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia. Jakarta: PT Gramedia.
Mohamad, Goenawan. 1971. Pariksit. Jakarta: Litera.
________. 2011. Di Sekitar Sajak. Jakarta: Tempo.
Suryadi AG, Linus. 1987. Tonggak, Jilid 1—4. Jakarta: Gramedia.
Wachid B.S., 2002. Religiositas Alam: Dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron. Yogyakarta: Gama Media.
Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press.
Abdul Wachid B.S.
Penulis adalah penyair dan dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto.