Puisi Lirik

Dalam artikelnya tentang Chairil Anwar yang berjudul “Chairil Anwar: Perjuangan Menguasai Konvensi”, Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa tema perjuangan ternyata tidak menarik minatnya dan ia pun mengembangkan gaya penulisan lirik untuk mengungkapkan berbagai konflik batin yang sangat tajam (1999:48). Tentang gaya penulisan lirik ini pula, Hartoko dan Rahmanto (1986:79) berpendapat:

“Semula sebuah syair yang diiringi dengan petikan alat lira (dalam sastra Yunani). Lirik secara spontan melahirkan dan mewujudkan perasaan batin seseorang. Bersama dengan epik dan dramatik termasuk ketiga jenis pokok sastra. Sifat-sifatnya ialah mengutamakan nada dan irama, abstraksi terhadap waktu dan tempat tertentu serta gaya yang langsung menyapa perasaan pembaca atau pendengar. Lirik dibagikan menurut ode, elegi, soneta, dan seterusnya. Berdasarkan hubungan antara aku dengan kenyataan dibedakan lirik yang langsung (suara batin langsung diperdengarkan) dan lirik tidak langsung (aku menyembunyikan diri di belakang lambang-lambang).

Sependapat dengan penjelasan tersebut, Herman J. Waluyo (2010:157) mengatakan, “Dalam puisi lirik, penyair mengungkapkan aku-lirik atau gagasan pribadinya. Ia tidak bercerita. Jenis puisi lirik misalnya: elegi, ode, dan serenada.”

Puisi lirik tidak bercerita, tidak sebagaimana puisi naratif yang berbasis pada narasi. Menurut Nyoman Kutha Ratna (2013:203), esensi narasi adalah peristiwa, tokoh, alur, latar, gaya bahasa, dan sebagainya. Menurut Maman S. Mahayana (2016), jejak puisi naratif di Indonesia tidak lain adalah syair. Pada periode klasik Melayu, syair menjadi genre utama puisi di Nusantara. Pengaruh syair menyebar ke berbagai daerah yang kemudian menghasilkan model-model puisi naratif dalam berbagai bahasa etnik.

Mengapa yang termasuk puisi naratif itu bukan hikayat? Menurut Maman S. Mahayana, hikayat disusun dalam bentuk prosa sehingga bukan termasuk ragam puisi. Mengapa pantun tidak termasuk dalam puisi naratif? Hal itu dikarenakan pantun terikat sampiran dan isi yang memaksa si pemantun bergerak mengusung tema (isi) yang persajakannya berkaitan dengan sampiran. Karenanya, satu pantun hanya mengusung satu tema. Demikian pula dengan gurindam yang bermain dalam sepasang larik, juga hanya menyampaikan satu tema dalam setiap baitnya. Sementara itu, syair relatif bebas, satu tema bisa disusun dalam beberapa bait. Dengan pola persajakan a-a-a-a syair bisa berkisah apa saja, narasinya bisa diciptakan berdasarkan cerita baru atau mengambil cerita yang ada atau yang sudah tertulis dalam hikayat.

Pada tahun 1928 terbit naskah drama Bebasari karya Rustam Effendi yang disusun dalam bentuk puisi dengan pola syair yang tidak terikat pada jumlah larik dalam bait. Naskah drama tersebut adalah puisi naratif pertama yang tidak lagi setia kepada bentuk syair. Naskah drama Bebasari ini merupakan naskah drama Indonesia pertama yang disusun dalam bentuk puisi.

Puisi naratif tenggelam ketika para penyair Pujangga Baru mengumandangkan puisi sebagai ekspresi jiwa, suara kalbu, atau nyanyian sukma. Karenanya, beberapa sajak panjang Armijn Pane yang memakai pembaitan syair pun sudah tidak naratif lagi. Demikian pula pada saat puncak bentuk ekspresi jiwa itu berhasil dikukuhkan dalam puisi Chairil Anwar. Pada tahun 1956 Ajip Rosidi berhasil menulis puisi naratif berjudul Jante Arkidam, puisi ini tidak hanya dapat digolongkan sebagai puisi naratif, melainkan sebagai puisi epik karena mengisahkan kehebatan seorang jawara yang bernama Jante Arkidam. W.S. Rendra juga sejak awal kepenyairannya menuliskan puisi naratif yang dia sebut sebagai balada (Ballada Orang-orang Tercinta, 1957). Taufiq Ismail juga menulis puisi naratif dalam Benteng dan Tirani (1966). Puisi naratif paling panjang yang berhasil dalam perpuisian Indonesia ditulis oleh Linus Suryadi Ag melalui Pengakuan Pariyem, 1981 (Mahayana, 2016:224-226).

Akan tetapi, tidak semua puisi naratif yang panjang itu dapat digolongkan sebagai puisi epik, jika di dalamnya kita tidak menjumpai peristiwa besar peperangan, kisah kepahlawanan, kehebatan tokoh-tokoh digdaya, atau campur tangan makhluk supernatural. Puisi Priangan Si Jelita (1957) karya Ramadhan K.H. dan Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi Ag sekalipun, walau merupakan puisi naratif yang panjang, tidak termasuk puisi epik sebab dalam kedua buku puisi itu tidak muncul peperangan, kepahlawanan, kehebatan tokoh digdaya, dan campur tangan makhluk supernatural. Tidak sebagaimana sajak Jante Arkidam karya Ajip Rosidi, yang dapat dijadikan contoh sangat baik dan indah sebagai puisi epik.

Penyair Pujangga Baru, Sanusi Pane dan Amir Hamzah, mengumandangkan puisi sebagai “gerakan sukma yang mengalir ke indah kata”. Hal itu menjadi dasar penciptaan dari puisi lirik dan sejak itulah puisi naratif tenggelam. Baru pada periode 1950-an—1960-an berkembang lagi puisi epik yang dipopulerkan oleh W.S. Rendra, Ajip Rosidi, dan Ramadhan K.H.

Menurut I. Kuntara Wiryamartana dalam Soemanto (1999: 64), yang dimaksud dengan lirik, lebih kurang, yakni puisi pendek, bersifat subjektif, dan ditandai oleh imaji, melodi, dan emosi yang kuat, serta menciptakan kesan yang tunggal dan utuh bagi pembaca. Esensi dari puisi lirik adalah syair yang dilahirkan untuk mewujudkan perasaan batin atau gagasan pribadi penyair melalui aku-lirik tanpa bercerita. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hampir semua penyair, yang menulis dalam tradisi puisi modern Indonesia, mewujudkan gagasannya melalui puisi lirik ini. Beberapa penyair lain ada yang menulis puisi naratif, dan hanya sedikit yang menulis puisi epik.

Hanya saja, sebagaimana prinsip penilaian sastra A. Teeuw (Cet.II, 1983:11—12) bahwa karya sastra yang baik itu berdiri pada ketegangan di antara konvensi dan inovasi, maka pada perkembangannya, masing-masing penyair dalam menulis puisi lirik juga berusaha keras menemukan karakter puisi lirik pada karyanya. Hal itulah yang mengakibatkan dari periode ke periode sejak Pujangga Baru terdapat berupa-rupa gaya (style) puisi lirik.

Contoh dari gaya puisi lirik Pujangga Baru adalah karakter puisi lirik karya Sanusia Pane dan Amir Hamzah. Karena kesamaan jiwa romantik dan berlatar keruhanian Islam, maka “gerakan sukma yang mengalir ke indah kata” itu memiliki hubungan batin lebih erat dengan puisi sufi Jalaluddin Rumi dan puisi sufi Melayu Hamzah Fansuri. Baik sajak-sajak dalam Pancaran Cinta (1926), Puspa Mega (1927) dan Madah Kelana (1931) karya Sanusi Pane, maupun Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941) karya Amir Hamzah, semuanya merupakan sarana aku-lirik menuju pengalaman ketuhanan sekalipun kiasan-kiasan yang digunakan menggambarkan perjalanan jasmani. Puisi lirik Amir Hamzah yang berhubungan dengan puisi sufistik Parsi dan Melayu, khususnya, turut mendorong lahirnya puisi keagamaan Islam di Indonesia.

Tentang perpuisian lirik Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono (1999:48-49) berpendapat sebagai berikut.

“semakin jauh ia memasuki konflik bantinnya itu, semakin mendekat ia ke bentuk penulisan yang konvensional. ... eksperimen bahasa bisa dilaksanakan dengan sangat baik dalam batas-batas konvensional yang ada; dan hal ini justru merupakan ujian sesungguhnya bagi penyair --- mengusahakan pembaruan dan kebebasan namun sengaja berpegang teguh pada kungkungan konvensional. Semakin teguh ia berpegang kepada konvensi, dan semakin ketat konvensinya, semakin tinggi pula kemampuan kepenyairan yang dituntutnya.

 

Yang dimaksudkan konvensional oleh Sapardi Djoko Damono dalam hal ini adalah pada saat Chairil Anwar melakukan penerjemahan terhadap puisi klasik, sebagaimana sajak T.S. Eliot, R.M. Rilke, dan E. Du Perron. Hal inilah yang berdampak positif bagi perpuisian lirik Chairil Anwar sejak awal ia berusaha mengungkapkan kehidupannya yang tidak tetap dan penuh konflik ke dalam bentuk-bentuk tetap, baik kuatren maupun soneta.

Dari bacaan sekilas saja terhadap sajak-sajak Chairil Anwar sudah terbaca bahwa citraan akan kehidupan yang digambarkan dalam dunia puisi Chairil Anwar ialah realita. Semua unsur pencitraan dalam puisi Chairil Anwar terlihat sangat realis, tidak ada tabrakan gambaran antara yang realis dan yang simbolis sebagaimana dalam ungkapan puisi surealisme. Gambaran kehidupan yang realis itu lebih tampak sebagai pemotretan yang paling minimalis, yang dipersepsi sekaligus diposisikan oleh Chairil Anwar sebagai peristiwa yang paling mewakili perasaan batin penyair. Chairil Anwar mampu meminimalkan konflik-konflik batinnya, terutama tentang kecemasan akan kematian, ke dalam wujud fragmen-fragmen dengan konvensi yang ketat, yang langsung menyapa perasaan pembaca, sebagaimana sajak Yang Terampas dan Yang Putus berikut ini (Ed. Eneste, 2009:82).

 

Sajak Chairil Anwar

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

 

kelam dan angin mempesiang diriku.

menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,

malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

 

di Karet, di Karet (darahku y.a.d.) sampai juga deru dingin

 

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang

dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;

tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

 

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

 

1949

 

Dalam sajak tersebut, gejolak konflik batin Chairil Anwar diredam ke dalam kuatren yang ketat, dengan bahasa persajakan yang ketat pula, sehingga melalui puisi lirik realisnya ia menemukan kesempurnaan sebagai seorang eksistensialis sejati. Hal ini sejalan dengan pendapat Sapardi Djoko Damono tentang konvensi secara umum bahwa “keunggulan seorang penyair dan seniman pada umumnya tidak terletak pada usahanya untuk membebaskan diri dari kungkungan konvensi, tetapi pada keberhasilannya dalam menciptakan ruang gerak untuk melaksanakan kebebasan dalam kungkungan konvensi” (1999:54). Hal tersebut sekaligus mengukuhkan bahwa lirisisme dalam sejarah perkembangan puisi Indonesia mendominasi semua ruang kreativitas. Namun, banyak juga penyair yang berusaha keluar dari jalur utama itu, dengan membentuk jalur bahasa sajak sendiri di luar lirisisme. Di antara mereka itu, yang berhasil hanyalah sedikit, di antaranya Sutardji Calzoum Bachri melalui jalur puisi mantra, kemudian Afrizal Malna melalui jalur puisi materialis.*****


Daftar Pustaka

Bisri, A. Mustofa. 1991. Ohoi (Kumpulan Puisi Balsem). Jakarta: Pustaka Firdaus.

Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.

________. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Eneste, Pamusuk (Ed.). 2009. Chairil Anwar: Yang Terampas dan Yang Putus. Jakarta: Gramedia.

Hamzah, Amir. 1985-a. Nyanyi Sunyi. Cet.X. Jakarta: Dian Rakyat.

_______. 1985-b. Buah Rindu. Cet. VII. Jakarta: Dian Rakyat.

Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Ismail, Taufiq. 1993. Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan Ananda.

_______. dkk. 2002. Horison Sastra Indonesia Jilid 1, Kitab Puisi . Jakarta: Horison.

_______. dkk. 2004. Horison Esai Indonesia, Jilid 1-2. Jakarta: Horison.

Jassin, H.B. (Peny. Oyon Sofyan). 2013. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Yogyakarta: Narasi.

_______. 2013. Pujangga Baru. Jakarta: Pustaka Jaya.

Mahayana, Maman S. 2016. Jalan Puisi dari Nusantara ke Negeri Poci. Jakarta: Kompas.

Massardi, Yudhistira ANM. 1983. Sajak Sikat Gigi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Mohamad. Goenawan. 1971. Pariksit. Jakarta: Litera.

Nadjib, Emha Ainun. 1983. 99 untuk Tuhanku. Bandung: Penerbit Pustaka.

Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Glosarium: 1.250 Entri Kajian Sastra, Seni, dan Sosial Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rendra. 1984. 2013. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Soemanto, Bakdi. 1999. Angan-angan Budaya Jawa : Analisis Semiotik Pengakuan Pariyem. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.

Suryadi AG, Linus. 1987. Tonggak, Jilid 1-4. Jakarta: Gramedia.

Teeuw, A. 1983. Tergantung pada Kata. Cet. II. Jakarta: Pustaka Jaya.

Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa